Venus makin meneteskan air matanya sementara Dion terus menyemangatinya untuk tetap kuat dan tegar.
“Kita akan hadapi kehilangan ini berdua. Aku akan tetap sama kamu apa pun yang terjadi, hhm ... aku mencintai kamu, Ven.” Dion memeluk Venus lagi yang juga balas memeluknya. Venus masih belum bicara. Ia mulai menyesali keputusannya yang egois untuk menyelesaikan masalahnya dengan Edgar.
“Mungkin jika aku gak menemui Edgar, ini gak akan terjadi ...” gumam Venus dalam pelukan Dion. Dion menggelengkan kepalanya tetap dalam posisi memeluk.
“Jika akan kehilangan, kita akan tetap kehilangan. Sesuatu yang pergi, mungkin itulah yang terbaik.” Venus menengadahkan kepalanya menatap Dion dengan matanya yang masih basah.
“Apa kamu gak mau aku hamil?” Dion tersenyum getir dan mendengus pelan. Ia malah mengecup lembut ujung hidung Venus yang masih memandangnya.
“Saat aku tahu kamu hamil, di saat yang sama aku t
Claire menghampiri Venus yang tengah melambaikan tangan pada Dion. Punggung Dion menghilang dan Venus menghela napas panjang. Wajahnya yang semula ceria kembali datar dan sedikit murung.“Jangan sedih, Dion kan cuma sebentar!” ujar Claire membesarkan hati Venus. Venus menoleh pada ibunya dengan bibir yang agak dimajukan. Ares dan Jupiter lantas menghampiri dan tersenyum pada Claire, Venus juga Arjoona.“Kalau begitu ayo kita pulang! Atau Venus mau jalan-jalan di bandara, siapa tahu bisa ikut menyusul Dion naik pesawat ... Aduh ... Aduh!! Aaahhh!” Ares langsung mengaduh kesakitan karena bagian perutnya yang tiba-tiba dicubit oleh Venus tanpa peringatan sama sekali.“Kamu mau ngeledek aku ya, Res? Hhmm ... kamu mau coba-coba sama aku?” balas Venus masih terus menjaili Ares yang sudah menunduk mengaduh kesakitan.“Gak! Gak ... ampun! Haha ... jangan digelitikin, aku gak kuat!” protes Ares yang terus dijah
“Komandan Dion!” panggil Peter memekik semangat begitu melihat Dion masuk melalui pintu depan dengan seragam lengkap seperti biasanya. Dion langsung mengembangkan senyumannya dan menyalami para anggota polisi yang bertugas piket di depan sampai pada Peter. Beberapa anggota Dalmas juga ikut mengerubungi Dion sekaligus menyambutnya.“Akhirnya Komandan pulang! Kita kangen!!” pekik salah satu anggota Sabhara bernama Haris. Dion langsung berdecap menggelengkan kepalanya.“Alah, bilang aja kalian mau oleh-oleh kan?” Dion langsung menaikkan dua buah paper bag besar pada seluruh anggotanya.“Hore!!” semua bersorak senang dan langsung menyambar paper bag yang dibawa oleh Dion.“Sebelumnya ... selamat tahun baru dulu!” sambung Dion yang dibalas ucapan yang sama oleh anggotanya.“Selamat tahun baru, Dan!” Dion tersenyum mengangguk.“Wah, gratifikasi ni!” kelakar Jasman
Setelah pengarahan dan surat tugas keluar, Dion mempersiapkan anggotanya untuk pengamanan pertandingan bola esok hari. Bersama beberapa anggotanya Dion mempersiapkan alat dan perlengkapan yang akan mereka gunakan besok.“Bakalan rame dan rusuh ini besok!” celetuk Jasman sambil mempersiapkan tameng serta tongkat pemukul.“Kenapa emangnya?” sahut Peter yang mempersiapkan pelindung kaki.“Bobotoh versus Bonek! Gila lo kalo gak rusuh! Maennya di kandang Persija lagi!”“Jangan didoakan rusuh, doain mereka akur!” sahut Dion usai mengecek semua perlengkapan dan alat. Kini anggotanya yang tengah ikut bertugas di gudang penyimpanan menoleh pada Dion.“Yang jelas besok kita harus berusaha sebaik mungkin agar pertandingan berlangsung aman tanpa ada insiden apa pun. Karena kalau ada korban jiwa siapa yang akan disalahkan?” ujar Dion masih memberikan pengarahannya.“APARAT!!” sahut s
