Pagi ini kami sarapan bersama-sama untuk pertama kalinya. Personil anggota keluargaku bertambah satu, yaitu Aldo. Ayah dan Ibu tidak begitu banyak bicara. Aku pun ikut diam meski banyak sekali hal yang ingin aku katakan.
Kami sarapan di ruang makan, biasanya hanya aku dan Kak Sari yang makan di sini. Kini aku duduk di samping Ibu berhadapan dengan Kak Sari dan Aldo. Sedangkan Ayah duduk di meja paling ujung memimpin doa.“Kalian kapan pindah?” tanya Ayah.Kak Sari dan Aldo saling pandang. Rambut mereka masih basah, layaknya pengantin baru yang sudah menghabiskan malam pertamanya. Namun, aku tidak heran melihat mereka. Bahkan sebelum menikah pun mereka sering menghabiskan malam-malam bersama.“Kami akan pindah setelah mengantarkan Gita ke Yogyakarta,” jawab Aldo.Sebelum menikah, mereka memang mengatakan akan pindah karena Erick ikut orang tuanya ke Jakarta. Erick akan melanjutkan kuliah di sana.“Kalian tidakLelaki yang wajahnya memiliki kemiripan 70% dengan Faiha datang mendekat. Dia berjongkok dan mengambil Bian ke dalam gendongannya. “Siapa yang akan pergi?” tanya Ilham lagi. Aku dan Faiha saling pandang. Padahal kami belum selesai bicara dan dia sudah datang. “Putri Calju akan pergi, Om,” jawab Bian polos. “Bian!” Aku menaruh jari telunjukku tepat di depan mulut. Memang benar anak kecil tidak bisa bohong.“Fai, bawa Bian pergi. Aku mau ngomong sama Gita.” Ilham menurunkan Bian dari gendongan. “Tapi, Kak—““Bawa Bian pergi!” ucap Ilham dengan nada yang lebih tinggi. Aku menelan ludah melihat Faiha ketakutan oleh Ilham. Ternyata dia sangat menakutkan jika marah seperti itu. Duh jantung, jangan senam di sini! “Gita!”“Em, iya.” Entah mengapa aku gugup berbicara dengan Ilham. Dari sini Ayah dan Ibu tidak terlihat begitu jelas. Kak Sari sedang asyik berenang. Dia pasti tidak melihatku. Bagaimana kalau Ilham macam-macam? Masih teringat jelas ketika dia memerawani bibirku. “Kamu mau
Aku segera menghapus sisa air mata saat mendengar suaranya. Dia kembali mebawa sebuah es kelapa muda. Kebetulan aku sangat haus. Aku langsung menerima sebuah kelapa hijau yang masih utuh itu. Segera kuminum airnya dah mengembalikannya kepada Ilham. “Terima kasih, aku memang sangat haus.” “Sama-sama,” ucapnya santai. Ilham masih berdiri, dia seperti sedang menjaga jarak denganku. Dia meminum sisa es degan dengan sedotan yang kugunakan tadi. “Itu bekasku, loh.”“Hm.” Dia tetap melanjutkan minumnya. “Yang ada kamu yang minum pakai sedotan bekasku. Aku tadi mencicipinya dahulu sebelum memberikannya kepadamu.”Aku ingin memuntahkannya, tetapi sudah terlanjur kutelan.“Kamu menelepon hanya untuk mengembalikan jaket?” tanya Ilham. Dia berdiri bersandar pada pohon ketapang, jaketnya dia sampirkan di pundak. Aku menoleh ke arahnya kemudian mengangguk. “Makasih jaketnya, aku sudah berganti baju
“Wah, ternyata benar ucapan Gita. Buburnya enak banget, Yah,” ujar Ibu. Kami menikmati bubur bersama dengan duduk lesehan.Hari ini aku benar-benar bahagia. Aku merasakan betapa hangatnya sebuah keluarga. Namun, besok aku harus berpisah dengan mereka. “Putri Calju!” Seorang anak kecil menghampiriku. “Bian? Kamu sama siapa ke sini?” tanyaku sambil meletakkan mangkuk. Anak kecil ini membawa mainan robot. Dia berlari dari arah selatan. Namun, kulihat tidak ada siapa pun di sana. “Bian sama Om Ilham, jualan bubur,” jawabnya polos. Dia duduk di pangkuanku hingga membuat semua orang heran melihatnya.“Siapa dia, Gita?” tanya Kak Sari. “Keponakannya Ilham. Orang tuanya yang tadi siang ketemu di kantin.”“Kamu sepertinya sudah dekat dengan keluarga mereka,” ucap Ayah. “Lumayan dekat. Mereka pernah menolongku.”Aku tidak perlu menceritakan secara detail apa yang pernah terjadi
