“Kau curang, Ver! Aaaahhhh .... jangan siksa aku lagi sayang,” protes Berliana.
Sementara di atas tubuhnya, Vero masih menindih lembut tubuhnya. Menahan separuh berat tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya yang terlipat separuh, bertumpu dengan sikunya.
“Jangan lakukan itu Ver!!” protes Berliana lagi. “Uhhh, .... lakukan saja jangan menggantungku seperti ini,” lenguhnya.
Vero menenggelamkan wajahnya di tengkuk Berliana. Membiarkan perempuan itu melingkarkan tangan dan kakinya di tubuh kekarnya.
Tapi justru bukan itu yang membuat Berliana protes.
Vero dengan jail sengaja tak memasukkan kejantanannya. Sengaja menggesekkannya. Memainkan ujungnya di depan bibir vagin* Berliana. Sengaja berlama lama bermain di sana.
Membayangkan sebesar dan sepanjang pen*s Vero saja sudah membuat Berliana tercengang. Apalagi kin
Pelan-pelan batang besar itu bergerak. Sebab sudah dipaksa menelan semuanya hingga pangkal vagin* Berliana mulai terbiasa.Meski tak dipungkiri rasa perih itu masih ada sedikit. Tapi tidak separah dan sesakit beberapa menit yang lalu. Saat laki-laki itu dengan kasar mendorong semua batang pen*snya masuk. Bahkan dengan tega menusuk-nusukkan hingga bagian paling dalam yang bisa ia raih.Vero mengangkat tubuhnya yang sedari tadi merengkuh tubuh Berliana di bawahnya.Berliana mengerti apa yang akan dilakukan laki-laki itu segera membuka pahanya lebar-lebar lagi. Agar setiap gesekan yang terjadi di bibir vagin*nya tak begitu terasa nyeri.Namun pada akhirnya tetap seperti semula. Rasa perih itu masih bermukim. Membuatnya meringis, menahan, agar Vero tak kasihan lagi menatap dirinya yang kesakitan. Agar laki-laki itu segera mengakhiri permainannya.Multi orgasme yang tadi melandanya te
Berbeda memiringkan tubuhnya. Melingkarkan tangannya di atas tubuh Vero. Kemudian tersenyum merasa bangga dengan laki-laki ini.Sebentar kemudian Vero menurunkan kepalanya, mencium kening Berliana.“Terima kasih ya,” ucapnya lembut.Dijawab oleh perempuan itu dengan anggukan kecil, membalas kecup kening Vero dengan kecupan manis di pipi laki-laki itu. Vero ingin balas memeluk Berliana. Tapi tangannya ditepis. Perempuan itu menggeliat lagi. Sebentar duduk di pinggir ranjang, kemudian berdiri.Dengan tubuh payah dan lemasnya ia beringsut keluar kamar sebentar. Meninggalkan Vero yang tengah beristirahat setelah gelombang orgasme melanda tubuhnya hingga kelelahan.Berliana kembali dengan tisu di tangan. Berdiri di depan kaca yang tingginya cukup untuk melihat seluruh bagian tubuhnya. Meski pada akhirnya ia hanya menatap satu sisi dari tubuhnya, bagian depan.
“Selamat pagi.”Embun pagi sudah menguap dari tadi. Matahari sudah hampir tinggi. Jalanan di depan restoran semakin ramai.Akhir pekan, banyak orang yang pergi. Sekedar melepas penat atau bahkan hingga pergi keluar kota. Menyisakan sesak isi kepalanya di rumah. Memilih mengisi ulang kepalanya dengan hal-hal menyenangkan.Garis putih bibir pantai. Terpaan angin yang membawa bulir-bulir air dari air terjun. Atau sekedar membaca buku di tempat sejuk yang sepi.Semua punya tujuan yang sama. Yaitu agar senin besok, hari baru diisi oleh semangat baru.“Uhhhhh .... Hemmm .... Pagi juga Ver!” Berliana melenguh. Menarik selimutnya menyingkir dari tubuhnya. Melemaskan semua otot-otot di tubuhnya.“Nyenyak sekali ya tidurnya?” tanya Vero.Berliana mengangguk. “He’eemmm ... huaaahhhhh
Seketika dada Berliana sesak mendengar jawaban Vero. Bagaimana laki-laki itu bisa memikirkan hal yang sama dengannya?Sejujurnya, tidak mudah juga bagi Berliana untuk menggantikan posisi Dhita dengan Vero. Tapi laki-laki satu ini berhak dapat apresiasi atas jasanya menyelamatkan pesta kecil kemarin.Sejujurnya, pesta itu ada sangat mendadak. Kerak telur itu sebenarnya bukan orderan milik restorannya. Itu adalah milik restoran Pak Herlambang yang terpaksa mau tidak mau ia terima, malam sebelum pagi harinya kedai janda disibukkan karena ada banyak telur bebek.Malam itu Pak Herlambang menelepon Berliana untuk memberi tahu satu hal penting.“Aku harus bilang ini meski berat. Kokiku libur bersamaan besok. Tak ada yang bisa memasak kerak telur selain mereka di restoran ini,” ucap laki-laki gendut itu di seberang telepon.“Loh, maaf Pak Herlambang. Maaf banget sekali