“SIAPKAN DIRI KALIAN, PERTANDINGAN INI HARUS BERLANGSUNG AMAN SAMPAI SELESAI,” ujar Dion memberikan pengarahan melalui pengeras suara pada seluruh anggotanya. Mereka telah berada di stadion Gelora Bung Karno, Senayan untuk mengamankan pertandingan sepak bola liga nasional dari dua klub sepak bola terbesar Indonesia.Dion akan menjalankan tugas pengamanan terakhir sebelum ia akan menjalani upacara pelepasan purna bakti yang akan dilakukan minggu depan. Proses pensiunnya tengah dilakukan dan selama jeda waktu itu, Dion akan tetap bertugas seperti biasa.“PASANG MATA DAN INSTING KALIAN DENGAN BAIK, PROVOKATOR HARUS DIAMANKAN DAN PARA PENONTON YANG TELAH MEMBAYAR TIKET SERTA MEMENUHI PERSYARATAN HARUS DILINDUNGI. INGAT! PERTANDINGAN INI TIDAK LEBIH BERHARGA DARI NYAWA. SIAP BERTUGAS?”“SIAP, KOMANDAN!” sahut seluruh anggota dengan serempak. Dion mengangguk dan membubarkan anggotanya.“BUBAR ... JALAN!” Dion berb
Dion masih belum menyerah. Ia masuk ke dalam kumpulan manusia itu merisikokan nyawanya bisa melayang karena ikut terjepit demi menolong dua orang suporter itu.“Sebelah sini! Sebelah sini!” teriak Dion meminta bantuan dari anggotanya. Peter dengan sekuat tenaga dibantu Jasman dan tiga orang lainnya menekan lalu membuka ruang. Dengan sisa tenaga dan oksigen, Dion menarik dua pria itu keluar dari kerumunan.Dion terengah luar biasa tapi ia masih bangun untuk melakukan CPR pada salah satu pria yang tidak bergerak lagi. Jasman juga melakukan hal yang sama. Dion sampai membuka helmnya untuk melakukan napas buatan tapi sepertinya tidak berhasil.Dion menggelengkan kepalanya dan terduduk lemas. Sementara satu pria lagi berhasil bernapas kembali.“Oh Tuhan ...”Dion duduk dengan kaki menekuk ke dada dan masih berseragam. Ia sudah melepaskan helm dan pelindung tangan. Ia sedang melepaskan lelah seiring senja yang sedang menggelincir
Sebuah mobil dinas Kepolisian berhenti dengan baik di lobi samping Polda. Empat orang anggota perwira polisi keluar bersamaan termasuk salah satunya adalah Dion Juliandra. Dion memiliki dua hal yang harus ia lakukan dan selesaikan. Yang pertama menyangkut masalah pensiun dini yang tengah berlangsung dan yang kedua adalah bertemu dengan Laras.Laras tidak ditahan di rutan Polda seperti layaknya Rico yang akan menjalani proses pengadilan nantinya. Laras diberikan status tahanan kota yang tidak memungkinnya keluar kota sampai permasalahan hukumnya masuk pengadilan.Oleh karena Dion setuju untuk membujuk Laras bicara tentang nama-nama orang yang sudah mengirimkannya uang, AKBP Anton menginisiasi agar pertemuan itu dilakukan di Polda dengan diawasi ketat oleh polisi sendiri.“Ini calon CEO ya?” sapa salah satu perwira tinggi yang masuk ke ruang tunggu saat Dion tengah mengurus proses pensiunnya. Dion tersenyum berdiri dan memberikan hormat seperti biasa.
