Terima kasih atas dukungan untuk semua karya akak. Semoga suka
Dena berdiri di depan cemin. Wanita itu telah mengenakan pakaian pelayan dan terlihat seksi.“Aku harus mengambil satu bayi dan tidak boleh salah. Setelah itu aku menjadi istri dari Pak Andika.” Dena tersenyum melihat bayangan dirinya dari pantulan cermin.“Apa sudah siap?” tanya Andika yang duduk di sofa.“Sudah, Pak.” Dena berdiri di depan Andika. Wanita itu benar-benar bersemangat.“Pergi ke kamar paling ujung. Kamu bawa cemilan ini. Amira sangat suka. Katakan kiriman dari Pak Wijaya.” Andika beranjak dari sofa dan memberikan meja dorong berisi kue cokelat dan salad buah serta sayuran.“Saya pergi sekarang.” Dena tersenyum.“Hati-hati.” Andika mengecup bibir Dena.“Ingat. Jangan ada yang tahu bahwa kamu adalah orang ku,” bisik Andika di telinga Dena.“Baik, Pak.” Dena mendorong meja menuju kamar paling ujung.“Aku berharap dia berhasil.” Andika tersenyum. Pria itu keluar dari kamar. Dia telah membuat janji temu di tempat yang berbeda untuk mengantisipasi ketahuan Wijaya Kusuma.Dena
Andika tersenyum. Dia menunggu penuh harap agar dapat menarik Amira ke dalam pelukannya. “Sedikit lagi, Amira.” Andika menatap Amira dari tempat tersembunyi.“Amira.” Andika mengulurkan tangannya dengan senyuman lebar.“Sayang,” sapa Wijaya berjalan cepat ke arah Amira.“Sayang.” Amira berlari dan memeluk Wijaya.“Kenapa keluar sendiri?” tanya Wijaya mencium dahi Amira.“Sial,” ucap Andika sembunyi. Dia benar-benar tidak berani memperlihatkan dirinya.“Tidak apa. Aku hanya mau memberikan kejutan untuk mendampingi suamiku,” jawab Amira.“Aku tidak suka kejutan,” bisik Wijaya. Dia sadar benar bahwa setiap kali Amira akan memberikan kejutan kepadanya selalu ada saja kejadian yang menyakitkan. Kejutan itu menjadi mengerikan karena meninggalkan trauma.“Kenapa?” tanya Amira menatap Wijaya.“Karena kejutan yang kamu buat selalu membuat diriku khawatir. Apa kamu tidak ingat dengan banyak kejadian buruk yang kamu alami?” Wijaya membalas tatapan Amira.“Kejutan kali ini pun membuatku khawatir.
Setelah makan malam. Wijaya pamit kepada Amira dan anak-anaknya. Pria itu pergi dengan alasan kembali ke hotel untuk bertemu dengan relasi dari luar negeri. “Sayang, Maaf. Aku harus pergi lagi.” Wijaya melingkarkan tangannya di pinggang Amira.“Tidak apa, Sayang. Aku di rumah saja.” Amira menggantungkan kedua tangannya di leher Wijaya. Wanita itu mengecup bibir tipis.“Tidur cukup.” Wijaya tersenyum dan melahap bibir Amira dengan kuar. Ciuman panjang dan hangat berlangsung cukup lama. Seakan tidak ingin dilepaskan.“Pergilah. Nanti, mau lebih.” Amira menutup mulut Wijaya.“Baiklah, Sayang.” Wijaya mencium tangan Amira.“Aku pergi dulu.” Pria itu masih mencium dahi dan pipi istrinya.“Hati-hati.” Amira melambaikan tangan. Dia mengantarkan sang suami hingga ke depan pintu mobil.“Kita akan kemana, Pak?” tanya Jack.“Ke hotel sebentar,” jawab Wijaya.“Baik.” Jack memberitahu sopir tujuan mereka.“Saya tidak ingin berbohong pada Amira karena itu tidak baik.” Wijaya tersenyum.Wijaya benar
Wijaya masih duduk di sofa. Dia terlihat melamun. Pria itu memikirkan perasaan Amira kepada Andika.“Apa yang Amira pikirkan tentang Andika? Benci atau masih ada cinta?” tanya Wijaya. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan kiri yang telah menujukkan pukul sepuluh malam. “Aku akan bertanya pada Amira.” Wijaya menghubungi Amira. Dia berharap sang istri masih belum tidur.“Tidak aktif lagi. Aku memang memintanya untuk mematikan ponsel ketika tidur bersama anak-anak. Benar-benar penurut.” Wijaya tersennyum. Dia beranjak dari sofa.“Aku akan pulang,” ucap Wijaya.“Baik, Bos.” Wijaya meninggalkan hotel. Dia selalu pergi tanpa ada yang tahu. Tiba-tiba telah hilang dan tidak terlihat lagi.Wijaya mengendarai mobil pulang ke rumah. Dia segera pergi ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Pria itu tahu bahwa Amira bersama anak-anaknya. “Sekarang dia jauh lebih tenang.” Wijaya melihat Amira yang tidur dalam senyuman. Wanita itu memeluk dua putranya. “Dulu tidak bisa tidur
Cantika telah berada di rumah baru mereka. Wanita itu menangis karena menjadi lumpuh.“Cantika, kenapa kamu bisa begini?” Ranika memeluk putrinya yang hanya bisa meneteskan air matannya. “Pa, kita harus membawa Cantika berobat ke luar negeri.” Ranita menghapus air mata Cantika. Sang ibu pun ikut menangis. Dia tidak sanggup melihat kondisi putrinya.“Kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin Wijaya. Ini pun kita tahu dari dia,” ucap Raditya.“Benar. Kita harus meminta bantuan Wijaya. Aku rela melakukan apa pun agar Cantika bisa sembuh. Wijaya memiliki banyak dokter hebat. Baik di dalam maupun luar negeri.” Ranika memegang tangan suaminya.“Aku akan mencoba menghubungi Wijaya.” Raditya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia terhubung langsung dengan Jack.“Selamat pagi.” Jack menerima panggilan dengan ramah.“Halo, Pak. Apa saya bisa bicara dengan Pak Wijaya,” ucap Raditya.“Anda bisa langsung mengatakan kepada saya,” tegas Jack.“Apa Pak Wijaya bisa membantu pengobatan Cantika
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun