Dona menatap Danish. Mencerna ucapan Danish. "Kamu sudah akan menikah?" tanya Dona menebak."Aku sudah menikah, Kak. Bukan lagi akan menikah."Dona mencibirkan bibirnya, dia tidak menyangka jika ternyata Danish sudah menikah. Dia pikir Danish tidak akan pernah menikah setelah meninggalnya sang adik. Karena sudah cukup lama Danish sendiri."Ternyata cintamu pada Dara hanya sampai di sini." Dona menatap malas pada Danish.Danish tahu jika kakak mendiang istrinya itu sedang menyindirnya. Dari awal dia memang tahu jika Dona tidak suka Dara digantikan."Ma ...." Levon menegur sang mama yang tampak ketus menyindir Danish."Pria seperti dia memang harusnya tidak berhak untuk mendapatkan wanita lagi. Jika pada akhirnya wanita itu dihilangkan nyawanya." Dona merasa apa yang dilakukannya tidak salah.Selama ini memang Dona belum bisa memaafkan Danish atas meninggalnya sang adik. Meskipun kejadian itu sudah berlangsung cukup lama. Menurutnya semua kesalahan ada pada Danish. Jika malam itu Danish
Danish melihat istrinya di balik pintu. Hal itu membuatnya terkejut. Seingatnya tadi sang istri sedang tidur. Namun, tiba-tiba saja sudah di kamar.Isha masuk ke dalam kamar. Menghampiri sang suami. Tadi saat bangun, dia mencari keberadaan sang suami. Entah kenapa dia merasa jika sang suami sedang berada di kamar Dara. Karena itu, dia mencoba ke sana. Benar saja. Danish ada di dalam. Sedang memandangi foto Dara."Aku hanya sedang tidak bisa tidur. Aku ...." Danish bingung harus menjelaskan apa. Takut sang istri berpikir buruk tentangnya.Isha duduk di samping sang suami. Meraih tangan Danish dan menggenggamnya erat."Tenanglah, aku tidak marah." Isha mencoba menenangkan sang suami.Danish bernapas lega saat sang istri tidak berpikir negatif padanya."Apa yang kamu pikirkan?" Isha tahu jika ada sesuatu yang dipikirkan Danish hingga mengantarkan suaminya itu ke kamar ini."Aku hanya memikirkan ucapan kakak Dara yang mengatakan jika aku sudah menggantikan Dara di hatiku." Danish menjelas
"Saya?" tanyanya."Iya, kamu. Memang siapa lagi! Cepat angkat barang-barang itu masuk." Luel menunjuk ke truk yang berada di depan rumah. Kemudian berjalan masuk ke rumah.Levon hanya terdiam ketika diberikan perintah oleh seorang gadis. Dia masih bingung kenapa dia harus membawa barang-barang itu ke dalam rumah. Bukankah harusnya dia membawa barang-barang dari dalam rumah keluar.Luel yang berjalan, berbalik ketika merasa tidak ada pergerakan dari orang yang disuruhnya itu."Kenapa diam saja? Cepat kerjakan!" Luel sedikit kesal ketika pria itu diam saja. Bukan cepat-cepat mengerjakan pekerjaan.Levon yang mendapati perintah tidak punya pilihan lain. Dia pun segera ke truk tersebut untuk mengambil barang-barang milik gadis yang menyuruhnya itu.Levon mengambil koper dan membawanya ke dalam rumah. Saat masuk ke rumah, Levon melihat foto Danish dengan seorang wanita. Dari foto itu dia menebak jika gadis yang tadi menyuruhnya bukanlah istri dari Danish."Ayo, bawa koper itu ke kamar." Lu
Luel membulatkan matanya ketika mendengar penjelasan sang paman. Dia langsung mengalihkan pandangan pada pria yang sedang duduk manis, memasang rak kecil miliknya.Levon menatap Luel. Ternyata selama ini dirinya dikira orang yang membantu pindahan. Pantas saja sejak tadi dia disuruh-suruh terus.Danish menggeleng heran melihat keponakannya memperlakukan tamu seperti itu. Dia segera menghampiri Levon. Mengulurkan tangan untuk membantu Levon untuk bangun.Levon segera menerima uluran tangan Danish. Kemudian berdiri."Maaf keponakanku memperlakukan kamu seperti ini." Danish meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh Luel."Tidak apa-apa, Uncle. Mungkin karena tampangku seperti tukang angkat-angkat barang. Jadi dikira tukang angkat-angkat barang." Levon menjawab sambil memberikan sedikit sindiran pada Luel.Luel hanya bisa tertunduk malu karena merasa bersalah sudah menyuruh-nyuruh Levon.Isha yang melihat reaksi Luel langsung menghampiri keponakannya itu. "Sebaiknya kamu minta maaf." Dia