“Laras, cukup! Aku mohon, aku datang bertemu kamu bukan untuk membicarakan hubungan kita.” Laras lantas melepaskan tangannya dari Dion dan berdiri.“Aku akan bicara pada teman-teman kamu tapi dengan satu syarat. Kamu akan kembali sama aku!” tukas Laras memberikan syarat yang sudah diprediksi oleh Dion. Dion membuang pandangannya dan menghela napas. Ia ikut berdiri di depan Laras dan bicara.“Kalau begitu aku gak bisa membantu kamu, Laras. Aku ingin membantu kamu untuk bebas lebih cepat dengan hukuman seminimal mungkin tapi kamu sendiri gak mau membantu diri kamu. Apa gunanya?” Laras terdiam menatap Dion dengan matanya yang masih meneteskan air mata. Dion mulai sedikit menundukkan pandangannya dan mengangguk.“Laras, aku pernah mencintai kamu, sangat menyayangi kamu dengan tulus dulu. Jika sekarang aku datang untuk membantu kamu, itu semua atas pertimbangan masa lalu yang kita miliki bersama.”“Aku suda
Setelah selesai berbicara, Dion keluar lebih dulu dari ruangan tempat ia dan Laras berada. Di luar, AKBP Anton sudah menunggu lalu mengangguk dari kejauhan pada Dion. Laras ikut keluar dan masih berusaha untuk tetap memegang lengan Dion. Atas alasan kemanusiaan, Dion masih membiarkan Laras untuk tetap dekat dengannya sementara waktu sampai ia pulang.Dion bisa menyaksikan jika mental dan kejiwaan Laras cukup terguncang. Ia bukan lagi Laras yang dulu sempat begitu angkuh. Kali ini Laras lebih banyak menundukkan kepalanya.“Kita bisa lanjutkan besok?” tanya salah satu penyidik pada Laras. Ia sedang meminta kesediaan Laras untuk memberikan saksi. Laras tetap menggelengkan kepalanya. Dion hanya bisa menghela napasnya dan akhirnya mengajak Laras untuk diantar ke mobilnya.“Aku mau ikut kamu, Mas ...” rengek Laras mulai menarik lengan Dion.“Sebaiknya kamu pulang dan istirahat ya. Nanti kamu bisa berpikir dan menimbang-nimbang tent
Setelah celingukan memastikan tidak ada yang mengikutinya, Dion masuk ke sebuah restoran mewah di kawasan Brooklyn milik chef terkenal Brema Mahendra. Restoran berbintang Michelin itu tidak sembarangan bisa dimasuki oleh orang lain kecuali pengunjung yang telah memesan tempat dan sahabat dekat si pemilik restoran.Maka ketika Dion masuk, para penguntitnya tertahan di depan. Sementara Dion bebas berjalan masuk ke dalam sampai ke area terlarang yaitu dapur. Di sana, Brema sudah menunggu dengan mejanya yang telah disiapkan untuk pertemuan mereka. Ares baru tiba beberapa saat kemudian. Ia masuk dari jalan belakang.“Apa masih ada yang mengikutimu?” tanya Brema setelah Dion duduk di kursinya.“Iya, mereka ada di luar.” Brema langsung memanggil salah satu stafnya untuk mengusir non pengunjung dan yang menguntit Dion dari lingkungan restorannya.“Jauhkan mereka dari parkiran!” perintahnya lebih lanjut.“Baik
Dengan panik, Venus masuk ke kamar mandi lalu menguncinya. Ia langsung memeriksa kulit lehernya lewat cermin dan melihat dengan jelas seperti apa bentuk bekas ciuman yang memerah di kulitnya. Dion memergoki langsung ada bekas pria lain di tubuh Venus. Seketika Venus menahan teriakan dengan membekap mulutnya sendiri.Air mata berlomba-lomba jatuh dan kakinya tidak kuat menopang berat tubuh. Venus jatuh di lantai terduduk menangisi dirinya sendiri. Sangat menyakitkan saat ia harus menyakiti Dion seperti itu. Hati Venus hancur melihat rasa kecewa di mata Dion padanya.“Mas Dion, maafin aku ... maafin aku ...” Venus merapal tanpa suara sambil meremas pakaian di dadanya.“Venus? Cinta? Tolong keluar, Sayang. Ayo kita bicara ...” terdengar suara Dion yang bergetar namun masih lembut memanggil istrinya. Dion tidak meledak marah meski ia menemukan dengan jelas pengkhianatan Venus. Namun hal itu hanya membuat Venus makin terluka.“Aku
‘Mas Dion? Mas Dion, tolong aku! Tolong, Mas ...’Seketika mata Dion terbuka dan ia kaget. Suara Venus memohon pertolongan darinya membuat ia terbangun dari mimpinya. Dion kebingungan. Ia masih berada di kamar. Bedanya ia tidak tidur di ranjang melainkan duduk di sofa dan tertidur. Di tangannya masih tersemat tasbih rosario kala ia berdoa untuk Venus.“Venus? Sayang!” panggil Dion bangun dan berjalan keliling kamar mencari Venus yang ternyata belum pulang. Hari sudah pagi namun belum ada kabar dari istrinya sama sekali. Dion mencoba kembali menghubungi Venus dan masih sama saja seperti ratusan panggilan yang ia lakukan seharian.“Gak, aku gak bisa diam saja! Aku harus cari dia.” Dion akhirnya mengambil keputusan dan keluar dari kamar. Dion kembali menanyakan pada Edward yang juga tidak kunjung mendapatkan kabar dari Venus.“Manajemennya sudah menyebarkan orang-orang mereka untuk mencari Nyonya Venus. Tapi sampai s
“Beatrice memasang banyak kamera di ruanganku dan mungkin hampir di seluruh bangunan kantor, aku gak tahu. Sekarang aku dan Kyle sedang berpura-pura gak akur untuk mengelabui dia.” Dion menjelaskan dengan detail apa yang terjadi di perusahaannya sekarang.“Kenapa gak dipecat aja, Mas?”“Aku gak akan pernah tahu siapa dalangnya kalau dia dipecat. Aku sudah memecat Kyle sehingga dia bisa menyusup. Gara-gara kamera tersembunyi itu, aku gak bisa melayani pembicaraan Venus di sana. Tapi dia malah jadi salah paham.”“Kalau sudah begini, masalah jadi lebih rumit ...” Dion mengangguk mengerti.“Beatrice ingin menyasar Venus, itu yang baru aku ketahui sekarang.” Rei mendengus panjang dan masih terus memperhatikan Dion.“Kyle bilang, Beatrice mengaku jika dia menyasar keluarga kamu dan Venus adalah korban pertamanya.” Rei makin membesarkan matanya cukup kaget mendengar hal seperti itu.
Dion berhasil masuk melewati jalan belakang ke kantor label rekaman Skylar. Ia bahkan belum kembali ke King Corp untuk mengonfirmasi perihal alarm yang dibunyikan saat kebakaran terjadi. Tujuan Dion adalah untuk bertemu dengan Rei.Rei juga telah menghubunginya tadi pagi bertanya jika ia dan Venus bertengkar. Ia tidak bicara banyak tentang apa yang terjadi. Kini Dion mulai penasaran apa yang terjadi dalam satu hari ini.“Rei, maaf aku mengganggu, aku harus bicara sama kamu.” Dion berujar sepruh berbisik pada Rei yang tengah ada di salah satu koridor di dekat ruangannya.“Mas Dion? masuk lewat mana?” Dion menarik lengan Rei agar mereka bisa berjalan bersama.“Lewat belakang. Kita ke ruangan kamu ya.” Rei mengangguk dan membukakan pintu untuk Dion. Dion sempat melihat ke semua arah sebelum ikut masuk dan menutup pintu.“Apa Venus kemari?” tanya Dion bahkan sebelum ia duduk di salah satu sofa di ujung ru
Terjadi sedikit kebakaran di area perakitan A 2.1 di dalam pabrik yang belum diketahui penyebabnya. Kebakaran itu sempat membuat panik beberapa pekerja namun dapat di atasi dengan baik. Sesuai dengan langkah pengamanan, seluruh mesin dan listrik dimatikan saat kecelakaan itu terjadi.Dion langsung bergegas melihat yang terjadi. Beberapa pekerja tengah memadamkan api dengan alat pemadam darurat sampai akhirnya api mengecil lalu hilang.“Pastikan tidak ada percikan sama sekali!” perintah Dion masih mengawasi proses tersebut. Alarm kebakaran masih berbunyi keras dan seluruh pekerja sudah di evakuasi.“Pak, ini hanya kebakaran biasa,” lapor salah satu kepala divisi yang sudah mengecek.“Apa ada ledakan?” Dion balik bertanya untuk memastikan.“Tidak ada, Pak. Aku rasa hanya ada masalah listrik!”“Pastikan semuanya aman sebelum memasukkan para pekerja kembali. Coba cek jika ada yang terluka ...
Venus tidak membantah sama sekali. Rei terus mengomel karena dirinya yang kabur begitu saja dari lokasi pemotretan. Belum lagi, ia membatalkan acara tiba-tiba sehingga penyelenggara harus merugi karena tiket yang terlanjur dijual.“Ada apa sama kamu, Ven? Kamu gak pernah kayak gini!” tukas Rei dengan ekspresi keheranan. Venus begitu ngotot mau mengakhiri kerjasama dengan beberapa penyelenggara musik.“Aku cuma ingin istirahat, Kak. Itu saja!” sahut Venus bersikeras. Ekspresinya tampak berbeda dan dia seperti tertekan.“Istirahat? Tapi kamu kan ga perlu sampai harus memutuskan kontrak enam bulan ke depan! Kamu mau istirahat selama apa sih?” Venus mendengus kesal dan rasanya ingin berteriak.“Kakak ga ngerti!” Venus makin meninggikan suaranya.“Ya mana aku ngerti kalau kamu gak memberikan penjelasannya, Baby!” DREET DREET … ponsel Venus bergetar saat ia akan mulai bicara. Venus mengin
“Love ... Cintaku! I’m home!” ucap Dion memanggil Venus dengan mesra seperti biasanya. Ia masuk ke dalam dengan sebuket bunga dan mencari istrinya. Venus ternyata berada di dekat meja makan tengah mengatur makan malamnya. Dion langsung semringah lebar melihat istrinya sudah pulang. Ia menghampiri dan memberikan bunga tersebut pada Venus.“Hei, Love ...” ucap Dion mengecup pipi Venus lalu memberikan bunga untuknya. Venus ikut tersenyum lalu membalas mengecup pipi Dion.“Wah, makan malamnya kayaknya enak,” puji Dion melihat beberapa menu yang terhidang.“Sebaiknya kamu ganti pakaian dan setelah itu kita makan malam,” ujar Venus sembari membelai dada Dion. Dion tersenyum lebar dan mengecup Venus sekali lagi sebelum ia berbalik keluar ruang makan menuju kamar. Senyuman Venus hilang terutama saat ia menoleh ke arah kamera yang terus memantaunya.Makan malam Dion dan Venus berlangsung seperti biasanya. Dion
Dion hanya duduk sesaat sambil memandang meja kosong di depannya. Pandangannya menoleh pada seisi ruangan. Semua sudah beranjak pergi dan sebuah suara kini ikut memanggil.“Dion, ayo!” Ares memanggil Dion yang kemudian mengangguk. Dion beranjak dari kursinya ikut pergi bersama Ares dan seluruh sahabatnya yang lain.“Bagaimana sekarang?” tanya Dion pada Rei dan Ares yang masuk satu lift dengannya. Di dalamnya juga ada Cass, Brema serta Devon.“Ayahku masih marah. Aku tidak menyarankan untuk bicara dengannya sekarang. Pengakuan Andy benar-benar membuat dia syok,” ujar Rei kemudian.“Apa kamu tahu soal itu?” celetuk Brema kemudian.“Tidak, dia tidak tahu. Yang tahu hanya aku, Jupiter dan Aldrich!” aku Ares dengan nada rendah. Rei sontak menoleh pada Ares yang juga melirik padanya.“Kenapa kamu tidak cerita padaku Ares?”“Untuk apa? kamu akan membunuh Andy begit