“Turunlah. Ini sudah malam. Kau harus istirahat, Kim.” Damian mengecup bibir Kimberly singkat di kala mobil yang dia kemudikan memasuki halaman parkir mansion Kimberly. Namun, sayangnya, wanita cantik itu seperti enggan untuk turun dari mobil. Terbukti, tangan Kimbery masih memeluk lengan Damian begitu possessive.“Tunggu sebentar lagi, Damian.” Kimberly mendongakkan kepalanya, mengecup rahang Damian. Benaknya mengingat Fargo pulang malam. Jadi dia bisa aman bermesraan sebentar dengan Damian.Damian menarik tangan Kimberly, membawa masuk tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Kimberly semakin membalas pelukan Damian. Mereka berpelukan begitu hangat seolah tak ingin terpisahkan.“Hm, Damian,” panggil Kimberly pelan dari dalam pelukan Damian.“Ada apa?” Damian membelai pipi Kimberly.“Nanti di pesta anniversary ayahmu dan ibu tirimu, kau pasti akan menjemput Jennisa, kan?” tanya Kimberly memastikan. Nada bicaranya tersirat jelas kecemburuannya.Damian tersenyum mendengar pertanyaan Kimbe
Gaun berwarna maroon kombinasi silver dengan model royal gown membuat Kimberly nyaris tak mampu mengeluarkan suara. Gaun yang dipilih Damian sangatl indah. Dia tak menyangka kalau Damian memiliki selera yang sangat indah. Sungguh, gaun yang ada di hadapan Kimberly ini begitu sempurna. Model kemben gaun ini persis seperti gaun-gaun seorang putri raja. Well, jika nanti di pesta, dia menggunakan mahkota pasti akan membuat dirinya menjelma layaknya seorang putri kerajaan.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Kimberly mengambil ponselnya yang ada di atas meja—dan langsung melihat layar ponselnya itu—ternyata nomor Carol yang terpampang di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, Kimberly menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Halo, Carol,” jawab Kimberly kala panggilan terhubung.“Kim, apa aku mengganggumu?” tanya Carol dari seberang sana. “No, kau tidak menggangguku. Ada apa, Carol?”“Kim, weekend ini aku ingin mengajakmu pergi. Apa kau
Weekend yang harusnya diwarnai dengan keceriaan, sayangnya tak sesuai dengan rencana yang ada. Hari ini adalah hari di mana Deston merayakan anniversary, tetapi sejak kemarin wajah Kimberly tak memancarkan kebahagiaan. Benaknya terus terbayang-bayangi nota pembelian kalung berlian yang dia termukan di jas milik Fargo.Kimberly belum sama sekali bertanya pada Fargo. Dia sengaja diam, karena pikirannya masih kacau. Dia tak ingin terpancing menjadi amarah dan berakhir pada perdebatan yang jelas. Diam adalah pilihan Kimberly untuk sementara ini.Kimberly menatap jam dinding waktu menunjukkan pukul empat sore. Pesta akan diadakan pada pukul tujuh malam. Dia harus segera bersiap-siap dari sekarang. Dia tak ingin datang terlambat di pesta itu. Dia segera menuju kamar mandi—memutuskan untuk berendam sebentar, demi menenangkan segala pikiran yang mengganggunya.Tiga puluh menit kemudian, saat Kimberly sudah selesai mandi—wanita itu segera berias, memoles wajahnya dengan make up bold menyesuaik
“Damian! Lepaskan aku!” seru Kimberly dengan nada pelan, tapi tersirat penuh peringatan. Ya, pria yang menangkap tubuh Kimberly adalah Damian. Itu yang membuat Kimberly sampai melampui batas—tak menyadari dirinya begitu lama berada di pelukan seorang pria. Namun untungnya sekarang Kimberly sudah sadar, dirinya begitu dekat dengan Damian.Damian tersenyum samar melihat Kimberly marah. Dia ingin sekali mencium bibir Kimberly, tetapi tak mungkin melakukan itu. Pria tampan itu tentu menyadari dirinya dan Kimberly masih berada di tengah-tengah pesta. Perlahan, dia melepaskan tangannya yang ada di pinggang Kimberly—membantu wanita itu untuk berdiri menjaga kesimbangan agar tak terjatuh.Saat tangan Damian sudah tak lagi melingkar di pinggang Kimberly, dengan cepat Kimberly melangkah mundur. Dia memasang raut wajah tenang dan anggun agar yang lain tak curiga. Detik selanjutnya, dia mengalihkan pandangannya—menatap sosok wanita yang Kimberly tadi tabrak. “Nona, maaf aku tidak sengaja,” ucapny
Sepasang iris mata cokelat gelap Damian terhunus dingin dan tajam. Rahang Damian mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Aura kemarahan dan letupan emosi membakar dirinya. Kata-kata Kimberly bagaikan sumbu panas, yang begitu menyulutnya.“Kimberly! Jangan main-main dengan ucapanmu!” bentak Damian keras dan menggelegar memenuhi ruangan itu.“Aku tidak main-main, Damian! Aku lelah dengan semuanya! Pada akhirnya kau hanya akan menjadikanku simpananmu, kan?” seru Kimberly dengan tatapan menahan mata yang nyaris berembun. Sudah sejak tadi hatinya begitu sesak. Namun, mati-matian dia berjuang menahan air mata agar tak menetes jatuh. Dia benci lemah karena cinta.Damian menggeram menahan amarahnya dan emosi dalam dirinya. “Aku tidak pernah bilang akan menjadikanmu simpananku, Kimberly! Kenapa kau selalu bicara sembarangan!”Kimberly menggelengkan kepalanya lemah. Tatapannya menatap Damian penuh kekecewaan yang begitu dalam. Perlahan dia melangkah mundur, menjauh dari Damian sambil berkata
“Fargo, di mana Kimberly?” Fidelya melangkah menghampiri Fargo—yang sedang mengobrol dengan para tamu undangan. Tampak wanita paruh baya itu mengendarkan pandangan ke sekitar mencari keberadaan Kimberly. Namun, Fidelya tak menemukan sama sekali keberadaan menantunya itu.“Hm? Sorry, Mom. Tadi kau tanya apa?” Fargo mengalihkan pandangannya pada ibunya. Pria tampan itu bertanya apa yang ibunya tanyakan padanya. Suara musik yang sedikit berisik membuat Fargo sedikit tak mendengar jelas pertanyaan sang ibu.Fidelya mendesah pelan kala Fargo tak mendengar dengan baik pertanyaannya. “Di mana Kimberly? Kenapa kau sibuk mengobrol sendiri, tapi Kimberly tidak ada di sampingmu, Fargo? Bukankah tadi Grandpa-mu dan Daddy-mu sudah berpesan untuk memperkenalkan Kimberly pada rekan bisnis kita?” tegurnya sambil menatap jengkel putra tunggalnya itu.“Mom, aku sudah memperkenalkan Kimberly pada rekan bisnis kita,” jawab Fargo dengan embusan napas panjang. Belum juga dia menjelaskan, tapi ibunya sudah
Pesta anniversary Deston dan Rula telah berakhir. Para tamu undangan sudah mulai meninggalkan mansion mewah kediaman keluarga Darrel. Namun, tentu masih ada beberapa para tamu undangan yang mengobrol dengan Deston, Olsen, serta Ernest. Di pesta Ernest datang bersama dengan Maisie dan Gilda. Hanya saja Ernest dan Kimberly tak saling bertegur sapa. Lebih tepatnya, Kimberly selalu menghindar jika ada ayahnya. Meski demikian, Kimberly tidak menunjukkan membenci ayahnya. Kimberly tetap bersikap tenang, dan menunjukkan senyuman ramah pada semua orang.“Ernest, selamat untuk kehamilan istrimu. Aku turut bahagia,” ucap Olsen ramah pada ayah Kimberly. “Aku juga turut bahagia Ernest. Semoga istri dan anakmu selalu sehat,” sambung Deston hangat dan aura wajah yang penuh wibawa.“Terima kasih.” Ernest tersenyum pada Olsen dan Deston. “Baiklah, aku, Maisie, dan Gilda harus pulang dulu.”“Hati-hati, Ernest,” jawab Olsen dan Deston bersamaan.Ernest menganggukkan kepalanya. Pun Maisie dan Gilda te
Mobil Damian sudah tiba di lobby apartemen Jennisa, tapi alih-alih langsung turun malah Jennisa tak ingin keluar dari mobil Damian. Wanita cantik itu seakan enggan untuk turun dari mobil.“Jennisa ini sudah malam. Turunlah. Aku ingin istirahat,” ucap Damian dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Damian, ada hal yang ingin aku katakan padamu,” jawab Jennisa dengan sorot mata penuh makna dalam pada Damian.“Kau ingin bicara apa?”“Tentang ucapanku dulu padamu. Kau masih mengingatnya, kan?”Kening Damian mengerut dalam. “Ucapanmu dulu? Ucapan yang mana?”Jennisa menggigit bibir bawahnya, terlihat sangat ragu, tapi dia tak lagi bisa membohongi perasaannya. “Damian, kau dan aku sudah saling mengenal lama. Apa kau tidak pernah memiliki keinginan untuk memiliki hubungan special denganku?”“Jadi ini yang ingin kau bicarakan padaku, Jennisa?” Damian tampak tak suka mendengar pertanyaan Jennisa.Jennisa menganggukan kepala yakin. “Kau tahu sejak dulu aku sangat menyukaimu, Damian. Apa tidak
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s