“Barang selanjutnya yang akan kami lelang berhasil menggemparkan dunia perhiasan.” Sang pembawa acara mengeluarkan senyum misteriusnya lalu menyingkir dari tengah panggung.
Lima detik kemudian seorang wanita keluar dari sudut panggung dengan peti kaca berisi kalung dengan liontin berlian kuning besar. Rantai kalung itu dihiasi berlian putih yang lebih kecil. Siapa pun yang melihatnya bisa tahu kalau kalung ini akan mencapai harga fantastis. Sang pembawa acara kembali berjalan ke tengah panggung, menatap orang-orang yang sibuk mengagumi kalung itu. Dia berdeham.
“Saya akan membuka harga untuk kalung yang sangat cantik ini seharga 500 juta.”
Terdengar kasak-kusuk suara sebelum seorang wanita bergaun merah ketat dengan topeng yang juga berwarna merah mengangkat papan nomornta lalu berkata, “700 juta.”
Sang pembawa acara tersenyum. “700 juta satu, 700 juta dua, tujuh ra—“
“750 juta,” potong seorang pria botak berjas hitam dan kemeja putih.
Pembawa acara itu menepuk tangannya sekali. “750 juta. Ada yang ingin menawar harga lebih tinggi lagi?”
Terjadilah pertengkaran harga antara si wanita bergaun merah dan si pria berkepala botak. William memperhatikan mereka dalam diam. Tidak tertarik. Pikirannya melayang ke seseorang. Seorang perempuan yang berhasil merebut hatinya dan menghancurkannya dengan berkeping-keping. Kalau saja perempuan itu tidak memutuskan hubungan mereka, William pasti akan mengangkat papan nomornya dan menawarkan harga paling tinggi hingga tidak ada siapa pun yang bisa mengalahkannya. William dapat membayangkan bagaimana penampilan mantan kekasihnya ketika memakai kalung tersebut.
Mata William terpejam selagi bayangan sang mantan kekasih muncul. Saat helai demi helai pirangnya tertiup angin hingga berantakan. Senyumnya yang menampilkan deretan gigi putih dan rapi. Mata biru yang selalu menatap William penuh cinta, yang mungkin tidak akan pernah sama lagi. William membayangkan kalung itu bertengger manis di leher jenjang miliknya. Bagaimana kalung itu menyatu bersama rambut pirang miliknya. Indah. Bibir William terangkat sedikit kala membayangkan hal yang tidak akan pernah terjadi.
Lamunan William buyar saat ketukan palu terdengar. Pada akhirnya wanita bergaun merah yang memenangkan pertengkaran merebutkan kalung berlapiskan berlian itu dengan harga lima miliar. William bisa membelinya dengan harga sepuluh miliar. Seratus miliar pun sanggup aku beli.
Wanita yang tadi membawa keluar peti kaca itu kembali untuk menyimpan kalung hingga akhirnya sampai ke tangan si wanita bergaun merah. Sang pembawa acara mengoceh di tengah panggung. Tentang betapa menyenangkannya malam ini. Banyaknya barang-barang antik dan mewah. Namun, William tidak mendengarkan semua itu. Dia ingin acara ini segera berakhir dan pulang ke rumah. Harapannya tidak terkabul karena sang pembawa acara berkata kalau masih ada satu barang terakhir. Barang yang katanya dapat membuat mata semua orang yang ada di ruangan tertutup ini melotot.
Kali ini dua orang pria mendorong sesuatu yang ditutup oleh kain hitam dan diletakkan di tengah ruangan. Melihat peti kaca yang digunakan amat besar, William menebak kalau barang yang satu ini adalah patung. Pikirannya berkelana, sehebat apa sebuah patung hingga membuat semua orang melotot? Menurutnya, patung apa pun bentuknya tetaplah sama. Pajangan. Tidak bisa dibawa pergi ke mana pun. Tidak bisa dipamerkan setiap saat. Hanya benda mati besar yang diletakkan di tengah ruangan atau di taman dan terkadang menjadi menyeramkan saat malam hari. William tidak tertarik. Dia berniat untuk pergi sebelum acaranya selesai, tetapi niatnya hilang begitu kain hitam itu disingkap.
