Daphne melangkah dengan hati yang penuh amarah menuju lantai tertinggi yang ada di gedung ini. Dia tidak bisa membiarkan orang lain bersikap semena-mena terhadapnya. Dia harus membuat orang itu membayar perbuatannya.Ketika dia baru saja sampai di depan ruangan suaminya, seketika itu juga sekretaris langsung menghadangnya. Membuat amarah yang sejak tadi dia tahan semakin membara."Biarkan aku masuk!" serunya, tatapan Daphne menyalak."Maafkan saya, Nyonya. Anda tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruangan Tuan Edmund."Daphne tidak bisa mempercayai pendengarannya, bertahun-tahun dia menjadi istri Edmund, tidak pernah sekalipun orang lain memperlakukannya seperti ini. Dia selalu dihormati, setiap dia melangkah maka orang lain akan selalu menunduk. Tidak ada yang pernah berani untuk menghalangi langkahnya."Beraninya kamu menghalangi langkahku! Kamu cari mati, ya!" "Maafkan saya, nyonya. Saya hanya menjalankan tugas. Jadi, silakan Anda pergi sebelum saya banggakan keamanan." Daphne sema
Edmund melihat foto dirinya bersama dengan Vania dan Eric yang masih bayi. Saat itu, meski ada Daphne dan Jason, tetapi suasana masih terasa sangat membahagiakan. Dia bisa menggendong dan bermain bersama dengan putra kesayangannya.Meskipun Jason lahir dari wanita yang dia cintai, entah kenapa rasanya sangat berbeda ketika dia bersama dengan Eric. Seperti ada magnet yang menarik hatinya hingga begitu menyayangi Eric. Dan Edmund sama sekali tidak tahu alasan apa yang mendasarinya berbuat seperti ini. Edmund membandingkan foto itu dengan foto Jason ketika masih bayi. Sangat berbeda dengannya, sama sekali tidak mirip dengan Edmund. Mungkin karena itulah hatinya terasa berat untuk memberikan seluruh hartanya pada Jason. Sebab dia tidak menemukan kemiripan antara dirinya dengan putranya itu.Tepat pada saat itu, pintu ruang kerjanya diketuk. Segera dia meletakkan kembali foto tersebut ke dalam laci meja kerjanya. Setelah itu dia membiarkan orang tersebut untuk masuk.Ketika pintu ruangan
Anna sedang sibuk dengan laptopnya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia melihat ke arah layar ponsel, hanya sebuah nomor tanpa nama. Anna berpikir panggilan itu hanya dari seseorang yang sedang iseng saja. Jadi, tidak terlalu memperdulikannya. Anna kembali bergumul dengan tumpukan huruf. Saat ini ide-ide di kepalanya sedang bertebaran, dia tidak mau melewatkan satupun huruf hanya untuk menjawab panggilan tersebut. Hingga akhirnya panggilan itu berhenti, layar ponsel Anna kembali mati. Anna tersenyum kemudian melanjutkan pekerjaannya.Beberapa saat setelahnya, ponsel itu kembali bergetar. Panggilan yang datang dari nomor yang sama. Akhirnya Anna juga menjadi penasaran. Dia panggilan."Iya, ini siapa?" Jawaban di sebrang sana membuat kedua mata Anna terbelalak. Dia langsung berdiri hingga membuat kursi yang duduki menjadi terbalik. "Saya ingin bertemu denganmu sekarang. Apa kamu memiliki waktu?" Anna terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Iya, saya akan datang. Anda k
Anna sangat terkejut dengan kata-kata kasar yang diucapkan oleh ayah mertuanya. Dia tidak pernah menduga bahwa hal itu bisa keluar dari bibirnya. Anna tidak bisa berbuat apapun, dia tidak bisa membalas perkataannya ayah mertuanya itu.Kedua tangan Anna terkepal erat, dia menarik napas, mencoba untuk bersikap biasa meski tentu sulit untuk dilakukan. Sorot matanya dalam, dan seketika sikapnya yang seperti itu membuat Edmund terperangah. Anna dinilai memiliki emosi yang stabil, karakternya dirasa cocok dengan Eric. Menantunya ini bisa mengimbangi sifat putranya. Tetapi dilihat lagi latar belakangnya, Edmund tidak mau putranya memiliki istri seperti Anna. "Maafkan saya, tapi saya tetap tidak bisa melepaskan Eric."Kalimat yang diucapkan Anna langsung membuat Edmund dan Daphne terkejut. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa keberanian Anna begitu tinggi. "Kamu ... berani sekali kamu mengucapkan!" Daphne beralih pada Edmund, menarik lengannya lalu berkata, "Sayang, kamu lihat! Dia ada
Vania berjalan mendekati Edmund, tatapannya berubah tajam, dia kembali berkata, "Jangan pernah berpikir bahwa kamu bersih. Kamu juga sama kotornya dengan dia. Meskipun Anna terlahir di luar pernikahan, tetapi hatinya bersih. Tidak sama sepertimu dan juga istrimu." Vania memundurkan tubuhnya, dia memegang kembali tangan Anna kemudian berkata, "Jangan pernah untuk meminta Anna datang menemui kalian. Jika aku mengetahui hal seperti ini lagi, saat itu juga aku akan membuat kalian menyesal." Setelah selesai berkata-kata, Vania segera mengajak Anna untuk pergi dari sana. Dia membawa menantunya ke dalam mobil yang diparkirkan tepat di depan Royal Crown. Ketika mereka baru saja masuk, tepat pada saat itulah Vania langsung melihatnya dengan tajam. Seketika Anna diliputi perasaan bersalah sebab pergi diam-diam menemui Ayah mertuanya. "Maafkan aku, Ma. Aku tidak bermaksud untuk membuat papanya Eric kesal padaku. Hanya saja aku—" "Kenapa kamu datang ke sana sendirian, Anna? Bagaimana jika s
Anna merasa sangat bahagia dengan hari-hari dia menjadi ibu hamil. Banyak hal yang membuatnya semakin merasa dicintai. Bukan hanya oleh suami, tetapi oleh Vania sebagai ibu mertuanya. Vania memberikan kasih sayang penuh padanya, menjaga Anna supaya dia tidak terluka. Bahkan dia yang marah paling besar ketika melihat Anna sakit meski hanya karena terbatuk kecil.Hanya saja, perhatian yang mereka berikan pada Anna, dia merasa semakin berlebihan. Bagaimana mungkin Anna dilarang untuk keluar? Sekedar berjalan-jalan di halaman rumah tidak diperbolehkan. Eric yang mengetahui hal itu, hanya bisa pasrah. Ibunya tidak bisa dibantah jika itu berhubungan dengan keselamatan Anna. Dihadapkan pada dua orang wanita yang memiliki ego masing-masing, membuat Eric menjadi pusing. Sudah seharian ini Anna marah padanya, mendiamkankan Eric padahal hari ini dia baru bisa mengambil cuti. Eric tidak memahami, hanya karena ingin berjalan-jalan di luar, sampai membuat istrinya marah seperti ini. Eric meliha
Anna langsung menolehkan kepala ke arah Eric. Dilihatnya pria itu malah tersenyum ke arahnya. Tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Eric, tetapi Anna menduga bahwa pria itu sama sekali tidak meminta ijin Vania.Anna berdeham, dia kembali menatap Vania. Perlahan dia tersenyum kemudian berkata, "Iya, Ma. Jika Mama memperbolehkan, aku ingin pergi ke Bali untuk liburan." Anna merasa sangat takut dengan penolakan ibu mertuanya. Dia sudah pasrah jika memang tidak diperbolehkan. Hal itu berarti bahwa dirinya harus bersabar selama sembilan bulan mengandung bayinya. Anna menundukkan kepala, terlihat jelas guratan kesedihan di sana. Anna menahan tangisannya, dia tidak mau dibilang berlebihan oleh ibu mertuanya. "Mama akan mengizinkan kalian berdua pergi ke Bali asalkan kalian berjanji akan menjaga diri dengan baik di sana."Anna langsung mengangkat kepala, kedua matanya terbelalak, menata Vania dengan perasaan tidak percaya. Tanpa ada drama penolakan, Vania langsung menyetujui keinginannya un
Keesokan paginya, Anna sudah siap dengan dress lengan pendek dan sendal tanpa hak tinggi. Ketika bangun pagi hari, semua sudah disiapkan dengan baik oleh para asisten rumah tangga. Hal-hal kecil yang dia perlukan selama di Bali, juga sudah disiapkan. Anna hanya perlu membawa dirinya, menjaga kesehatannya supaya tidak terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan selama mereka pergi liburan."Sudah siap?" Eric bertanya ketika Anna masih sibuk memoles riasannya. Anna melirik Eric kemudian segera memoles bibirnya dengan pewarna meras. Setelah ini meratakannya dengan jari dan tersenyum lebar melihat hasil yang memuaskan. Anna menolehkan kepala, senyumannya semakin lebar saat Eric menatapnya tanpa kedip. Anna begitu percaya diri sebab riasannya yang cantik. Dan sebentar lagi, sudah pasti Eric akan memuji.Anna berjalan menuju Eric, dia bergelayut manja di lengangnya yang kekar. Tempat ternyaman untuk bersandar. "Cantik," ucap Eric memujinya. Tepat sesuai dugaan Anna sebelumnya bahwa Eric ya
Waktu berlalu sejak hari di mana mereka pergi ke taman yang ada di dekat rumah. Berhari-hari setelahnya, Ethan juga terlihat murung karena tidak bisa bermain dengan teman barunya. Anna berpikir bahwa ini hanya masalah anak kecil, waktu yang akan membuatnya lupa. Sekarang kedua anaknya sudah beranjak dewasa. Ethan sudah berusia 30 tahun sementara Lyra tahun ini baru menginjak usia 28 tahun. Anna menikmati kebersamaannya bersama dengan sang suami. Perusahaan pun sudah perlahan-lahan diserahkan pada Ethan. Kini dia dan Eric hanya tinggal menikmati masa tua bersama. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Sebentar lagi suami dan juga anak-anaknya akan kembali setelah selesai bekerja. Anna merapikan meja makan dan tepat pada saat itu dugaannya benar. Tak lama datang Eric dengan Lyra yang menggendong tangannya. Namun, tidak ada Ethan yang mengekori mereka. Hal itu membuat Anna bertanya-tanya, "Sayang, dimana kakakmu?" Lyra memeluk sang ibu kemudian berkata, "Kata
Akhirnya Anna harus merelakan pakaian dalam kesayangannya menjadi korban "keganasan" Eric yang sudah tidak bisa menahan gairahnya. Anna hanya bisa pasrah dan menikmati saja setiap perlakuan yang diberikan oleh suaminya. Anna merasa kehidupannya sudah sangat sempurna, suami yang sangat mencintainya dan juga anak-anak yang cantik dan tampan. Sudah lengkap kebahagiaan yang dirasakan olehnya setelah bertahun-tahun hidup dalam kesedihan. Tahun demi tahun dilalui keluarga kecil itu dengan penuh semangat kebahagiaan. Kerikil tetap saja akan hadir tetapi jika Eric terus menggenggam kedua tangannya, maka semua akan menjadi baik-baik saja. Kini Anna dan Eric bersiap-siap untuk mengajak Lyra dan Ethan bermain ke taman. Mereka berdua dengan penuh semangat dan kebahagiaan mempersiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk hari yang menyenangkan bersama keluarga kecil mereka.Lyra yang ceria dan Ethan yang penuh energi dengan riangnya melompat-lompat karena hendak diajak pergi ke taman. Mer
Eric merasa sangat malu karena sudah tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak senonoh oleh istrinya. Padahal dia berusaha untuk menjaga kerahasiaan dirinya sendiri tetapi tidak disangka malah Anna tiba-tiba datang kembali setelah dia menyuruhnya untuk pergi beristirahat. Saat ini Eric sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk dan jemari yang saling bertaut. Dia seperti seorang penjahat yang sudah kedapatan tertangkap warga saat sedang melakukan aksinya. "Anna, aku ...." Eric tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk diberikan pada istrinya. Anna menggelengkan kepala, menatap Eric dengan tidak percaya. Dalam hati sedikit merasa bersalah karena dialah yang menjadi penyebab Eric melakukannya. Seandainya saja dia tidak ketakutan, mungkin hal seperti tadi tidak akan pernah terjadi. Anna menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dia berjalan mendekati suaminya kemudian duduk di sebelahnya. "Sayang, maaf, aku tidak bermaksud—""Maafkan aku." Eric meng
Eric memicingkan kedua matanya, kali ini dia balik menatap Anna dengan kesal. Berani sekali istrinya ini berbohong dengan mengatakan bahwa dia belum selesai. Membuat Eric merasa uring-uringan selama seharian ini. Sementara Anna, dia tahu marabahaya akan segera datang. Dia segera bersiap, mendorong tubuh Eric, hendak bangun dan pergi meninggalkannya. Namun, gerakan Anna tidak kalah cepat dengan gerakan Eric. Prianitu segera menangkap pergelangan tangannya, membuat Anna tidak bisa pergi menjauhinya. "Kamu mau kemana?" Eric berkata dengan tatapan mengintimidasi. Anna yang melihat itu, seketika dia sadar bahwa riwayatnya akan segera tamat. Eric pasti tidak akan membiarkannya. "Eric, aku ...." Anna tidak bisa lagi berkata-kata. Dalam hati dia merasa harus mengubah strateginya. Jika ditolak, tentu Eric akan kecewa. Sementara jika diladenipun, Anna takut sebab dia masih merasa ngilu melakukannya. Anna berdeham, dia melingkarkan kedua tangannya di leher Eric kemudian memberikan kecupan-
"Mana ada! Bahkan aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal seperti itu di belakang!" Eric membela diri.Anna memicingkan kedua matanya, menatap Eric dengan perasaan curiga. Perlahan dia berjalan mendekati suaminya kemudian melirik ke arah layar laptop yang terbuka. Di sana hanya ada lembar kerja lengkap dengan catatan di sana. Anna membuka seluruh isi di dalamnya dan tidak menemukan hal-hal mencurigakan. Anna menolehkan kepala dan tatapannya langsung bertemu dengan Eric. Kedua tangan pria itu bersedekap di depan dada, melihat sang istri yang menatap yang tidak percaya. "Bagaimana? Apakah kamu sudah menemukan hal-hal yang kamu cari?" Eric bertanya dengan penuh keberanian. Sementara Anna, dia hanya diam sembari terus memperhatikan ekspresi wajah suaminya. Tetapi dia hanya mencintai kebenaran di sana. Eric sama sekali tidak berbohong tentang dia yang memiliki pekerjaan. "Kalau gitu, sekarang tidur bersama denganku! Kamu sudah berjanji tidak akan menyentuh pekerjaan selama dua b
Sepanjang hari itu, Eric merasa sangat kesal dengan keadaan. Padahal dia yakin bahwa hari ini istrinya sudah siap. Dia sudah menghitung tanggal dan sekarang adalah hari yang tepat. "Bukankah sudah satu bulan berlalu, tapi kenapa belum juga bisa? Apakah aku salah menghitung?" Eric bermonolog. "Kenapa, Eric?" Edmund bertanya, saat ini dia sedang mengajak Ethan bermain di halaman belakang tetapi tiba-tiba mendengar putranya berbicara. Hanya saja dia tidak terlalu mendengarkan, sehingga tidak tahu kalimat yang diucapkan oleh Eric. Eric menolehkan kepala dan dalam hati merasa malu sebab dia tidak menyadari bahwa telah menyuarakan isi kepalanya. "Tidak ada," Eric menggelengkan kepala. Edmund tidak bertanya lagi, dia memilih untuk kembali fokus pada Ethan hingga tiba-tiba Eric memanggilnya. "Kenapa?" Edmund bertanya. Eric terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia berkata, "Pa, apakah wanita memang membutuhkan waktu yang lama setelah melahirkan?" Mendengar pertanyaan putranya, seketi
"Eric? Kamu kenapa, Nak?" Vania sangat terkejut melihat tampilan putranya yang sudah mirip seperti zombie. Kantung mata hitam sangat terlihat dengan jelas ditambah dengan rambut yang acak-acakan serta kaos putih oblong yang sudah tidak beraturan. Eric seperti pria yang tidak terurus. Vania mengintip dari balik celah tubuh putranya dan saat itulah dia semakin terkejut. Anna dalam posisi duduk dan bersandar di kepala ranjang dengan menggendong Lyra dan juga kedua mata yang terkanduk. "Apa yang terjadi dengan kalian? Kenapa penampilan kalian seberantakan ini?" Hari masih pagi tapi anak dan menantunya sudah tidak bersemangat untuk menjalani hari. "Tadi malam Lyra tidak mau tidur, setiap kami ingin meninggalkannya tidur, dia malah terus menangis sampai membangunkan Ethan. Akhirnya kami ajak mereka berdua untuk tidur bersama di bawah tapi malah berakhir tidak tidur semalaman." Eric berjalan dengan gontai ke arah ranjang kemudian berbaring di samping Ethan yang baru saja terlelap bebera
Anna memejamkan kedua mata setelah hari yang melelahkan untuknya. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan dari arah ruang keluarga ke kamar. Bahkan untuk bernapas saja, rasanya sangat sulit untuk dilakukan. Tepat pada saat itu Eric turun dari lantai dua dan duduk di sebelahnya. Terdengar helaan nafas panjang sebagai tanda bahwa suaminya itu juga merasakan hal yang sama dengannya. Anna dan Eric merasa kelelahan yang mendalam setelah merawat Ethan dan Lyra yang masih bayi. Mereka duduk di sofa dengan ekspresi lelah. Ketika Ethan lahir, meskipun merasa lelah tetapi mereka berdua bisa mengatasinya dengan sangat baik. Keduanya akan secara bergantian menjaga Ethan malam dan juga pagi. Eric akan menjaga Ethan pada malam hari sementara Anna terlelap. Kemudian dari pagi hingga bertemu dengan matahari terbenam, ganti Anna yang menjaga. Selama dua bulan mereka melakukannya hingga akhirnya jam tidur Ethan berangsur normal seperti manusia pada umumnya. Pada malam hari, Ethan sudah tidak l
Anna dan Eric membawa dua anak mereka ke tempat yayasan dimana Cedric tinggal. Sudah bertahun-tahun sejak Gwenevieve diakuisisi oleh Eric, Cedric memilih untuk tinggal di yayasan ini bersama para orang tua lain. Ethan dengan penuh kegembiraan mendekati Lyra yang terbaring tenang dalam gendongan kakeknya, Cedric. Bocah berusia hampir tiga tahun itu sangat menyayangi adiknya, jadi ketika dalam posisi berdekatan seperti ini maka dia akan memajukan wajah dan memberikan kecupan di pipi Lyra. Cedric, dengan senyuman hangat dan penuh kelembutan, menyambut Ethan dan Lyra dengan penuh kasih sayang. Dia merasa begitu bersyukur bisa melihat cucunya yang baru lahir dan cucunya yang sudah tumbuh dengan sehat dan bahagia."Ethan sayang sama adik Lyra?" Cedric bertanya dengan penuh sayang. Ethan langsung mengganggukan kepalanya dengan sangat antusias, "Ethan sayang adik!" Cedric tak kuasa menahan tawanya, melihat tingkah lucu sang cucu, membuat dia sangat gemas. Kehadiran dua cucu membuat hidupn