Pagi harinya, semua berjalan seperti biasa. Meskipun berbagai pertanyaan yang sama diterima oleh Yuan, ia tak bosan menjelaskan bahwa ia semalam menjadi korban drama yang ia lihat. "Aku semalam tidak sengaja menemukan drama yang membuat aku sedih dan menangis semalaman. Hanya terbawa suasana, dan aku tertidur setelah melihat dramanya. Jadi aku tertidur setelah aku menangis, itulah kenapa mataku pagi ini sembab."Semua orang percaya bahkan termasuk, Danish. Lebih tepatnya ia tak peduli dan memikirkan apa yang membuat mata istrinya sembab. Ia acuh semenjak kembalinya Feli dalam hidupnya. Mantan kesayangan yang sempat terpisah jauh itu kini kembali sekitar tiga bulan yang lalu. Satu bulan menghabiskan hari bersama membuat Danish kehilangan kendali, dan memilih untuk menjalin hubungan terlarang dengan sang mantan. "Selamat pagi semuanya," sapa Rafan yang baru saja sampai dan langsung menyiduk nasi wadahnya. Untuk sesaat ia melirik ke arah Yuan yang
"Jika kau mengetahui sesuatu tentang kebusukan adikku, tolong jangan gegabah untuk menegurnya. Teruslah berpura-pura bodoh seperti yang dia katakan. Strategi kita tidak boleh berantakan hanya karena kau menuruti emosimu saja. Harus tetap kendalikan diri untuk keberhasilan rencana yang sudah kita bicarakan.""Hm, baiklah. Aku akan mendengarkanmu. Kau pengusaha, kau lebih pintar soal strategi."Rafan berlalu setelah mengingatkan wanita itu untuk tetap pada tujuan yang mereka bicarakan semalam. Ia paham, bahkan sangat paham bahwa wanita itu hanya memanfaatkannya untuk melampiaskan rasa sakitnya. Yuan butuh seseorang untuk menciptakan kebahagiaanya. Jangan lupa, Rafan adalah pria yang cukup pandai menilai sesuatu. Cukup licik sebenarnya cara Yuan baginya, tapi tak apa. Ia sudah jatuh hati pada wanita itu sejak malam di mana ia tak sadarkan diri. Ia suka aroma tubuhnya, ia suka cara Yuan memperlakukannya di ranjang, ia juga tertarik dengan wanita yang acuh pad
Suasana mendadak hening sesaat. Danish dengan segala kegugupanya hanya mampu terdiam, ia tak bisa berpikir jawaban apa yang bisa ia gunakan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Dirinya mengatai istrinya bodoh, secara tak langsung dirinya sendiri juga bodoh."Ma-maaf, Bu. Saya hanya ingin antar makan siang yang dipesan Pak Danish.""Untukmu saja, kau boleh pergi. Istri saya bawakan makan siang," putus Danish yang memberi kode Feli untuk segera pergi. Suara napas lega diam-diam terdengar dari mulut Danish. "Siapa dia? Kenapa datangnya tidak sopan?""Asisten pribadi. Iya, tadi pas aku minta untuk dibelikan makan, aku memang sedang berada di luar ruangan, jadi dia mungkin mengira kalau aku masih belum kembali.""Kau mengganti asisten pribadimu? Aku baru mengetahuinya."Danish memilih untuk diam, ia memilih menggunakan mulutnya untuk makan. Ia berpikir jika menjawab, tak akan ada habisnya untuk terus mencari kebohongan
[Kau di mana? Aku pulang kenapa kau tidak ada di rumah?]Baru saja hendak membawa mobilnya keluar pekarangan perusahaan, ponsel Yuan berdering pendek. Ia meraih benda pipih miliknya dan membaca pesan yang baru saja ia terima. Ia mengernyit saat mengetahui yang mengirimnya pesan adalah nomor baru. Sempat bingung, namun melihat bio yang ada di profil itu membuat ia mengangguk paham tanpa bertanya pemilik nomor tersebut. [Aku sedang di kantor suamiku. Untuk apa kau pulang? Dari mana kau dapat nomorku?][Pulanglah, waktuku tidak banyak. Kau selalu menanyakan hal yang tidak penting]Yuan hanya mengedikkan bahu acuh. Namun, meskipun acuh ia tetap saja menuruti kata Rafan untuk segera pulang. Di tengah terik matahari, Yuan muncul sebagai pembalap liar pemberani yang tak kenal takut, menantang kerumunan jalanan yang ramai seiring jam istirahat segera berakhir. Jalanan dipenuhi oleh para pekerja yang kembali ke tempat di mana mereka me