Sang pembawa acara benar. Semua mata orang yang ada di sana membulat dengan sempurna. Yang berada di dalam peti kaca tertutup kain itu bukanlah patung seperti yang William pikirkan sebelumnya. Di sana ada manusia. Manusia sungguhan. Perempuan. Dengan gaun hitam ketat yang menempel erat di tubuhnya, sepatu hak tinggi bertali yang juga berwarna hitam, dan sebuah kalung murahan yang melingkari lehernya. Rambut cokelat keemasan perempuan itu dikepang dan disampirkan ke bahu kanannya. Sebuah topeng kecil berwarna hitam bertengger manis di wajahnya. Semua orang tahu apa yang akan terjadi padanya saat berhasil terjual. Sang pembawa acara membuka harga sebesar 25 miliar untuk perempuan itu, yang berdiri tanpa berbicara apa pun.
“26 miliar,” ucap seorang pria yang memiliki janggut tebal di dagunya dengan topeng biru tua yang menutupi setengah wajahnya. William ikut menoleh ke belakang seperti yang lainnya.
William mengangkat papan nomornya lalu berkata, “30 miliar.” Dia lalu menoleh ke belakang kembali, bertatap mata dengan pria berjanggut itu.
“32 miliar.” Si pria berjanggut kembali mengucapkan harga, membuat William mengepalkan tangannya kuat.
“40 miliar.”
Kini si pria berjanggut yang mengepalkan tangannya. Dia menatap William tajam meski tidak tahu siapa orang di balik topeng itu. Pria berjanggut itu kembali mengangkat papan nomornya, mengucapkan nominal besar lainnya dan berharap William tidak bisa menandinginya. Namun, harapannya langsung pupus begitu William mengangkat papan nomornya lagi.
“100 miliar!” seru William.
Dia yang awalnya tidak tertarik sama sekali pada acara lelang ini dan berpikir tidak akan mengeluarkan uang sedikit pun, justru menjadi orang yang paling banyak mengeluarkan uang. Tujuan awalnya hanya datang untuk memenuhi undangan. William sendiri tidak menyangka dia akan membeli seorang perempuan dari pasar lelang dan berebut dengan seorang pria yang tidak dia ketahui wajahnya.
Sebelum si pria berjanggut sempat memberi harga baru, sang pembawa acara terlebih dahulu mengetuk palu, menyebutkan nomor milik William, dan berkata selamat padanya. Seperti sebelumnya, dua pria itu datang ke panggung untuk membawa si perempuan yang sudah berhasil terjual kembali ke dalam. Nantinya William akan menemui sang pembawa acara lalu membawa pulang ‘barang’ yang dibelinya. Mata William terus menatap ke arah perempuan itu, bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Selepas kepergian peti kaca besar itu, sang pembawa acara kembali bersuara. Mengatakan betapa malam ini sungguh luar biasa. Semua perkataannya diulang-ulang untuk mengulur waktu hingga membuat William tidak tahan dan memutuskan untuk pergi dari sana. William membuka pintu berukuran emas sedikit dan keluar. Segera dia menarik napas panjang. Rasa sesak di dadanya sedikit berkurang, tetapi tidak menyembuhkan. William memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar gedung ini hingga sebuah email pemberitahuan datang padanya.
Tampaknya William tidak butuh email pemberitahuan itu karena sekarang dia tengah melihat perempuan tadi. Perempuan yang dia beli dengan harga 100 miliar. William akhirnya memutuskan untuk mengikuti dua orang pria yang membawa perempuan itu hingga ke ruangan lainnya. Ruangan tempat menyimpan barang lelang. Kalung berlian kuning itu juga ada di sana, membuat bayangan sang mantan kekasih kembali datang.
“Saya ingin mengambil ba–perempuan itu.” William menunjuk si perempuan lalu menampilkan papan nomornya.
Dua pria tadi memanggil seseoran dari ruangan lain. Pria tua berambut putih tersenyum ramah begitu keluar dari sana. Dia menyodorkan secarik cek pada William yang langsung dia tulis dengan harga kesepakatan sebelumnya. Sang pria tua meminta dua pria sebelumnya untuk mengantarkan perempuan itu ke mobil William, tetapi William menolak.
Tangan kiri William terselip di pinggang perempuan itu ketika dia membawanya pergi dari gedung mewah itu. Menyusuri lorong sunyi yang hanya diisi oleh gema sepatu mereka berdua hingga tiba di parkiran yang penuh dengan lampu dan penjaga. Salah satu penjaga menghampiri William dan memberikan kunci mobil padanya yang diterima William tanpa mengucapkan satu kata pun. William membuka pintu mobil untuk perempuan itu. Sekilas mereka bertatapan dan William dapat melihat.
