Aku duduk kembali setelah Ilham melepaskan tangan. Tatapan mata Isma tidak lepas dari tangan Ilham. Aku menjadi semakin tidak nyaman berada di sini. Isma pasti suuzon melihat ustaz kesayangannya berani memegang tangan perempuan. Entah apa yang akan dia lakukan jika mengetahui kami pernah berciuman. “Ehem!” Ilham berdehem hingga membuatku dan Isma menoleh. “Jadi, aku di sini mau jelasin kalau aku sama Gita sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa. Yang kamu lihat waktu itu tidak benar. Gita hanya memanfaatkanku supaya Erick menjauhinya. Namun, tidak hanya Erick yang menjauhinya, kamu juga melakukan hal yang sama.” Aku merasa lega mendengar kejujuran Ilham. Namun, Isma malah mengerutkan kening. Bukankah ini adalah jawaban yang selama ini dia tunggu? “Maksud Ustaz apa? Kok tiba-tiba bilang seperti itu?” tanya Isma. Sepertinya dia pura-pura tidak tahu. “Seperti apa yang selama ini aku jelaskan padamu, Isma. Ilham juga akan mengatakan hal yang sama karena kami memang tidak sedekat yang kam
Aku terbangun kala mencium aroma makanan yang kusukai, bakso. Segera kubuka mataku dan tepat di sampingku ada Faiha dan Isma. Mataku berbinar melihat mereka.“Sejak kapan kalian ke sini?” tanyaku heran. Aku melihat dan menunggu seseorang di balik pintu, tetapi orang yang kuharapkan kedatangannya tidak ada. Ilham tidak datang. Berarti Faiha datang bersama Isma dari sekolah karena masih memakai seragam yang sama. “Kudengar dari Isma kamu sakit, jadi aku ingin menjengukmu. Kangen tahu sama kamu!” Faiha duduk di sampingku. “Mau aku suapin?” tanya Isma, tetapi aku menggeleng. Dari tadi pagi aku tidur setelah minum obat. Kak Sari mengajakku berobat ke klinik. Tidak ada gejala serius, hanya demam biasa dan kecapekan. “Aku hanya demam, Ma. Aku masih bisa makan sendiri.” Aku mengambil alih mangkuk yang dibawa Isma dan memakannya sendiri.Makanan kesukaanku mendadak tidak enak di lidah, rasanya pahit. Teng
“Sebut namaku jika kau rindukan aku. Aku akan datang!”Aku menghentikan langkah kaki mendengar suaranya. Dia menyanyi? Benarkah yang dia katakan? Hatiku ingin percaya tetapi kepalaku berkata tidak. Dia hanya akan menyakitiku.Aku melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. Jika memang takdirnya, aku yakin Allah akan mempertemukan kami di lain waktu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat. Ada hati yang harus kujaga. Isma adalah sahabat juga saudaraku. Dia menyukai Ilham sejak lama. Aku tidak mungkin menghianatinya. Lebih baik aku yang mengalah.“Gita! Aku akan selalu menyebutmu di sepertiga malamku. Akan kukejar cintamu.” Ilham masih berteriak saat aku sudah menjalankan motor.Rasanya hati ini begitu sesak. Andaikan dia tahu siapa Anindya yang sebenarnya, apakah dia akan benar-benar mencintaiku? Atau dia hanya merasa bersalah padaku? Aku harus segera pulang dan menenangkan diri. Besok orang tuaku pulang. Aku tidak mau membuat mereka bersedih melihat keadaanku meskipun nyatanya memang menyed
Hari ini pernikahan Kak Sari digelar di kediaman rumah kami. Dekorasi yang mewah namun simple menghiasi halaman rumah kami. Pesta outdoor sudah direncanakan dan dipersiapkan oleh Aldo dan Kak Sari. Mereka sudah bekerja sama untuk mempersiapkan resepsi pernikahan ini secara matang.Akad nikah sudah dilaksanakan tadi pagi di KUA setempat. Hari ini sepertinya hari baik. Banyak sekali orang yang menikah di hari ini. Pak Penghulu mengatakan jika hari ini ada tujuh pasangan yang melangsungkan akad nikah.Pesta resepsi dilaksanakan mulai pukul sepuluh. Isma sudah datang dari tadi pagi bersama Bibi. Mereka membantu persiapan konsumsi acara di siang nanti.Aku dan Ibu didandani juga bak seorang putri. Memakai gaun sarimbit yang senada dengan keluarga Erick. Jika aku dan Erick disandingkan, mereka pasti akan berpikir jika kami adalah pengantinnya.“Kamu sangat cantik, Gita.” Isma memelukku erat.Aku membalasnya dengan pelukan yang cukup e
“Fai!” teriak Ilham.“Maksud kamu apa, Fai?” Isma memberikan sebuah pertanyaan keramat kepada Faiha. Namun, Ilham segera berdiri dan mengajak Faiha pergi dari tempat ini.Semua mata tertuju pada mereka. Beruntung keributan ini tidak menjadikan pengantin turun dari panggung. Mereka tetap menyalami tamu yang hadir. Erick tersenyum puas. Dia menghampiriku, tetapi aku mengacuhkannya. Dia sudah membuat keributan di pernikahan Kak Sari.“Aku tahu siapa dia, Gita!” Ucapan Erick menghentikan langkahku. “Kamu tidak mengenalnya, Rick. Tidak perlu mengatakan kebohongan kepadaku.”Hanya aku dan Faiha yang mengetahui seluk beluk masalah ini. Bahkan Ilham sendiri tidak mengetahuinya. Entah apa yang akan dilakukan jika dia tahu kebenarannya.“Aku tahu semuanya. Aku punya semua bukti jika dia adalah Aril.”Deg! Dari mana Erick mengetahuinya? “Kamu bohong!”“Aku sudah menyelidikinya, Gita. Aku tahu t
Pagi ini kami sarapan bersama-sama untuk pertama kalinya. Personil anggota keluargaku bertambah satu, yaitu Aldo. Ayah dan Ibu tidak begitu banyak bicara. Aku pun ikut diam meski banyak sekali hal yang ingin aku katakan. Kami sarapan di ruang makan, biasanya hanya aku dan Kak Sari yang makan di sini. Kini aku duduk di samping Ibu berhadapan dengan Kak Sari dan Aldo. Sedangkan Ayah duduk di meja paling ujung memimpin doa. “Kalian kapan pindah?” tanya Ayah. Kak Sari dan Aldo saling pandang. Rambut mereka masih basah, layaknya pengantin baru yang sudah menghabiskan malam pertamanya. Namun, aku tidak heran melihat mereka. Bahkan sebelum menikah pun mereka sering menghabiskan malam-malam bersama. “Kami akan pindah setelah mengantarkan Gita ke Yogyakarta,” jawab Aldo. Sebelum menikah, mereka memang mengatakan akan pindah karena Erick ikut orang tuanya ke Jakarta. Erick akan melanjutkan kuliah di sana. “Kalian tidak
Lelaki yang wajahnya memiliki kemiripan 70% dengan Faiha datang mendekat. Dia berjongkok dan mengambil Bian ke dalam gendongannya. “Siapa yang akan pergi?” tanya Ilham lagi. Aku dan Faiha saling pandang. Padahal kami belum selesai bicara dan dia sudah datang. “Putri Calju akan pergi, Om,” jawab Bian polos. “Bian!” Aku menaruh jari telunjukku tepat di depan mulut. Memang benar anak kecil tidak bisa bohong.“Fai, bawa Bian pergi. Aku mau ngomong sama Gita.” Ilham menurunkan Bian dari gendongan. “Tapi, Kak—““Bawa Bian pergi!” ucap Ilham dengan nada yang lebih tinggi. Aku menelan ludah melihat Faiha ketakutan oleh Ilham. Ternyata dia sangat menakutkan jika marah seperti itu. Duh jantung, jangan senam di sini! “Gita!”“Em, iya.” Entah mengapa aku gugup berbicara dengan Ilham. Dari sini Ayah dan Ibu tidak terlihat begitu jelas. Kak Sari sedang asyik berenang. Dia pasti tidak melihatku. Bagaimana kalau Ilham macam-macam? Masih teringat jelas ketika dia memerawani bibirku. “Kamu mau
Aku segera menghapus sisa air mata saat mendengar suaranya. Dia kembali mebawa sebuah es kelapa muda. Kebetulan aku sangat haus. Aku langsung menerima sebuah kelapa hijau yang masih utuh itu. Segera kuminum airnya dah mengembalikannya kepada Ilham. “Terima kasih, aku memang sangat haus.” “Sama-sama,” ucapnya santai. Ilham masih berdiri, dia seperti sedang menjaga jarak denganku. Dia meminum sisa es degan dengan sedotan yang kugunakan tadi. “Itu bekasku, loh.”“Hm.” Dia tetap melanjutkan minumnya. “Yang ada kamu yang minum pakai sedotan bekasku. Aku tadi mencicipinya dahulu sebelum memberikannya kepadamu.”Aku ingin memuntahkannya, tetapi sudah terlanjur kutelan.“Kamu menelepon hanya untuk mengembalikan jaket?” tanya Ilham. Dia berdiri bersandar pada pohon ketapang, jaketnya dia sampirkan di pundak. Aku menoleh ke arahnya kemudian mengangguk. “Makasih jaketnya, aku sudah berganti baju
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o