Anggie memutuskan kembali ke tempat calon rumah barunya dengan Gibran atas usul Kayla. Mereka berencana menyelidiki dalang dibalik dua orang penjahat yang dibayar untuk menculiknya dan hal itu dimulai dengan sesuatu yang sudah direncanakan dan disusun sedemikian rapih oleh keduanya.
“Rumahmu indah juga, ya, Anggie. Menarik dan seperti yang kamu impikan,” komentar Kayla begitu keduanya memasuki pekarangan halaman rumah.
“Jangan bahas hal itu dulu. Nanti saja. Sekarang yang perlu dilakukan adalah menjalankan rencana kita membuat Mas Gib-gib percaya bahwa memang ada orang yang berniat menculikku,” kata Anggie dengan serius dan Kayla tentu saja menganggukinya.
“Baiklah. Kalau begitu sekarang mari kita cek ke dalam, siapa tahu ada petunjuk,” jawab Kayla lantas membuat Anggie segera mengiringnya masuk.
Kayla mengerutkan dahinya dan kemudian menatap tidak percaya Anggie ketika ia melihat bekas kecerobohan. “Kamu tidak mengunci pintu rumah ini saat pergi tadi?”
Gibran mengiring Anggie ke kamar mereka kemudian mendudukkannya di atas tempat tidur. Tangisannya semakin menjadi disertai sesenggukan, padahal sebelumnya Anggie tidaklah separah demikian. Membuat Gibran merasa sedikit kewalahan mendengarnya meskipun masih sabar dengan setia mengelusi kepala Anggie sambil merangkulnya.“Udah, ya, Nggie ... kan Mas Gib-gib sudah janji untuk menghajar penjahat yang ingin menculik kamu itu. Berhenti nangisnya, nanti mata kamu bengkak dan apa kamu tidak capek menangis terus sedari tadi, hah?” Tanya Gibran diakhir kalimatnya.Mendengar itu membuat Anggie segera mendongak melihat wajah Gibran sejenak, sebelum kemudian ia beralih menarik baju Gibran dan menghapus air mata beserta ingusnya yang sempat keluar pada baju Gibran tersebut.Melihat hal itu membuat Gibran melotot tajam. Beruntung saja Gibran mengingat Anggie ini adalah gadis kecil kesayangannya yang sudah tumbuh menjadi wanitanya dan kini menjadi istrinya, karena jika tidak Gibra
Reunian teman SMA-nya yang berlangsung mendadak membuat Anggie pergi menghadirinya tanpa izin. Kedua mahluk yang berteman akrab tersebut tidak pergi berdua saja, melainkan bersama teman kuliah mereka masing-masing yang nekat mereka kenalkan sebagai pasangan karena tidak ingin diledek tidak laku atau jomblo.Iya Anggie sebenarnya memang mempunyai Gibran sebagai pasangannya, tapi menurut Anggie mengajak Gibran menghadiri acara renuniannya mana mungkin pria itu setuju terlebih lagi keadaan pria itu sedang sibuk-sibuknya. Sementara Kayla juga memanglah mempunyai pasangan, mempunyai pacar, tapi sayangnya ia baru putus gara-gara Andrian yang selalu merecoki hubungannya dengan kekasih. Hal itu mengakibatkan pacarnya sering kali merasa tidak nyaman dan sering kali kewalahan akan tingkah Adrian yang katanya hanyalah sepasang adik dan kakak ipar, tapi malah bertingkah seperti kekasih posesif yang takut diselingkuhi.Kedua alasan tersebutlah yang membuat Anggie dan Kayla kompak m
Setelah perdebatannya dengan Gibran, Anggie mengambek tidur dalam kesempitan membelakangi Gibran. Karena lagi-lagi Gibran melakukan sesuatu yang sudah jadi kebiasaannya menguasai tempat tidur dengan berbaring di tengah dan kali ini Anggie tidak melakukan kebiasaannya tidur di atas Gibran.‘Bodoh amatlah gue kesempitan, ogah dekat-dekat sama pria tukang ngambek dan suka ngatur-ngatur satu ini. Huhh, pokoknya aku tidak mau dekat-dekat apalagi sampai menempel dengannya,’ gerutu Anggie membatin sambil mengeram kesal. ‘Eh, tapi tunggu dulu!’ sambung Anggie masih membatin dengan tiba-tiba bangkit dan membulatkan kedua bola matanya yang sebelumnya sudah terpejam.“Saat ini bukankah aku juga tidur disampingnya dan itu berarti kami juga sedang tidur berdekatan. Ah, tidak bisa dibiarkan ini!” Anggie tersadar kemudian bangkit menarik selimut dan bantalnya ingin pindah kamar.Akan tetapi Anggie mengurungkan niatnya, sebab saat sudah di depan pintu ternyata se
“Mas Gib-gib kerjanya yang semangat ya, jangan malas dan jangan lupa untuk selalu mengingatku.”Tepat setelah mengatakan hal itu Anggie dengan tanpa diduga mendaratkan kecupannya singkat di pipi Gibran. Membuat Gibran menatap tajam sambil mengerutkan dahinya memikirkan sesuatu. Dia tidak marah pada tindakan Anggie yang spontan menciumnya tanpa peringatan, hanya saja itu aneh, teramat aneh malahan.“Berani-beraninya kamu mencium pipiku?” Gibran mengintimidasi Anggie, tapi bukannya takut Anggie malah menyengir dengan aneh.“Hehehe ... tidak boleh cium pipi, ya?” Anggie mendekat pada Gibran kemudian berjijit untuk membisikkan sesuatu di telinga Gibran. “Euhmm, kalau cium yang lain boleh nggak?!!” tanya Anggie tanpa tahu malu menaik-turunkan alisnya menatap bibir Gibran dengan mesum.Hal itu mengakibatkan Gibran yang tak habis pikir langsung mendaratkan telapak tangannya di kening Anggie untuk merasakan suhu tubuhnya. “Kamu tidak sakit, tapi bertingkah aneh. Hm,
Anggie terbangun dengan wajah pucat dan pakaiannya sudah berganti dengan piyama tidur. Wajahnya makin memucat saat bayangan sesuatu membuat kedua bola matanya membola melotot disertai debar jantungnya yang terasa mulai bergemuruh hebat.Trauma yang belum sepenuhnya sembuh tiba-tiba menghampirinya membuatnya mulai berkeringat dingin. Anggie menatap sekitar kamarnya mencari bayangan dokter yang mengerikan, tapi tidak satu yang membuatnya menemukannya. Bahkan tidak ada satupun, peralatan medis dan jas dokter Gibran yang berada di dalam kamar tersebut. Beruntung saja, karena setelah mengetahui Anggie menderita trauma akibat pelecehan yang hampir menimpanya, Gibran memang sudah memindahkan peralatan medis, alat-alat kedokteran yang dimilikinya ke ruang kerjanya.Hal itupun membuat Anggie menghela nafas lega."Stimulasi pikiranmu agar selalu positif dan buang jauh-jauh pikiranmu mengenai kejadian buruk yang mengganggu pikiranmu
Hubungan antara Gibran dan Anggie semakin membaik. Keduanya kini tak ragu saling terlihat mesra dan dekat tanpa sungkan selayaknya pasangan pada umumnya.Hampir tidak ada lagi kecanggungan diantara keduanya dan hanya menyisahkan pertengkaran kecil ataupun sepele yang semakin mempererat hubungan keduanya. Hanya saja masih ada beberapa hal lainnya yang masih berpotensi menghambat hubungan mereka dan itu merupakan bagian penting dalam memperkokoh hubungan. Tidak adanya ungkapan perasaan cinta serta padatnya jadwal bekerja baik sebagai dokter atau dosen membuat kebersamaan keduanya renggang. Apalagi Gibran yang tanpa sepengetahuan Anggie masih saja meladeni Diana wanita yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri."Aku sebal bangat pada Mas Gib-gib, nggak mau tahu pokoknya aku ngambek pada anak Mama-Papa Mertua yang satu-satunya itu!!" Dumel Anggie di meja makan mengadu pada sepasang mertuanya.Dirga menghela nafasnya pa
Pertengkaran Gibran dan Anggie terus berlanjut sampai tidak menyadari bahwa orang tua ataupun sepasang mertuanya Anggie telah pergi dan dari hadapan keduanya.“Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan, kita tidak akan pisah tempat tidur.” Gibran berdiri sambil mengeram kesal kemudian meraihminumannya, melampiskan dengan cara minum dengan kasar dan menghabiskannya sampai tidak bersisa. “Mulai malam ini kamu tidurlah di sofa, karena aku paling anti dengan tempat tidur yang kurang nyaman dan tidak mampu memuat semua tubuhku!!” Tegas Gibran membuat Anggie berkacak pinggang dan menatap tajam tak terima dengan perkataan Gibran.“Apa? Aku akan tidur di sofa?” Anggie menggelengkan kepalanya menolak pasti. “Nggak mau. Walaupun tubuhku kecil, tidur di sofa nyaman sama sekali, huhh ... tapi aku bisa tidur di kamarku yang sebelumnya saja.“Tidak masalah,” jawab Gibran dengan mudahnya. “Silahkan kamu tidur di sana, tapi kalau kamu bisa membuka pintu kamarmu yang lama,” ejek G
"Pokoknya, Tante nggak perlu khawatir karena Anggie akan menghandle kafe ini mulai sekarang dengan baik dan sepenuh hati. Anggie berusaha dengan sungguh-sungguh juga akan membuatnya lebih maju lagi!"tegas Anggie berjanji menyakinkan orang dipanggilnya Tante."Memangnya kamu bisa, Nggie. Sepengetahuan Tante kamu kuliah jurusan menghitung-hitung dan bukan masak-memasak?" Jawab tantenya menatap ragu.Anggie menghela nafas. "Loh bukannya itu bagus Tan? Matematika yang ku pelajari sepanjang delapan semester bukankah itu bisa menjadi bekal pengetahuan untuk diriku dalam mengurusi kafe. Dengan demikian urusan pengelolaan uang bisa terkendali dengan baik ditanganku. Kalau urusan lainnya masak-memasak itu mah urusan pelayan kafe atau stafnya bukan aku!""Hm, baiklah. Terserahmu saja. Asal kamu senang aja Nggie ...."Anggie tersenyum senang mendengar kepasrahan Tantenya. "Nah begitu dong, Tan. Aku kan jadi senang."
Baik Anggie maupun Gibran, sepasang suami dan istri yang sakit bersamaan itu kini perlahan membaik. Hal itu bukan tidak lain pengaruh dari kehadiran calon sang buah hati. Kehadiran bukan hanya membawa kebahagian bagi seluruh keluarga, tapi juga kesembuhan bagi ibu dan ayahnya.Meski demikian di sisi Anggie, wanita itu belum sepenuhnya sembuh dan tidak jarang kambuh ataupun kumat berreaksi berlebihan sambil meneriakkan kata-kata kalau dirinya bukan pembunuh. Tak jarang ia juga suka menceritakan pengalamannya menyayat kulit para pria tampan, tapi hidung belang suruhan Diana yang hendak melecehkan dirinya.Sebagai solusinya seperti yang telah diketahui sebelumnya, jika keadaan sang buah hati yang belum lahir adalah obatnya, maka ibu mertua dan semua anggota keluarga langsung mengungkit kehamilannya untuk membuatnya tenang dan juga melupakan kejadian yang mengakibatkan dirinya trauma.Keadaan perlahan pulih dan kondisi keluarg
Anggie dengan nafas tersenggal dan ngos-ngosan membuka pintu dengan tubuh yang luar biasa gemetar juga teramat letih dan pucat. Wajahnya memerah kontraks menutupi kulit mulusnya yang seputih susu dan selembut sutera itu.Keringat membanjirinya, hampir sekujur tubuhnya basah dengan beberapa bagian yang bercorak merah yang terjadi akibat cairan merah anyir yang keluar dari kulitnya yang kelupas. Mengalir keluar lewat sudut bibirnya dan juga bagian pelipisnya yang belum mengering menyempurnakan tampilannya sehingga terlihat kacau berantakan.Wanita itu diam membeku berjalan masuk tanpa memperdulikan seseorang yang kaget melihat komdisinya.Gibran yang sebelumnya berada di ruang depan menunggu Anggie yang tiba-tiba saja menghilang, berniat untuk mengomel. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dan Gibran dengan seketika malah tercengang seketika menjadi cemas bercampur marah. Cemas melihat kondisi Anggie dan marah pada orang yang m
Kejadian ketika Diana memarahi dan menindas Anggie di depan umum berhasil menciptakan kesan buruk tentangnya dihadapan Gibran. Diana menjadi geram karenanya dan bertambah benci pada sosok yang bernama Anggie. "Aaarrggh!!" Diana mengamuk melembari semua barang dalam ruangannya yang bisa dijangkau tangannya. "Biadap, dasar bocah tengik. Beraninya kamu mempermainkanku, membuatku dibenci oleh Mas Gibran!! Berengsek ... Aaarrggh!" "Awas kau bocah, jika sampai aku mendapatkanmu, kali ini aku tidak hanya akan memberi makan peliharanku dengan tubuhmu, tapi juga akan jual dirimu!!" Gerutu marah Diana tidak tahan dengan perasaannya yang memanas seolah membakar dirinya sendiri dalam kemarahannya. "Hari ini kau boleh menikmati kemenanganmu itu, tapi lain kali jangan harap. Sial! Sial!! Aaarrggh, Rocky, kemarilah ... aku membutuhkan dirimu untuk mendinginkan amarahku!!" Jerit Diana keras. **** Sementara itu di sisi
Setelah berbicara dengan ibu mertuanya lewat telepon perasaan Anggie menjadi sedikit lebih tenang dan melunak. Meskipun masih kesal mengingat bagaimana Gibran dan Diana berpelukan mesra yang membuatnya terluka dan juga kecewa. Namun sedikit demi-sedikit Anggie sudah menerima dan memahaminya.‘Itulah mengapa Mama memintamu pergi ke rumah sakit dan lebih memperhatikan Gibran. Agar wanita iblis itu tidak mempunyai kesempatan mendekatinya, Anggie. Mama tahu kamu kecewa dan merasa diduakan, tapi ketahuilah hubungan apapun yang berhasil diikatkan wanita iblis itu kepada suamimu bukanlah ikatan yang sekuat ikatan hatimu dan Gibran suamimu.’Kata-kata ibu mertuanya terus membayang
Anggie berlari dari Gibran ketika ia berhasil lepas dari pelukan suaminya dan dibelakangnya ada Gibran yang menyusul sambil terus meneriakkan namanya.Melihat hal itu, para perawat dan juga dokter perempuan kepo dan tanpa segaja menyaksikannya drama tersebut, tak tahan untuk tidak berbisik-bisik menggosipi Gibran dan Anggie. Mengakibatkan Diana yang masih di sana menjadi panas dan mendidih."Wanita yang Dikter Gibran kejar itu istrinya?""Kalau dilihat dari kemiripan foto pernikahan Dokter Gibran yang diunggahnya di akun media sosial, wanita itu memanglah mirip dengan istrinya.""Lebih cantik aslinya yah?""Hm, iya. Media sosial memanglah penipu, tapi kali ini tipuannya beda. Jika biasanya membuat oramg cantik sekarang malah berbalik. Kelihatan di foto istrinya dokter Gibran kecantikannya biasa saja. Eh, pas ketemu aslinya, cantiknya kelewatan.""Hm, kamu benar. Wanita yang hamp
Perasaan Anggie bergitu membuncah gelisah sekaligus berdebar senang dan bahagia bercampur aduk sama ratanya. Pernyataan cinta dari Gibran benar-benar tidak Anggie disangka dan Anggie sedikit kaget mendengarnya.Tadinya ia hanya ingin mendebat Gibran seperti kebiasaannya, mencari masalah dan menangis untuk membuatnya merasa lega dari perasaan yang menghimpit keras dadanya hingga membuatnya merasa sesak.Namun apa yang Gibran lakukan benar-benar membuatnya berdebar kencang dan membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.Meskipun demikian ia masih terganggu dengan perasaan lain yang masih terselip mengganjal dalam hatinya. Ada wanita lain yang menjadi nomor dua dalam hati Gibran setelah dirinya dan hal itu ditolak mentah-mentah enggan mau berbagi dalam hatinya. Namun boleh dikatakan apa yang sudah Gibran ungkapkan membuat merasa lebih baik dan sedikit merasa lebih baik.Hari ini karena senang dengan ungkapan cin
Anggie terkejut sekaligus menjadi syok. Hatinya terluka mengetahui ada wanita yang diperhatikan Gibran selain dirinya. Setelah mendengarkan penjelasan dari Mertuanya mengenai siapa wanita yang bernama Dinda yang dicurigai merupakan pelaku utama dibalik penculikan yang terjadi kepadanya.Seketika rasa tidak terima menghimpit menyemangati dirinya agar berteriak keras. ingin rasanya marah, mengamuk sekaligus menangis. Namun yang Anggie lakukan hanyalah diam dan termenung sampai beberapa saat berlalu. Beberapa jam dari setelah selesainya ibu mertuanya membantunya mengompres sekitar matanya yang menghitam bengkak.'Haruskah aku menangis lagi setelah semalam aku sudah puas menangis terus. Aku bahkan merasa bahwa mataku yang bengkak belum sepenuhnya sembuh, tapi yang benar saja aku harus menangis,' Anggie berusaha menguatkan hatinya yang cengeng dan juga rapuh. 'Diana wanita jahat itu hanya nomor dua di hati Mas Gib-gib, tapi kenapa rasa
'Ughhh, Mas Gib-gib ini apa-apaan sih? Mengapa mematapku sampai segitunya dan bukannya kasih pelukan kek biar aku berhenti menangis. Aaarrggh, bahkan mataku sudah capek mengeluarkan air mata, tapi dia tenang-tenang saja, huhh ... dasar menyebalkan!!'Gibran terus mengamati istrinya dengan lamat-lamat dan dengan detail mempehatikan lekuk tubuhnya.'Wajahnya agak bercahaya, kulitnya agak memucat, bentuk dadanya lebih bulat dari biasanya dan yang terpenting bagian perutnya agak kelihatan membuncit. Sepertinya dugaanku tidak salah lagi! Anggie memang sudah mengandung anakku. Besok aku harus mengajaknya periksa dan aku harus lebih mewaspadai pergerakannya juga memperhatikannya, jangan sampai anak kami dalam bahaya apalagi jangan sampai kejadian penculikan tadi terjadi lagi. Bagian terpenting lainnya aku juga harus segera mengetahui siapa dalang dibalik penculikan ini dan memberikan orang itu pelajaran. Ah, s
Anggie masih saja menangis meski urusan mereka telah selesai baik sebagai saksi dan memberikan keterangan pada polisi atas kejadian yang barusan terjadi. Bahkan ketika sudah sampai di rumah mereka yang sudah ditunggu oleh kedua keluarga besar mereka yang haraf mencemaskan Anggie, setelah mengetahui kejadian penculikan yang menimpa Anggie. Istrinya Gibran itu masih betah dengan isakan piku yang disertai lelehan air mata yang menyelimuti daerah pipinya.Melihat hal itu para orang tua memaklumi apa yang dilakukan oleh Anggie, mereka pikir mungkin Anggie masih syok dan ketakutan.Berbeda dengan Gibran. Rasa-rasanya dia tidak mempercayai kalau Anggie mengalami trauma setelah penculikannya kali ini. Gibran ingat istrinya itu memang takut, tapi raut wajahnya yang dipikirkan Gibran tidaklah mencerminkan apa yang dikatakan orang-orang. Tapi apa yang membuat Anggie demikian jika bukan karena syok akibat penculikan yang dialaminya, Gibran pun kurang me