Malam sudah tiba, setelah Reynold mengantarkan 'paketnya' ke sebuah toko tembakau dekat kantor pos, ia langsung bergegas menuju ke cafe yang ia maksud dalam catatan kecil yang ia tinggalkan untuk Wendy.Kini ia berada di sebrang tempat itu. Dengan pakaian kasual dan mulutnya tertutup oleh masker yang dikenakannya, ia menunggu kemunculan Wendy yang sampai saat ini belum kunjung datang itu."Hm, dia belum datang juga ... Well, sepertinya Aku akan menunggu sepanjang malam ... salahku juga tidak menuliskan waktu dengan rinci," gumam pemuda itu sembari memandangi jam yang melingkar di tangannya."Aku harus bersabar, Aku yakin wanita itu pasti akan datang karena ia pasti sangat penasaran dengan maksud dari catatanku itu," sambungnya.Pemuda itu terus menunggu di tempat ia berada sekarang untuk memastikan kedatangan wanita itu dengan sabar.***Di sisi lain, wanita yang ditunggu oleh Reynold sebenarnya sudah berada di sekitar kafe itu. Dengan penyamarannya sederhana, Wendy yang mengenakan ke
POV Wendy.Setelah hari yang terasa sangat panjang kemarin, keesokan harinya meski sangat malas sekali aku pun berangkat ke kampus lagi.Kulangkahkan kaki dengan sangat berat sekali dan sejujurnya kedua mataku tidak bisa terbuka dengan sempurna karena aku merasa sangat mengantuk sekali. "Hoam ... Ini sangat melelahkan ... Biasanya aku bisa tahan untuk tidak tidur semalaman, tapi semenjak mendapat tugas ini membuatku merasa 10 kali lebih melelahkan dari pada tugas normalku yang biasanya," gumamku yang mulai meracau sembari berjalan menapaki tiap jalan menuju ke Universitas Lione, tempatku menuju saat ini.Aku tidak bisa berpikir, saat ini jika dilihat dari luar mungkin aku sudah tampak seperti mayat hidup yang berjalan dengan tatapan kosong, dan tidak memedulikan sekitarku.Aku terus berjalan, dan terus berjalan hingga akhirnya seseorang menepuk punggungku dengan sangat keras sehingga membuatku bisa tersadar sepenuhnya karena perasaan perih yang luar biasa dari tepukan keras itu."Akh!
"Hm? Tak tahu, coba Kau tanya saja pada pak Martin. Aku sebagai mahasiswi hanya melakukan apa yang dimintanya," jawabku dengan santainya.Gadis itu terdiam. Ia memandangku dengan datar sehingga aku pun tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya dengan raut wajahnya yang ia tunjukkan padaku."Memangnya kenapa? Apakah itu aneh? Bukannya pak Martin memang selalu ramah pada semua orang dan tidak segan untuk meminta bantuan pada mahasiswanya?" tanyaku dengan heran karena raut wajahnya itu."Kau belum menceritakan mengenai apa yang Kau dan pak Martin bicarakan waktu itu? Bisakah Kau ceritakan dengan sedetail-detailnya?" Viona mengalihkan pertanyaanku itu.Kini giliran aku yang terdiam. Mendengar pertanyaannya membuatku harus berpikir keras mengenai jawabannya karena hal itu tidak bisa kukatakan padanya.***Pikiranku kembali pada sore itu, di mana saat itu Viona yang tampak kesal sudah pulang dan aku benar-benar ditinggal sendiri dengan Martin di depan kelasnya.Dia memang tampak serius
Mengingat aku akan langsung mengerjakan tugas dari DPA-ku itu, aku memberi tahu Martin lewat pesan singkat bahwa sepulang dari kampus, aku berencana untuk mencari tahu mengenai kado yang tepat untuk Viona sehingga mungkin aku tidak bisa menemuinya nanti. Pria itu mengerti dan akhirnya berkata untuk menemuinya sebentar sebelum pergi agar Viona tidak curiga jika tiba-tiba DPA kami itu tidak bisa ditemui setelah sebelumnya ia menyuruhku untuk menemuinya setelah jam perkuliahan terakhir. Sehingga akhirnya di sinilah kami sekarang, tengah berkeliling di sebuah mall besar di kota ini."Apa Kau sudah menemukan hal yang Kau cari?" tanya Viona ketika kami sedang menelusuri toko elektronik setelah kami menelusuri toko keperluan wanita dan toko manik-manik."Em, belum. Jujur saja, Aku masih bingung," jawabku sembari memandangi sebuah laptop keluaran terbaru yang sebenarnya cukup menarik bagiku.Sejujurnya sedari tadi aku tidak mencari apapun. Aku hanya berkeliling-keliling saja, melihat-lihat ben
