Melihat Eric yang begitu marah padanya, seketika membuat nyalinya mengecil. Tetapi harga dirinya begitu tinggi sehingga dia tidak mau menunjukkannya. Terlebih selama ini dia selalu mendapat dukungan dari sang suami. Membuat harga dirinya begitu tinggi di depan pasangan ibu dan anak itu."Ibumu pantas mendapatkan itu karena dia telah melukaiku!" Daphne berseru dengan penuh percaya diri."Melukaimu?" Eric berjalan maju mendekati Daphne, langkah kaki yang tegap diiringi dengan ekspresi wajah yang terlihat menakutkan, seketika membuat Daphne memundurkan tubuhnya. Satu lawan dua untuk membuatnya ketakutan. Tidak ada suami yang akan membelanya jika Eric melakukan sesuatu yang kasar padanya.Eric mendengus ketika melihat ekspresi ketakutan Daphne, "Aku sudah memperingati waktu itu, tapi sepertinya kau menganggap bahwa peringatanku sebagai angin lalu. Baiklah, jika memang itu adalah maumu, maka aku pastikan kau akan menanggung semua akibat dari perbuatan burukmu pada keluargaku."Tatapan Eri
Anna berbalik dan seketika itu dia melihat seorang wanita berusia sekitar 40-an keluar dari kamarnya. Hal pertama yang dipikirkan olehnya adalah betapa lancang wanita ini telah memasuki kamarnya tanpa seizin darinya."Maaf, Anda siapa? Kenapa Anda bisa keluar dari kamarku?" Anna berusaha keras untuk menahan perasaannya walaupun sebenarnya saat ini dia sangat kesal.Anna menjalani hari yang melelahkan dan ketika sampai di rumah dia sangat berharap bisa segera merebahkan diri di ranjangnya yang hangat. Tetapi ketika sampai dia malah dihadapkan dengan situasi seperti sekarang."Kamarmu?" Vania membeo, dia lalu melihat kenarah Eric yang memalingkan wajahnya. "Eric, bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat ini?"Anna langsung melihat ke arah Eric, pria itu kini menatapnya dan Vania secara bergantian dengan senyum cerah di wajah. Hal yang jarang sekali Anna lihat di diri Eric."Eric, kau mengenalnya?"Vania tersenyum ke arah Anna, "Saya adalah ibu kandung Eric." Mendengar itu, se
Eric bisa merasakan kemarahan yang ditahan sejak tadi oleh istrinya. Segera dia memegang bahu Anna tetapi malah ditepis olehnya. "Jangan bicara di sini, lebih baik pergi ke kamarku dulu baru kita bisa leluasa berbicara. Aku takut Mama bisa mendengar pembicaraan kita," ucap Eric membujuknya. Setelah memikirkan bahwa perkataan Eric benar, akhirnya Anna mengikuti pria itu turun kembali ke lantai satu. Lalu masuk ke kamarnya dan dengan tidak sabaran dia langsung kembali bertanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan apa yang sudah kamu bicarakan bersama dengan ibumu? Kenapa kamu malah membawanya ke kamarku? Apakah di rumahmu tidak ada kamar lain?" Anna bertanya dengan napas yang menggebu-gebu. "Aku pikir tidak ada salahnya jika Mama menempati kamarmu. Lagi pula kamarku lebih besar daripada kamarmu jadi cukup untuk kita berdua," Eric menjawabnya dengan santai seakan tidak sedang menanggapi Anna yang sedang marah. Anna menundukkan kepala sembari membuang napas, dia memijit pelipis untuk mengura
Hal pertama yang dilihat dari ketika pintu kamar mandi sudah dibuka adalah Anna yang sedang berendam di dalam bathtub dengan kedua mata terpejam. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang, khawatir jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya.Eric segera menghampiri Anna, menepuk wajahnya dan tak lama istrinya itu langsung membuka kedua mata. "Aarrgggghhh!" "Anna! Hei! Ini aku, Eric," Eric menjelaskan. Dia berpikir istrinya telah mengalami hari yang buruk hingga bisa ditemukan dalam kondisi seperti ini."Kenapa kamu di sini? Keluar!" Anna langsung menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Wajahnya merah menahan malu sebab ini adalah kedua kalinya dia tidak memakai apapun di depan suaminya. "Tapi, aku hanya ingin memastikan—""Keluar!" Anna berteriak mengusirnya, membuat Eric pasrah dan langsung menuruti keinginannya. Setelah Eric keluar dari kamar mandi, Anna memejamkan kedua matanya. Menutup wajah dengan tangan tetapi tetap saja rasa malunya tidak menghilang."Kenapa pria it
Setelah selesai menyantap makanannya, Eric langsung berkata, "Tidak perlu dibereskan. Biar aku yang membawanya ke dapur."Mendengar perkataan Eric, tidak membuat Anna menjadi kesenangan. Mana mungkin dia tega membiarkan pria itu membereskan sisa makanannya. Sudah dibuatkan makanan, setidaknya dia juga harus tahu diri dengan tidak membiarkan pria itu membereskan sisanya."Tidak, kamu sudah membuatkanku makanan, jadi biarkan aku membereskan sisa makananku sendiri," ucap Anna, dia segera beranjak dari sana, tetapi dengan cepat Eric segera menahan pergerakannya. "Jangan sampai kita tidak tidur semalaman hanya karena perkara membereskan sisa makanan. Biarkan aku untuk melayanimu malam ini sebagai permintaan maafku atas kejadian—""Sssttttt!" Anna langsung meletakkan jari telunjuknya di depan mulut pria itu. "Ke depannya, jangan pernah bahas lagi mengenai permasalahan ini, mengerti?"Eric menahan senyumannya, tetapi dia tetap mengganggukan kepala sebagai jawaban. Lebih baik saat ini dia me
Eric hanya diam saja, dia tidak memiliki kata-kata untuk bisa menjawab pertanyaan istrinya. Ketika dia menyadari bahwa dirinya mencintai Anna, itu Karena rasa cinta di hatinya muncul secara tiba-tiba tanpa dia rencanakan. Setelah apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, Eric tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada seseorang. Bahkan dia sudah bertekad untuk tidak membina sebuah hubungan. Dia tidak ingin menikah dan mengulang kesalahan yang telah diperbuat oleh ayahnya. Saat memutuskan untuk menikahi Anna, selain karena bentuk balas budinya pada Ibu Anna, dia juga dipaksa oleh sang ayah untuk menikah jika ingin mewarisi Shailendra. Eric tidak pernah menyangka bahwa setelah dia bersama dengan Anna, rasa cinta itu malah hadir saat dia melihat istrinya. Jadi, ketika gadis itu bertanya apa arti cinta menurutnya, tentu saja dia tidak bisa menjawabnya. Sebab yang dia tahu adalah dia mencintai Anna. Eric ingin selalu berada di sisinya dan melindunginya. Dia tidak suka Ketika sang istr
Anna mencengkram erat bantal yang dia pegang. Menatap Eric dengan sinis, napasnya berubah cepat. Ingin sekali dia menjahit mulut pria itu yang berani berbicara sembarangan. Seenaknya saja menuduh dia mesum padahal dirinya sendiri lah yang memiliki pikiran kotor tentang hal seperti itu. "Bagaimana ini? Aku tidak mau menjadi korbanmu tapi aku juga tidak bisa tidur di sofa," Eric terus saja berbicara seakan dia tidak melihat wajah Anna yang sudah merah karena amarah. "Atau aku membalut saja tubuhku dengan selimut supaya kamu tidak bisa menyentuhku?" Eric sebenarnya tahu dengan perubahan emosi di diri Anna. Hanya saja menggoda gadis itu menjadi suatu kesenangan baginya. "Sepertinya aku harus meminta seseorang meletakkan satu kasur lainnya untukku." Bugh!Tiba-tiba sebuah bantal mengenai kepala Eric, membuat pria itu terpelanting hingga bunyi debum yang sangat keras terdengar di kamarnya. Eric segera mengambil bantal yang terjatuh ke lantai. Setelah itu melihat Anna yang ternyata suda
Anna melihat keraguan di mata Eric, dia tidak mau memaksa pria itu tetapi untuk acara kali ini, bukankah sudah semestinya mereka hadir? Bukan untuk membungkam mulut orang-orang. Melainkan untuk menghargai Edmund sebab dia merupakan ayah kandung suaminya. Perlahan, Anna memegang kedua tangan Eric, senyuman di wajahnya juga terkembang. Hingga akhirnya pria itu membalas tatapannya lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kita lihat saja besok. Jika aku ingin pergi maka aku akan mengajakmu pergi bersamaku," meski kalimat itu diucapkan dengan tidak peduli, tetapi Anna tahu bahwa suaminya itu pasti akan datang. Setelah obrolan pagi di atas ranjang, mereka lalu bersiap untuk pergi bekerja. Anna mandi lebih dulu kemudian berdandan dengan rapi seperti biasa. Setelah selesai, dia hendak keluar dan pergi ke ruang makan. Tetapi dia teringat bahwa saat ini mereka tidak hanya tinggal berdua. Ada ibu mertuanya yang pasti sudah menunggu mereka. Anna bukannya merasa keberatan dengan kehadiran Vania d
Waktu berlalu sejak hari di mana mereka pergi ke taman yang ada di dekat rumah. Berhari-hari setelahnya, Ethan juga terlihat murung karena tidak bisa bermain dengan teman barunya. Anna berpikir bahwa ini hanya masalah anak kecil, waktu yang akan membuatnya lupa. Sekarang kedua anaknya sudah beranjak dewasa. Ethan sudah berusia 30 tahun sementara Lyra tahun ini baru menginjak usia 28 tahun. Anna menikmati kebersamaannya bersama dengan sang suami. Perusahaan pun sudah perlahan-lahan diserahkan pada Ethan. Kini dia dan Eric hanya tinggal menikmati masa tua bersama. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Sebentar lagi suami dan juga anak-anaknya akan kembali setelah selesai bekerja. Anna merapikan meja makan dan tepat pada saat itu dugaannya benar. Tak lama datang Eric dengan Lyra yang menggendong tangannya. Namun, tidak ada Ethan yang mengekori mereka. Hal itu membuat Anna bertanya-tanya, "Sayang, dimana kakakmu?" Lyra memeluk sang ibu kemudian berkata, "Kata
Akhirnya Anna harus merelakan pakaian dalam kesayangannya menjadi korban "keganasan" Eric yang sudah tidak bisa menahan gairahnya. Anna hanya bisa pasrah dan menikmati saja setiap perlakuan yang diberikan oleh suaminya. Anna merasa kehidupannya sudah sangat sempurna, suami yang sangat mencintainya dan juga anak-anak yang cantik dan tampan. Sudah lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya setelah bertahun-tahun hidup dalam kesedihan. Tahun demi tahun dilalui keluarga kecil itu dengan penuh semangat kebahagiaan. Kerikil tetap saja akan hadir tetapi jika Eric terus menggenggam kedua tangannya, maka semua akan menjadi baik-baik saja. Kini Anna dan Eric bersiap-siap untuk mengajak Lyra dan Ethan bermain ke taman. Mereka berdua dengan penuh semangat dan kebahagiaan mempersiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk hari yang menyenangkan bersama keluarga kecil mereka.Lyra yang ceria dan Ethan yang penuh energi dengan riangnya melompat-lompat karena hendak diajak pergi ke taman. Mer
