Sementara itu di kediaman Michael Clifford. Setelah menyelesaikan urusannya dengan rekannya yang bekerja di kepolisian mengenai percobaan pembunuhan Hilde, detektif jenius itu langsung pulang ke rumahnya, tempat teraman baginya dari telinga-telinga yang ingin tahu tentang apa yang ia rencanakan. Pria itu tengah duduk di kursi kebesarannya di depan televisi yang sedang tidak menyala. Semenjak sampai ke rumah, ia terus berbicara sendiri seperti orang gila, mengatakan isi kepalanya yang sulit dimengerti jika ada orang lain mendengarnya. Tangannya lalu merogoh saku celananya, dan dikeluarkanlah sebuah flashdisk berwarna keemasan dengan gantungan kelinci berwarna perak yang tampak lucu sekali. Pandangannya tertuju pada benda itu. Saking fokusnya, pandangannya tampak kosong seakan ia benar-benar sedang tenggelam dalam lautan pikirannya. Melihatnya seperti itu, ditambah dengan ia yang berbicara sendiri membuatnya sungguh terlihat seperti orang yang tidak waras. "Benar-benar benda ini
"Anak ini, dia sepertinya tertarik pada mahasiswi baru itu," pikir Michael dengan perasaan kaget yang tak bisa dijelaskan. "Aku tahu dia punya kekasih saja sudah sangat kaget, apa lagi melihat raut wajahnya seperti ini ... bahkan raut ini bukan karena kekasihnya, tetapi karena gadis lain," sambungnya. Detektif jenius itu memandang dengan seksama reaksi tidak biasa putranya itu, serta menampakkan diri bahwa ia benar-benar tertarik akan gadis yang membuat anak lelaki satu-satunya itu tergerak hatinya. "Jadi, ada apa dengan gadis itu?" tanya Reynold yang penasaran dengan diamnya Michael. "Tidak ada yang aneh, Aku hanya penasaran dengannya. Kau tampak tertarik padanya ... jadi, bagaimana dengan gadis itu? Siapa namanya?" tanya Michael dengan nada meledek. "Dia gadis yang aneh, namanya Bella Valentine." Entah karena tidak menyadari Michael tengah meledeknya atau karena tidak peduli, Reynold menjawab pertanyaannya. "Wah, mengejutkan sekali," gumam Michael yang cukup terkejut denga
POV Wendy. Beberapa hari kemudian. "Hai Rey!" Aku langsung menyapa pemuda dingin yang tengah berjalan itu dari kejauhan. Tetapi Reynold tidak menggubrisnya. Ia tak berhenti hanya sekedar untuk memastikan aku yang memanggilnya. Tak mau menyerah, aku pun berlari kecil menghampirinya, lalu menepuk pundaknya dengan cukup keras sehingga hap itu cukup untuk membuatnya berhenti dan menoleh padaku dengan tampang datarnya. "Selamat siang, Reynold!" Aku menyapanya kembali sembari memasang senyum terbaikku pada pemuda itu. "Hm, pagi." Reynold menjawab sapaanku dengan malas. Terlihat ketus, tapi takapa, yang penting dia membalas balik sapaanku. Kami terdiam, dan saling menatap satu sama lain dengan raut wajah yang bersebrangan. Aku berusaha tampak ceria, sedangkan dia memandangku dengan datar, seakan tak tertarik dengan apa pun yang hendak kulakukan, meski dia tetap diam menungguku melakukan sesuatu. "Apa?" tanyanya pada akhirnya setelah sebelumnya ia hanya diam. "Hehehe. Tidak
