“Menurutmu aku mau apa?” Danish menyeringai. Di dalam otaknya sudah dipenuhi akal bulus.“Jangan macam-macam!” Isha memberikan peringatan pada Danish.“Hanya satu macam.” Danish menerobos masuk seraya mendorong tubuh Isha.Isha hanya pasrah ketika sang suami ikut masuk.Danish segera menyalakan air hangat di dalam bathtub. Kemudian memasukan bath foam untuk membuat busa di bathtub.Isha memilih membersihkan wajahnya sebelum mandi. Membiarkan Danish menyiapkan tempat untuk berendam.Saat busa sudah memenuhi bathtub, Danish segera membuka satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya. Kemudian masuk ke dalam bathtub. Air hangat yang menerpa tubuhnya membuat tubuhnya sedikit rileks.Isha yang sudah selesai membersihkan wajah segera berbalik. Hal pertama yang dilihatnya adalah Danish yang sudah masuk ke dalam bathtub.“Ke marilah,” pinta Danish seraya memberikan isyarat tangan.Isha ragu, tetapi percuma menolak Danish. Suaminya itu tidak akan diam saja. Sebelum Danish yang menariknya, leb
Ina kembali ke toko setelah menjenguk Abra. Dia sebenarnya ingin segera pulang, tetapi mau bagaimana lagi, Isha memintanya untuk kembali karena ada barang yang akan datang nanti.“Kamu sudah kembali, Na?” Isha berbinar ketika melihat Ina datang. Dia sedang mengecek barang datang. Jadi cukup sibuk sekali.“Iya, sini aku bantu.” Ina pun segera membantu Isha.Mereka berdua mengerjakan pekerjaan bersama-sama. Karena dikerjakan bersama-sama tentu saja selesai lebih cepat.“Akhirnya selesai juga.” Isha mendudukkan tubuhnya di kursi. Tubuhnya cukup lelah sekali.Ina pun juga ikut duduk. Baru juga tadi dia sampai, sudah langsung disuguhi pekerjaan. Alhasil dia kelelahan sekarang.“Sha, aku sampai lupa mau bilang sesuatu.” Ina teringat dengan pesan Abra tadi.“Apa?” tanya Isha menatap Ina.“Kak Abra meminta tolong untuk menjual mobil lamanya. Dia meminta kamu pulang ke rumah kalian dan mengambil dokumennya.”Isha sadar jika yang tersisa dari Abra adalah mobil lamanya. Mobil barunya sudah disit
“Ini rumah Kak Abra. Aku sudah tidak punya rumah. Karena waktu itu orang tuaku sakit, jadi aku berhutang cukup banyak. Karena itu, akhirnya aku menjual rumah itu dan menutup semua hutang.” Isha menjelaskan sambil membuka semua jendela. Isha beruntung masih ada matahari sore. Jadi masih ada cahaya masuk. Danish merasa jika Abra punya peran penting di hidup Isha. Karena itu, Isha terus berusaha untuk membebaskan Abra. Isha melihat debu yang berada di rumah. Rumah memang berdebu, tetapi di dalam masih terlihat rapi. Dia ingat betul jika sebelum pergi ke apartemen Danish, dia membersihkan rumah tersebut. Danish beralih melihat foto-foto yang terpajang di meja. Tampak foto Isha dan Abra terpajang di sana. Mulai dari foto Isha masih memakai seragam sekolah menengah. “Kamu sudah lama mengenalnya?” Danish menatap Isha. Isha menghampiri Danish yang sedang memandangi fotonya. “Iya, aku mengenalnya cukup lama.” Isha meraih satu foto dirinya dan Abra. “Sejak kecil dia selalu membantu aku. Mul
Pintu kamar mandi terbuka. Hal itu membuat Isha segera meletakan kembali apa yang dipegangnya. “Aku lupa bawa pakaian dalam.” Danish dengan polosnya mengatakan apa yang membuatnya keluar lagi dari kamar mandi. Padahal dia baru saja masuk. Isha mengulas senyumnya. Bisa-bisanya Danish lupa hal itu. “Aku akan ambilkan.” Isha segera berdiri. Danish yang melihat Isha berdiri, segera menutup kembali pintu kamar mandi. Isha mengambil pakaian dalam Danish di dalam lemari. Kemudian mengayunkan langkahnya untuk mengantarkan pakaian dalam ke kamar mandi. Namun, langkah Isha terhenti. Dia memilih untuk memasukkan sesuatu lebih dulu ke dalam dompetnya. Kemudian melanjutkan lagi niatnya ke kamar mandi. Isha mengetuk pintu kamar mandi. Menunggu Danish membuka kamar mandi. Walaupun Isha tahu kamar mandi tidak dikunci, tetapi dia tidak mau langsung masuk. Pintu kamar mandi terbuka. Tetapi hanya tangan Danish saja yang terlihat. Hal itu membuat Isha menyerahkan pakaian dalam ke tangan Danish. Say
Melihat Isha yang kesal membuat Danish nyali Danish ciut. Entah kenapa dia merasa Isha berbeda dari biasanya. “Tentu saja boleh.” Danish akhirnya mengalah ketika istrinya mau makan pasta dan pizza lagi. Senyum Isha langsung tersungging di sudut bibirnya. Senang karena akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Isha tidak tahu kenapa belakangan ini dia suka makan pasta dan pizza. Padahal makanan itu sebelumnya musuhnya. Isha dulu lebih suka makan ketoprak, gado-gado, sate, dan banyak makanan tradisional. Saat sampai di toko, Isha segera turun. Wajahnya tampak berseri-seri. Apalagi membayangkan nanti pulang dari toko akan makan pasta dan pizza. Danish yang melihat sang istri terlihat bahagia, merasa begitu senang sekali, hanya bisa menggeleng heran. Tumben sekali istrinya itu bersikap seperti itu. Setelah Isha turun, Dino segera melajukan mobilnya. Meninggalkan toko Isha. “Din, kamu lihat bukan jika Isha aneh? Sudah seminggu ini dia makan pasta dan pizza setiap malam. Aku saja yang
Isha menimbang tawaran Danish. Jika kali ini mengecek. Artinya ini sudah kelima kali dia mengecek. Rasanya, Isha belum siap untuk kecewa melihat alat tes kehamilan atau jawaban dokter jika dirinya tidak hamil. “Aku mau tunggu saja dulu.” Isha akhirnya mengambil keputusan itu. Tak mau buru-buru atau terlalu dini memeriksakan kehamilannya. Tak sanggup jika harus kecewa lagi. “Kenapa harus menunggu?” Danish merasa kecewa ketika Isha memilih menunggu dibanding dengan buru-buru mengecek, “Aku takut kecewa. Lebih baik kita tunggu lebih dari seminggu dulu. Ini baru empat hari. Jadi aku rasa pasti juga belum kelihatan.” Isha mencoba memberi pengertian pada Danish. Danish tahu seberapa kecewanya Isha ketika selalu gagal setiap mengecek kehamilan. Jadi wajar jika istrinya itu kini memilih untuk menunggu. “Baiklah, kita tunggu saja.” Akhirnya Danish pun setuju. Isha kembali menikmati makannya. Tak mau ambil pusing dengan apa yang baru saja dikatakan Danish. Isha sudah bertekad. Jika meman
Isha menimbang-nimbang apa yang ditawarkan Danish. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa belakangan ini dia mual dan muntah terus. Padahal dia tidak pernah terlambat makan atau pun makan yang aneh-aneh yang membuat mual. “Aku baik-baik saja, sepertinya tidak masalah jika tidak ke dokter.” Isha masih tetap menolak permintaan Danish. Danish sebenarnya kecewa. Karena Isha tetap tidak mau ke dokter meskipun terus mual. Ternyata membujuk Isha benar-benar tak semudah yang dibayangkan. Raut kecewa Danish terlihat jelas. Hal itu membuat Isha langsung menyadarinya. “Bagaimana jika kita tunggu tiga hari dulu? Jika keadaanku tidak membaik, baru kita ke dokter.” Isha memang tidak mau terburu-buru. Terlebih lagi dia hanya merasa mual, pusing, dan muntah saja. Itu pun terjadi saat pagi saja. Danish menimbang apa yang ditawarkan sang istri. Menunggu tiga hari memang lama. Namun, tidak ada salahnya menunggu dibanding tidak sama sekali. “Baiklah, kita tunggu tiga hari.” Danish akhirnya setuju. I
