Tamparan keras Kimberly terlayang di pipi kanan Maisie dengan begitu keras hingga membuat Maisie nyaris tersungkur—dengan sigap Ernest menangkap tubuh Maisie yang hampir tersungkur ke lantai itu. Pria paruh baya yang masih tampan itu membantu Maisie untuk membenarkan posisi berdiri. Bekas tamparan Kimberly begitu terlihat di pipi kanan Maisie. Detik itu juga raut wajah Ernest berubah melihat bekas tamparan di wajah Maisie. Mata Ernest menatap tajam penuh kemarahan pada putrinya itu.“Apa kau sudah gila, Kimberly?! Kenapa kau menampar ibumu sendiri?!!” bentak Ernest begitu keras dan menggelegar pada Kimberly.“Dia bukan ibuku! Dia hanya pelacur sama seperti anaknya! Kau menikahi wanita pelacur!” seru Kimberly memaki dengan nada tinggi dan keras.“Kimberly! Jaga bicaramu!” bentak Ernest lagi dengan tatapan penuh peringatan.“Kau memintaku menjaga ucapanku? Lebih baik kau minta istrimu tercinta itu untuk menjaga anak perempuannya tidak menjadi wanita murahan! Ah, aku biasanya ibu dan ana
Sebuah hotel mewah dengan nuansa warna cokelat dipadukan emas sangat memberikan kenyamanan di mata. Aroma lavender membuat ketenangan sekaligus rasa hangat dan melupakan sejenak beban dipikiran. Kamar hotel yang megah itu tampak damai dan sunyi.Tak ada suara-suara atau orang yang mengganggu ketenangan pikiran Kimberly. Saat ini, dia merasa lebih baik, karena dia jauh dari keluarganya dan menghindari masalah. Walau masalah tidak akan mudah hilang begitu saja tapi paling tidak, dia merasa sedikit terbebas sejenak.Kimberly berada di sebuah hotel bersama dengan Damian. Hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah sakit di mana Fargo dan Gilda dirawat. Alasan Damian membawa Kimberly ke hotel, karena Damian ingin menjauhkan sang kekasih sebentar dari masalah.“Kim.” Damian melangkah masuk ke dalam kamar hotel, mendekat pada Kimberly.Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak senyuman samar di wajahnya terlukis melihat Damian datang mendekat padanya—seraya membawak
Ernest duduk di kursi tepat di depan ICU bersama dengan Maisie yang selalu ada di sisinya. Fargo telah dipindahkan ke ruang ICU. Sementara Gilda sudah berada di ruang perawatan biasa. Kondisi Fargo yang mengalami luka di kepala lebih parah, membuat Fargo harus masuk ke ruang ICU. Lain halnya dengan Gilda yang tak mengalami luka separah Fargo. Hal itu kenapa Gilda berada di ruang rawat biasa.Di sana, tak hanya ada Ernest dan Maisie saja, tapi juga ada Deston dan Olsen. Mereka bergantian melihat keadaan Fargo. Hingga detik ini, Ernest belum lagi melihat keadaan Gilda. Ernest baru hanya melihat keadaan Fargo. Semua hal sangat mengejutkan bagi semua orang. Tampaknya Ernest belum bisa untuk bertemu dengan Gilda. Tadi, Ernest melihat Gilda hanya karena ketika petugas medis memindahkan Gilda ke ruang rawat VVIP.Maisie masih tetap di sisi Ernest. Namun, sebelumnya Maisie tentu sudah mendatangi ruang rawat VVIP putrinya, meski tak lama. Rasa bersalah dalam hati Maisie membuatnya ingin terus
Suara tangis histeris memenuhi ruangan koridor rumah sakit. Fidelya menangis dalam pelukan Olsen. Begitu pun dengan Rula menangis dalam pelukan Deston. Pun di sana ada Maisie dan Ernest yang juga panik karena dokter tak kunjung keluar dari ruang ICU di mana Fargo beradaFidelya dan Rula baru saja tahu akan kecelakaan yang menimpa Fargo dan Gilda. Saat mereka tiba, mereka sudah dikejutkan akan kondisi Fargo yang kritis. Namun, hingga detik ini Olsen dan Deston belum memberi tahu pada Fidelya dan Rula mengenai perselingkuhan Fargo dan Gilda.“Sayang, kenapa dokter lama sekali memeriksa putra kita?” isak Fidelya dalam pelukan Olsen.“Putra kita akan baik-baik saja. Dia bukan pria yang lemah. Tenanglah.” Olsen mengusap punggung Fidelya lembut, menenangkan sang istri agar tak lagi takut.Suara langkah kaki terburu-buru masuk ke dalam koridor rumah sakit. Semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.“Kimberly.” Fidelya memeluk erat Kimberly yang datang be
Pagi menyapa, Kimberly dan Damian duduk di sofa kamar hotel seraya menikmati sarapan pagi mereka. Tak banyak percakapan yang terjalin. Kimberly seperti enggan untuk berbicara. Bahkan sarapan pun kalau tak dipaksa oleh Damian, maka Kimberly tidak akan mau untuk sarapan.“Kim, kita ke rumah sakit nanti siang saja. Kau istirahatlah sebentar,” ucap Damian seraya membelai pipi Kimberly.Kimberly menganggukkan kepalanya. “Iya, Damian. Tapi, tadi apa kau medapatkan kabar tentang Fargo?”“Belum, aku belum mendapatkan kabar apa pun tentang Fargo.” Damian mengecup bibir Kimberly lembut. “Ya sudah, aku harus turun ke bawah sebentar. Asistenku menunggu di bawah. Ada pekerjaan yang ingin aku bahas dengannya.”“Apa kau akan lama?” tanya Kimberly ingin tahu.“Tidak, aku tidak akan lama.” Damian mengecup bibir Kimberly lagi.“Aku akan menunggumu di sini,” balas Kimberly hangat.Damian tersenyum seraya mengusap puncak kepala Kimberly. Lantas, pria tampan itu melangkah keluar meninggalkan Kimberly. Tep
Ernest menatap dingin Gilda yang tengah diperiksa oleh dokter. Sorot matanya begitu melihat anak tirinya itu. Aura wajah kemarahan dan luapan emosi begitu terlihat. Rahang Ernest mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Maisie yang ada di samping Ernest terus memasang wajah penuh rasa bersalah. Harusnya Maisie bahagia putrinya sudah siuman, tetapi Maisie dilingkupi penyesalan mendalam.Beberapa menit lalu, Ernest dan Maisie diberi tahu kalau Gilda telah siuman. Mereka langsung menuju ruang rawat Gilda. Namun, Ernest ataupun Maisie belum ada yang berbicara dengan Gilda. Pasalnya mereka datang ke ruang rawat Gilda—di kala Gilda sedang diperiksa oleh sang dokter.“Bagaimana keadaan putriku, Dok?” tanya Maisie cemas seraya menatap sang dokter yang baru saja memeriksa keadaan Gilda.“Nyonya, kondisi Nona Gilda sudah cukup baik. Hanya saja saya meminta Nona Gilda untuk tetap beristirahat total,” ujar sang dokter memberi tahu.Maisie mengangguk paham. “Aku mengerti. Terima kasih, Dok.”“Sam
Damian menatap sang dokter yang sedang menyuntikan obat penenang ke tubuh Kimberly. Pria tampan itu sengaja meminta dokter menyuntikan obat penenang ke tubuh Kimberly—pasalnya dia ingin sang kekasih tidur lebih pulas. Begitu banyak yang menghantam sang kekasih, pastinya Kimberly membutuhkan obat penenang.Damian bersama dengan Kimberly sudah tiba di kamar hotel mereka. Demi agar Kimberly mendapatkan ketenangan, pria tampan itu sampai menonaktifkan ponsel milik sang kekasih. Tak ada pilihan lain, dia ingin Kimberly benar-benar menenangkan diri.“Bagaimana keadaan Kimberly?” tanya Damian dingin seraya menatap sang dokter. “Tuan Damian, saya sudah menyuntikan obat penenang pada Nyonya Kimberly. Beliau akan terlelap untuk beberapa jam ke depan. Saya lihat Nyonya Kimberly seprti sedang menghadapi masalah berat. Mungkin saya sarankan, biarkan satu atau dua hari ini, Nyonya Kimberly lebih banyak istirahat untuk menenangkan pikirannya,” jawab sang dokter sopan memberi saran.Damian mengangg
Kimberly mendesah menahan kesal kala Damian tak kunjung datang. Padahal tadi kekasihnya itu mengatakan tak akan lama menemui Freddy, tapi kenapa malah pria itu belum juga datang? Bukan tak mau sabar, tapi dalam kondisi seperti ini, Kimberly ingin selalu ada di dekat Damian.Pintu terbuka. Refleks, Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Tampak raut wajah kesal di wajahnya lenyap tergantikan dengan senyuman hangat kala melihat Damian datang, dan mendekat ke arahnya.“Maaf membuatmu menunggu lama.” Damian mengecup kening Kimberly, lalu duduk tepat di samping Kimberly.“Apa banyak sekali pekerjaanmu, Damian?” tanya Kimberly seraya menatap Damian hangat.“Iya, banyak yang aku bahas dengan Freddy, Kim.” Damian membelai pipi Kimberly.“Apa ada masalah di perusahaanmu, Damian?” Kimberly kembali bertanya.“Tidak, tidak ada masalah apa pun. Tadi aku dan Freddy membahas pekerjaan yang tertunda saja.” Damian terpaksa mengatakan ini, pasalnya Damian tak mungkin mengatakan pada Kimber