Tidak ada kehidupan di mata abu-abu milik perempuan itu.
Mobil William melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan yang tidak terlalu ramai kendaraan, mengingat waktu yang sebentar lagi tengah malam. Tidak ada percakapan apa pun selama perjalanan. Merasa sesak karena kesunyian yang menyelimuti, tangan William bergerak menuju head unit dan menyalakan musik. Setidaknya nyanyian seseorang yang William hanya tahu nama dan wajahnya cukup mengusir kesunyian. Sesekali William melirik pada perempuan di sebelahnya yang tengah menyandarkan kepala ke jendela. Matanya menatap kosong jalanan yang dilalui empat sampai lima mobil.Setir berbelok ke kiri, menjauh dari rumah besar milik William, menuju sebuah hotel yang tadi sempat William masukkan ke Maps. Tadinya William berencana untuk membawa perempuan itu ke rumahnya, tetapi dia berubah pikiran. Mengingat banyaknya kenangan bersama sang mantan kekasih di sana membuat William sering kali terbayang wajahnya. Dia tidak ingin membayangkan wajah itu, rambut pirang, atau mata biru milik seseorang yang pe
Sarah tetap dalam posisinya ketika air pancuran di kamar mandi mulai menyala. Sarah takut kalau dia bergerak sedikit saja akan membuat masalah menjadi makin runyam. Detik-detik yang terlewati rasanya menjadi sangat suram dan lama, seperti sudah puluhan tahun terlewati. Tiga menit kemudian suara pancuran air berhenti dan tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan William yang terbalut jubah mandi berwarna putih dengan garis-garis biru tua tipis di sepanjang lengan. Saat mata milik Sarah bertemu dengan William, Sarah dengan cepat menundukkan kepala.William berjalan ke lemari dan mengambil satu dari lima piama yang ada di dalam sana lalu kembali ke dalam kamar mandi. Begitu keluar, tubuh William sudah terbalut sempurna oleh piama yang di sakunya terdapat nama hotel. Sarah masih dalam posisinya semula, tetapi dari sudut matanya dia dapat melihat William yang melangkah menuju bar.“Pergilah mandi,” ucap William sembari menuangkan cairan bening dari botol transparan ke gelas kecil.Aw
Matahari belum menampakkan diri—hanya seberkas cahayanya yang mulai menyapa bumi— tetapi William sudah membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Sarah begitu dekat dengannya. Dua detik kemudian William merasakan tangannya kebas. Tangan yang ternyata menjadi alas tidur untuk kepala Sarah. William tidak ingat apa yang terjadi hingga Sarah berada di dalam pelukannya pagi ini. Dengan hati-hati William mengangkat kepala Sarah dan bangkit dari tempat tidur.Ponsel yang masih berada di saku jas menjadi benda pertama yang William ambil. Ada pesan dari sekretarisnya yang menginformasikan kalau hari ini William ada janji temu dengan klien. Dari ponsel, William beralih ke telepon hotel yang ada di atas coffee table untuk menyewa setelan jas. Tidak membutuhkan waktu lama hingga pramutamu membawakan barang yang diminta oleh William. Setelah mengecek setelan jas berwarna dongker tersebut, William beranjak menuju kamar mandi. Berdasarkan pesan yang dikirim oleh sekretarisnya, pukul semb
Mobil William terparkir di depan sebuah restoran Italia. Kaki William melangkah melewati deretan meja dan kursi yang sengaja ditaruh di luar untuk orang-orang yang ingin makan di luar ruangan. Saat William mendorong pintu kaca berkusen cokelat tua hampir hitam, bel berbunyi. Mata William bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang dikenalinya lalu berhenti begitu seorang perempuan yang rambutnya disanggul ke atas tengah melambai. Sekretarisnya. Segera William berjalan ke arah meja yang sudah terisi oleh tiga orang.William menyalami dua orang di sana dan meminta maaf atas keterlambatannya. Awalnya William ingin segera memulai diskusi mengenai kerja sama dirinya dengan sang klien, tetapi sekretarisnya memberi saran untuk memesan makanan pembuka lebih dahulu. Usulnya pun disetujui oleh dua orang lain yang ada di sana.William mengambil buku menu, memperhatikan makanan apa yang cocok untuk memulai harinya. Setelah satu menit menatap buku menu, William akhirnya memutuskan untuk memesan fo
Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.“Kamu gak punya kasur di rumah?”Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisah
Sarah mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Semalam William memberikan sampo dan sabun miliknya untuk Sarah pakai sementara karena belum sempat berbelanja. William juga meminjamkan piama miliknya yang kebesaran di tubuh Sarah. Tadi saat mandi, Sarah kembali teringat sang ayah. Beberapa pertanyaan hadir di benaknya saat mengingat sosok yang kerap kali menyakiti dirinya.Bagaimana kabar sang ayah? Apa dia bertanya-tanya ke mana perginya Sarah? Apa dia khawatir karena Sarah tidak pulang-pulang? Apa mungkin dia justru senang karena Sarah tidak ada?.Apa pun itu, Sarah tidak menemukan jawabannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak selamanya. Setelah rambutnya sudah lembap, tidak basah seperti sebelumnya, Sarah memutuskan untuk keluar, hanya berbalut handuk. Jantung Sarah rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat William berada di kamarnya, sedang duduk di atas ranjang, dan lagi-lagi, s
Jessica berjalan dengan gontai menuju lift. Matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Kegiatan pemotretannya baru saja selesai. Beberapa hari ini jadwal Jessica memang lebih padat dari sebelumnya. Butuh waktu dua menit untuk menunggu lift datang ke lantai basement. Tidak ada orang di lift dan Jessica bersyukur akan hal itu. Dia menekan tombol sebelas, tempat penthouse-nya berada.Jessica menyenderkan tubuhnya ke dinding lift dan memejamkan mata. Terbayang bathub air hangat yang penuh dengan busa yang akan menjadi tempat pelepasan rasa penat Jessica. Jessica berpikir apa yang akan dia lakukan nanti sebelum pergi tidur, mengingat besok jadwalnya kosong untuk satu hari.Lift berdenting membuat mata Jessica terbuka sempurna. Pintu lift terbuka, menampilkan jendela dengan pot kaktus sebagai pemanis. Jessica melangkah keluar, sudah tidak terlalu gontai dari sebelumnya. Kaki Jess
Mobil silver William terparkir rapi di sebelah mobil hitamnya. William tidak langsung mematikan mesin, dia duduk di kursi pengemudi dan menyenderkan tubuhnya ke senderan jok terlebih dahulu. Matanya terpejam dan napasnya berembus lelah. William memijat pangkal hidungnya, berharap pusingnya dapat sedikit hilang. Ada satu masalah rumit di kantor tadi yang menguras energi William.Pemilik butik yang juga adalah seorang manajer tempo hari tidak terima dengan keputusan sepihak William. Dia mendatangi kantor pria bersurai cokelat itu dan menolak ganti rugi, bahkan mengancam untuk membawa perkara ini ke jalur hukum. William tetap kekeh memutus kontrak dengan butik itu. Bukan hanya karena Sarah saja, tetapi William berpikir, kalau Sarah sudah menjadi korban, pasti lebih banyak korban lainnya. Pada akhirnya William yang memenangkan perdebatan itu dengan alasan yang sama yang dia berikan pada Sarah waktu perempuan itu bertanya, tetapi Wil
Cermin yang memantulkan dirinya sendiri itu membuat Sarah kagum. Sarah tidak pernah menyangka kalau dia akan mengenakan gaun putih yang bagian bawahnya mengembang. Gaun pengantinnya terbuka di bagian bahu dengan tangan yang berbentuk balon. Ada hiasan bunga-bunga kecil di bagian atas dan bawah gaunnya yang juga berwarna putih.Rambut Sarah disanggul dan dihias menggunakan tiara. Tudung transparan dijepit di sanggulnya dan jatuh ke bawah dengan lembut hingga mencapai paha. Sarah mendekatkan diri ke cermin untuk melihat riasannya. Tidak terlalu mencolok, tetapi juga bukan riasan yang sederhana. Bibirnya diberikan lipstik berwarna merah muda.Sarah menarik napas panjang untuk meredakan detak jantungnya yang menggila. Dua bulan lalu William mengumumkan perempuan pilihannya di konferensi pers dan meyakinkan Sarah begitu kembali dari kantor. Tiga hari setelahnya dihabiskan William untuk menanyakan pada Sarah seperti apa pernikahan impiannya. Awalnya Sarah ingin membiarka