Setelah mengobrol singkat di tempat makan itu, aku dan Viona memutuskan untuk menyudahi jalan-jalan kami. Viona sempat menawarkan tumpangan ke rumahku, tapi karena Chris sudah memerintahkanku untuk pergi bersamanya, aku pun menolak tawarannya."Ingat! Untuk besok, tak perlu mempersiapkan apa-apa, Kau hanya perlu menjadi diri sendiri saja!" seru Viona mengingatkanku kembali sebelum ia pergi."Tenang saja, Aku sudah mengerti dengan bagianku!" tegasku dengan sangat bersemangat.Gadis itu mengangguk, lalu berbalik dan pergi menuju ke parkiran.Kepergian gadis itu membuatku merasa lega, tetapi bersamaan dengan itu muncul juga sebuah tekanan baru karena setelah ini aku harus menemui Chris."Hah~ Kalau bisa Aku ingin langsung pulang saja," keluhku dalam hati sembari melangkah menuju ke basement untuk menemui Chris yang sudah menungguku di sana.***Aku pun sampai di basement, dan tanpa mengalami kesulitan, aku bisa menemukan mobil Chris terparkir parkir di sana dengan rapi. Tanpa pikir panja
Setelah pencarian panjangku dan melupakan sejenak keterkejutanku mengenai kehadiran Michael di tempat ini, akhirnya aku menemukan orang yang kucari. Kulihat wanita targetku itu tengah bercengkrama dengan Chris dengan akrabnya di tengah para tamu lainnya.Chris benar-benar sangat lihai sekali mendekatinya sehingga aku bisa melihat bahwa wanita itu tampak seperti menyukai pria bajingan itu. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia tergoda oleh apapun yang sedang Chris usahakan di saja sehingga bisa dikatakan bahwa wanita itu sudah berada dalam jeratan pria itu."Andai saja dia tahu Chris seorang playboy, Aku yakin dia akan jijik padanya!" pikirku sembari memandang ke arah mereka berdua yang sedang tampak asyik berbicara.Tak lama kemudian, tampak pria bajingan itu merangkul pinggang wanita itu, dan mengajaknya pergi ke suatu tempat. Melihat gerak-gerik positif itu, tanpa menunggu lagi, aku langsung mengikuti kedua orang itu dari jarak yang aman agar tak ada yang menyadari bahwa aku tengah men
POV Wendy.Kini aku sudah berada di parkiran di depan mobil Chris. Setelah Chris menyuruhku untuk menunggunya di sini, dengan segera aku melaksanakan apa yang diperintahkannya."Aku tidak menyangka pria itu juga sampai mendatangi si tante girang itu ..." gumamku yang sedikit merasa kesal karena dengan begini, rencana eksekusi itu gagal."Apakah ... Apakah dia mencurigaiku? Apakah dia mengetahui siapa Aku dari Reynold?" sambungku yang mulai khawatir dengan identitasku yang bisa saja terbongkar, mengingat Reynold pernah melihat wajahku malam itu.Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan kasar untuk menjernihkan pikiranku. "Tidak, tidak, jika memang dia tahu siapa Aku, seharusnya dia melakukan sesuatu padaku tadi. Tetapi semua yang ia lakukan tadi hanyalah mengoceh saja ... Keh! Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya!" lanjutku.Di tengah kalutnya pikiranku, tiba-tiba saja terlintas dalam ingatanku mengenai ucapan terakhir Michael sebelum aku pergi menjauh darinya. "... 'Ak
Setelah jam perkuliahan terakhir, seperti dengan rencana kelompok Wendy, semua anggota kelompok tidak langsung pulang karena sebelum itu mereka harus mengerjakan tugas kelompok mereka maksimal sampai tugas mereka mencapai target, atau paling lama sampai hari mulai gelap.Wendy yang masih mengantuk itu, mau tidak mau harus ikut mengikuti arus meski sangat ingin sekali rebahan di tempat tidurnya yang sangat nyaman itu."Hoam ..." Wanita itu menguap dengan kuat tanpa beranjak dari tempat duduknya sedari tadi."Well, Aku mau pulang! Dadah, selamat lembur, Aku mau menikmati istirahatku!" ucap Viona yang terdengar seperti tengah memanas-manasi Wendy dengan perkataannya."Eeerrrgghhh! Diam! Jangan membuatku iri!" timpal Wendy dengan kesal karena menganggap gadis itu tertawa di atas penderitaannya.PUKPUKPUKViona menepuk pundak Wendy berkali-kali seraya berbisik. "Semoga sukses! Natural saja! Tenang saja Aku sudah mempersiapkan segalanya!" Wendy menoleh padanya dan mengangguk padanya deng
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau