Danish memikirkan bagaimana caranya mencari tahu jika istrinya punya uang hasil penggelapan. Dia tak mau menyakiti hati sang istri jika langsung menanyakan."Din, blokir rekening yang dibawa Isha." Danish memberikan perintah pada sang Dino. Dia berencana membuat Isha menggunakan kartunya sendiri. Sehingga dia bisa tahu isi rekening Isha."Baiklah."Mobil sampai di toko milik Isha. Danish keluar untuk menghampiri sang istri, sedangkan Dino mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Danish. Danish yang keluar dari mobil segera menghampiri Isha.Saat sampai di toko, Isha tidak ada di bagian depan. Yang ada di bagian depan hanya karyawannya saja."Ke mana Isha?" Danish menatap Ina yang berdiri tak jauh dari tempatnya."Isha ada di gudang, Pak."Mendapati jawaban itu, Danish segera menghampiri sang istri yang berada di gudang. Gudang Isha terbilang sempit. Jadi sekarang Danish harus bersenggolan dengan barang-barang yang ada di gudang. Dia mencari sang istri yang berada di gudang. Hingga akhi
Isha yang sedang menikmati es krimnya tiba-tiba teringat akan sesuatu. Apalagi jika bukan uang satu milyar yang ada di rekeningnya. Jika Danish sedang mengambil uang di rekeningnya, artinya Danish akan melihat isi rekeningnya itu. Sontak dia langsung berjalan cepat menghampiri Danish. Sebelum Danish berpikir macam-macam padanya, dia harus segera melakukan sesuatu. "Bu ... Bu ... jangan pergi." Karena Isha belum membayar es krim yang dimakannya, jadi kasir es krim mengejar Isha.Isha ingin berlari, tetapi dia sedang mengandung. Jika sampai berlari, jelas akan membahayakan anaknya. Karena itu, dia memilih berjalan cepat saja.Dari kejauhan Isha melihat Danish yang sedang berdiri di depan mesin ATM. Jantung Isha berdegup kencang ketika melihat Danish yang sedang berusaha membuka rekeningnya. Dia takut Danish melihat uang satu milyar itu sebelum mendengar penjelasan darinya. Takut Danish akan berpikir macam-macam tentang uang itu."Bu ...." Kasir yang mengejar Isha langsung memegangi ba
Isha membulatkan matanya ketika mendengar tuduhan Danish. Tidak terpikir olehnya sama sekali bekerja dengan Abra. Sejak awal dia justru murka ketika mendengar Abra mengambil uang perusahaan, karena merasa jika itu bukan hak Abra."Aku tidak berkerja sama dengan siapa pun." Dengan tegas Isha menyangkal tuduhan itu."Lalu bagaimana bisa uang itu ada padamu jika kamu tidak bekerja sama dengan siapa-siapa?" Danish menatap Isha yang duduk tak jauh dari tempatnya."Aku mengambilnya dari Kak Abra." Isha mengatakan apa adanya.Danish semakin frustrasi ketika mendengar jika Isha mengambil uang itu memang dari Abra. Jadi yang dikatakan Abra semuanya memang benar."Jadi benar yang dikatakan Abra. Kamu yang mengambilnya." Danish mengembuskan napasnya kasar. Sungguh ironi ketika mengetahui jika istrinya mengambil uang hasil korupsi."Kak Abra yang bilang aku yang mengambil?" Isha tampak terkejut ketika mengetahui jika Abra tahu dirinya yang mengambil uang tersebut. Padahal harusnya Abra tak tahu j
Danish mengembuskan napasnya ketika hendak bercerita. Ada rasa sesak dicampur dengan penyesalan."Uang itu ada di rekening Isha.""Jadi Isha benar-benar bekerja sama dengan Abra?" Dino langsung menyimpulkan dari kalimat yang baru diucapkan Danish."Tidak, dia tidak bekerja sama dengan Abra. Dia bilang, dia menemukan uang itu tanpa sengaja di rekening ayahnya. Karena itu dia memindahkannya. Dia ingin bilang aku, tapi karena sibuk dengan kehamilannya, dia jadi lupa."Dino merasa lega ketika mendengar jika Isha tidak terlihat dengan kejahatan Abra. Tidak seperti yang tadi dipikirkan. Namun, Dino merasa aneh dengan temannya itu. Jelas-jelas istrinya tidak kenapa-kenapa, tetapi Danish tampak frustrasi."Kamu kenapa?""Isha memang tidak terlibat dalam hal ini, tapi bagaimana aliran dana itu masuk padanya membuatnya tetap akan terlibat. Jika aku melaporkan Abra lagi, itu tidak akan mungkin. Karena Isha pasti akan terseret juga." Danish mengembuskan napasnya. Jika sudah begini, seperti terjeb
Danish semakin kesal ketika Abra justru melawannya. Dia tahu jika Abra sengaja menggunakan kelemahannya. Dia tahu jika dirinya tidak bisa memenjarakan Abra karena tak mau istrinya juga dipenjara."Aku tidak akan memenjarakanmu.""Apa kamu takut istrimu dipenjara?" Abra menatap lekat wajah Danish.Danish mengeram kesal. "Apa yang kamu inginkan?" Dia tahu jika Abra sengaja mengatakan hal karena suatu alasan. Tidak mungkin cuma-cuma."Aku mau Isha kembali padaku seperti perjanjian kita di awal." Abra mengatakan apa yang diinginkan.Danish membulatkan matanya. Permintaan Abra itu membuatnya begitu terkejut sekali. Tidak mungkin dia akan melakukan hal itu. Melepaskan istrinya sudah dicoretnya dalam daftar keinginannya."Aku dan Isha sudah membatalkan perjanjian itu. Jadi kami tidak akan berpisah. Jadi buanglah keinginanmu untuk meminta Isha kembali padamu."Abra tersenyum. "Tinggal buat perjanjian lagi. Mudah bukan?""Perjanjian hanya dibuat dengan kesepakatan bersama.""Buatlah Isha sepak
Untuk sesaat keduanya saling pandang. Ada kerinduan berat yang tersirat, tetapi tak mampu untuk diungkapkan.Sejenak Danish teringat akan ancaman Abra padanya. Kedua pilihan itu tentu saja akan sulit baginya. Melihat istrinya dipenjara dalam keadaan hamil tentu saja akan membuat Danish tidak rela. Bagaimana kebutuhan nutrisi akan terjaga jika berada di penjara. Belum lagi, di penjara pastinya Isha akan tidur di lantai. Pasti keadaan kesehatan sang istri akan buruk. Jika sudah begini, pasti akan berdampak pada anak mereka. Namun, membayangkan melepaskan Isha jauh lebih berat lagi. Dia tak sanggup jika harus melepaskan Isha dari hidupnya. Dia begitu mencintai Isha.Danish membelai lembut wajah Isha. Sayangnya, saat belaian itu diberikan, Isha langsung bangkit dari tempat tidur. Menghindari Danish. Danish benar-benar merasa jika apa yang dilakukan Isha adalah akibat salahnya. Dia sudah menuduh sang istri begitu saja. Dengan segera Danish ikut bangkit dari tempat tidur kemudian mengejar s
"Hei ... jangan masuk." Aulia langsung mengejar.Sayangnya Abra mengabaikan hal itu. Dia segera pergi ke gudang.Aulia langsung menarik tangan Abra. Memelintirnya ke belakang. Sebagai mantan petugas keamanan, jelas jika dia ahli dalam hal ini."Ach ...." Abra langsung menjerit ketika Aulia memelintir tangannya.Suara itu didengar oleh Isha. Karena itu, Isha segera keluar dari gudang. Alangkah terkejutnya Isha ketika melihat jika Abra sedang diplintir tangannya oleh Aulia. Tampak Abra begitu kesakitan"Aulia, lepaskan." Isha mencoba untuk menghentikan aksi Aulia."Tapi, dia berbahaya untuk Anda, Bu." Aulia tidak bisa melepaskan Abra begitu saja."Dia tidak akan menyakiti aku. Kamu bisa berjaga-jaga jika dia sampai menyakiti aku." Isha mencoba meyakinkan Aulia.Akhirnya Aulia melepaskan Abra. Mengikuti perintah Isha.Abra mendengus kesal. Merasa jika Isha benar- benar menyiksanya."Suamimu sepertinya takut sekali kamu disakiti." Abra mencibir Isha sambil mengulas senyum menyeringai.Ish
Danish lari menyusuri koridor mencari keberadaan Isha yang dirawat di rumah sakit. Tadi Aulia mengabari jika Isha pingsan. Karena itu dia langsung menuju ke rumah sakit.“Di ruangan mana?” Danish yang berlari bertanya pada Aulia dari sambungan telepon.“Ruangan anggrek nomor empat, Pak.”Mendapati jawaban itu membuat Danish bergegas ke sana. Jantungnya berdegup kencang. Dia benar-benar merasa ketakutan sekali terjadi apa-apa pada istri dan anaknya.Danish langsung membuka pintu ketika mendapati ruangan di mana sang istri dirawat. Saat masuk, ada Aulia yang sedang menunggu sang istri. Tampak sang istri tertidur di ranjang perawatan.“Bagaimana keadaannya?” Danish menatap Aulia.“Tadi dokter bilang baik-baik saja, Pak. Hanya karena Bu Isha lemas jadi dokter menyarankan untuk dirawat.” Aulia mencoba menjelaskan.Danish bernapas lega ketika sang istri baik-baik saja.“Sebenarnya bagaimana tadi dia bisa pingsan?” Danish begitu penasaran sekali.“Tadi pria itu datang, Pak. Bu Isha berbicara