“Kau tahu apa yang harus dilakukan bukan?” tanya Vero.Perempuan itu mengangguk. Tanpa banyak bicara, tanpa menjawab pertanyaan Vero tanpa menunggu arahan laki-laki itu, tubuhnya bergerak.Merasakan dingin air pada lapisan kulit di bongkahan pantatnya saja bisa menaikkan gairahnya. Apalagi sekarang ketika itu bercampur dengan kenikmatan yang Vero berikan.Saat itu yang ada di pikiran Berliana ada berfokus dengan sesuatu di bawah sana.Ia beringsut, menggerakkan pinggul dan bokongnya maju dan mundur seakan menggesekkan benda yang sudah menancap dalam-dalam di lubangnya itu. Menggesekkannya hingga ia merasa ada sesuatu yang meluruh dari lubangnya.Membuat gesekan itu semakin basah.Ditambah gelombang air yang diciptakannya. Mengikuti maju mundur gerakannya. Berliana tak ingin buru-buru meski kini ia sungguh rasakan gatal di bawah sana.
“Ver! Kue cucur meja enam, botok dua, nasi putih 3 porsi, satu porsinya kecil. Tambahkan jeroan ayam dua porsi. Desert nya dia minta jenang mutiara komplit pakai parutan kelapa, sama juga dua porsi. Jangan lupa es jeruk dua tambah teh hangat porsi kecil satu,” ucap Angga dengan cepat. Buru-buru sambil meletakkan nampan di dekat Vero.“Hei, kau ingat semua kan?” tanya laki-laki itu lagi. Menyorot mata Vero. Sementara laki-laki yang disorot sedang sibuk dengan kedua tangannya. Mengaduk, mencampur, mengisi, membubuhkan berbagai macam bahan ke dalam wajan.Vero mengangguk mantap. “Botok dua, nasi putih tiga porsi, dua besar satu kecil. Jenang mutiara komplit dua porsi, tambah jeroan ayam dua porsi. Es jeruk dewasa dua, dan teh hangat porsi anak-anak satu. Tambah kue cucur. Semua meja enam,” ucapnya mengulang kalimat Angga.“Ada yang terlewat?” sorot Vero balik. Sambil seketika
“Enggak-enggak, ini ga boleh dibiarkan,” dengus Vero kesal di dalam hati. “Gua harus minta maaf. Nggak, nggak boleh. Ini ga boleh dibiarin.” Ia mengulangi kalimatnya lagi.Kejadian barusan membuatnya kikuk. I-iy-iya bukan maksud Vero juga atas kejadian itu. Semua laki-laki di dunia ini pasti juga akan melakukan hal yang sama. Pasti akan terjebak di tempat yang sama. Dua bongkah gunung kembar itu.Sekarang Vero jadi tahu kenapa Dhita selalu pakai baju longgar hingga terkesan jadi tomboi. Ternyata itu yang selama ini ia sembunyikan.Tapi mau bagaimana pun dalam hati Vero, laki-laki itu tak bisa menyembunyikan perasaan malu dan bersalahnya tertangkap basah terbengong melihat pemandangan itu.Hingga akhirnya ia bertekad untuk menyelesaikan gundah hatinya dan meminta maaf nanti sepulang kerja. Atau minimal setelah pekerjaan sedikit longgar, atau jika ada kesempatan tak terduga lagi
Seketika semua pengunjung terdiam. Mengamati keributan yang tengah tengah terjadi di sudut kedai.Tapi diam adalah hal yang tidak berlaku untuk Vero. Tubuh tinggi besar itu seketika bangkit dari kursinya. Mendengar teriakan histeris dari Vera, gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.Berlari langsung ke depan, menyibak beberapa orang, gesit melewati meja dan kursi yang penuh dengan orang yang belum selesai menyantap hidangan di depannya.Kecepatan kedua langkah kaki Vero membawanya segera sampai di meja kasir. Dan di depan mata kepalanya ia menyaksikan kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.Angga dan Vera tertunduk lesu duduk di meja kasir berdua. Sementara seorang laki-laki tengah berdiri dengan satu tangannya masih tertahan di meja.Sudah jelas laki-laki itu lah penyebab semua kegaduhan di restoran saat ini. Jelas-jelas ini kesalahannya.Lak
“Nggak! Nggak mungkin Wil,” jawab Vero cepat sambil menggelengkan kepalanya.“Ver!” Tangan Wilda menangkap lengan Vero. Menghalangi laki-laki itu pergi dari hadapannya. “Tunggu dulu. Ini masih mungkin Ver! Dengerin baik-baik. Duduk dulu!”Laki-laki yang terlanjur berdiri itu mau tidak mau kini terpaksa duduk kembali. Wajahnya tertekuk, mendengus kesal.“Ayolah, kita bisa balik seperti dulu Ver! Ya kan Pak Januar?” ucap Wilda lagi. Ditambah melempar sorot matanya ke Pak Januar juga. Tapi laki-laki paruh baya itu hanya menundukkan kepalanya. Tak bisa menjawab apa pun.Tampak jauh lebih putus asa. Membuat percakapan tiga orang dalam satu meja itu kini berubah sunyi. Saling terdiam cukup lama, berdebat dengan isi kepalanya masing-masing.“Tapi kau tak tahu masalahnya Wil!” protes Vero akhirnya angkat suara. Memecah keheninga
Seorang laki-laki berlari kencang setelah memarkirkan motornya sembarangan. Mengabaikan teriakan tukang parkir yang lagi-lagi harus membetulkan posisi motornya setelah belasan motor lain sebelumnya. Menggerutu menyumpahi laki-laki yang bahkan jaketnya belum terpasang sempurna di tubuhnya.“Maaf Pak maaf, tolong! Nanti uang parkirnya gua tambahin!”Tubuh kurus dengan gaya rambut yang belum berubah itu melanjutkan larinya. Masih gondrong, diikat ke belakang dengan karet gelang. Ujung rambutnya melambai mengikuti langkah kedua kakinya yang bergerak secepat yang ia bisa.Menyibak kerumunan, berjalan miring, berdesakan, merangsek ke tempat yang masih jauh di depan sana.“Permisi Mbak!”“Maaf Buk. Maaf Pak.”“Saya sedang buru-buru. Maaf bapak ibuk.”Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan sederet k
Semua polisi seketika menundukkan kepala. Melihat laki-laki yang baru saja turun dari motor. Laki-laki yang kini sudah sempurna melepas jaket hitamnya. Memamerkan seragam kepolisian dengan berbagai pangkat menggantung di atas saku kiri bajunya.Sementara Wilda berjalan lebih dulu dari pria tersebut. Menyibak kerumunan, memberi jalan pada laki-laki yang mengekor di belakangnya.“Semoga gua belum terlambat,” ucap Wilda begitu tubuhnya tiba di dekat Vero. Melihat laki-laki itu yang kini mengangkat wajahnya. Tersenyum miring menatap rekan kerjanya yang baru datang itu.“Tadi pagi gua yang terlambat. Sekarang malah jadi elu yang telat datang dasar pahlawan kesiangan,” umpat Vero ke arah laki-laki yang kini heboh di sampingnya.Menarik tangan Vero untuk berdiri tapi tertahan. Baru sadar kalau dua tangan temannya tersebut sudah diikat dengan sepasang borgol.&ldq
“Tidak, tidak mungkin!” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Berliana saat ia tersadar dari pingsannya.Pukul lima sore, matahari masih cukup menerangi bumi. Sinarnya masih terasa hangat meski di sebagian belahan bumi terasa dingin. Seperti di depan Restoran Janda. Di mana karyawan dan polisi juga Pak Ferdy masih berkumpul. Mengurai, mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi.“Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin terjadi. Ini pasti mimpi,” ucap Berliana lagi. Sorot matanya kosong. Menatap ke atas, ke kerumunan awan kecil yang berarak di langit.Hampa, bingung, selesai, perempuan itu seperti orang yang goyah kejiwaannya. Jatuh ke dalam lubang terdalam di hidupnya lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihat kedua bola matanya saat tiba di rumah sakit tadi.Belasan orang, rata-rata anak kecil di bawah sepuluh tahun dalam satu kamar rumah sakit. Selang oksigen yang te
Sayangnya, semua sudah terlambat. Sangat-sangat terlambat, tak ada yang berhasil dihadang. Tak ada yang bisa dipitar ulang.Berliana kembali ke restoran dengan perasaan lemas. Kedua kakinya layu, bahkan sudah pingsan saat turun dari mobil yang baru membawanya kembali dari TKP.Pintu mobil terbuka. Matanya yang berderai air mata ditutupi tangan yang memegangi tisu. Vero dan Pak Januar seketika berlari saat tubuh Berliana terlihat berjalan sempoyongan. Meraih kedua lengannya, membopongnya.“Selesai, terlambat, ini semua selesai,” bisik perempuan itu terakhir. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang.Suasana restoran berubah mencekam saat belasan polisi tiba-tiba datang. Datang dengan tiga mobil sekaligus.Siapa yang tidak kaget dengan kedatangan mereka tiba-tiba. Semula semua orang mengira bahwa bapak-bapak polisi ini hanya akan makan siang di restoran ini seperti bisan
“Kalau kamu, Ta?” Leher Berliana berputar. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang ada di sisi kanannya. “Apa ada masalah dengan rotimu? Sebaiknya kali ini kabar baik yang kuterima.”Sama seperti Vero, perempuan itu juga menggelengkan kepala. “Semua aman, Mbak. Tetap di posisi dan bentuk terakhir sebelum saya meninggalkannya pulang kemarin sore. Kabar baiknya, saya juga sudah buatkan kardus khusus untuk mengemas roti ini nanti. Karena kardus yang kita punya di gudang tidak cukup besar untuk mengemasnya. Jadi saya putuskan untuk bawa dari rumah.”“Good!” jawab Berliana singkat. Melipat tangan di dadanya, melirik ke arah Vero dan Dhita bergantian. “Hari ini, seperti kemarin, kita adakan rolling jam. Kalian akan bekerja bergantian lagi. Bedanya, sekarang Vero lebih dulu. Masukkan rotimu ke dalam cup langsung setelah ini. Jadikan seratus cup cake sekalian. Nanti agar lebih cepat biar sa
Kemudian hari baru, menetas lagi.Membuka sebagian banyak mata manusia yang sudah melabuhkan lelahnya di dalam tidur yang panjang. Memberi kesempatan mereka menarik napas lega pagi ini. Merasakan nikmat yang tak terkira di hari yang berbeda.Nikmat yang saking seringnya mereka rasakan sampai lupa bahwa mereka masih memiliki itu semua. Kenikmatan bernapas, kenikmatan membuka mata dengan semua organ tubuh yang masih lengkap. Kenikmatan melihat matahari masih terbit dan mata hati mereka yang masih berani menatap kenyataan.Bahwa bumi masih berputar hari ini. Bahwa matahari masih menggantung di atas langit sebelah timur sana. Bahwa waktu masih memberi kita panggung untuk pentas sandiwara maha agung dengan peran kita masing-masing.Anak sekolah berangkat ke sekolah dengan penuh gairah. Ada yang diantar, ada yang berjalan bersama-sama, ada yang berlarian saling kejar. Nikmat yang bahkan tak pernah mereka s
Dan hari itu pun ditutup seperti hari-hari biasanya.Dimulai dengan pagi hari yang sangat cerah. Ditutup dengan matahari di ufuk barat yang meredup dengan sangat indah. Mengiring orang-orang yang sudah lelah seharian bekerja untuk pulang. Mengantar kalender menutup satu hari barunya. Berganti chapter, mengubah episode tapi dengan kisah yang masih sama.Restoran Janda tutup sedikit lambat hari ini. Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya.Bukan, bukan karena ramainya pengunjung yang datang. Bukan juga karena lembur atau perbaikan alat masak. Bukan juga karena kerja bakti bersih-bersih yang selalu di agendakan oleh mereka setiap akhir bulan.Tapi hari ini, mereka serempak untuk menunggu semua karya Vero selesai. Romantis sekali, bahkan Berliana sampai keluar dari ruangan. Turun ke lantai satu. Berbagi minuman, berbagi kopi dengan semua karyawannya. Berbincang, bergurau dengan semua karyawanny
Sementara itu tepat saat Vero meniti anak tangga, rencana Dhita berjalan sangat lancar. Perempuan licik penuh dendam itu bersumpah tak akan gagal lagi kali ini.Tersenyum penuh kemenangan, di mana pada akhirnya laki-laki itu keliar dari biliknya untuk waktu yang lama.Dhita harus segera menyelesaikan pesanannya, ia tak boleh melewatkan kesempatan ini. Mengambil mangkok sup. Mengisinya dengan seporsi sop buntut. Lengkap dengan taburan bawang goreng dan seledri irisan tipis daging di atasnya.Bergerak lagi mengambil satu piring saji yang pipih dan lebar. Mengambil dua porsi pepes ikan dari panci kukus. Aroma kemangi yang bercampur dengan segarnya tomat dan parutan kelapa menyeruak. Membuah air liur Dhita pecah. Membayangkan menyantapnya dengan nasi putih hangat dan sambal tomat.Tapi tetap saja, aroma itu tak cukup kuat untuk menghentikan Dhita.Tubuhnya sudah bergerak lagi. Berdir