Kantor William dipenuhi orang dari berbagai profesi. Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, William sudah menghubungi Isa dan meminta sekretarisnya itu untuk mengadakan konferensi pers. Permintaan mendadak dari William membuat seluruh kantor menjadi sibuk. Dari mencari tempat yang pas untuk melakukan konferensi pers, mengundang wartawan, menyiapkan teks yang nantinya akan digunakan oleh William. Semua hal itu dilakukan dengan terburu-buru.William sendiri langsung berangkat dari rumah setelah dia menelepon Isa, meninggalkan Sarah yang masih berada di alam mimpi. Meski begitu, William sudah menyiapkan makanan untuk Sarah dari pagi hingga malam kalau nanti dirinya akan pulang larut malam seperti sebelumnya. Radio di mobil William tidak berhenti menyiarkan berita mengenai dirinya hingga membuat William muak dan mematikan radio.William bersyukur orang-orang yang masih setia bekerja untuk dirinya tidak mengeluh dan justru menyiapkan semua yang William butuhkan denga
William memijat pangkal hidung sembari memejamkan mata. Kepalanya terasa pusing karena melihat layar komputer selama beberapa jam. Seharian ini dirinya sibuk melakukan berbagai rapat dengan perusahaan-perusahaan yang sudah lama bekerja sama dengannya. William mencoba mempertahankan perusahaan yang sudah mendukung perusahaan miliknya sejak masih di bawah kepemimpinan sang ayah. Perusahaan yang baru-baru ini bekerja sama dengannya kebanyakan memutuskan kontrak karena tidak ingin kena dampak dari masalah yang William alami.Tiga jam lalu Isa sudah pamit untuk pulang dan William mengiyakan. Dia tidak ingin memberikan beban pada siapa pun yang bekerja dengannya karena masalah yang William buat sendiri. Tangan William menggebrak meja saat mengingat kembali berita tersebut, terutama konferensi pers yang dilakukan oleh Jessica. Selanjutnya William terkekeh. William merasa dirinya begitu bodoh saat mengenang kembali apa yang dirinya dan Jessica lakukan. Padahal sejak awal Jessica re
Rasa puas menyelimuti hati Remi sejak pertama kali berita tentang William dan Jessica tersebar. Uang yang dirinya keluarkan seakan tidak berarti apa-apa saat melihat kesuksesan berita tersebut. Remi yakin sekali William akan sulit untuk mengelak berita tersebut, apalagi foto yang diambil dari orang suruhan yang terlihat amat jelas. Remi bahkan sampai berdecak kagum saat melihat hasil foto itu.Wajah William dan Jessica terlihat jelas. Interaksi mereka pun tidak akan membuat orang lain salah mengenali. Remi terkekeh mengingat saluran televisi yang semuanya menayangkan berita yang sama. Hati Remi makin diselimuti rasa senang karena belum adanya tanggapan dari William. Hanya undangan rapat yang dikirimkan Isa ke Thena. Remi menolak undangan tersebut. Bisa dibilang Remi adalah salah satu tokoh utama di berita panas tersebut, jadi wajar saja kalau dirinya menolak undangan rapat William. Akan aneh kalau dirinya justru menerima undangan tersebut.Dari pagi hingga sore tid
Sarah melangkahkan kaki turun dari tangga menuju dapur. Dia baru saja bangun dari tidur panjangnya. Sejak mengetahui kalau Sarah tengah mengandung, William tidak pernah membangunkan Sarah pagi-pagi untuk membuat sarapan. Kadang William sendiri yang memasak sarapan untuk Sarah, atau kalau tidak sempat, William akan memesan makanan untuk Sarah begitu Sarah mengirimkan pesan kalau dirinya sudah bangun.Kali ini tidak ada sarapan yang tersedia di tempat pemanas, tetapi Sarah yakin makanan akan datang beberapa menit lagi. Untuk mengisi perut kosongnya yang sedikit membuncit, Sarah mengambil buah dari dalam kulkas yang semalam dia kupas. Sarah duduk di kitchen island sembari bermain permainan yang baru diunduh di ponselnya. Mata Sarah melirik ke jam yang berada di layar atas ponselnya, sudah hampir tengah hari, tetapi tidak ada makanan apa pun yang datang. William bahkan tidak membalas pesan Sarah.Sarah memutuskan untuk memasak makanannya sendiri karena berpikir kalau W
