Damian duduk di kursi kebesarannya seraya menatap Freddy di hadapannya dengan tatapan lekat, tegas, dan penuh tuntutan. Pria tampan itu berada di ruang kerjanya yang ada di penthouse-nya bersama dengan Freddy. Dia sengaja mengajak Freddy bicara di ruang kerjanya. Dia tidak mau sampai ada yang mendengar percakapannya dengan Freddy.“Katakan padaku, informasi apa yang kau dapatkan tentang Fargo dan Gilda?” tanya Damian dingin dan tersirat tak sabar ingin tahu segalanya.“Tuan Damian. Jujur, saya tidak mudah untuk mendapatkan informasi ini, karena ternyata Tuan Fargo benar-benar menutup rapat akses informasi tentang beliau dan Nona Gilda,” jawab Freddy dengan raut wajah begitu serius dan menatap lekat Damian.Damian mengangguk merespon ucapan Freddy. Hanya cukup Freddy mengatakan itu saja kecurigaan dalam dirinya semakin bertambah. Pasalnya tak mungkin Fargo begitu menutupi jika memang tak terjadi sesuatu.“Cepat katakan semua informasi yang kau dapatkan?” Damian semakin tak sabar.“Tuan
Kimberly duduk di balkon kamar, di kala dia tak lagi bisa tertidur akibat mimpi buruk tadi. Wanita cantik itu menatap keindahan langit. Bulan dan bintang menjadi penyejuk pemandangan matanya saat ini. Mimpi buruk sempat masih terbayang, tapi sebisa mungkin dirinya melupakan mimpi buruk itu. Pun dia beruntung Damian telah meyakinkan dirinya bahwa mimpi hanyalah bunga tidur—yang tak akan mungkin menjadi kenyataan.“Kim, ayo masuk. Di luar dingin.” Damian memakaikan jaket tebal ke tubuh sang kekasih. “Aku belum mau masuk, Damian. Duduklah di sampingku,” pinta Kimberly yang kini menatap sang kekasih.Damian menuruti keinginan Kimberly. Pria itu duduk di samping Kimberly—menarik tangan wanita itu, membawa tubuh Kimberly duduk di pangkuannya. Refleks, Kimberly langsung melingkarkan tangannya ke leher Damian.“Apa ada sesuatu yang kau pikirkan?” Damian membelai pipi Kimberly.Sudah sejak di mana Kimberly datang di kantornya, ada hal yang Damian curigai. Namun, Damian tak ingin memaksa, kar
*Tuan Damian, besok Tuan Fargo dan Nona Gilda akan pergi berlibur.* Pesan singkat dari Freddy membuat Damian terdiam sejenak. Sepasang iris mata cokelat gelap Damian menunjukkan jelas ribuan arti yang terpendam. Dia mengembuskan pelan napasnya. Ada sesuatu rasa bersalah dalam hatinya karena menyembunyikan tentang Fargo dan Gilda dari Kimberly.“Tuan Damian?” sang pelayan melangkah memasuki ruang kerja Damian—seraya membawakan nampan yang berisikan kopi hangat.“Ada apa?” Damian menatap dingin pelayan yang tiba di hadapannya.“Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya hanya ingin memberikan kopi hangat untuk Anda.” Pelayan itu segera meletakan cangkir yang berisikan kopi hangat ke atas meja.Damian mengangguk singkat. “Di mana Kimberly sekarang?”“Nyonya Kimberly masih di kamar Anda, Tuan,” jawab sang pelayan sopan.Damian mengambil cangkir yang berisikan kopi hangat itu, dan menyesapnya perlahan. “Kau boleh keluar sekarang.”“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Pelayan itu menundukkan kep
Raut wajah semua orang terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Freddy. Ruangan meeting yang tadinya membahas diskusi kini telah lenyap tergantikan ketegangan sekaligus keterkejutan. Tampak mata dan bibir Kimberly melebar. Kepanikan serta rasa cemas menguasai semua orang yang ada di sana.“Bagaimana mungkin, Freddy! Kau jangan main-main dengan ucapanmu!” seru Damian dengan nada cukup tinggi dan tegas. Sepasang iris mata cokelat Damian menatap dingin Freddy dengan tatapan penuh tuntutan penjelasan.“Freddy, jelaskan yang benar! Katakan apa yang kau bilang salah!” Olsen menatap lekat Freddy. Nadanya lantang, keras, dan tegas.“Freddy, cepat jelaskan!” sambung Deston menuntut.Kimberly tak mampu merangkai kata akibat keterkejutannya. Wanita itu mengingat terakhir Fargo berpamitan dengannya untuk pergi melakukan perjalanan binis. Rasanya tak mungkin. Dia yakin Fargo baik-baik saja. Tak memungkiri jantung Kimberly berpacu lebih cepat. Bagaimanapun Fargo adalah suaminya.“Tuan, apa yang s
Tubuh Kimberly mematung mendengar apa yang dikatakan oleh sang dokter. Detik itu juga napas Kimberly seolah ingin berhenti. Matanya melebar bersamaan dengan mulut yang menganga terkejut. Kepingan-kepingan puzzle mulai menyatu dalam otaknya, hingga membuat lidah Kimberly terasa begitu kelu.Tak hanya Kimberly yang terkejut, tapi Deston, Olsen serta yang tak kalah paling terkejut adalah Maisie dan Ernest. Bahkan tubuh Maisie hampir tumbang mendengar Gilda hamil. Beruntung, Ernest sejak tadi memeluk erat tubuh Maisie. Andai saja Ernest tak memeluk erat tubuh Maisie sudah pasti Maisie tersungkur.Semua orang terkejut akan apa yang dikatakan oleh sang dokter, lain halnya dengan Damian yang hanya diam dan sama sekali tak terkejut. Hanya saja Damian berusaha untuk menutupi raut wajahnya. Aura wajah dingin Damian begitu terlihat jelas. Pria tampan itu tak menyangka Gilda sampai hamil. Jika sudah seperti ini, maka semua akan segera terungkap.“Putraku tetap bisa sembuh, kan?” Olsen memilih fok
Tamparan keras Kimberly terlayang di pipi kanan Maisie dengan begitu keras hingga membuat Maisie nyaris tersungkur—dengan sigap Ernest menangkap tubuh Maisie yang hampir tersungkur ke lantai itu. Pria paruh baya yang masih tampan itu membantu Maisie untuk membenarkan posisi berdiri. Bekas tamparan Kimberly begitu terlihat di pipi kanan Maisie. Detik itu juga raut wajah Ernest berubah melihat bekas tamparan di wajah Maisie. Mata Ernest menatap tajam penuh kemarahan pada putrinya itu.“Apa kau sudah gila, Kimberly?! Kenapa kau menampar ibumu sendiri?!!” bentak Ernest begitu keras dan menggelegar pada Kimberly.“Dia bukan ibuku! Dia hanya pelacur sama seperti anaknya! Kau menikahi wanita pelacur!” seru Kimberly memaki dengan nada tinggi dan keras.“Kimberly! Jaga bicaramu!” bentak Ernest lagi dengan tatapan penuh peringatan.“Kau memintaku menjaga ucapanku? Lebih baik kau minta istrimu tercinta itu untuk menjaga anak perempuannya tidak menjadi wanita murahan! Ah, aku biasanya ibu dan ana
Sebuah hotel mewah dengan nuansa warna cokelat dipadukan emas sangat memberikan kenyamanan di mata. Aroma lavender membuat ketenangan sekaligus rasa hangat dan melupakan sejenak beban dipikiran. Kamar hotel yang megah itu tampak damai dan sunyi.Tak ada suara-suara atau orang yang mengganggu ketenangan pikiran Kimberly. Saat ini, dia merasa lebih baik, karena dia jauh dari keluarganya dan menghindari masalah. Walau masalah tidak akan mudah hilang begitu saja tapi paling tidak, dia merasa sedikit terbebas sejenak.Kimberly berada di sebuah hotel bersama dengan Damian. Hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah sakit di mana Fargo dan Gilda dirawat. Alasan Damian membawa Kimberly ke hotel, karena Damian ingin menjauhkan sang kekasih sebentar dari masalah.“Kim.” Damian melangkah masuk ke dalam kamar hotel, mendekat pada Kimberly.Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak senyuman samar di wajahnya terlukis melihat Damian datang mendekat padanya—seraya membawak
Ernest duduk di kursi tepat di depan ICU bersama dengan Maisie yang selalu ada di sisinya. Fargo telah dipindahkan ke ruang ICU. Sementara Gilda sudah berada di ruang perawatan biasa. Kondisi Fargo yang mengalami luka di kepala lebih parah, membuat Fargo harus masuk ke ruang ICU. Lain halnya dengan Gilda yang tak mengalami luka separah Fargo. Hal itu kenapa Gilda berada di ruang rawat biasa.Di sana, tak hanya ada Ernest dan Maisie saja, tapi juga ada Deston dan Olsen. Mereka bergantian melihat keadaan Fargo. Hingga detik ini, Ernest belum lagi melihat keadaan Gilda. Ernest baru hanya melihat keadaan Fargo. Semua hal sangat mengejutkan bagi semua orang. Tampaknya Ernest belum bisa untuk bertemu dengan Gilda. Tadi, Ernest melihat Gilda hanya karena ketika petugas medis memindahkan Gilda ke ruang rawat VVIP.Maisie masih tetap di sisi Ernest. Namun, sebelumnya Maisie tentu sudah mendatangi ruang rawat VVIP putrinya, meski tak lama. Rasa bersalah dalam hati Maisie membuatnya ingin terus
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s