Eric merasa sangat malu karena sudah tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak senonoh oleh istrinya. Padahal dia berusaha untuk menjaga kerahasiaan dirinya sendiri tetapi tidak disangka malah Anna tiba-tiba datang kembali setelah dia menyuruhnya untuk pergi beristirahat. Saat ini Eric sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk dan jemari yang saling bertaut. Dia seperti seorang penjahat yang sudah kedapatan tertangkap warga saat sedang melakukan aksinya. "Anna, aku ...." Eric tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk diberikan pada istrinya. Anna menggelengkan kepala, menatap Eric dengan tidak percaya. Dalam hati sedikit merasa bersalah karena dialah yang menjadi penyebab Eric melakukannya. Seandainya saja dia tidak ketakutan, mungkin hal seperti tadi tidak akan pernah terjadi. Anna menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berjalan mendekati suaminya kemudian duduk di sebelahnya. "Sayang, maaf, aku tidak bermaksud—""Maafkan aku." Eric meng
Eric memicingkan kedua matanya, kali ini dia balik menatap Anna dengan kesal. Berani sekali istrinya ini berbohong dengan mengatakan bahwa dia belum selesai. Membuat Eric merasa uring-uringan selama seharian ini. Sementara Anna, dia tahu marabahaya akan segera datang. Dia segera bersiap, mendorong tubuh Eric, hendak bangun dan pergi meninggalkannya. Namun, gerakan Anna tidak kalah cepat dengan gerakan Eric. Prianitu segera menangkap pergelangan tangannya, membuat Anna tidak bisa pergi menjauhinya. "Kamu mau kemana?" Eric berkata dengan tatapan mengintimidasi. Anna yang melihat itu, seketika dia sadar bahwa riwayatnya akan segera tamat. Eric pasti tidak akan membiarkannya. "Eric, aku ...." Anna tidak bisa lagi berkata-kata. Dalam hati dia merasa harus mengubah strateginya. Jika ditolak, tentu Eric akan kecewa. Sementara jika diladenipun, Anna takut sebab dia masih merasa ngilu melakukannya. Anna berdeham, dia melingkarkan kedua tangannya di leher Eric kemudian memberikan kecupan-
"Mana ada! Bahkan aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal seperti itu di belakang!" Eric membela diri.Anna memicingkan kedua matanya, menatap Eric dengan perasaan curiga. Perlahan dia berjalan mendekati suaminya kemudian melirik ke arah layar laptop yang terbuka. Di sana hanya ada lembar kerja lengkap dengan catatan di sana. Anna membuka seluruh isi di dalamnya dan tidak menemukan hal-hal mencurigakan. Anna menolehkan kepala dan tatapannya langsung bertemu dengan Eric. Kedua tangan pria itu bersedekap di depan dada, melihat sang istri yang menatap yang tidak percaya. "Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukan hal-hal yang kamu cari?" Eric bertanya dengan penuh keberanian. Sementara Anna, dia hanya diam sembari terus memperhatikan ekspresi wajah suaminya. Tetapi dia hanya mencintai kebenaran di sana. Eric sama sekali tidak berbohong tentang dia yang memiliki pekerjaan. "Kalau gitu, sekarang tidur bersama denganku! Kamu sudah berjanji tidak akan menyentuh pekerjaan selama dua b
Sepanjang hari itu, Eric merasa sangat kesal dengan keadaan. Padahal dia yakin bahwa hari ini istrinya sudah siap. Dia sudah menghitung tanggal dan sekarang adalah hari yang tepat. "Bukankah sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa belum juga bisa? Apakah aku salah menghitung?" Eric bermonolog. "Kenapa, Eric?" Edmund bertanya, saat ini dia sedang mengajak Ethan bermain di halaman belakang tetapi tiba-tiba mendengar putranya berbicara. Hanya saja dia tidak terlalu mendengarkan, sehingga tidak tahu kalimat yang diucapkan oleh Eric. Eric menolehkan kepala dan dalam hati merasa malu sebab dia tidak menyadari bahwa telah menyuarakan isi kepalanya. "Tidak ada," Eric menggelengkan kepala. Edmund tidak bertanya lagi, dia memilih untuk kembali fokus pada Ethan hingga tiba-tiba Eric memanggilnya. "Kenapa?" Edmund bertanya. Eric terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Pa, apakah wanita memang membutuhkan waktu yang lama setelah melahirkan?" Mendengar pertanyaan putranya, seketi