"Hallo Rob!" Aku menyapa Robert dengan ceria. "Sedang apa Kau di sini? Tidak biasanya," tanyaku, berbasa-basi sebagai permulaan dari interaksiku dengannya. Pemuda itu tersenyum lebar, lalu mengambil tempat duduk di sampingku, kemudian meletakkan 2 buku di tangannya ke atas meja. "Well, tentu saja untuk meminjam buku. Nanti sore ada mata kuliah kriminologi dasar, dan ya ... di perpustakaan program studi-ku buku tentang kriminologi tidak selengkap di sini," tuturnya. Robert tampak memandang pada Reynold dan aku secara bergantian, seakan sedang memastikan sesuatu. "Em, Kalian sedang kerja kelompok kah?" tanyanya, memastikan. "Oh, kami-" "Kami sedang belajar BERSAMA, dan saat Kau datang, Kami sedang berada di tengah sebuah diskusi." Reynold tiba-tiba menyela perkataanku dengan penuh penekanan. "O ... oh. Apakah dia cemburu? Benarkah itu?" pikirku yang seketika merasa bahagia sekali melihat tingkah targetku itu. Robert tersenyum lebar, seraya berkata, "Well, kalau begitu, sep
Suasana menjadi ramai. Setelah kedatangan Martin dan Viona, kami semua terlalu fokus pada dosen cerewet itu sehingga membuat baik aku atau pun Reynold tak saling memanas-manasi. Kulihat Robert begitu antusias dengan kedatangan pria ceria itu, tetapi Lisa tampak tidak suka karena sepertinya dengan kehadirannya membuat kekasihnya itu tidak memanjakannya lagi. "Well, sepertinya memang lebih baik ini," pikirku, senyum-senyum sendiri karena puas melihat wajah kesal Lisa. "Pak, sebenarnya sedang apa Bapak di sini? Bapak tidak ada kelas?" tanyaku, sekedar basa-basi. "Hm, Aku ingin lihat-lihat saja. Well, tenang saja, saat ini Aku sedang senggang," jawab pria aneh itu. Aku hanya mengerutkan kening, karena aku sangat yakin bahwa maksud 'lihat-lihat saja' dia bukanlah sebuah secara harfiah saja. Aku langsung beralih pada Viona, dan menanyakan hal yang sama juga padanya. "Hah~ dia langsung ingin ikut denganku ketika kukatakan bahwa Aku mau pergi ke perpustakaan." Viona menghela nap
Malamnya. Baru saja aku selesai membersihkan diri, tiba-tiba ponselku berdering. Tampak di layarnya tertera nama kontak Robert. Melihat hal itu, aku langsung teringat akan ucapan terakhirnya sebelum ia pergi dari perpustakaan. "Ja ... jangan bilang dia benaran menjemputku!" gumamku yang dengan malas memandang layar ponsel yang masih menampakkan dering telepon darinya. Tep! Mau tidak mau aku pun menerima panggilan itu. Benar saja, dia memanggilku hanya untuk memberitahu bahwa dia sudah berada di depan gedung apartement-ku. Karena sudah berjanji, aku pun langsung bersiap dan dengan segera turun untuk menemuinya. "Ah~ melelahkan sekali ... Aku sampai malas melangkahkan kaki untuk menemuinya." AKu terus mengerutu selama perjalanan menuju ke tempat pemuda itu menungguku. Tepat setelah aku menampakkan diri dari dalam gedung, tampak Robert sudah siap berdiri di depan mobilnya sembari melambaikan tangan. "Selamat malam, Bella!" sapa Robert dengan wajah yang tampak semringah m
Saat ini Aku sedang berada dalam perjalanan menuju ke kampus dengan berjalan kaki. Suasana begitu sejuk dan menyegarkan, benar-benar menyenangkan sekali perjalanan pagi hari ini. "Hoam ...." Meski begitu, aku kerap kali menguap dengan lebar karena masih mengantuk. Kulihat jam tanganku, dan kudapati ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 6.35, hanya tinggal 25 menit lagi perkuliahan pagi akan dimulai. Waktu yang cukup lama karena sekarang posisiku sudah cukup dekat dengan kampus. "Hm ... Sebenarnya bisa saja Aku tidak masuk hari ini. Toh Reynold juga tidak akan hadir di perkuliahan pagi seperti ini." gumamku, seketika kehilangan motivasi untuk melanjutkan langkahku setelah kuingat targetku itu tidak akan datang ke perkuliahan pagi ini. Aku pun menghentikan langkah, ketika terlintas dipikiran bahwa takada gunanya juga aku datang ke kampus pagi-pagi seperti ini. "Well, sepertinya hari ini Aku bolos saja." Kubalikkan badan dan berencana untuk jalan-jalan saja mencari angin. De