Aku berjanji kepada diri sendiri akan mewujudkan semua mimpi dan cita-citaku. Ibu mengelus punggungku berkali-kali. “Ibu juga akan pergi. Doakan kami semoga masalah kami juga segera selesai.” Kurasakan tetesan air membasahi pundakku. “Ibu menangis?” Kulepaskan pelukanku darinya. Mata tua itu sudah berlinang air mata. “Ibu sangat berat melepasmu, Nak. Ibu sayang sama kamu. Semua ini kami lakukan hanya untuk kebaikanmu. Jangan pernah berpikir kami tega membuangmu ke pesantren. Maafkan Ibu, Gita,” ucap Ibu sambil menggenggam tanganku erat, seolah sedang berusaha meyakinkanku. “Gita juga sayang sama Ibu.” “Ehem! Kami boleh gabung?” Ayah dan Kak Sari sudah berada di ambang pintu. Mereka bergabung bersama kami dan larut dalam pelukan hangatnya sebuah keluarga. “Maafkan kakak jika selama ini terlalu mengabaikanmu, Gita!” ujar Kak Sari. “Aku sudah memaafkanku, Kak. Doakan aku semoga betah di sana.” “Kakak akan menjengukmu tiap bulan. Kakak janji, jika Aldo libur akan pergi ke Yogyakar
Kami berangkat menggunakan mobil Om Dani. Dia mengajak istrinya yang sedang hamil. Kak Sari dan Aldo duduk di belakang, sedangkan aku duduk sendiri di tengah. Aku tidak mau duduk di belakang mereka karena banyak adegan 18+ yang tidak seharusnya kulihat.Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, sampailah kami di sebuah kafe yang diceritakan Om Dani. Betapa takjubnya diriku melihat pemandangan ini. Kerlap-kerlip lampu menghiasi setiap sudut kafe. Terpampang jelas sebuah tulisan Pendopo Lawas Yogyakarta, di depannya ada musisi yang selama ini aku idam-idamkan. Semua pengunjung menikmati alunan musik yang dimainkan dan ikut bernyanyi bersama. Mereka duduk rapi tanpa saling berdesakan seperti saat sedang menonton dangdut. Kakiku melangkah maju ke depan, seperti ada yang memanggil. Saat kesadaranku kembali, kulihat Om Dani dan Kak Sari menggelengkan kepala. Mereka masih jauh di belakangku. Aku baru sadar jika sedang berdiri bersama Nabila
“Maksud kamu apa, Gita? Mengapa selama ini membohongiku?” Suara Ilham terdengar sedikit emosi. Dia bahkan sampai berteriak. Sesak, itulah yang kurasakan. Aku sudah pernah mencoba jujur kepadanya, tetapi dia tidak merespons. Dia hanya menganggapku fans, tidak lebih. Kejujuranku hanya membuatku semakin tersiksa hingga akhirnya aku lebih suka menutupi semua kebenaran ini. “Gita, kenapa kamu diam?”“Aku sudah pernah jujur, tetapi kamu malah mentertawakanku, Mas. Tidakkah kamu ingat saat aku pergi dari rumahmu karena perbuatan nakalmu itu?” Aku tersenyum masam dan bulir air mata mulai berjatuhan. Aku sudah tidak kuat lagi menahannya. “Kamu tidak pernah jujur, Gita! Kamu pembohong. Mengapa kamu tidak mengatakan siapa dirimu yang sebenarnya? Sekarang kamu puas, kan? Kamu bisa mentertawakanku karena sudah berhasil mempermainkan perasaanku. Kamu tega, Anindya!”Mempermainkan perasaan? Apa maksudnya?“Maksu
Deg!Apakah Faiha mengatakan semuanya? Bagaimana keadaan Isma sekarang? Dia pasti sedang tidak baik-baik saja. “Sebanyak apa yang kamu ketahui?”“Aku sudah tahu semuanya. Aku minta maaf, Gita. Sungguh aku menyesal karena terlambat menyadari perasaanku.”Aku menggeleng, mencoba menahan sekuat hati agar tidak menangis. “Tidak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah berbeda, Mas Aril.”“Kumohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” “Apa yang perlu diperbaiki? Aku sudah menerima dengan ikhlas jika aku hanyalah fans. Aku tidak pantas untukmu dan sadar akan hal itu. Lebih baik kamu jelaskan kepada Isma. Dia pasti terluka.”“Dia belum tahu semuanya,” jawab Ilham. Jika Isma belum mengetahuinya, dia akan semakin berharap banyak pada Ilham. Kupikir semua usai setelah Ilham mengetahui kebenarannya, tetapi ternyata maaih ada satu hati yang harus kujaga. Lebih baik aku tidak menghub