"Eric? Kamu kenapa, Nak?" Vania sangat terkejut melihat tampilan putranya yang sudah mirip seperti zombie. Kantung mata hitam sangat terlihat dengan jelas ditambah dengan rambut yang acak-acakan serta kaos putih oblong yang sudah tidak beraturan. Eric seperti pria yang tidak terurus. Vania mengintip dari balik celah tubuh putranya dan saat itulah dia semakin terkejut. Anna dalam posisi duduk dan bersandar di kepala ranjang dengan menggendong Lyra dan juga kedua mata yang terkanduk. "Apa yang terjadi dengan kalian? Kenapa penampilan kalian seberantakan ini?" Hari masih pagi tapi anak dan menantunya sudah tidak bersemangat untuk menjalani hari. "Tadi malam Lyra tidak mau tidur, setiap kami ingin meninggalkannya tidur, dia malah terus menangis sampai membangunkan Ethan. Akhirnya kami ajak mereka berdua untuk tidur bersama di bawah tapi malah berakhir tidak tidur semalaman." Eric berjalan dengan gontai ke arah ranjang kemudian berbaring di samping Ethan yang baru saja terlelap bebera
Anna memejamkan kedua mata setelah hari yang melelahkan untuknya. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan dari arah ruang keluarga ke kamar. Bahkan untuk bernapas saja, rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Tepat pada saat itu Eric turun dari lantai dua dan duduk di sebelahnya. Terdengar helaan nafas panjang sebagai tanda bahwa suaminya itu juga merasakan hal yang sama dengannya. Anna dan Eric merasa kelelahan yang mendalam setelah merawat Ethan dan Lyra yang masih bayi. Mereka duduk di sofa dengan ekspresi lelah. Ketika Ethan lahir, meskipun merasa lelah tetapi mereka berdua bisa mengatasinya dengan sangat baik. Keduanya akan secara bergantian menjaga Ethan malam dan juga pagi. Eric akan menjaga Ethan pada malam hari sementara Anna terlelap. Kemudian dari pagi hingga bertemu dengan matahari terbenam, ganti Anna yang menjaga. Selama dua bulan mereka melakukannya hingga akhirnya jam tidur Ethan berangsur normal seperti manusia pada umumnya. Pada malam hari, Ethan sudah tidak l
Anna dan Eric membawa dua anak mereka ke tempat yayasan dimana Cedric tinggal. Sudah bertahun-tahun sejak Gwenevieve diakuisisi oleh Eric, Cedric memilih untuk tinggal di yayasan ini bersama para orang tua lain. Ethan dengan penuh kegembiraan mendekati Lyra yang terbaring tenang dalam gendongan kakeknya, Cedric. Bocah berusia hampir tiga tahun itu sangat menyayangi adiknya, jadi ketika dalam posisi berdekatan seperti ini maka dia akan memajukan wajah dan memberikan kecupan di pipi Lyra. Cedric, dengan senyuman hangat dan penuh kelembutan, menyambut Ethan dan Lyra dengan penuh kasih sayang. Dia merasa begitu bersyukur bisa melihat cucunya yang baru lahir dan cucunya yang sudah tumbuh dengan sehat dan bahagia."Ethan sayang sama adik Lyra?" Cedric bertanya dengan penuh sayang. Ethan langsung mengganggukan kepalanya dengan sangat antusias, "Ethan sayang adik!" Cedric tak kuasa menahan tawanya, melihat tingkah lucu sang cucu, membuat dia sangat gemas. Kehadiran dua cucu membuat hidupn