Reynold sudah tidak terlihat lagi. Dia berlari dengan sangat cepat. Wendy tidak mengira pemuda itu bisa berlari secepat itu, bahkan ia bisa membuat seorang eksekutor seperti dirinya kehilangan jejak. "Well, sebenarnya dia tidak berlari secepat itu, tetapi ia menggunakan keadaan sekitarnya yang cukup ramai untuk menyamarkan jejaknya," pikir wanita itu, masih tetap berlari untuk mencari sosok jangkung pemuda menawan itu. "Pemuda itu benar-benar selalu melampaui ekspetasiku." Wendy tersenyum mengingat betapa menariknya target yang harus ia dapatkan itu. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat seakan memvisualkan bagaimana sangat bersemangatnya ia saat ini. "Aku tidak boleh menyerah! Aku harus menemukannya!" ucap wanita itu dengan begitu bersemangat. *** Sementara itu di sisi Chris. Pria casanova itu tampak sedang duduk di meja kerjanya sembari memandangi ponselnya lekat-lekat seakan ia sedang mempelajari sesuatu dari sana. "Hm, sepertinya wanita itu sedang bersenang-senang," guma
Saat ini hari sudah sore. Setelah mendapatkan titik lokasi tempat saat ini Hilde dan Michael berada, tanpa menunggu lama, aku pun langsung berangkat menuju ke tempat itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di depan sebuah gang gelap yang di mulut gangnya tampak cukup ramai karena saat ini adalah jam-jam pulang bagi para pekerja kantoran. Mendapati hal itu, aku hanya mengernyitkan dahi, benar-benar tidak habis pikir mengapa Michael membawa Hilde ke tempat seperti itu. "Hm, titik lokasi yang dikirim Chris sudah benar, tetapi aku tidak melihat mereka ... sebenarnya apa yang sedang mereka berdua lakukan di dalam gang itu?" pikirku dengan memusatkan pandanganku pada gang yang berada tepat di depanku. Wajahku sudah kututup oleh masker, jadi dengan begitu penampakkan wajahku bisa sedikit tersamarkan. Aku harus berhati-hati karena mengingat Michael pernah berinteraksi denganku ketika kami berada di pesta Hilde waktu itu. Dia pria jenius, aku yakin hanya dengan sekali lihat saja dia pa
POV Wendy. "Misi apa yang akan pria itu berikan dengan membuat kita bertiga berkumpul seperti ini?" pikirku sembari menatap sosok Chris yang tengah duduk sembari menatap kami bertiga dengan serius. "Si bajingan Vincent kemarin buka mulut. Dia terus mengoceh, sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa ada hal serius yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan itu berhubungan Coltello. Mau tidak mau organisasi akan terlibat dalam sebuah perang antar organisasi kecil dan itu tidak bisa dihindari!" Chris mulai menuturkan hal yang menjadi penyebab yang sepertinya membuat pikirannya terganggu. Mendengar hal itu, sontak saja semua orang terlihat semakin serius. "Dia tidak mengatakan detailnya, tetapi itu berhubungan dengan tuan Jimmy Heartnewt. Dia hanya bilang bahwa dengan adanya pejabat itu di sisi mereka, maka Coltello pasti tidak akan baik-baik saja!" Chris melanjutkan perkataannya. Pria itu, melirik ke arahku, kemudian berkata, "Wendy, kuperintahkan Kau untuk mengawasi
