Terima kasih atas dukungannya. Semoga suka dengan karya Akak ini.
Amira mengendarai mobil merah hadiah dari Wijaya keluar dari Kawasan perumahan elit. Dia menuju pusat pembelajaan yang ada di kota. Wanita itu berencana membeli tas dan pakaian serta sepatu untuk kerja.“Pulang jam makan siang. Apa boleh minta waktu lebih? Sekarang saja sudah pukul setengah sepuluh.” Amira menghentikan mobil di tempat parkir. Dia langsung menjadi pusat perhatian pengujung karena kendaraan yang dibawanya adalah edisi terbatas dan harus dipesan dulu jauh hari untuk bisa memilikinya. “Ayo berbelanja.” Amira keluar dari mobil. Dia tidak menyadari bahwa kendaraan yang dibawanya menjadi pusat perhatian. Wanita itu langsung masuk ke dalam mall.“Gila. Ini mobil mahal. Siapa wanita itu?” Beberapa orang mulai mengambil gambar dan mengupload ke media sosial. Mereka berushaa mencari pemilik kendaraan itu.“Ini dibeli oleh Perusahaan Wijaya Kusuma. Wah. Tidak heran.” Orang-orang sangat tertarik dengan mobil merah menyala.Wijaya yang berada di rumah dengan mudah menemukan posisi
Amira menghentikan mobil di depan pintu. Dia turun dengan tergesa-gesa dan berlari langsung menuju ruang makan. Wanita itu melihat Wijaya yang baru duduk. “Aku tidak terlambat.” Amira menarik kursi dan duduk di depan Wijaya.“Hm.” Wijaya melihat sekilas pada Amira. Dia tidak menyangka wanita itu bisa datang tepat waktu bahkan dirinya belum mulai makan siang.“Apa aku boleh ke kamar dulu?” tanya Amira.“Untuk apa? Kamu harus makan siang denganku,” tegas Wijaya.“Aku mau mandi dan ganti pakaian. Tubuhku terasa gerah,” jelas Amira.“Mandi setelah makan,” ucap Wijaya.“Baiklah. Aku juga harus memberi asi untuk Keano.” Amira yang belum lapar pun terpaksa makan siang bersama Wijaya. Wanita itu masih kenyang karena makan cemilan dengan Kristian.“Kenapa sedikit?” tanya Wijaya melihat Amira yang makan tidak seperti biasanya.“Aku masih kenyang karena makan kue di café mall,” jawab Amira menyelesaikan makannya.“Apa yang kamu beli?” tanya Wijaya.“Keperluan kerja dan tidur saja,” jawab Amira m
Amira menghela napas dengan berat dan terdengar oleh Wijaya. Pria itu segera melepaskan tanganya dari sekretaris yang tampak kesal padanya.“Apa kamu membenciku?” tanya Wijaya.“Apa yang Anda inginkan? Perjanjian kita bahwa aku hanya menjadi ibu susu Keano dengan syarat menikah dengan Anda dan tidak aka nada hubungan lebih dari itu. Anda berjanji tidak akan menyentuh saya,” jelas Amira merapikan bajunya.“Saya mulai khawatir. Anda akan mengingkar janji dengan mudah karena Keputusan dan kekuasaan berada pada tangan Anda,” ucap Amira.“Aku mulai tidak leluasa berjalan dan keluar. Aku merasa bersalah ketika bertemu dengan ibu Luna karena sudah menikah dengan Anda. Andai tidak ada pernikahan aku akan baik-baik saja.” Amira melihat pada Wijaya yang juga menatapnya. “Ada rasa takut ketika aku bertemu dengan ibu Luna di mall siang tadi,” ucap Amira mendorong tubuh Wijaya menjauh darinya. Dia ingin pergi ke sofa, tetapi kembali pria itu tidak melepaskannya. “Kenapa takut?” Wijaya menari ping
Wijaya melihat laporan pesanan kamar hotel atas nama dirinya di ponsel. Amira benar-benar memanfaatkan fasilitas yang diberikan papa Keano padanya dengan baik. Dia tidak akan pernah menggunakan uang pribadi dalam bekerja.“Pemesanan kamar hotel?” Wijaya yang duduk di balkon kamar menaikkan alisnya. Dia tidak akan menebak orang lain yang bisa melakukan itu kecuali sekretaris tersayangnya. “Apa Amira lebih tertarik di hotel dari pada di rumah ini?” Wijaya tersenyum. Pria benar-benar tidak tahu bahwa sekretarisnya merencanakan sesuatu yang tidak akan dia sukai.“Baiklah. Mari kita bermain di hotel, benar-benar nakal,” ucap Wijaya menyimpan ponsel di saku celananya. Dia bersiap untuk makan malam dan bicara langsung dengan Amira tentang pemesanan kamar hotel.“Bagaimana caranya agar kami pergi dengan mobil berbeda?” tanya Amira di dalam kamar. Dia sudah berdandan rapi dan cantik agar bisa pergi ke hotel agar Wijaya percaya padanya akan bercinta di sana.“Tidak apa. Aku bisa pulang dengan t
