POV Wendy. Keesokan harinya. Hari Senin adalah hari perkuliahan yang diawali dengan perkuliahan Martin yang dimulai pada pukul 9. Tentu aku sangat ingat bahwa aturan terlambat dosen aneh itu mengatakan bahwa jika mahasiswa atau pun Martin sendiri tidak boleh telat lebih dari 10 menit. Namun lihat aku sekarang, berlari di gerbang kampus dengan sekuat tenaga di saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul 09.05, yang mana itu artinya tinggal 5 menit lagi waktuku agar masih bisa tetap masuk dan mengikuti perkuliahan. "Keh! Sialan! Bagaimana bisa Aku terlambat bangun?!" rutukku yang sungguh tak percaya bagaimana bisa aku si ahli begadang ini baru bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.15. "Aku cuman menonton film sampai jam 3, kenapa bisa Aku terlambat ... Ah! Kenapa Aku malah mendengarkan saran Viona untuk menonton film tidak berguna itu!" Sembari berlari Aku terus mengingat-ingat kembali hal tidak berguna yang kulakukan semalam. "Akh! Aku harusnya-" DUGH! Belum selesai aku menge
Kini aku dan Reynold sedang berada di perpustakaan. Sudah sekitar 1 jam kami berada di tempat ini hanya untuk mengerjakan tugas kelompok yang waktu itu. Memang kami saat ini hanya berduaan saja, tapi sedari tadi yang kami lakukan hanyalah membaca buku dan sesekali berbicara sebentar untuk sekedar mendiskusikan apa yang kami temukan dalam buku yang sedang kami baca.Sesekali aku mencuri pandang padanya, mencari waktu yang tepat untuk berbicara santai sehingga aku bisa mendapat perhatiannya. Namun sayang sekali, sedari tadi aku hanya mendapatinya sangat serius membaca bukunya tanpa sedikit memberi kesempatan padaku untuk memulai berbasa-basi."Hm, ini benar-benar ... Sepertinya Aku berbicara asal saja tanpa memperhatikan suasana hatinya saat ini. Masa bodoh, Aku hanya ingin diperhatikan!" pikirku yang sudah geregetan dengan keheningan di antara kami."Em ... Rey, Aku-""Hm? Kau sudah selesai?" sela pemuda itu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca
Jam perkuliahan terakhir pun usai. Kini saatnya bagiku untuk pergi menemui Martin di ruang kuliahnya. Tentu aku tidak pergi sendiri, aku pergi bersama Viona. Gadis itu memaksa untuk ikut karena ia sangat penasaran dengan apa yang hendak DPA kita bicarakan denganku."Viona, kenapa tampangmu seperti itu?" tanyaku yang heran dengan tampang Viona yang terlihat kesal dalam perjalanan kami menemui Martin.Ia melirik padaku dengan malas, lalu menjawab, "Tidak kenapa-kenapa, Aku hanya sedang berpikir.""Hm? Apa yang mengganggumu?" tanyaku lebih jauh."Hah~ lupakan saja, Kau tidak akan mengerti!" serunya dengan tampang kesalnya masih tidak berubah mengekspresikan perasaannya.Aku pun tidak memperpanjang lagi hal yang sebenarnya tidak penting untukku itu, dan memilih untuk diam saja.Tak lama, kami sampai di depan ruangan yang dimaksud. Tampak pintu ruangan masih tertutup rapat karena di dalam sana sepertinya perkuliahan Martin belum selesai. Mengetahui hal itu, kami pun duduk di bangku dekat p
Wendy pun terpikirkan sebuah ide untuk terlepas dari pemuda aneh yang selalu berkata dengan aneh terhadap dirinya. Wendy berpikir jika ia pergi begitu saja, ia sangat yakin bahwa Robert akan menahannya, atau skenario lainnya adalah ketika ia pamit pulang, pemuda itu akan memaksa mengantarnya pulang, dan paling parah pemuda itu akan mengikuti Wendy jika gadis itu menolak."Aku sangat tahu seperti apa orang macam pemuda aneh ini!" pikir Wendy yang memiliki prasangka buruk terhadap Robert."Jadi bagaimana? Rob?" tanya Wendy memastikan pada pemuda yang diam mematung karena terkejut dengan ajakan Wendy."Rob?" Wendy memanggil namanya kembali untuk menyadarkan pemuda itu.Robert tersentak kaget, lalu tampaklah pandangannya kembali ke kenyataan."Ah! Ya, tentu saja! Aku sangat mau! Ayo!" jawabnya dengan penuh semangat. "Kau naik kendaraan ke kampus?" tanyanya untuk memastikan.Wendy menggeleng dengan pelan. "Tidak, Aku ke kampus biasanya berjalan kaki.""Bagus,
Reynold lalu menyilangkan sendok dan garpunya di piringnya, lalu membereskan barang-barangnya yang tadi sempat ia taruh di atas meja.Lisa yang merasa heran itu memandang penuh selidik dengan apa yang sedang dilakukan Reynold sehingga membuatnya tidak tahan untuk tidak bertanya padanya."Rey, Kau sudah beberes?" tanya Lisa dengan kening yang mengerut.Reynold menoleh pada gadis itu, lalu berkata, "Sepertinya Aku tidak bisa mengantarmu pulang hari ini, Aku sekarang harus langsung pergi, tiba-tiba saja aku mendapat urusan mendadak yang tak bisa kutinggalkan.""Oh, baiklah, tak apa, kalau begitu Aku ikut!" ujar Lisa sembari mempercepat makannya."Tidak bisa, Aku harus pergi sendiri!" tegas Reynold dengan sangat serius sehingga membuat Lisa tidak enak jika ia memaksa untuk ikut dan akhirnya gadis itu pun menyerah. "Kau makanlah dengan santai, jangan terburu-buru, tidak baik," sambungnya.Lisa hanya mengangguk mengiyakan permintaan Reynold.Mendapat lampu hijau itu, tanpa pikir panjang Re