Mulai hari ini aku menjalani rutinitasku di pesantren. Kedua orangtuaku, Kak Sari dan Om Dani sudah pulang setelah menemui pengurus pesantren ini. Aku tinggal satu kamar dengan gadis bernama Lia. Entah mengapa nama itu membuatku semakin merasa bersalah kepada Isma. “Lia, bisakah kamu membantuku untuk berkeliling pondok?”“Ayo kuantar, tetapi pondok ini masih sepi. Belum banyak santri yang kembali setelah liburan semester.”Aku berjalan beriringan bersama Lia mengelilingi pondok pesantren. Dia juga menceritakan semua kegiatan yang ada di pesantren ini. Aku sangat antusias menyimak penjelasan darinya. Dia sudah lima tahun di sini, tinggal satu tahun lagi dia lulus. Sedangkan aku? Baru sehari mondok dan belum mendapatkan apa-apa. Hanya pakaianku yang berubah menjadi tertutup. Selebihnya masih sama, aku adalah Gita Anindya seorang gadis lemah yang harus pura-pura kuat.Lia mengajakku salat di masjid ketika azan Maghrib berkumandang. Pesantren putri ini masih sepi. Biasanya para santri a
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
“Belum cukup umur buat diajak kawin.”Dilan tertawa hingga memegangi perut. Melihatnya seperti ini entah mengapa semakin membuat debaran jantungku menggila. Ah, betapa manisnya dia. “Astagfirullah!” Aku mengalihkan pandangan saat Dilan memergoki telah menatap dirinya. “Jadi untuk apa Ustaz Dilan ngajakin aku kencan sore-sore begini?”“Kenapa manggil ustaz lagi. Pengen tak cium, nih!”Aku mencebik mendengarnya. Terkadang dia sangat menyebalkan. “Dih. Nggak dijawab!”“Pengen aja. Paling enggak, ada sebuah alasan untukku kembali pulang ke Kudus, selain mengunjungi makam Bapak.” “Bapaknya ... Mas sudah meninggal?” Aku sendiri bingung harus memanggil dengan sebutan apa. “Iya. Tapi bukan ayah kandung. Ayah kandungku masih hidup. Di Jakarta. Dia memintaku pulang secepatnya.”“Ayah kandung?”Dilan tidak langsung menjawab. Aku mulai paham sekarang. Dia ke Kudus hanya untuk mengun
Aku kembali melipat mukena dan menyimpannya. Saat keluar, kulihat Kak Ilham sedang berbincang dengan Dilan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang cukup serius.“Sini, Fai!”Aku pun menghampiri kak Ilham. “Ada apa, Kak?”“Aku mau mengajakmu pergi sebentar. Ilham sudah mengizinkannya.” Dilan langsung menjawab kebingunganku.Eh! “Pergilah! Dilan nggak akan apa-apain kamu.”“Tapi ....”Tumben sekali Kak Ilham bersikap seperti ini. Biasanya dia protektif sekali denganku. Aku saja sampai tidak berani dekat dengan lawan jenis karena memiliki kakak yang galaknya seperti Kak Ilham. “Pergi saja. Maksimal Maghrib sudah harus kembali ke sini.”Aku langsung mengambil tas dan mengikuti Dilan di belakangnya. Sejenak kemudian dia berhenti hingga membuatku tanpa sengaja menabrak punggungnya. “Kayak buntutku aja. Pindah sini di samping. Apa mau aku gandeng?” tanya Dilan.
Beberapa aku menunggu hari ini tiba, tetapi aku malah kecewa.“Mau pulang bareng atau kutinggal?” tanya Ilyas lagi. “Wait!”Aku menoleh ke kanan dan kiri. Takut jika ada yang melihatku pulang dengan Ilyas. Mereka pasti akan menjadikan hal ini sebagai bahan ghibah. Mereka tidak ada yang tahu jika aku dan ketua BEM kesayangan mahasiswi ini sudah menjadi saudara. “Kamu adik tirinya Ilham?” tanya Kak Malik pada Ilyas. “Hmm!” jawab Ilyas singkat. “Ya sudah, titip Faiha. Langsung diajak pulang.”Setelah Kak Malik pergi, Ilyas menggandeng tanganku. “Eh! Jangan pegang-pegang.”“Makanya ayo cepet. Udah ditungguin sama Ibuk di rumah.”“Kamu jalan dulu sampai parkiran. Aku akan mengikuti dari belakang.”Sungguh aku merasa sangat kesal dengan Kak Ilham. Tidakkah dia tahu jika aku merindukan temannya? Benarkah aku rindu? Aku menepis pikiranku yang sepertinya sudah mulai o