Wijaya masih mencurigai Amira yang merencanakan kedatangan Luna di kamar hotel. Pria itu tidak akan mudah dibodohi atau ditipu oleh siapa pun. Orang terdekat yang bisa masuk akun dan ponselnya hanya sang sekretaris. “Apa sudah kenyang?” tanya Wijaya. “Ya. Pak Jaya tidak mau coba?” Amira sangat senang malam yang semakin larut karena pria itu tidak akan mengganggu dirinya tidur lagi. Dia juga sudah berhasil mengambil hari bos yang pemarah dan posesif.“Tidak. Aku tidak terbiasa jajan di pinggir jalan,” ucap Wijaya.“Kamu juga tidak boleh lagi jajan sembarangan. Makanan dan minuman harus sesuai dengan standar kesehatan agar menghasilkan asi terbaik untuk Keano,” tegas Wijaya.“Aku akan membayar,” ucap Amira beranjak dari kursi.“Pakai kartu yang tadi siang.” Wijaya pun berdiri.“Uang cash.” Amira memberikan uang lima puluh ribu kepada penjual.“Pesan jus jeruk, tetapi tidak diminum.” Amira melihat jus jeruk Wijaya yang tidak disentuh sama sekali.“Terima kasih, Non.” Penjual memberikan
Wijaya menatap Amira yang benar-benar telah bergairah. Tubuh wanita itu bergetar. Dia tidak bisa lagi menahan diri. Jari-jarinya mencengkram sepray.“Aku akan menunggu kamu memintanya sendiri.” Wijaya mengambil kemeja dan mengenakan kembali. Menutup tubuh Amira dengan selimut. Wanita itu menggeliat di atas kasur. “Ada apa, Bi?:” Wijaya membuka pintu.“Sarapan sudah siap,” ucap bibi.“Apa Keano sudah bangun dan lapar?” tanya Wijaya.“Belum, Tuan. Masih ada asi Cadangan,” jawab bibi.“Bagus. Aku pinjam ibu Keano.” Wijaya menutup dan mengunci pintu. “Apa Keano akan punya adik?” Bibi tersenyum.“Ah, aku sudah mengganggu.” Bibi segera kembali ke kamar Keano. Wijaya kembali melepas kemeja dan membuang sembarangan. Dia tersenyum melihat Amira yang tersiksa karena ransangan yang diciptakan pria itu.“Apak amu mau melanjutkannya?” tanya Wijaya tersenyum.“Kamu jahat!” bentak Amira menggigit bibir. Dia benar-benar heran dengan Wijaya yang berani bermain langsung ke bawah dengan menggunakan mu
Amira tidak tahu bahwa Keano dan bibi sudah pulang ke rumah utama. Dia tidur seharian setelah minum obat. Wanita itu benar-benar terkena flu dan masuk angin.“Hm.” Amira membuka mata dan melihat Wijaya sibuk bekerja. Pria itu duduk di sofa dengan fokus menatap computer lipatnya.“Pukul berapa sekarang?” tanya Amira duduk. Dia tidak sadara dress tidur yang panjang yang dikenakan memiliki model terbuka di bagian dada. Itu benar-benar memperlihatkan tempat susu milik Keano menonjol dan menggoda. “Apak amu sudah lapar?” Wijaya memperhatikan dada Amira. “Ch. Menggoda tanpa sengaja. Benar-benar terlihat polos.” Wijaya mengalihkan pandangan.“Ya. Apa aku sudah boleh bertemu dengan Keano?” Amira kembali merebahkan tubuh ke kasur. Dia benar-benar lemas. Kepala pusing dan hidung yang masih meler. Ada rasa ingin terus bersin.“Pusing sekali,” ucap Amira memegang kepalanya.“Apa kamu mau menularkan sakit kepada Keano?” Wijaya beranjak dari sofa dan mendekati tempat tidur. Dia menyentuh dahi Amir
Wijaya meminta sopir untuk membelikan pompa asi satu set dengan botol dan tas penyimpanan. Dia hanya menunggu di pintu utama. Pria yang selalu menjadi pusat perhatia, tetapi lelaki itu tidak peduli.“Ini, Pak.” Sopir kembali dengan cepat.“Ya.” Wijaya masuk ke dalam lift dan kembali ke kamar Amira.“Kenapa kamu duduk?” tanya Wijaya melihat Amira yang sudah membuka kancing bajunya. Pria itu segera menutup dan mengunci pintu.“Karena sudah sesak dan sakit,” jawab Amira.“Walaupun sedang sakit. Kamu tetap menghasilkan banyak asi,” ucap Wijaya duduk di samping Amira. Pria itu menyiapkan tisu. Mereka benar-benar bekerja dengan baik.“Kenapa?” Wijaya menatap Amira yang masih belum memompa susunya.“Kamu tidak pergi?” Amira membalas tatapan Wijaya.“Setiap kamu memberi asi untuk Keano juga aku melihatnya,” tegas Wijaya.“Aku tahu kamu butuh bantuan untuk memegangnya,” ucap Wijaya membongkar isi tas.“Semua ini harus dicuci bersih dulu dan dimasak,” jelas Amira.“Ah, benar. Aku akan meminta pe
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la