Benar dengan apa yang dicurigai Wendy. Reynold ternyata benar-benar membuntuti wanita itu di belakangnya."Hm, apa yang akan dia lakukan?" pikirnya dengan pandangan tajamnya terkunci pada punggung gadis yang sedang ia buntuti itu.tampak Wendy hanya berjalan saja dengan santainya dan riang. Wajahnya tampak berseri dan senyum polosnya itu terus ia tampakkan pada semua orang yang ia lewati. Tentu ia masih berperan sebagai Bella Valentine karena ia sangat yakin bahwa Reynold saat ini tengah membuntutinya entah di mana itu."Aku harus waspada, tidak boleh lengah! Jangan sampai pemuda itu mencurigaiku!" pikir Wendy dengan penuh keyakinan.Melihat sebuah kafe, ia pun masuk ke dalam sana agar ia bisa mengawasi sekitar sehingga ia bisa memastikan di mana kah Reynold mengawasinya.Ia memesan segelas capuccino, lalu mengambil tempat duduk di dekat jendela dan menghadap pintu masuk kafe.Ia duduk sambil menikmati minuman yang dipesannya sembari memandangi pemandangan di luar jendela dengan segel
Reynold sebenarnya belum pulang. Saat ini ia masih bersembunyi di tempat persembunyiannya untuk melanjutkan pengintaiannya terhadap Wendy. "Gadis ini benar-benar tidak sederhana," pikir Reynold sembari memeriksa jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 malam."Kali ini Aku harus lebih berhati-hati, jangan sampai dia menyadari keberadaanku!" Pemuda itu bertekad untuk tidak melalukan kesalahan yang sama seperti sebelumnya.Setelah cukup lama bersembunyi di tempat itu, tak lama ia mendengar suara langkah kaki kecil yang semakin terdengar menjauh. Karena malam sangat sepi dan sunyi, langkah kaki itu terdengar sangat jelas di telinga Reynold yang saat ini sedang berada dalam mode siaga."Sepertinya dia sudah mulai bergerak," pikir Reynold.Karena bisa mendengar suara derap langkah itu, Reynold berpikir untuk melepas sepatu yang dipakainya agar tiap langkahnya tidak terdengar juga oleh gadis yang sedang ia intai itu.Kemudian setelah itu, perlahan ia mengintip dari balik tembok, dan ta
Reynold kini sudah berada di rumahnya. Tampak rumah itu sangat gelap, tak ada satu lampu pun yang menyala di bagian luar rumahnya, atau bahkan di dalamnya, kecuali lampu di kamar ayahnya. Ia masuk ke dalam rumah dan tentu saja keadaan sangat gelap di dalam sana. Tanpa memedulikan hal sepele itu, pemuda itu langsung menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.Ketika ia sampai di depan pintu kamar ayahnya yang tertutup sangat rapat itu, samar-samar ia mendengar suara lembut wanita tengah berbincang dan tertawa di balik pintu. Tentu ia sangat penasaran akan siapakah sosok wanita yang sedang bersama ayahnya di dalam kamar itu, tapi ia berusaha mencoba untuk tidak peduli karena tentu saja ia berpikir bahwa ayahnya tidak ingin dia ikut campur dalam urusan yang sedang dilakukannya."Hm, padahal di pintu depan tadi Aku tidak melihat ada alas kaki wanita," gumam Reynold sembari berjalan berlalu dari pintu yang membuatnya sangat penasaran itu.DUG!Ia membuka pintu kamarnya dan kemudian menut
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau
Reynold sudah tidak terlihat lagi. Dia berlari dengan sangat cepat. Wendy tidak mengira pemuda itu bisa berlari secepat itu, bahkan ia bisa membuat seorang eksekutor seperti dirinya kehilangan jejak. "Well, sebenarnya dia tidak berlari secepat itu, tetapi ia menggunakan keadaan sekitarnya yang cukup ramai untuk menyamarkan jejaknya," pikir wanita itu, masih tetap berlari untuk mencari sosok jangkung pemuda menawan itu. "Pemuda itu benar-benar selalu melampaui ekspetasiku." Wendy tersenyum mengingat betapa menariknya target yang harus ia dapatkan itu. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat seakan memvisualkan bagaimana sangat bersemangatnya ia saat ini. "Aku tidak boleh menyerah! Aku harus menemukannya!" ucap wanita itu dengan begitu bersemangat. *** Sementara itu di sisi Chris. Pria casanova itu tampak sedang duduk di meja kerjanya sembari memandangi ponselnya lekat-lekat seakan ia sedang mempelajari sesuatu dari sana. "Hm, sepertinya wanita itu sedang bersenang-senang," guma