Sesosok makhluk yang terbalut kain putih yang menggulung tubuhnya seperti mumi dan mengenakan perhiasan ala Fir'aun meraung sangat keras hingga memecah keheningan gurun itu. Suara gemuruh dari pasir yang tersapu oleh riak ombak akibat bangkitnya sosok itu pun menambah kekhawatiran Raka dan yang lainnya. Mahkota ala seorang Fir'aun yang berlambang seperti kepala seekor kobra menghiasi kepala sosok raksasa yang memiliki wajah pucat dan hanya berupa daging serta tulang. Kedua bola matanya pun tidak lagi berada di tempatnya. Makhluk itu hanya memancarkan cahaya merah tua yang bersinar terang. Ditambah lagi tubuh dari sosok itu di balit dengan kumpulan otot-otot kekar yang membuatnya begitu besar dan menakutkan. Ia duduk di atas singgasana yang besarnya sama seperti dirinya. Tempat duduknya terbuat dari pasir yang membatu. "Makhluk apa itu?" Raka masih tidak mempercayainya. Tinggi makhluk itu setara dengan gedung tinggi berlantai tiga puluh. Begitu tingginya hingga bayangan yang dihasil
Adityawarman menciptakan dua pedang petir perak di kedua telapak tangannya. Ia memberanikan diri untuk menyerang para iblis prajurit milik Tutankhamun yang memiliki wujud seperti sesosok mumi yang dibalut atau dibungkus dengan kain putih lusuh. Wajah mereka hanya tersisa tulang dan sedikit daging. Pancaran mata mereka berwarna merah tua. Dan lagi, mereka datang bergerombol sambil membawa tombak, pedang, ataupun sabit ke arah Adityawarman. "Aku akan membunuh kalian semua!" Ungkap Adityawarman. Ia melesak cepat dan menebas secara bergantian masing-masing iblis prajurit itu. Dirinya terus menerobos masuk ke dalam kerumunan untuk merangsak masuk mendekati tubuh Tutankhamun. Sekali pedangnya mengenai salah satu tubuh iblis prajurit, tubuh dari iblis itu langsung tersambar petir perak dan hancur tanpa bekas. Begitu besarnya kekuatan Adityawarman juga berbanding lurus dengan seberapa kuatnya tebasan pedang petir perak. "Kita harus segera mengakhiri iblis ini!" Teriak Jayabhaya. "Dasar…
Embusan angin menerpa rambut yang menjuntai di kening Raka. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka. Ia menatap jauh ke depan, sinar mentari menerpa menyilaukan pandangannya. Raka mencoba meraba apa yang ada di bawahnya. Ia yang sedang merebahkan dirinya pun perlahan duduk dan melihat sekitarnya. "Apa ini lantai sembilan puluh sembilan?" Tanyanya dalam hati. Padang rumput nan luas membentang di sekitarnya. Di ujung padang rumput itu terdapat hutan-hutan lebat yang ditumbuhi oleh barisan pepohonan tua yang tumbuh begitu lebat dan tinggi. Ia melihat sekumpulan bukit berbaris mengelilingi hutan-hutan itu. Raka seperti berada di pusat lantai sembilan puluh sembilan. "Di mana yang lainnya?" Ia mencoba berdiri. Tubuhnya terlihat masih begitu lemah karena baru saja menggunakan teknik terlarang untuk yang ketiga kalinya. "Ki Demang, apa kau mendengarku?" Tanya Raka. Ia tidak mendengar adanya jawaban. Pemuda itu mencoba memusatkan pikirannya untuk merasakan energi yang tersebar di tanah hi
Beberapa pasukan Sundapura mendekati Mahapatih mereka. Namun Arya Wisungsang menyuruh mereka semua untuk menjauh. Energi yang yang dipancarkan oleh iblis itu terlalu besar dan bahkan mampu menekan udara sekitar. Mahapatih mencoba untuk tidak mendekat dan tetap pada jarak ideal. Di lain tempat, salah seorang prajurit Sundapura mendatangi perkemahan raja Sri Jayabhupati yang sedang bersama dengan Ki Nogo Bimantoro. Ia memberitahukan mereka bila ada iblis yang muncul.Beberapa pasukan aliansi terlihat kebingungan dan terus mencoba mencari tahu dengan selalu memandang ke arah Mahapatih. Namun rasa takut yang mengiris pikiran mereka seakan menundukkan nyali para prajurit itu untuk mendekati tempat Mahapatih berada."Pancaran energi yang kita rasakan, serta cahaya terang yang menghantam tanah, kemungkinan besar berasal dari iblis itu," pikir Ki Nogo Bimantoro."Kekuatannya jauh lebih kuat dari apa yang kita kira. Ini seperti sedang melawan jutaan iblis yang dijadikan satu." Sri Jayabhupati
Darah milik Mahapatih menetes deras dan jatuh menggenangi permukaan tanah. Ketika tombak darah milik Nintinugga itu menusuk dan menyatu dengan daging serta darahnya, Arya Wisungsang merasakan tubuhnya seakan perih. Ia berpikir bila tombak itu dilapisi oleh racun yang mematikan.Perlahan ia jatuh terduduk. Jubah energi berwujud seekor harimau putih pun menghilang secara bertahap. Baru pertama kali ini ia merasakan racun yang begitu cepat menyebar. Bagian yang tertusuk oleh tombak itu pun langsung menghitam dan menyebar ke area lainnya. "Ti–tidak mungkin… apa ada racun yang kau gunakan pada tombak ini?" Tanya Arya Wisungsang. "Kau salah besar. Bukan digunakan atau dioleskan pada tombaknya, melainkan tombak itu sendiri adalah racunnya." Nintinugga melepaskan tangannya dari genggaman tombak darah. Ia membiarkan tombak itu tetap berada di tubuh Mahapatih. Sang iblis memilih untuk menciptakan satu tombak lagi untuk mengakhiri hidup Arya Wisungsang. "Ja–jadi begitu… ternyata darahmu bisa
Ki Joko Gendeng, Aji Pamungkas dan Dyah Lokapala yang menyaksikan hal itu tampak terkejut. Ia tidak menyangka bila sosok yang muncul di hadapan mereka bisa tiba-tiba datang. Hal tersebut justru memicu kemarahan dari iblis Nintinugga. Ia terlihat gusar akan kemunculan dua orang itu. "Siapa kalian! Beraninya mengambil mangsaku!" Bentaknya. "Aku? Kau ingin tahu siapa aku?" Ia berbalik dan memandang wajah si iblis. "Jangan tersenyum seakan kau itu kuat!" Nintinugga memaki pemuda itu. "Aku memang sangat kuat hingga mampu menghapus realita di seluruh menara Kalpawreksa," ungkap Raka. Ia berhasil datang tepat waktu dengan menggunakan teknik segel dimensi milik Jayabhaya. Kedatangannya ke medan perang itu karena Jayabhaya melihat kilasan masa depan tentang kemunculan iblis wanita di tengah-tengah medan perang. Ia membuat rencana ulang dan mengubah tim menjadi dua bagian. Dirinya bersama Jayabhaya akan menghadapi Nintinugga, sedangkan Indrajit dan Adityawarman akan melawan Sin, si raja ib
Ia mencekik pemuda itu dengan tangan kanannya, lalu menciptakan tombak dari darahnya menggunakan tangan kiri. Nintinugga menusukkan tombak itu ke dada Raka hingga tembus ke belakang. JLEB!!!"Uhuk!" Raka muntah darah. Ia tidak menyangka bila kecepatan dari Nintinugga bertambah menjadi berkali-kali lipat. "Aku bersumpah akan sangat menikmatinya ketika membunuhmu!" Nintinugga melemparkan tubuh Raka bersama dengan tombaknya yang masih menusuk tubuh pemuda itu. WUSH!!!BRAK!!!Tubuh Raka tergeletak lemas di atas tanah. Tombak darah itu telah membuatnya membusuk secara cepat. Kecepatan penyebaran racunnya pun sepuluh kali lebih cepat daripada kasus Arya Wisungsang. "Aku akan membunuhmu dengan tersenyum lebar!" Nintinugga menciptakan empat pilar raksasa seluas beberapa hektar yang mengelilingi dirinya dan Raka. "Teknik darah; segel pengekang empat penjuru!" Dengan segel itu, Raka tidak akan bisa pergi ke mana pun. Dan perlahan-lahan segel tersebut menutup dan membentuk bangunan kubus
"Ini gawat! Apa yang harus kita lakukan!" Raka melihat para batu meteor itu kian mendekat. "Mereka semua akan menghantam di lima tempat yang berbeda. Akan sangat menyulitkan untuk menghancurkan mereka," pikir Jayabhaya. "Jangan menyerah!" Aku akan menghentikan tiga meteor yang menuju ke medan perang, Medang Raya dan hutan Alas Siluman. Lalu kau hentikan dua lainnya yang menuju ke Sundapura dan Jakatira." Raka menggunakan teknik pamungkasnya, ia mengenakan jubah Wektu Parwa. Jayabhaya segera menyerahkan urusan di situ kepada temannya. Ia segera berpindah tempat ke Jakatira terlebih dahulu. Daratan yang telah dipenuhi oleh darah milik Nintinugga menjadi mati total. Tumbuhan dan para hewan yang berada di hutan pun mati seketika. Hutan Alas Siluman yang dijaga oleh kubah pelindung Wektu Parwa pun juga ikut terkena imbasnya. Kubah pelindung yang menjaga hutan itu bocor dan membuat tumpahan rintikan air hujan darah masuk ke dalam hutan. Kubah cahaya yang diciptakan oleh Jayabhaya untu