Kimberly baru saja selesai melakukan panggilan telepon dari Carol. Dia mendapatkan informasi bahwa ayahnya mencarinya. Tak ada respon banyak dari Kimberly, dia hanya menanggapi ucapan Carol tentang dirinya yang masih sibuk dan ingin menyendiri. Meskipun Carol adalah sahabat baiknya, tapi dia tak cerita pada Carol mengenai ayahnya.Kimberly duduk di sofa seraya meminum orange juice, tapi tiba-tiba terdengar dering ponsel Damian. Kekasihnya itu sedang keluar kamar, merokok di luar, dan tak membawa ponsel. Detik itu juga Kimberly mengambil ponsel Damian—dan menatap ke layar ponsel sang kekasih ternyata nomor asing dengan kode negara Yunani muncul di layar.“Nomor ini bukannya yang dulu pernah aku jawab?” Kimberly menatap lekat nomor asing di hadapannya. Nomor itu tak disimpan di kontak ponsel Damian. Dia mengingat dulu dirinya pernah menjawab telepon Damian, tapi kala itu sang kekasih marah padanya.Tanpa lagi banyak berpikir, Kimberly menggeser tombol hijau yang ada layar ponsel Damian,
Damian meremas kuat ponsel milik Freddy yang ada di tangannya. Aura wajah kemarahan begitu terlihat jelas di sepasang iris mata cokelat gelapnya. Rahang mengetat. Tangan terkepal kuat. Amarahnya begitu membakar dirinya nyaris meledakan amarah. Pancaran mata Damian layaknya laser yang siap membunuh. Umpatan dan makian terus lolos di dalam hatinya melihat berita skandalnya dengan Kimberly. Tak hanya berita saja yang membuat amarahnya tersulut, tetapi foto-foto mesra dirinya Kimberly telah tersebar luas di sosial media.“Shit!” Benak Damian bekerja memutar, memikirkan dalang yang menyebarkan foto-foto mesranya dengan Kimberly. Foto yang dicetak dari hasil tangkap layar rekaman CCTV. Tentu dia ingat latar tempat lokasi foto itu berada di Chicago. Ingatannya cepat tergali akan dirinya dan Kimberly yang menikmati waktu bersama di Chicago. “Cari tahu siapa yang menyebarkan foto ini.” Damian berucap dingin, dan tajam kala memberikan ponsel yang ada di tangannya pada Freddy.“Baik, Tuan. Say
Jennisa membeku diam di tempatnya melihat berita yang telah tersebar di media. Tatapannya menatap begitu tak percaya. Tenggorokannya seperti menelan batu keras hingga tak mampu meloloskan sebuah kata. Perkataan sang pembawa berita dan bukti-bukti yang beredar di seluruh media membuat napas Jennisa nyaris berhenti.“Jadi ini yang kau maksud Kimberly Davies, Jennisa?” Keiza bertanya memastikan pada Jennisa. Wanita itu memperlihatkan cuplikan video berita ke hadapan Jennisa. Dia mengajak bertemu Jennisa tepat di kala berita tentang skandal Kimberly dan Damian muncul di media. Tak main-main dia meminta segera bertemu dengan Jennisa, demi mendapatkan sebuah kepastian jawaban.Jennisa menganggukkan kepalanya. “Itu Kimberly Davies, istri sah Fargo Jerald. Belakangan ini memang Kimberly dan Damian sangat dekat, tapi aku tidak pernah mengira Kimberly dan Damian menjalin hubungan.” Raut wajahnya begitu kecewa. Berarti Kimberly adalah alasan kenapa Damian menolak cintanya. Tak pernah terbesit se
Fargo membanting kasar pintu mobilnya, lalu melangkah masuk ke dalam lobby apartemen dengan raut wajah dipenuhi amarah yang nyaris meledak. Kilat mata tajamnya seolah menyapu banyak orang di lobby apartemen mewah itu. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal kuat. Sorot mata tajam begitu terhunus menunjukkan amarah yang berkobar.Hingga ketika Fargo sudah tiba di unit yang dituju, dia segera memasukan password apartemen, dan langsung masuk ke dalam apartemen itu. Aura wajah kemarahan tak bisa lagi tertutupi. Terlebih Fargo mengingat dengan jelas berita skandal Damian dan Kimberly. Yang membuat amarah Fargo semakin terpancing bukan hanya rentang berita itu saja, tapi foto-foto yang bersebar di media adalah foto hasil penyelidikan asistennya.“Gilda! Gilda!” teriak Fargo begitu keras dan menggelegar kala memasuki apartemen Gilda. Ya, sekarang Fargo mendatangi apartemen Gilda. Satu nama pencuri yang Fargo yakini adalah Gilda. Pasalnya yang terakhir masuk ke dalam ruang kerjanya adalah Gild
Raut wajah dingin dan penuh geraman kemarahan menyelimuti Damian, kala pria tampan itu mendengar langsung dari sang asisten siapa pelaku yang telah menyebarkan foto-fotonya dan Kimberly. Kilat mata cokelat gelapnya begitu tajam, memendung emosi yang nyaris meledakan seluruh isi ruangan. Yang paling Damian benci adalah orang berani bermain-main dengannya.“Siapa yang membantu Gilda dalam menyebarkan berita ini?” tanya Damian dengan nada geraman emosi kemarahan tertahan.“Taya, manager beliau yang membantu menyebarkan berita ini. Awalnya saya sempat berpikir Tuan Fargo yang menyebarkan berita ini, tapi setelah saya selidiki ternyata bukan Tuan Fargo yang menyebarkan berita ini,” jawab Freddy memberi tahu dengan sopan.Damian mengambil whisky di hadapannya, menyesap minumannya itu perlahan. Sorot pandangnya menatap lurus ke depan, tangannya mencengkram kuat gelas sloki di tangannya. “Perusahaan mana saja yang memakai Gilda sebagai model?”“Sebenarnya belakangan ini Nona Gilda Olaf sedang
Alunan musik biola menyelimuti kemegahan restoran Perancis yang ada di pusat kota Los Angeles. Aroma lavender sebagai pengharum ruangan begitu menyejukan. Tak banyak pengunjung yang datang ke restoran ini. Hanya beberapa meja terisi. Suara percakapan pun nyaris tak terdengar.Tampak dua wanita cantik duduk dengan anggun di kursi dekat jendela. Mereka bisa melihat keindahan kota Los Angeles dari jendela besar, tinggi, dan megah itu. Mereka berdua belum ada percakapan apa pun. Hanya saja tatapan mata mereka saling terlempar dingin satu sama lain. Tatapan yang mengisyaratkan tak ada keramahan di sana.“Kenapa kau mengajakku bertemu, Keiza? Hal penting apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya Kimberly dingin, dan datar serta sorot mata tegas.“Aku tidak menyangka kau istri dari Fargo Jerald, keponakan tiri Damian.” Keiza menjeda sebentar, lalu mengambil wine yang ada di hadapannya, dan menyesap wine perlahaan. Nada bicara Keiza anggun, dan tersirat penuh sindiran.Kimberly mengambil teh
“Berengsek! Apa-apaan ini, Taya! Kenapa banyak perusahaan yang membatalkan kontrak sepihak, hah?!” Suara Gilda berseru dengan nada keras, dan menggelegar memenuhi apartemen megahnya. Kemarahan begitu membakar Gilda kala mendapati laporan hampir semua perusahaan yang bekerja sama dengannya, membatalkan kontrak begitu saja. Sialnya tidak ada punishment bagi pihak perusahaan, jika ingin membatalkan kontrak. Itu yang benar-benar membuat Gilda murka. Semua merugikan dirinya.Taya menghela napas dalam. “Yang melakukan ini Damian Darrel. Dia yang meminta semua perusahaan yang bekerja sama denganmu harus membatalkan kontrak. Jika tidak, Damian Darrel tidak akan pernah mau bekerja sama dengan perusahaan yang mengontrakmu. Aku benar-benar tidak menyangka Damian Darrel akan melakukan hal seperti ini.”“Sialan!” Gilda membanting semua dokumen yang ada di tangannya ke atas meja. Kemarahan dalam dirinya tak bisa terkendali. Dia meminta Taya untuk menyelidiki tentang Kimberly agar bisa mempermalukan
“Kau sudah gila, Gilda! Kau mau membawaku ke mana?!” bentak Kimberly keras, dan kuat seraya menatap Gilda yang melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Sorot mata Kimberly menatap penuh amarah Gilda yang berani menculiknya. Andai saja tadi Gilda tak menodongkan pisau ke pinggangnya, maka tak mungkin dia ikut dengannya.“Kau yang menghasut Damian untuk menghancurkan karirku, kan?” Gilda menginjak pedal gas kuat-kuat. Benak Gilda bekerja pasti Kimberly turut andil membujuk Damian dalam menghancurkan karirnya.“Menghancurkan karirmu? Apa maksud ucapanmu?” Kening Kimberly mengerut dalam, menatap bingung Gilda.“Kau jangan berbohong, Kimberly! Aku tahu kau yang membujuk Damian untuk menghancurkanku! Kau benar-benar licik, Kimberly! Kau memperalat Damian yang memiliki kekuasaan agar bisa menghancurkanku!” seru Gilda dengan nada tinggi, dan penuh kebencian.“Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Gilda! Apa alasan aku membujuk Damian demi bisa menghancurkanmu?!” Kimberly membalikkan ucapan gil
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s