Gareth Moultens harus dirawat di rumah sakit pasca kejadian yang menimpanya. Ia terbaring di tempat tidur bersandar dengan posisi duduk. Wajahnya memiliki beberapa memar dan ia mengalami sedikit luka dalam yang tidak fatal di bagian perut. Selebihnya, ia baik-baik saja.
Pintu kamarnya terbuka beberapa saat kemudian lalu terlihat asisten Duke Hoffman masuk membawa berita yang ia inginkan. Gareth langsung bersemangat untuk mendengar.
“Bagaimana?” tanya Gareth dengan sikap tak sabar pada Duke. Duke berhenti di sisi tempat tidur Gareth lalu memperbaiki letak kacamatanya.
“Uh, maaf Pak. Nona Venus dirawat di Celestial Royal Park. Aku sudah ke sana dan hanya memperoleh informasi jika dia masih dirawat di sana,” ujar Duke memberikan informasi yang ia dapatkan pada Gareth.
Gareth menghela napas panjang dan mengangguk. Setidaknya ia sudah lega jika mengetahui Venus selamat.
“Tapi dia selamat kan?” Duke mengangguk pada Gar
“Lho, gue kan tahunya lo suka sama udang, mana gue tahu lo alergi!” balas Brema membela diri. Dia cuek saja membereskan celemek dan mengelap meja dapur.“Ah gak usah pura-pura lo! Lo mau ngejek gua kan?”“Siapa yang mau ngejek? Dion, lo tau gak kalo Rei punya alergi udang?” giliran Dion kini ditarik dalam perdebatan itu. Dengan polosnya Dion menggelengkan kepalanya. Tangannya terus membereskan kotak-kotak makan itu sebelum bersiap untuk pergi.“Tuh, Dion aja gak tahu, lo malah nyalahin gue!” protes Brema mulai sengit.“Dari mana ceritanya lo gak tahu? Lo udah hidup sama gue dari orok!”“Memangnya kalau gue udah kenal lo dari orok, gue harus tau semua masalah idup lo gitu? Idih!” Brema makin mengolok. Dion mulai mempercepat geraknya membereskan semuanya karena ia berada di tengah-tengah Brema dan Rei. Keduanya terus berdebat dan saling mengatai satu sama lain. Dan Dion sud
Dion menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tahu jika Venus pasti akan menanyakan hal seperti itu suatu saat padanya atau mungkin mengetahuinya dari orang lain. Yang jelas, Venus akan mendapati kebenarannya suatu saat.“Aku hanya tenggelam saja kan, Mas?” Venus masih mengulang pertanyaannya. Wajahnya sendu sekaligus penasaran. Venus sudah lama bertanya-tanya pada dirinya tentang apa yang terjadi. Namun hingga kini belum ada yang memberikannya jawaban sama sekali.Dion tersenyum dan mengeratkan genggamannya pada tangan Venus. Ia ikut membelai helai rambut Venus dengan lembut.“Ven, aku gak mau kamu berpikiran yang tidak-tidak tentang hal itu. Apa pun yang terjadi saat malam itu, itu sudah berlalu. Kamu baik-baik saja, Sayang. Itu yang terpenting,” ujar Dion mencoba menjawab dengan narasi yang netral. Ia tidak ingin membuat proses pemulihan Venus jadi makin lambat karena ia stres memikirkan kegugurannya.Sayangnya Venus bukanlah wan
Dion menggeliat kecil terbangun karena ponselnya yang bergetar terus menerus. Ia tidur dalam posisi menyamping yang sama dan sudah pasti cukup pegal. Namun Dion langsung kaget begitu ia tidak menyentuh Venus di sisinya.“Lho ... Venus!” Dion terkejut dan duduk di ranjangnya menengok kanan kiri kebingungan.“Ven? Ven ... aduh, ini siapa yang menelepon!” gerutu Dion meraba ponselnya dan ternyata itu dari Pak Dhe Halim.“Halo?”“Selamat tahun baru, Le!” Dion buru-buru turun dari ranjang rumah sakit untuk mencari Venus.“Uh, selamat tahun baru, Pak Dhe ...”“Kok kamu ndak menelepon sih udah dua hari ndak ada kabarnya. Si Mbahmu menanyakan kamu terus! Kamu dihubungi malah telepon ndak aktif!” Pak Dhe Halim mulai mengomel panjang lebar pada Dion yang berjalan cepat ke arah kamar mandi mencari Venus yang tidak terlihat ada di dalam kamar.“Uhm ... maaf Pak Dhe. Aku
Venus makin meneteskan air matanya sementara Dion terus menyemangatinya untuk tetap kuat dan tegar.“Kita akan hadapi kehilangan ini berdua. Aku akan tetap sama kamu apa pun yang terjadi, hhm ... aku mencintai kamu, Ven.” Dion memeluk Venus lagi yang juga balas memeluknya. Venus masih belum bicara. Ia mulai menyesali keputusannya yang egois untuk menyelesaikan masalahnya dengan Edgar.“Mungkin jika aku gak menemui Edgar, ini gak akan terjadi ...” gumam Venus dalam pelukan Dion. Dion menggelengkan kepalanya tetap dalam posisi memeluk.“Jika akan kehilangan, kita akan tetap kehilangan. Sesuatu yang pergi, mungkin itulah yang terbaik.” Venus menengadahkan kepalanya menatap Dion dengan matanya yang masih basah.“Apa kamu gak mau aku hamil?” Dion tersenyum getir dan mendengus pelan. Ia malah mengecup lembut ujung hidung Venus yang masih memandangnya.“Saat aku tahu kamu hamil, di saat yang sama aku t
Claire menghampiri Venus yang tengah melambaikan tangan pada Dion. Punggung Dion menghilang dan Venus menghela napas panjang. Wajahnya yang semula ceria kembali datar dan sedikit murung.“Jangan sedih, Dion kan cuma sebentar!” ujar Claire membesarkan hati Venus. Venus menoleh pada ibunya dengan bibir yang agak dimajukan. Ares dan Jupiter lantas menghampiri dan tersenyum pada Claire, Venus juga Arjoona.“Kalau begitu ayo kita pulang! Atau Venus mau jalan-jalan di bandara, siapa tahu bisa ikut menyusul Dion naik pesawat ... Aduh ... Aduh!! Aaahhh!” Ares langsung mengaduh kesakitan karena bagian perutnya yang tiba-tiba dicubit oleh Venus tanpa peringatan sama sekali.“Kamu mau ngeledek aku ya, Res? Hhmm ... kamu mau coba-coba sama aku?” balas Venus masih terus menjaili Ares yang sudah menunduk mengaduh kesakitan.“Gak! Gak ... ampun! Haha ... jangan digelitikin, aku gak kuat!” protes Ares yang terus dijah
“Komandan Dion!” panggil Peter memekik semangat begitu melihat Dion masuk melalui pintu depan dengan seragam lengkap seperti biasanya. Dion langsung mengembangkan senyumannya dan menyalami para anggota polisi yang bertugas piket di depan sampai pada Peter. Beberapa anggota Dalmas juga ikut mengerubungi Dion sekaligus menyambutnya.“Akhirnya Komandan pulang! Kita kangen!!” pekik salah satu anggota Sabhara bernama Haris. Dion langsung berdecap menggelengkan kepalanya.“Alah, bilang aja kalian mau oleh-oleh kan?” Dion langsung menaikkan dua buah paper bag besar pada seluruh anggotanya.“Hore!!” semua bersorak senang dan langsung menyambar paper bag yang dibawa oleh Dion.“Sebelumnya ... selamat tahun baru dulu!” sambung Dion yang dibalas ucapan yang sama oleh anggotanya.“Selamat tahun baru, Dan!” Dion tersenyum mengangguk.“Wah, gratifikasi ni!” kelakar Jasman
Setelah pengarahan dan surat tugas keluar, Dion mempersiapkan anggotanya untuk pengamanan pertandingan bola esok hari. Bersama beberapa anggotanya Dion mempersiapkan alat dan perlengkapan yang akan mereka gunakan besok.“Bakalan rame dan rusuh ini besok!” celetuk Jasman sambil mempersiapkan tameng serta tongkat pemukul.“Kenapa emangnya?” sahut Peter yang mempersiapkan pelindung kaki.“Bobotoh versus Bonek! Gila lo kalo gak rusuh! Maennya di kandang Persija lagi!”“Jangan didoakan rusuh, doain mereka akur!” sahut Dion usai mengecek semua perlengkapan dan alat. Kini anggotanya yang tengah ikut bertugas di gudang penyimpanan menoleh pada Dion.“Yang jelas besok kita harus berusaha sebaik mungkin agar pertandingan berlangsung aman tanpa ada insiden apa pun. Karena kalau ada korban jiwa siapa yang akan disalahkan?” ujar Dion masih memberikan pengarahannya.“APARAT!!” sahut s
“SIAPKAN DIRI KALIAN, PERTANDINGAN INI HARUS BERLANGSUNG AMAN SAMPAI SELESAI,” ujar Dion memberikan pengarahan melalui pengeras suara pada seluruh anggotanya. Mereka telah berada di stadion Gelora Bung Karno, Senayan untuk mengamankan pertandingan sepak bola liga nasional dari dua klub sepak bola terbesar Indonesia.Dion akan menjalankan tugas pengamanan terakhir sebelum ia akan menjalani upacara pelepasan purna bakti yang akan dilakukan minggu depan. Proses pensiunnya tengah dilakukan dan selama jeda waktu itu, Dion akan tetap bertugas seperti biasa.“PASANG MATA DAN INSTING KALIAN DENGAN BAIK, PROVOKATOR HARUS DIAMANKAN DAN PARA PENONTON YANG TELAH MEMBAYAR TIKET SERTA MEMENUHI PERSYARATAN HARUS DILINDUNGI. INGAT! PERTANDINGAN INI TIDAK LEBIH BERHARGA DARI NYAWA. SIAP BERTUGAS?”“SIAP, KOMANDAN!” sahut seluruh anggota dengan serempak. Dion mengangguk dan membubarkan anggotanya.“BUBAR ... JALAN!” Dion berb