Isha masuk ke kamar mandi. Untuk sejenak dia masih terdiam memandangi alat tes kehamilan. Jantungnya berdegup kencang ketika hendak mengecek apakah kali ini hasilnya akan berbeda dengan sebelumnya. Segera Isha mengecek urine untuk mengetahui apakah dirinya hamil atau tidak. Karena sudah sering menggunakan alat tes kehamilan, dia sudah tidak lagi membaca petunjuk penggunaan. Di luar kamar mandi, Danish menunggu Isha dengan cemas. Danish begitu penasaran dengan hasil kali ini. Melihat Isha yang seperti orang hamil yang mual terus, dia memiliki keyakinan jika Isha hamil. “Aku tidak boleh berharap dulu.” Danish berusaha untuk menenangkan dirinya. Sayangnya, Isha begitu lama di kamar mandi. Hal itu membuat Danish benar-benar merasa semakin panik. “Isha.” Danish mengetuk pintu kamar mandi. Memastikan keadaan Isha baik-baik saja. Karena istrinya itu tidak kunjung keluar. Suara pintu kamar mandi terbuka. Akhirnya Danish melihat Isha keluar dari kamar mandi. Dia memerhatikan wajah Isha. B
Tanpa terasa Dario sudah sebelas bulan. Dia susah mulai berdiri-diri. Berpegangan beberapa barang yang ada di sekitarnya. Pagi ini, dia bermain dengan sang mami dan papinya di taman belakang. “Minggu depan pembukaan toko. Apa yang harus aku persiapkan?” Pembangunan toko milik Isha, akhirnya selesai juga. Walaupun sedikit meleset dari perkiraan, tapi tidak banyak kendala yang terjadi. “Tidak perlu menyiapkan apa-apa. Siapkan dirimu saja. Aku sudah siapkan semua.” Danish selalu ingin yang terbaik untuk istrinya. “Terima kasih.” Isha merasa sangat beruntung sekali karena sang suami selalu mempermudah semuanya. Danish memegangi Dario yang sedang berdiri. Karena senangnya berdiri-diri, anaknya itu memang selalu meminta untuk berdiri. Saat sedang berpegangan pada sang papi, tiba-tiba Dario melepaskan tagannya yang berpegang pads sang papi. Danish dan Isha tampak terkejut ketika melihat hal itu. “Rio ....” Isha memanggil anaknya itu. Dario yang dipanggil pun segera mengayunkan langkah
“Aaaccchhh ....”Suara indah yang keluar dari mulutnya keduanya menandakan jika pelepasan sempurna didapat oleh keduanya.Tubuh Danish seketika lemas dan terjatuh di atas tubuh sang istri. Mengatur napas yang terengah-engah.Isha pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Mengatur napasnya yang seperti baru saja lari kiloan meter.Butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan tenaganya. Hingga akhirnya, membersihkan diri.****Isha dan Danish memutuskan pulang saat sore hari. Seharian mereka memanfaatkan waktu untuk mencari kenikmatan. Melepaskan hasrat yang terpendam beberapa bulan.“Aku malu sekali mau pulang.” Tiba-tiba saja Isha merasakan hal itu.“Bersikaplah tenang. Nanti mereka akan curiga jika kamu bersikap seperti itu.”Isha bersikap tenang seperti yang suaminya katakan. Dia tidak mau membuat kakak iparnya curiga.Mereka sampai di rumah. Tampak mobil Liam-suami Loveta sudah di depan rumah. Isha dan Danish berusaha untuk tenang seperti tida
