Damian mengetuk-ngetuk pelan jemari tangannya di atas meja. Pria tampan itu berada di ruang meeting, dan duduk di kursi kepemimpinan—menatap direktur penjualan penjelasan beberapa hal mengenai penjualan di bulan ini. Ruang meeting itu dihadiri oleh jajaran direktur Darrel Group.Tak hanya jajaran direktur saja tapi Deston juga kebetulan hadir di meeting itu. Pun di samping Deston ada Fargo yang sengaja diajak oleh Deston untuk menghadiri meeting. Adapun tujuan Deston mengajak Fargo adalah karena Deston ingin Fargo memiliki lebih banyak wawasan luas dalam dunia bisnis.“Tuan Damian, apartemen yang kita bangun di Tokyo sudah berhasil terjual semua. Apa memungkinkan kita memilih salah satu lokasi strategis lagi untuk membangun apartemen baru?” Sang direktur penjualan bertanya dengan nada sopan.Damian mengambil laporan yang ada di hadapannya, membaca seksama laporan itu. Aura wajah dingin dan tegas begitu terlihat di wajah pria itu. “Hasil laporan penjualan kita bagus. Kalau begitu carik
Dering ponsel berbunyi membuat Fargo yang tertidur pulas langsung terbangun. Pria tampan itu mengerjap matanya beberapa kali, menoleh sebentar ke arah Kimberly yang masih tertidur pulas. Detik selanjutnya, dia mengambil ponselnya dan menyipitkan mata melihat ke layar—seketika matanya yang tadi menyipit langsung terbuka lebar kala melihat nama Gilda terpampang di layar ponsel.Fargo hendak ingin menolak panggilan Gilda, tapi jika dia menolak panggilan Gilda pasti akan ada masalah baru. Tak mau mengambil resiko, dia memilih untuk turun dari ranjang. Sebelum pergi meninggalkan kamar, Fargo melihat Kimberly kembali. Embusan napas Fargo terdengar lega. Beruntung, istrinya itu masih tertidur pulas. Fargo berjalan meninggalkan kamar, menuju kamar kosong yang tak jauh dari kamarnya dengan Kimberly. Lantas, dia langsung menjawab panggilan telepon Gilda.“Ada apa malam-lama kau menghubungiku, Gilda?” jawab Fargo kala panggilan terhubung.“Fargo aku sakit. Tubuhku demam tinggi,” jawab Gilda den
Kimberly memarkirkan mobilnya di gedung apartemen di mana penthouse Damian berada. Dia segera masuk ke dalam lobby apartemen—menuju lift. Tinggal di penthouse, membuat Kimberly harus menuju ke lantai paling atas gedung apartemen mewah yang ada di Los Angeles ini.Ting!Pintu lift terbuka. Kimberly keluar dari pintu lift dan segera menuju ke arah pintu masuk penthouse Damian. Namun, ketika Kimberly hendak membunyikan bell, tiba-tiba pintu sudah terbuka. Sontak, dia terkejut kala pintu sudah terbuka.“Damian?” Keterkejutan Kimberly tergantikan dengan senyuman hangat melihat Damian yang membuka pintu. Dia langsung melompat ke tubuh Damian, memeluk erat pria itu. Pun, Damian membalas pelukan erat Kimberly seraya mengangkat tubuh Kimberly. Detik selanjutnya, Damian membawa Kimberly masuk ke dalam—masih dalam posisi menggendong Kimberly.“Kau tahu aku sudah datang? Padahal tadi aku belum membunyikan bell.” Kimberly mengecupi bibir Damian lembut.“Aku melihat keberadaanmu dari GPS ponselmu,
“Damian, ini sudah malam. Aku harus pulang sekarang.” Kimberly berpamitan seraya membelai rahang Damian. Dia berada di ruang bersantai di penthouse Damian. Dia duduk di pangkuan Damian—yang sibuk menonton televisi.Seharian ini, Kimberly tak bekerja sama sekali. Dia malah hanya menikmati waktu bersama dengan Damian. Sama halnya dengan Damian yang juga tak bekerja. Quality time mereka sangat berharga. Namun, sayangnya Kimberly tak mungkin berlama-lama. Sebab, bagaimanapun status Kimberly masih menjadi istri pria lain.“Kau menginap saja di sini, Kim. Tidak usah pulang.” Damian membenamkan wajahnya di leher Kimberly. Dia enggan untuk membiarkan Kimberly pulang. Yang Damian inginkan adalah Kimberly selalu ada di sisinya. “Aku akan menginap di sini nanti, tidak sekarang.” Kimberly menangkup rahang Damian dan mengecupi bibir pria tampan itu. “Ya sudah, tapi biarkan mobilku mengikuti mobilmu dari belakang. Aku harus memastikan kau aman di rumahmu.” Damian membelai pipi Kimberly lembut.S
“Mom, ini sudah malam. Apa kau tidak mau menginap saja?” Kimberly membujuk ibu mertuanya untuk menginap di mansion-nya. Pasalnya ini sudah pukul sepuluh malam. Kimberly tak tega ibu mertuanya harus pulang. Walau ibu mertuanya itu datang bersama dengan sopir, dia takut terjadi sesuatu pada ibu mertuanya itu.“Lain kali Mommy akan menginap, Sayang. Sekarang Mommy harus pulang dulu. Daddy-mu masih kekanakkan kalau Mommy meninggalkannya pergi lama,” ujar Fidelya lembut dan hangat. Sudah sejak tadi Fidelya menunda kepulangan demi menunggu Fargo pulang. Namun, hingga detik ini, Fargo tak kunjung pulang. Itu yang sempat membuat Fidelya kesal. Beruntung Kimberly terus berusaha menenangkannya.Kimberly tersenyum merespon ucapan Fidelya. Selama ini memang orang tua Fargo ataupun kakek dan nenek Fargo terlihat sangat memiliki hubungan percintaan yang manis. Terbukti Deston dan Rula sangat romantis. Fidelya dan Olsen pun sangat romantis. Fargo lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis. Benar-
Kimberly duduk di kursi kerjanya dengan sorot pandang kosong dan pikiran menerawang. Hari ini dia datang lebih awal ke kantor. Pun tadi dia mendapatkan telepon dari Damian yang mengatakan padanya bahwa kekasihnya itu sibuk seharian. Dia mengerti, tak ingin mengganggu kesibukan sang kekasih. Paling tidak, dia merasa dihargai karena Damian sudah bilang padanya tentang pria itu akan sibuk.“Nyonya Kimberly,” sapa sang sekretaris seraya melangkah mendekat pada Kimberly.“Ada apa?” tanya Kimberly dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Maaf mengganggu Anda, Nyonya. Di depan ada Tuan Ernest ingin menemui Anda,” jawab sang sekretaris sopan.Kimberly terdiam mendengar ayahnya datang. Sungguh, dia tak mengerti kenapa masalah hadir di hidupnya secara bertubi-tubi. Hingga detik ini dia belum mau berbicara dengan ayahnya. Setiap kali dia ingin melaporkan pekerjaan, pasti dia selalu meminta asistennya untuk berbicara dengan ayahnya itu.“Bilang pada ayahku, aku sedang sibuk dan tidak bisa digan
Kimberly meletakan karangan bunga indah di makam yang tertuliskan batu nisan ‘Karyl Davies’. Nama mendiang ibunya yang selalu Kimberly rindukan. Tampak, Kimberly tersenyum hangat melihat makam ibunya itu. Setelah dia mengatahui semuanya tentang masa lalu kedua orang tuanya, dia langsung mengunjungi makam ibunya.“Mom, kau baik-baik saja, kan? Aku sangat merindukanmu, Mom.” Kimberly berucap pelan dengan air mata yang kembali menggenang. “Mom, aku sudah tahu semuanya. Daddy sudah cerita padaku, Mom.” Kimberly menyeka air matanya, berusaha untuk menghentikan tangisnya. Namun, sayangnya air mata Kimberly tak bisa berhenti. Hatinya sesak mengetahui semuanya.Kimberly tahu berada di posisi ibunya tidak mudah. Selama ini ibunya bertahan menutupi luka di depannya hanya demi dirinya tetap bahagia. “Sekarang kau sudah tenang. Aku yakin kau juga bahagia, Mom. Jangan pikirkan tentang aku. Aku akan hidup bahagia di sini. Aku janji akan selalu membuatmu bangga padaku, Mom.”Perlahan Kimberly bangki
Damian menatap khawatir sang dokter yang sedang memeriksa keadaan Kimberly. Terlihat jelas raut wajah Damian begitu cemas. Kimberly sama sekali tidak cerita padanya sedang sakit.Saat dokter sudah selesai memeriksa kondisi Kimberly, Damian segera melangkah cepat mendekat pada sang dokter. “Bagaimana keadaan Kimberly?” tanyanya cepat pada sang dokter.“Tuan Damian, Anda tidak usah khawatir. Nyonya Kimberly Davies hanya kelelahan. Tensi darah Nyonya Kimberly rendah. Itu yang membuat Nyonya Kimberly pingsan. Saya sudah memberikan Nyonya Kimberly obat. Tidak lama lagi pasti Nyonya Kimberly Davies akan segera siuman. Tapi saya sarankan Nyonya Kimberly lebih banyak istirahat. Jangan terlalu memikirkan masalah,” jawab sang dokter memberi tahu sekaligus menasihati.Damian bernapas lega mendengar Kimberly baik-baik saja. “Thanks, aku mengerti. Aku akan menjaganya dengan baik.”“Dengan senang hati, Tuan. Saya permisi.” Sang dokter pamit undur diri dari hadapan Damian. Damian menatap hangat Ki