"Hallo Rob!" Aku menyapa Robert dengan ceria. "Sedang apa Kau di sini? Tidak biasanya," tanyaku, berbasa-basi sebagai permulaan dari interaksiku dengannya. Pemuda itu tersenyum lebar, lalu mengambil tempat duduk di sampingku, kemudian meletakkan 2 buku di tangannya ke atas meja. "Well, tentu saja untuk meminjam buku. Nanti sore ada mata kuliah kriminologi dasar, dan ya ... di perpustakaan program studi-ku buku tentang kriminologi tidak selengkap di sini," tuturnya. Robert tampak memandang pada Reynold dan aku secara bergantian, seakan sedang memastikan sesuatu. "Em, Kalian sedang kerja kelompok kah?" tanyanya, memastikan. "Oh, kami-" "Kami sedang belajar BERSAMA, dan saat Kau datang, Kami sedang berada di tengah sebuah diskusi." Reynold tiba-tiba menyela perkataanku dengan penuh penekanan. "O ... oh. Apakah dia cemburu? Benarkah itu?" pikirku yang seketika merasa bahagia sekali melihat tingkah targetku itu. Robert tersenyum lebar, seraya berkata, "Well, kalau begitu, sep
Suasana menjadi ramai. Setelah kedatangan Martin dan Viona, kami semua terlalu fokus pada dosen cerewet itu sehingga membuat baik aku atau pun Reynold tak saling memanas-manasi. Kulihat Robert begitu antusias dengan kedatangan pria ceria itu, tetapi Lisa tampak tidak suka karena sepertinya dengan kehadirannya membuat kekasihnya itu tidak memanjakannya lagi. "Well, sepertinya memang lebih baik ini," pikirku, senyum-senyum sendiri karena puas melihat wajah kesal Lisa. "Pak, sebenarnya sedang apa Bapak di sini? Bapak tidak ada kelas?" tanyaku, sekedar basa-basi. "Hm, Aku ingin lihat-lihat saja. Well, tenang saja, saat ini Aku sedang senggang," jawab pria aneh itu. Aku hanya mengerutkan kening, karena aku sangat yakin bahwa maksud 'lihat-lihat saja' dia bukanlah sebuah secara harfiah saja. Aku langsung beralih pada Viona, dan menanyakan hal yang sama juga padanya. "Hah~ dia langsung ingin ikut denganku ketika kukatakan bahwa Aku mau pergi ke perpustakaan." Viona menghela nap
Malamnya. Baru saja aku selesai membersihkan diri, tiba-tiba ponselku berdering. Tampak di layarnya tertera nama kontak Robert. Melihat hal itu, aku langsung teringat akan ucapan terakhirnya sebelum ia pergi dari perpustakaan. "Ja ... jangan bilang dia benaran menjemputku!" gumamku yang dengan malas memandang layar ponsel yang masih menampakkan dering telepon darinya. Tep! Mau tidak mau aku pun menerima panggilan itu. Benar saja, dia memanggilku hanya untuk memberitahu bahwa dia sudah berada di depan gedung apartement-ku. Karena sudah berjanji, aku pun langsung bersiap dan dengan segera turun untuk menemuinya. "Ah~ melelahkan sekali ... Aku sampai malas melangkahkan kaki untuk menemuinya." AKu terus mengerutu selama perjalanan menuju ke tempat pemuda itu menungguku. Tepat setelah aku menampakkan diri dari dalam gedung, tampak Robert sudah siap berdiri di depan mobilnya sembari melambaikan tangan. "Selamat malam, Bella!" sapa Robert dengan wajah yang tampak semringah m
Malam yang gelap gulita, kira-kira sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Waktu yang orang normal gunakan untuk tidur dan beristirahat setelah aktivitas mereka di siang hari. Namun, tidak dengan gadis cantik berambut hitam panjang bermata hijau ini, ia tengah berdiri memandang dingin seorang pria yang tergeletak di hadapannya dengan bermandikan sinar rembulan. Pria itu meringkuk di atas genangan darah yang berasal dari tubuhnya dengan luka menganga akibat tikaman diperutnya. Kulitnya sudah terasa dingin dan badannya kaku, dengan begitu dapat dipastikan bahwa pria itu sudah tewas. Gadis cantik itu tidak terganggu dengan mayat yang tergeletak di hadapannya itu, ia malah menatapnya dengan dingin tanpa ekspresi seakan hal itu bukanlah apa-apa baginya. "Ini terlalu mudah," gumam gadis itu sembari berlalu tanpa memedulikan apa yang baru saja dilihatnya. Wendy Madeline, itulah nama gadis dingin itu. Ia adalah salah satu anggota kelas menengah organisasi mafia Coltello.