William sudah mengirimkan pesan pada Isa setelah tiba di rumah kemarin kalau hari ini dia tidak akan datang ke kantor. Semua dokumen yang belum sempat dibawa William minta untuk dikirimkan ke rumahnya. Setelah mengetahui fakta kalau Sarah tengah mengandung dan melihat sendiri gejala tersebut pada Sarah, William memutuskan untuk tetap di rumah dan menemani Sarah.William tidak tahu sudah berapa menit berlalu sejak dirinya membuka mata. Yang jelas cukup lama hingga cahaya matahari sudah menembus tirai jendelanya. Selama itu yang dilakukan William hanyalah tidur menyamping dan memperhatikan wajah damai Sarah. Sesekali tangan William terulur untuk mengusap lembut pipi Sarah.Mata William yang sejak tadi menatap wajah Sarah beralih ke perut Sarah saat perempuan itu bergerak dalam tidurnya dan mendorong selimut. Kaus yang dikenakan Sarah sedikit terangkat, memperlihatkan perutnya yang masih rata. William lagi-lagi mengulurkan tangan, tetapi kali ini untuk mengusap perut
Di depan meja William kini terdapat sebuah piring yang berisi dua roti lapis dan secangkir kopi hitam. Isa baru saja membawakan makan siang William lima menit yang lalu, dan William sedang merapikan dokumen agar tidak ada kejadian tidak mengenakkan nantinya. William melihat ponselnya yang masih belum ada kabar dari Sarah. William mengasumsikan kalau Sarah masih tidur di rumah.Selesai membereskan semua dokumen dan mejanya lumayan luang sekarang. William mendaratkan bokongnya di kursi lalu menarik piring dan cangkirnya mendekat. Dia menatap roti isi, mencoba mencari tahu apa saja isi roti tersebut, lalu memakannya. Kepala William mengangguk saat dia merasakan berbagai macam rasa yang ada di roti isi tersebut. Bukan rasa yang mewah, tetapi lumayan memanjakan lidah William.Pikiran William melayang kepada Sarah. Wajah Sarah yang terlihat sangat pucat pagi tadi masih saja menghantui William. Apalagi Sarah yang sempat pergi dua kali ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya yang masih
Biasanya Sarah sudah bangun sebelum William membuka matanya. Namun, beberapa hari belakangan ini Sarah malas sekali untuk bangkit dari ranjang. Sarah tidak mengerti kenapa dirinya selalu merasa lemas dan pusing. Tubuhnya terasa amat berat untuk bangkit dari ranjang. Meskipun begitu, Sarah tetap berusaha memasak sarapan.Kali ini Sarah masih berpeluang di dalam selimut saat William beranjak menuju kamar mandi. Suara pancuran air terdengar tidak lama kemudian. Sarah mencoba untuk melawan rasa malamnya dan berusaha bangun dari ranjang. Cukup susah, tetapi Sarah berhasil. Dia mengambil jubah tidur lalu memakainya. Sarah pun berjalan turun ke dapur.Sarah mengambil empat butir telur, sosis, dan bacon. Sarapan yang sudah Sarah masak selama tiga hari berturut-turut karena Sarah tidak menemukan ide sarapan lain. Untungnya William tidak pernah bicara apa pun soal menu sarapan yang sama selama tiga hari ini. Sarah mulai memecahkan telur ke dalam mangkuk. Dia mengambil sejumlah garam untuk ditab
Berbagai macam produk kecantikan berjejer rapi di atas wastafel. Jessica mengambil salah satu botol berukuran kecil yang bentuknya seperti dot bayi lalu menuangkan isinya ke telapak tangan. Dia mengusapkan cairan bening itu ke seluruh wajahnya dengan merata dan secara perlahan. Rutinitas yang sering kali Jessica lakukan sehabis mandi dan sebelum tidur. Jessica selalu berusaha untuk menjaga wajahnya tetap bersih dan mulus agar tidak mengganggu pekerjaannya nanti.Rambut perempuan itu masih basah setelah selama beberapa menit diguyur di bawah pancuran air. Air bahkan masih mengucur dari rambut Jessica menuju jubah mandi yang dipakainya. Setelah selesai mengaplikasikan semua produk tersebut ke wajah, Jessica mengambil hair dryer. Dia mencolokkan kabel hair dryer ke stopkontak yang berada di ujung wastafel. Jessica mengatur hair dryer tersebut sebelum mulai mengeringkan rambutnya.Tangan Jessica memang sibuk memegang hair dryer, tetapi matanya mengarah ke ponselnya yan