Yuan merasa jantungnya berdebar kencang saat ia memandang cermin. Ia ingin membuat kesan yang kuat saat bertemu Rafan, orang yang menenangkan hatinya saat ia merasa hatinya sedang dikacaukan keadaan. Dengan segala keyakinan yang ada, ia memilih pakaian terbaiknya. Sebuah dress biru muda yang memancarkan keanggunan dan kepercayaan diri. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan tatanan yang sederhana namun menawan. Mata Yuan diberi sentuhan eyeshadow yang menonjolkan keindahan matanya, dan bibirnya diberi lipstik merah muda yang memberi kesan bersemangat. Perhiasan simpel menambah sentuhan elegan pada penampilannya. Yuan ingin terlihat mengesankan untuk Rafan, orang yang membuatnya merasa kembali menjadi orang istimewa. "Wah, menantu Ibu mau ke mana? Kau terlihat lebih cantik dari biasanya.""Aku ada acara sama teman kampus, teman dekat. Aku sudah izin tadi ke Mas Danish, dan dia mengizinkan. Aku pergi dulu, ya, Bu." Bu Veronica mengangguk, "hati-hati
"Ya mencari tahu latar belakang dia. Kebetulan sekali ada temanku yang bekerja di sana. Mantan sekretarismu, Freya. Dia kakak tinggal di kampusku dulu."Nampak ekpresi terkejut dari Rafan. Ia tak menduga bahwa kepindahan sekretarisnya itu membantu Yuan dalam mencari misi kebusukan suaminya. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini baginya, semua sudah ada yang mengatur. Apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini sudah ada dalam rencana-Nya. Dan tidak ada yang sia-sia dalam setiap kejadian. Kesalahan malam panas itu contohnya, lihatlah sekarang! Karena ke khilafan itu, kini mereka justru dekat dan saling mendukung satu sama lain. Semua kejadian pasti akan ada hikmahnya. Tapi tidak semua orang bisa mengambilnya. "Kalau urusan pekerjaan dia bisa dipercaya, tapi kau yakin dia bisa melakukan apa yang kau minta? Mencari latar belakang seseorang melalui perusahaan itu sedikit sulit. Bagaimana jika kita memakai detektif, kebetulan aku punya teman seorang detektif.""S
"Kau tahu aku sedang melihat ponsel, kan? Banyak hal di benda kecil ini. Mau aku buatkan kopi?""Boleh."Meski malas, Yuan memaksa dirinya untuk beranjak. Jika saja tidak karena bujukan dari Rafan, ia mungkin sudah pergi dari sini. Ia terbebas dari Danish, tapi membawa kehancuran. "Kau mau memilih pilihan yang mana? Pergi dengan membawa sebuah kemenangan atau pergi secepatnya tapi kau hancur menjadi kepingan?"Pertanyaan itu bahkan sampai sekarang masih ia ingat. Ia selalu berpatokan pada pilihannya saat dirinya berada lelah dan hampir menyerah. Bohong jika dirinya kuat sekuat yang terlihat, ia terlihat kuat karena paksaan dari dirinya sendiri. Yang memilih untuk pergi dengan membawa kemenangan adalah dirinya sendiri. Dan untuk mencapai itu, ia harus punya kesabaran yang ekstra karena harus berlakon menjadi manusia bodoh yang seakan tak tahu apa-apa. "Sedang apa?"Pertanyaan dari Rafan mengagetkan wanita itu hingga ia sedikit berjingkat saat tiba-tiba mendengar bisikan di telinganya
"Jadi dulu itu Rafan orangnya ceria, usil, banyak tingkah, tapi ketika dia ada di kantor, dia akan merubah dirinya menjadi pribadi yang serius dan tegas, sama seperti ayahmu. Tapi tingkah usilnya itu hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak kepada semua orang. Sampai dia setelah menikah pun masih tetap sama, tapi semuanya seketika berubah setelah istrinya meninggal dan beberapa hari kemudian disusul anaknya yang baru lahir juga pergi meninggalkannya. Kau tahu itu, kan? Wajar saja jika kau tidak tahu bagaimana Rafan sebelumnya karena yang kau tahu orang Rafan adalah pribadi yang seperti sekarang ini. Itu terjadi karena apa yang sudah menimpanya itu benar-benar menyakitinya. Itulah sebabnya kenapa Ibu tadi sangat senang ketika Rafan sudah usil padamu. Itu artinya dia sudah kembali menjadi Rafan yang dulu. Ibu sangat merindukan anak Ibu yang selalu mengusili Ibu."Cerita singkat dari Bu Celine itu Yuan ingat tinggal beberapa hari berikutnya. Sekarang ia sedikit demi sedikit mengerti
Setelah proses panjang di pengadilan, Rafan dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang terkait dengan kematian Alea. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun kepada Rafan.Yuan dan sang ibu mertua hanya bisa menangis sejadi-jadinya, siapa yang menyangka jika hukuman akan selama dan sepanjang ini. Rafan menghampiri keluarganya dengan wajah yang tampak tegar meski lelah, dan ia mencoba tersenyum untuk menguatkan istri dan kedua orang tuanya. Yuan tidak bisa menahan air matanya. "20 tahun, Rafan. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu?" Wanita itu menghambur ke pelukan suaminya. Sayang, Rafan tak bisa membalas pelukan itu lantaran tangannya sudah terborgol. Rafan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Yuan. Ini memang lama, tapi aku akan menjalani hukuman ini dengan tenang. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan aku butuh kamu untuk tetap kuat di luar sana."Yuan menggengg
Rafan mengulurkan tangan untuk membantu Antoni duduk sempurna. Napas mereka belum kembali normal, masih beradu dengan kenyataan yang tak hanya membuat lelah fisik. Antoni merasakan tubuhnya lemas, tetapi pikirannya terus berputar. Kata-kata Alea terus terngiang-ngiang di telinganya. "Jangan biarkan cinta merubah apa pun dalam dirimu."Ia menatap Rafan dengan pandangan yang penuh kebencian, tetapi di balik kebencian itu, ada secercah kesadaran. Alea benar, ia telah membiarkan kebencian menguasai dirinya terlalu lama. Jika ia terus berjalan di jalan ini, ia akan menjadi apa yang Alea tidak inginkan. "Antoni, tolong dengarkan aku," suara Yuan terdengar lagi, lebih lembut, "Kita bisa mengakhiri ini sekarang. Rafan bersedia menerima hukumannya. Biarkan hukum yang mengadili."Antoni menatap Yuan dengan mata yang penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia ingin membalas dendam, ingin Rafan merasakan penderitaan yang ia rasakan. Tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan p
Dalam pertarungan itu, Rafan berhasil merebut pistol yang terjatuh saat terjadi baku hantam. Mereka bergulat di lantai, saling rebut senjata. Yuan berteriak memohon agar mereka menyudahi kegaduhan ini. Namun, suara teriakannya tenggelam dalam suara pertarungan sengit itu. "Rafan, lempar pistolnya ke sini! Rafan kau dengar aku? Lempar ke sini, Rafan!" Yuan berteriak sekuat yang ia bisa. Saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tak lama kemudian, Rafan melakukan apa yang diminta sang istri, ia melempar senjata itu meski asal. Antoni mengamuk saat senjata itu berada di tangan Yuan. Ia kembali bangkit dengan membawa pukulan dan tendangan yang lebih brutal. Rafan hanya menghindar tak berniat membalas. Ia sedang mengumpulkan tenaga untuk menghentikan ini. Pukulan demi pukulan yang disodorkan tak membuahkan hasil membuat Antoni lelah sendiri. Di saat itulah, Rafan mengerahkan tenaga yang baru ia kumpulkan. Dengan sekali tendang di dada, Antoni tersungkur tak berdaya. "Rafan suda
"Antoni, tolong pikirkan lagi! Apakah ini yang benar-benar diinginkan oleh Alea? Apakah dia ingin kau hidup dengan kebencian dan dendam seperti ini?""Kau tidak tahu apa-apa! Kau mungkin pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai, seseorang yang kau sayangi, tapi apakah kau pernah kehilangan seseorang dengan cara yang kejam? Sepertinya ikut melenyapkan mu juga pilihan yang bagus. Rafan juga harus merasakan apa yang aku rasakan. Kehilangan seseorang dengan cara yang kejam."Rafan maju perlahan, melihat Antoni yang kesetanan membuat ia takut hilang kendali dan justru mengikutsertakan Yuan dalam permasalahan masa lalunya. "Dengarkan aku Antoni, aku menyesal. Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, lakukan apa saja padaku, tapi jangan libatkan Yuan dalam hal ini. Ini murni kesalahanku, bukan?"Antoni tersenyum miring, "Kau pikir aku akan melepaskan orang yang kau cintai begitu saja? Dia ba
"Yuaaann!"Suara Rafan menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang melingkupi gedung lantai dua itu. Yuan terkejut melihat suaminya muncul, wajahnya penuh kepanikan dan ketakutan, napasnya pun sudah tersengal-sengal. Nampaknya ia berlari dari halaman gedung hingga naik ke titik ini. Antoni menoleh, tatapannya sangat memperjelas bahwa kebencian dirinya terhadap Rafan benar-benar berada di puncak. "Kau!" teriak Antoni mengarahkan pistolnya ke arah Rafan. "Akhirnya kau datang juga, akhirnya aku dengan leluasa bisa melihat wajahmu. Kau adalah awal dari segala penderitaanku. Kau harus membayar semuanya, Rafan. Nyawa, kebahagiaan, waktu, sakitku, dan hancurnya kehidupanku hanya karena kau!"Rafan mengangkat kedua tangannya, berusaha menunjukkan bahwa ia tak bersenjata dan tidak ada niatan untuk melawan. "Dengar aku! Aku dan kau tidak saling kenal, aku tidak tahu di sini kau siapa, tapi aku tahu siapa yang yang kau maksud. Aku tahu yang kau maksud adalah Alea, wanita yang ada di
Yuan masih terpaku di tempat. Pandangannya tak lepas dari layar monitor yang terus berjalan menampilkan gambaran masa lalu raffan yang tidak ia ketahui. Dalam waktu beberapa menit itu, slide-slide itu seolah menayangkan hampir setengah kehidupan masa muda sang suami. Semua masih menampilkan wajah-wajah yang sama, tak ada yang aneh. Rafan memang setia dalam menjalin hubungan. Bukankah wajar dan tidak ada keanehan dengan foto-foto yang ditampilkan? Itu bagian dari masa lalu dan apa masalahnya? Hingga akhirnya, pikiran Yuan yang begitu positif itu terkacaukan dengan sebuah chat. Selintas ia membaca kata "gugurkan" dan membuatnya mengatakan... "Stop! Kembali ke slide sebelumnya!"Antoni menurut, ia kembali menampilkan foto sebelumnya. "Sekarang kau tahu kenapa hingga detik ini Rafan tidak punya anak? Karma. Dia sedang menjalani karmanya. Pasti kau bertanya-tanya, siapa perempuan itu, siapa aku, apa hubungannya dengan kekacauan dalam hidupmu? Aku yakin banyak pertanyaan dalam benakmu. K
"Apa maksudnya dia mengirimku ke tempat seperti ini?! Apa aku sedang dibodohi?" gerutu Yuan seraya berjalan kembali ke mobilnya. Wanita itu belum selesai dengan keterkejutannya yang tanpa sengaja mendatangi sebuah rumah aborsi ilegal. Namun rupanya, semesta masih memberinya kejutan dengan kehadiran sosok pria berkulit putih di dalam mobilnya. "Siapa kau?" tanyanya dalam keadaan terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu duduk kursi samping kemudi. "Itu tidak penting, yang lebih penting adalah informasi yang aku bawa. Informasi yang bisa menentukan masa depan dan jalan hidupmu selanjutnya. Jalan sekarang! Ikuti petunjuk yang aku berikan! Atau kau ... akan ditemukan menjadi mayat sebelum kau tahu rahasia besar yang dirahasiakan suamimu." Antoni mengarahkan pistol tepat di kepala Yuan. Manusia mana yang tidak gemetar jika dihadapkan dengan senjata tajam sementara dirinya tak menguasai apa pun dalam perkelahian atau menjinakkan senjata tajam, jangankan melakukan itu, memegang dengan benar da
Rafan beberapa kali membolak-balikan kertas itu untuk meyakinkan diri. Tak ada apa-apa di benda itu. Bahkan setitik noda tinta pun tak ada. Ia juga dengan teliti memastikan bahwa tak ada apa-apa lagi di kaleng itu. Memang tidak ada, kosong, itulah kenyataan yang ada di hadapannya sekarang. Rasa takut, cemas, dan kekhawatirannya tak terbukti. Ia merasa lega karena tak ada hal apa pun yang menambah kecurigaan sang istri terhadapnya. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sementara saja, ia merasa kembali dikuliti saat mendapati tatapan sang istri yang mengarah padanya. Tatapannya biasa saja, tidak menakutkan bagi Rafan, tapi entah kenapa ia merasa terintimidasi oleh sorot mata wanita itu. Mungkin ini adalah efek lantaran dirinya yang menyembunyikan hal besar dari semua orang. "Sudah puas, Sayang? Tidak ada apa-apa, jadi tidurlah. Aku akan menyusul setelah mandi." Rafan kembali menggulung kertas dan memasukkan ke kaleng lalu ia letakkan benda itu di meja rias.Yuan mengangguk, tetapi ek
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se