Sepulangnya dari kantor Chris, Wendy langsung mengurung diri di ruang kerjanya yang sangat dipenuhi oleh kertas-kertas dan benang-benang merah yang ditempel di dindingnya. Kertas-kertas itu merupakan berkas-berkas mengenai target-targetnya dan benang merah berfungsi sebagai penghubung antara target dengan hal-hal lainnya. Selain itu di ruang kerjanya terdapat beberapa senjata seperti pistol, katana, pisau, dan lain sebagainya yang tersimpan rapi dalam lemari kaca, sungguh ruangan yang sangat menggambarkan sekali seorang eksekutor.Wendy duduk di kursi kebesarannya sembari membuka lembar demi lembar berkas informasi tentang targetnya kali ini, Reynold Clifford.Wendy sangat sulit sekali untuk fokus mempelajari berkas informasi targetnya, karena matanya selalu teralihkan pada potret targetnya yang sangat menawan itu. Merasa terganggu dengan foto itu, ia lalu berdiri dan menghampiri tembok yang masih memiliki ruang kosong dan menempelkan foto targetnya itu di sana."Bagaimana cara untuk
"Kenapa orang ini malah jadi mengikutiku?" pikir Wendy sembari melirik Reynold yang pada akhirnya malah ikut berjalan bersamanya menuju sebuah lapangan di dekat rumahnya."Nah Kita sudah sampai, Kau tadi bilang akan mengelilingi lapangan ini bukan?" tanya Reynold pada Wendy.Lapangan yang berada dekat dengan rumah Reynold itu saat ini terlihat tidak terlalu ramai, ada beberapa orang yang tengah duduk-duduk bercengkerama di lapangan, joging, atau hanya berjalan-jalan saja di sana. Lapangan yang ternyata tidak sepi itu membuat Reynold merasa lega, karena ia akhirnya bisa pergi dengan tenang."Di sini sepertinya tidak terlalu sepi, jadi Aku pulang ya," ucap Reynold yang langsung bergegas meninggalkan Wendy di lapangan.Wendy hanya diam melihat punggung Reynold yang kian lama kian menjauh, ia benar-benar tidak mengerti alasan mengapa Reynold ikut bersamanya ke lapangan dan tiba-tiba meninggalkannya sendirian di sana."Tunggu dulu! Apakah itu maksudnya dia hanya ingin memastikan Aku aman s
Beberapa hari kemudian.Hari ini adalah hari pertama Wendy masuk ke kampus yang sama dengan Reynold. Ia berdandan sangat natural seperti mahasiswi normal pada umumnya dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang tidak boros membuat sosoknya bisa berbaur dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. Selain itu, ia juga berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, menggendong tas yang berisi buku-buku mata kuliah hari ini, tersenyum ramah pada pak satpam yang berjaga di pos satpam universitas, pokonya ia benar-benar sudah seperti mahasiswi ramah normal yang datang ke kampus untuk menuntut ilmu.Beberapa hari sebelum memulai misinya di kampus ini, Wendy mendapatkan beberapa rincian mengenai identitas yang akan ia gunakan dalam misi ini dari Chris. Ia akan menggunakan identitas Bella Valentine untuk menutupi identitas alinya. Chris benar-benar menuliskan semua rinciannya dengan sangat detail, termasuk dengan kepribadian, dandanan, serta gaya berpakaian yang harus Wendy gunakan
Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.Ting!Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya."Semangat