Michael memandang Hilde dengan perasaan penuh antusias, benar-benar ingin segera mengetahui apa yang hendak tante girang itu bicarakan dengannya, di samping dia ingin 'benda' yang ada padanya. Sedangkan wanita itu tampak tertunduk sedih di samping pria itu sembari memainkan tangannya. "Hm? Nyonya Hilde, mengapa Anda hanya diam saja?" tanya Michael sambil memasang senyumnya yang menawan. Hilde dengan ragu melirik pria rupawan itu. "Tuan Clifford, Saya merasa ketakutan," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Well, itulah yang seharusnya Anda rasakan. Anda baru saja menjadi target pembunuhan, tentu saja hal semacam itulah yang harus Anda rasakan," ujar pria itu. Hilde langsung berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari Michael, lalu berkata dengan menggebu-gebu, "Tuan, Anda sudah menyelamatkan nyawa Saya malam itu. Saya yakin Anda bisa-" "Sejujurnya, Nyonya Hilde, yang Saya lakukan hanyalah menangguhkan waktu pembunuhan Anda. Anda berhasil lolos malam itu, bukan berarti Anda
"Well, Rey, Rob, tunggu sebentar ya! Sebentar lagi kelasku selesai," seru Martin. "Baik, ayah mertua!" timpal Robert dengan bersemangat, berbanding terbalik dengan Reynold yang hanya merespons dengan sebuah anggukan malas. Martin tersenyum, lalu kembali ke dalam kelas, melanjutkan perkuliahannya. Tinggallah kedua pemuda itu sendiri. "Sebenarnya untuk apa Kau menemui Pak Martin?" Reynold yang masih penasaran, menanyakan hal yang menurutnya ganjil itu. "Eh? Aku hanya datang untuk kunjungan rutinku. Takada masalah mengenai itu, kan?" jawab Robert dengan santainya. "Kunjungan rutin apa?" Reynold bertanya makin jauh. "Itu bukan urusanmu~" timpal lawan bicaranya yang terlihat seperti sedang menjahilinya. Mendengar respons itu, Reynold tidak memperpanjangnya lagi karena sejujurnya ia cukup kesal mendengar bagaimana pemuda itu menjawab tiap pertanyaannya. "Tapi ada satu hal pasti yang menjadi urusanmu, yaitu uruslah kekasihmu sendiri, dan jauh-jauhlah dari Bella!" Pemuda it
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di depan pintu masuk gedung aprtement-ku. "Terima kasih, Rey!" ucapku dengan riang gembira. Reynold hanya memandang dengan malas padaku. Aku memeluk erat boneka unicorn pemberian darinya sembari cengengesan. "Terima kasih juga bonekana ... Aku sangat menyukainya," ungkapku. "Aku tidak sengaja memberikannya-" "Aku akan menamainya ReyBell!" selaku, langsung memberitahukan nama boneka pemberiannya. "Hm, Reynold Bella, kah? Dasar gadis aneh!" gumamnya sembari menyalakan kembali motornya, sepertinya ia bersiap untuk pergi. Aku menghadapkan kepala boneka itu pada Reynold, seraya berkata dengan nada jahil, "Reybell, ayo katakan sesuatu pada Papa!" Reynold langsung menoleh padaku dengan tampang terkejut. "Papa, hati-hati di jalan ... sampai jumpa lagi!" Aku mengubah suaraku sembari mengerak-gerakkan kaki depan boneka unicorn itu seakan dia sedang melambai pada pemuda yang sudah memberikan boneka ini padaku. "Dasar gadis aneh!" guma
Belum sempat aku menjawab apa yang ditanyakannya, Reynold menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai makanan sederhana. "Em, Rey?" Aku memanggilnya dengan heran. "Turunlah!" serunya. Aku pun melakukan apa yang diserukannya dengan tampang bingung. "Kenapa Kita berhenti di sini?" tanyaku. Pemuda itu menurunkan standar motornya, lalu turun dari motornya, dan setelah itu melengos pergi menuju ke pintu masuk kedai seraya berkata, "Aku lapar!" "Hah? Apa? Eh, tunggu Aku!" Takingin tertinggal olehnya, aku berlari kecil untuk mengejarnya. *** Kini kami duduk berhadapan di dalam kedai itu. Makanan sudah dipesan dan kami hanya tinggal menunggu pesanan kami datang. Ini pertama kalinya aku dan Reynold makan berdua seperti ini. Sejujurnya entah mengapa aku merasa gugup, karena kami benar-benar tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam saling menatap. Pemuda itu bahkan tidak memainkan ponselnya dan ia hanya memandangi sekitar dan sesekali memandang ke arahku dengan tampang
"Aku akan tahu rahasia Reynold! Aku harus berjuang!" pikirku dengan rasa begitu antusias mengikuti langkah targetku ini. Pintu geser kaca otomatis pun langsung terbuka ketika kaki kami menyentuh lantai di depannya. "WOAH ...." Aku memasang tampang bodoh seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke dalam sebuah gedung yang penuh dengan berbagai macam game arcade di dalamnya. Aku langsung beralih pada Reynold dengan antusias, seraya bertanya sambil menarik-narik bajunya, "Rey, Rey! Mau main yang mana dulu ini?" Pemuda itu menoleh padaku dengan malas, lalu berjalan begitu saja menuju ke tempat pembelian koin. "Kau yang pilih!" tegasnya setelah ia membeli koin yang cukup banyak. "Eh? Baiklah!" timpalku dengan bersemangat. Kuedarkan pandanganku untuk mencari mesin permainan yang terlihat menarik untuk pertandingan kami. "Ayo Kita main itu!" Aku menunjuk sebuah mesin game arcade Tekken yang terlihat masih baru tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hm." Reynold hanya m
POV Wendy. Kedua mataku terbelalak melihat pemandangan mengejutkan itu. Setelah mencari pemuda itu selama satu setengah jam, akhirnya Aku menemukannya dalam situasi yang membuatku takhabis pikir. Sebuah situasi di mana Reynold terlihat bahagia bercanda dan beberapa kali ia juga tertawa dengan gadis kecil yang terlihat seperti berumur 7 tahunan di punggungnya itu. "Bocah cilik itu siapanya Reynold?" gumamku yang masih tak percaya dengan apa yang kulihat. "Reynold! Luna!" Seorang wanita berlari kecil sambil memanggil mereka. Pemuda dan bocah cilik itu menoleh pada wanita itu. Seorang wanita dewasa yang terlihat manis dan terlihat menenteng kantong kresek. Bocah itu terlihat antusias dan Reynold pun berjalan mendekat pada wanita itu sambil menggendong gadis cilik yang sepertinya bernama Luna itu. Mereka bertiga terlihat bercengkerama bersama dengan menampakkan senyum lepas satu sama lain sehingga mereka benar-benar terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia. "Aku tida
Michael tengah duduk di depan seorang pria bermantel biru khas seragam kepolisian. Mereka duduk berhadapan dengan tampang si pria dari kepolisian itu terlihat kesal. Sedangkan Michael terlihat begitu santai, takpeduli dengan tampang kesal pria itu. "Jadi, Kau tetap takingin menyerahkan benda yang Kau dapatkan itu?" tanya pria itu dengan gigi bergemertak seakan sedang menahan kekesalannya. "Yaps! Aku berhak menolak karena itu adalah properti pribadiku. Kau ini polisi, pasti Kau sangat tahu hak-hak warga negara bukan?" jawab Michael dengan tenang. "Tuan Michael Clifford, Aku rasa itu bukan benda milikmu, jadi kami berhak untuk mengambilnya demi kepentingan negara!" Polisi itu menyanggah apa yang dikatakan pria yang tampak menyebalkan dengan seringainya yang tiba-tiba saja tampak semenjak mereka bertemu. Michael menghela napas, lalu sidekap di pahanya, lalu berkata, "Kau sepertinya lupa dengan tujuanmu sejak awal. Semenjak Kau datang Kau hanya membicarakan 'benda itu.' Well, Kau