Isha hanya bisa mengembuskan napas. Niatnya datang ke Bali memang untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, bukan berarti terus-terusan berada di ranjang.“Bagaimana jika kita jalan-jalan dulu? Baru nanti kita melakukannya lagi.” Isha berusaha untuk membujuk Danish.Danish menimbang permintaan Isha itu. Lagi pula nanti mereka bisa melakukannya lagi saat malam. Tidak harus hari ini.“Baiklah.” Akhirnya Danish setuju.Isha langsung berbinar ketika mendapati jawaban Danish. Rasanya tidak sabar untuk berjalan-jalan ke pantai.“Tapi, ingat. Jangan kelelahan. Aku tidak mau sampai malam ini gagal.” Melihat istrinya yang berbinar, Danish tak tinggal diam. Dia langsung memberikan peringatan pada Isha.“Baiklah.” Isha memilih mengiyakan saja. Masalah nanti lelah, dia akan pikirkan nanti.Mereka melanjutkan kembali sarapan. Isha tidak berenang. Dia hanya menikmati sarapan dan berfoto ria. Mengabadikan momen.Tepat jam sembilan, mereka berdua ke pantai. Isha begitu senang sekali karena pemandanga
Danish mengulas senyum manisnya. Dia ragu untuk mengatakan sebenarnya. Padahal Isha sudah berharap lebih jika dirinya yang menyiapkan semuanya.“Bukan.” Danish menggeleng. Tak mau berbohong pada Isha.“Pak Dino yang siapkan?” tanya Isha memastikan.“Iya.” Danish tertawa.Isha ikut tertawa. Tak masalah siapa yang menyiapkan. Yang jelas dia menikmati bersama Danish.“Ayo.” Danish mengulurkan tangannya. Mengajak Isha untuk ke meja yang sudah disiapkan.Isha mengikuti Danish menuju ke meja yang sudah disiapkan. Lilin-lilin yang menghiasi sekeliling mempercantik dekorasi. Meja makan pun dihiasi juga dengan lilin-lilin. Membuat suasana menjadi romantis.Danish menarikkan kursi dan mempersilakan Isha untuk duduk. Sikap manis Danish itu membuat Isha langsung tersenyum. Selama di Bali, Danish memang bersikap manis sekali.Setelah memastikan jika Isha duduk manis, Danihs segera duduk di kursi yang berseberangan dengan Isha. Baru saja mereka duduk, pemain musik mendekat. Memainkan alat musik da
“Menurutmu aku mau apa?” Danish menyeringai. Di dalam otaknya sudah dipenuhi akal bulus.“Jangan macam-macam!” Isha memberikan peringatan pada Danish.“Hanya satu macam.” Danish menerobos masuk seraya mendorong tubuh Isha.Isha hanya pasrah ketika sang suami ikut masuk.Danish segera menyalakan air hangat di dalam bathtub. Kemudian memasukan bath foam untuk membuat busa di bathtub.Isha memilih membersihkan wajahnya sebelum mandi. Membiarkan Danish menyiapkan tempat untuk berendam.Saat busa sudah memenuhi bathtub, Danish segera membuka satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya. Kemudian masuk ke dalam bathtub. Air hangat yang menerpa tubuhnya membuat tubuhnya sedikit rileks.Isha yang sudah selesai membersihkan wajah segera berbalik. Hal pertama yang dilihatnya adalah Danish yang sudah masuk ke dalam bathtub.“Ke marilah,” pinta Danish seraya memberikan isyarat tangan.Isha ragu, tetapi percuma menolak Danish. Suaminya itu tidak akan diam saja. Sebelum Danish yang menariknya, leb
Ina kembali ke toko setelah menjenguk Abra. Dia sebenarnya ingin segera pulang, tetapi mau bagaimana lagi, Isha memintanya untuk kembali karena ada barang yang akan datang nanti.“Kamu sudah kembali, Na?” Isha berbinar ketika melihat Ina datang. Dia sedang mengecek barang datang. Jadi cukup sibuk sekali.“Iya, sini aku bantu.” Ina pun segera membantu Isha.Mereka berdua mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Karena dikerjakan bersama-sama tentu saja selesai lebih cepat.“Akhirnya selesai juga.” Isha mendudukkan tubuhnya di kursi. Tubuhnya cukup lelah sekali.Ina pun juga ikut duduk. Baru juga tadi dia sampai, sudah langsung disuguhi pekerjaan. Alhasil dia kelelahan sekarang.“Sha, aku sampai lupa mau bilang sesuatu.” Ina teringat dengan pesan Abra tadi.“Apa?” tanya Isha menatap Ina.“Kak Abra meminta tolong untuk menjual mobil lamanya. Dia meminta kamu pulang ke rumah kalian dan mengambil dokumennya.”Isha sadar jika yang tersisa dari Abra adalah mobil lamanya. Mobil barunya sudah disit