Pagi-pagi Loveta sudah sampai di rumah Danish. Semalam, dia dikabari oleh adiknya itu untuk membantu menjaga Dario. “Kak Loveta.” Isha menyapa kakak iparnya itu. “Mana Iyoo?” Loveta senang sekali karena akhirnya diminta jaga keponakannya. “Baru saja tidur, Kak.” Isha segera mempersilakan kakak iparnya untuk masuk ke rumah. Menyajikan teh sambil menunggu Danish bersiap. Beberapa saat kemudian, Danish keluar dari kamarnya. Kemudian menghampiri sang istri. “Kak Lolo sudah datang, kalau begitu ayo pergi.” Danish menatap istrinya. Isha masih diam. Dia masih tidak enak sekali dengan kakak iparnya karena harus menjaga sang anak. “Sudah, kalian pergi saja. Serahkan anak kalian padaku.” Loveta berusaha untuk meyakinkan adik iparnya. Saat mendapati ucapan itu, Isha segera bersiap untuk meraih tasnya yang berada di sofa ruang keluarga. “Titip Rio yang, Kak.” Sebelum berangkat dia menitipkan lagi anaknya. “Iya.” Loveta mengangguk. Isha dan Danish segera pergi. Danish mengendarai mobiln
Levon dan Luel semakin nyaman menjalani hubungan setelah mendapatkan restu. Perjalanan masih panjang untuk hubungan mereka ke jenjang serius. Mereka lebih memilih untuk menikmati hubungan. Apalagi mereka harus fokus pada kuliah mereka.Isha semakin nyaman menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anaknya semakin gembul sekali. Apalagi sang anak minum ASI.Kehadiran Dario membuat rumah menjadi ramai. Keluarga sering datang ke rumah untuk bertemu Dario. Mulai Nessia, Loveta, atau pun Mami Neta.Seperti hari ini, Loveta datang untuk berkunjung. Dia terus bermain dengan Dario.“Iyoo ... Iyooo ....” Loveta memanggil keponakannya itu.“Mi, namanya Dario, kenapa dipanggil Iyoo?” Ve melemparkan protesnya.“Susah jika dipanggil Dario. Seperti namamu saja. Singkat. Hanya ‘Ve’.” Loveta menjelaskan pada sang anak.Ve hanya bisa menggeleng heran. Ternyata itulah yang membuat sang mami memanggilnya singkat. Agar lebih mudah.Isha yang mendengar perdebatan itu hanya tersenyum saja.“Kak Loveta su
Mendapati pertanyaan sang anak, Dona terdiam sejenak. Memandang Luel.Luel yang melihat mama Levon menunggu jawaban dari wanita itu. Penasaran apa jawaban yang akan diberikan.“Iya, Mama tidak marah.” Dona langsung membenarkan apa yang diucapkan oleh Levon.Luel merasa lega sekali mendengar hal itu. Rasanya ketakutan yang dirasakannya menguap.Tok ... tok ....Suara ketukan pintu terdengar. Luel, Levon, dan Dona mengalihkan pandangan merek. Dilihatnya Isha yang mengetuk pintu.“Minumannya aku taruh di meja. Silakan diminum.” Isha melebarkan pintu untuk memberitahu di mana ditaruh minumannya.“Terima kasih, Aunty.” Levon mengangguk.“Mama akan ke sana.” Dona menepuk bahu Levon. Kemudian mengayunkan langkahnya keluar.Levon memilih untuk tetap tinggal di kamar Luel. Menemani Luel.Dona segera keluar untuk menikmati teh yang dibuat oleh Isha. Menghargai Isha yang membuatkan minuman.Melihat Dona yang keluar dan Levon yang tetap tinggal di kamar, membuat Isha memutuskan untuk menemani Don
“Makanlah dulu.” Isha memberikan semangkuk bubur pada Luel.“Terima kasih, Aunty.” Luel segera menerima mangkuk yang diberikan. Dengan perlahan dia memakan bubur yang dibuatkan oleh aunty-nya.Isha tidak tega melihat Luel yang sakit. Padahal kemarin dia sudah mengingatkan Luel untuk makan.“Apa tidak apa-apa jika tidak mengabari mami dan papimu?” Isha memastikan pada Luel.“Iya, Aunty. Tidak perlu. Lagi pula aku sudah lebih baik.” Luel menolak tawaran sang aunty. Takut justru membuat orang tuanya khawatir atau bahkan menyalahkan paman dan bibinya.“Baiklah kalau begitu.” Isha tidak mau memaksa jika Luel tidak mau. “Kalau begitu kamu habiskan buburnya. Setelah itu kamu minum obat.”Luel segera memakan bubur yang diberikan oleh Isha. Tak lupa memakan obat dari dokter.“Istirahatlah lagi kalau begitu.” Isha segera meraih kembali mangkuk bubur yang kini sudah kosong.Isha meninggalkan Luel di kamarnya. Memberikan waktu untuk Luel beristirahat. Dia segera turun ke lantai bawah. Menyusul sa
“Uncle, tadi Luel pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kata dokter dia terkena asam lambung.”Mendengar hal itu Danish seketika terkejut. Tadi keponakannya itu berangkat baik-baik saja. Tapi, kenapa tiba-tiba sakit.“Kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan ke sana.”“Baik, Uncle.” Levon mengangguk.Akhirnya Danish mematikan sambungan teleponnya.“Siapa yang di rumah sakit?” Isha tampak penasaran sekali. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Luel.”“Luel?” Isha membulatkan matanya ketika mendengar jika Luel di rumah sakit. “Kenapa dia?” tanyanya ingin tahu.“Katanya dia asam lambung.” Danish menjawab seraya mengambil jaket di dalam lemari.“Pasti karena seharian dia tidak makan.” Sejenak Isha teringat dengan hal itu.Mendengar ucapan Danish, dia teringat ucapan Isha. Jika Luel tidak makan sejak pagi.“Bisa jadi.” Danish membenarkan.Danish segera bersiap untuk ke rumah sakit. Dia harus mengecek keadaan keponakannya itu.“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Danish mendarat
Dona tampak terkejut melihat anaknya dengan seorang gadis. Yang menjadi perhatiannya jika ternyata gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tadi di toilet. Dona memerhatikan gadis yang berada di sampingnya itu sedang melingkarkan tangan di lengan sang anak. Jika hanya teman, rasanya Dona yakin bukan. Karena teman tidak mungkin sedekat itu. “Ma.” Levon menyapa sang mama.Dona tidak langsung menjawab sapaan itu. Dia memilih memerhatikan gadis di samping sang anak.Levon menyadari hal itu. Mamanya sedang memerhatikan Luel. “Ma, kenalkan ini Luel, pacarku.” Dia pun segera memperkenalkan Luel.Pacar? Pikiran Dona melayang memikirkan pacar anaknya. Seingatnya sang anak sedang menjalin hubungan dengan keponakan Danish.‘Apa dia keponakan Danish?’ Dona bertanya dalam hatinya.“Luel?” Sejenak Dona mengingat sesuatu. Beberapa bulan lalu saat anaknya sakit, seorang gadis datang ke rumah sakit. Dona ingat nama gadis itu.“Kamu gadis yang ada di rumah sakit waktu itu?” tanya Dona memastikan.“Iya,
Luel memilih gaun cukup lama. Hingga membuat Levon menunggu. Karena orang tua Luel sedang pergi, jadi Levon menunggu sendiri. “Kak Luel mau pilih yang mana sebenarnya?” Ve merasa jika sedari tadi kakaknya terus memilih gaun tanpa tahu mana yang mau dipakai. “Iya, aku bingung. Kasihan Kak Levon sedari tadi menunggu. “Iya, sebentar lagi.” Luel mencari gaun. Hingga akhirnya dia mendapatkan gaun tersebut. Tak butuh waktu lama, dia pun mendapatkan gaun yang dicarinya. Gaun hitam dengan payet warna gold. Perpaduan pas untuk pesta malam ini. Tadi juga Luel sudah bertanya pada Levon. Baju warna apa saja yang dimiliki Levon. Hitam dan gold tadi disebut oleh Levon. Jadi tentu saja nanti mereka akan serasi. Saat mendapatkan gaun, segera dia berdandan untuk acara pesta. Dia tak punya banyak waktu. Jadi harus segera bersiap.Tepat jam lima sore akhirnya Luel siap. Segera mereka berangkat. Sebelum ke tempat pesta, Levon mengajak Luel untuk ke kost tempatnya lebih dulu karena dia gantian akan