Setelah Levon pulang, Danish, Isha, dan Luel masuk ke rumah. Luel masih merasa tidak enak sekali dengan pamannya."Maaf, Uncle. Tadi aku benar-benar tidak tahu." Luel kembali meminta maaf. Dia sadar jika tadi kesalahannya karena melakukan hal itu."Lain kali tanya keperluan orang tersebut. Jangan asal menyuruh saja.""Iya." Luel mengangguk."Sudah, lagi pula Levon tidak mempermasalahkan." Isha pun mencoba membela keponakanya itu."Iya." Danish pun tak mau memperpanjang masalah lagi."Apa kamu sudah selesai merapikan barang-barangmu?" Isha beralih pada Luel."Tinggal sebentar lagi, Aunty.""Butuh bantuan?" tanyanya memastikan."Hanya tinggal merapikan beberapa saja. Sepertinya aku bisa melakukan sendiri.""Baiklah kalau begitu."Akhirnya Danish dan Isha ke kamar mereka ketika mendengar Luel tidak butuh bantuan. Di saat paman dan bibinya ke kamar mereka, Luel pun memilih ke kamarnya. Melanjutkan kembali merapikan barang-barang yang dibawanya.Danish dan Isha yang masuk ke kamar segera m
Isha membulatkan matanya ketika mendapati pertanyaan itu. Dia merasa jika keponakannya tadi mendengar obrolannya. Tentu saja itu membuat Isha malu. Akan tetapi, Isha harus bijak menanggapi hal itu. "Semua pria memang begitu. Tapi, kita sebagai wanita harus berhati-hati. Kita para wanita, hanya boleh disentuh oleh pria yang sah menjadi suami." "Makanya itu mau putus saja." Isha yang mendengar ucapan Luel itu langsung mengalihkan pandangan pada Luel. "Putus dengan siapa?" Isha begitu penasaran. "Dengan pacarku, Aunty." Luel menjelaskan. Isha mencerna ucapan Luel. "Dia pegang-pegang kamu?" Dia begitu terkejut ketika menyadari jika keponakanya cerita hal itu. "Iya." Luel mengangguk. "Apa yang dipegang?" Isha seketika panik. Takut keponakannya diapa-apakan oleh pria. "Awalnya tangan. Lalu dia peluk aku dari belakang, lalu pegang perut." "Lalu?" Isha semakin penasaran ketika sang keponakan cerita setengah-setengah."Mau naik ke atas, tapi aku langsung melepaskannya." Luel ragu-rag
Luel segera turun ketika melihat ada yang menabrak mobilnya. Dia melihat keadaan mobilnya yang ditabrak.Saat keluar, dia melihat ada motor yang berada di belakangnya tampak ban motor tersebut menempel di mobilnya. Membuat mobilnya sedikit penyok. "Astaga, mobilku." Luel benar-benar terkejut ketika melihat mobilnya penyok. Levon langsung memundurkan motornya. Menjauh dari mobil Luel. Dia tidak menyangka jika yang berhenti mendadak itu adalah Luel. Luel langsung mengecek mobilnya. Benar saja, bagian belakang penyok. Dan itu cukup dalam. Hal itu membuatnya sedih. "Mobil kesayanganku." Luel memegangi bagian yang penyok itu. Dia segera beralih pada pengendara motor. "Apa kamu tidak bisa memberikan jarak saat berkendara?" Dia justru menyalahkan pengandara motor. Levon membulatkan matanya. Dia merasa heran dengan Luel. Dia yang berhenti mendadak, tetapi justru menyalahkan orang lain. "Yang salah itu kamu, mengerem mendadak. Kenapa jadi menyalahkan orang lain?"Luel tahu jika dia salah,
Luel membulatkan matanya ketika mendengar jawaban Levon. "Dasar pria mesum." Luel langsung menampar Levon. Levon benar-benar terkejut sekali dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Luel. Pipinya sayang sakit, tiba-tiba sekali ditampar oleh Luel. "Kenapa kamu menampar aku?" Levon benar-benar bingung dengan sikap Luel. "Karena kamu berpikir untuk memegang yang lain." Luel benar-benar tidak suka dengan apa yang dikatakan Levon. "Astaga, aku bilang contoh. Tidak benar-benar akan memegangnya. Itu hanya andai aku punya waktu lebih untuk memikirkan mana yang aku pegang. Lagi pula aku tadi memang benar-benar tidak sengaja memegang." Levon yang kesal pun meluapkan kekesalannya.Luel masih diam. Dia masih kesal ketika Levon menjelaskan. "Dengar, jika bukan karena kamu jatuh, aku juga tidak akan memegang anggota tubuhmu. Untuk apa aku selancang itu melakukannya. Aku tahu mana batasanku. Itu semua ketidaksengajaan saja. Bukan benar-benar niat. Lagi pula kamu yang mengajak berdebat. Kamu yan