“Ini rumah Kak Abra. Aku sudah tidak punya rumah. Karena waktu itu orang tuaku sakit, jadi aku berhutang cukup banyak. Karena itu, akhirnya aku menjual rumah itu dan menutup semua hutang.” Isha menjelaskan sambil membuka semua jendela. Isha beruntung masih ada matahari sore. Jadi masih ada cahaya masuk. Danish merasa jika Abra punya peran penting di hidup Isha. Karena itu, Isha terus berusaha untuk membebaskan Abra. Isha melihat debu yang berada di rumah. Rumah memang berdebu, tetapi di dalam masih terlihat rapi. Dia ingat betul jika sebelum pergi ke apartemen Danish, dia membersihkan rumah tersebut. Danish beralih melihat foto-foto yang terpajang di meja. Tampak foto Isha dan Abra terpajang di sana. Mulai dari foto Isha masih memakai seragam sekolah menengah. “Kamu sudah lama mengenalnya?” Danish menatap Isha. Isha menghampiri Danish yang sedang memandangi fotonya. “Iya, aku mengenalnya cukup lama.” Isha meraih satu foto dirinya dan Abra. “Sejak kecil dia selalu membantu aku. Mul
Pintu kamar mandi terbuka. Hal itu membuat Isha segera meletakan kembali apa yang dipegangnya. “Aku lupa bawa pakaian dalam.” Danish dengan polosnya mengatakan apa yang membuatnya keluar lagi dari kamar mandi. Padahal dia baru saja masuk. Isha mengulas senyumnya. Bisa-bisanya Danish lupa hal itu. “Aku akan ambilkan.” Isha segera berdiri. Danish yang melihat Isha berdiri, segera menutup kembali pintu kamar mandi. Isha mengambil pakaian dalam Danish di dalam lemari. Kemudian mengayunkan langkahnya untuk mengantarkan pakaian dalam ke kamar mandi. Namun, langkah Isha terhenti. Dia memilih untuk memasukkan sesuatu lebih dulu ke dalam dompetnya. Kemudian melanjutkan lagi niatnya ke kamar mandi. Isha mengetuk pintu kamar mandi. Menunggu Danish membuka kamar mandi. Walaupun Isha tahu kamar mandi tidak dikunci, tetapi dia tidak mau langsung masuk. Pintu kamar mandi terbuka. Tetapi hanya tangan Danish saja yang terlihat. Hal itu membuat Isha menyerahkan pakaian dalam ke tangan Danish. Say
Melihat Isha yang kesal membuat Danish nyali Danish ciut. Entah kenapa dia merasa Isha berbeda dari biasanya. “Tentu saja boleh.” Danish akhirnya mengalah ketika istrinya mau makan pasta dan pizza lagi. Senyum Isha langsung tersungging di sudut bibirnya. Senang karena akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Isha tidak tahu kenapa belakangan ini dia suka makan pasta dan pizza. Padahal makanan itu sebelumnya musuhnya. Isha dulu lebih suka makan ketoprak, gado-gado, sate, dan banyak makanan tradisional. Saat sampai di toko, Isha segera turun. Wajahnya tampak berseri-seri. Apalagi membayangkan nanti pulang dari toko akan makan pasta dan pizza. Danish yang melihat sang istri terlihat bahagia, merasa begitu senang sekali, hanya bisa menggeleng heran. Tumben sekali istrinya itu bersikap seperti itu. Setelah Isha turun, Dino segera melajukan mobilnya. Meninggalkan toko Isha. “Din, kamu lihat bukan jika Isha aneh? Sudah seminggu ini dia makan pasta dan pizza setiap malam. Aku saja yang
Isha menimbang tawaran Danish. Jika kali ini mengecek. Artinya ini sudah kelima kali dia mengecek. Rasanya, Isha belum siap untuk kecewa melihat alat tes kehamilan atau jawaban dokter jika dirinya tidak hamil. “Aku mau tunggu saja dulu.” Isha akhirnya mengambil keputusan itu. Tak mau buru-buru atau terlalu dini memeriksakan kehamilannya. Tak sanggup jika harus kecewa lagi. “Kenapa harus menunggu?” Danish merasa kecewa ketika Isha memilih menunggu dibanding dengan buru-buru mengecek, “Aku takut kecewa. Lebih baik kita tunggu lebih dari seminggu dulu. Ini baru empat hari. Jadi aku rasa pasti juga belum kelihatan.” Isha mencoba memberi pengertian pada Danish. Danish tahu seberapa kecewanya Isha ketika selalu gagal setiap mengecek kehamilan. Jadi wajar jika istrinya itu kini memilih untuk menunggu. “Baiklah, kita tunggu saja.” Akhirnya Danish pun setuju. Isha kembali menikmati makannya. Tak mau ambil pusing dengan apa yang baru saja dikatakan Danish. Isha sudah bertekad. Jika meman