“Aku… tertarik.” “Bagaimana kalau aku kenalkan pada sepupuku. Dia bekerja di tambang. Tapi dia duda punya anak satu. Tapi dia sungguh baik. Dia bercerai karena istrinya selingkuh. Kau tahu sendiri—anak tambang jarang pulang.” Adel yang seperti mempromosikan sepupunya. Karina tidak mendengarkan perkataan Adel karena ada pria yang berjalan lurus ke arahnya. Langkahnya begitu mantap menuju ke arahnya. “Karina apa yang kau lakukan di sini?” Saka menarik pergelangan tangan Karina. “Pergi dari sini Karina!” Saka menoleh ke belakang. Seperti memastikan sesuatu. Ia hanya melirik Adel yang berada di samping Karina sekilas. “Ikut aku.” Saka menarik Karina menjauh. Membawa Karina ke sebuah ruang lorong kosong. “Aku menyuruhmu untuk tetap berada di rumah, Karina. Apa yang kau lakukan berkeliaran di sini? Kau tidak mendengarkan perkataanku?” Saka beralih mencengkram dagu Karina. “Aku hanya jalan-jalan sebentar dengan Adel. Setelah ini aku akan pulang.” Jemari Karina menyentuh tangan Sak ayan
“Karina kau harus pergi! Tidak ada gunanya kau terus bertahan di sini. Kau cantik, kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari Saka! Come on Karina! Jangan biarkan dirimu diinjak-injak terus!” Itulah perkataan Adel beberapa jam yang lalu. Adel yang ingin Karina menjauhi Saka saja. Karena sesungguhnya Adel juga tidak ingin melihat Karina menjadi selingkuhan pria yang sudah beristri. Karina sudah berada di rumah Adel. Rumah yang sangat bagus untuk ukuran sendiri. Tingkat dua dengan lebar yang lumayan luas. “Untuk sementara tinggalah di sini. Di saat kau sedih jangan sendirian.” Adel masuk ke dalam kamar lebih dulu. “Adel..” panggil Karina. “Ya?” “Terima kasih.” Baru kali ini Karina merasa benar-benar memiliki teman. Adel tidak menghinanya, tidak menjauhinya, tidak menjudge-nya. Karina tidak yakin apakah Susan atau Amel bersikap seperti ini jika tahu keadaannya yang sebenarnya. Atau malah bisa saja bersikap sebaliknya. Selama ini ia merasakan sendiri bagaimana mereka memperlakukann
“Kenapa kau terlihat kesal?” Aruna datang membawa nampan yang berisi dengan kopi. Ia menaruhnya di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur. Ya mereka memang sudah tinggal satu rumah dan satu kamar. Namun percayalah Saka tidak berbuat macam-macam. Tapi berbuat macam-macam juga tidak masalah, Aruna istrinya sendiri. Tapi tidak, ada sesuatu yang harus Saka lakukan. “Hanya pekerjaan.” Saka memasang dasinya sendiri. Terlihat kesusahan sehingga membuat Aruna berinisiatif membantu. Ia sengaja mengikis jarak lebih dekat. Ia juga bisa mencium aroma menyegarkan dari Saka. “Aku akan membantumu.” Aruna mengambil dasi Saka, mencoba membuat simpul dasi yang rapi. Belum selesai—ia mendongak. Menatap wajah Saka dari dekat. Aruna tersenyum—inilah impiannya. “Apa kau sudah selesai?” tanya Saka menyadarkan Aruna dari lamunannya. “Wait. Aku akan menyelesaikannya.” Aruna dengan gugup memasangkan dasi. Namun ia payah. Sesungguhnya ia sudah lupa caranya. Namun ia tetap mencoba, alhasil sudah berme
Sesampainya di kantor. Saka berjalan tanpa tersenyum sedikitpun. Ia juga tidak membalas sapaan dari pegawainya. Tenaganya sudah terkuras di rumah. Ia lelah berpura-pura baik di rumah. Ia sampai di lantai ruangannya berada. Di sana sudah ada Ronald yang duduk di bangku. “Ronald,” panggilnya. “Ya, Sir?” “Lacak keberadaan Karina!” “Tapi—” “Mau membantah?” sahut Saka lagi. Semakin galak! Semakin kejam! Lihat saja tatapannya seolah ingin mengajak orang berduel di ring tinju. “Tapi bos, Karina—” “Apa?!” potong Saka cepat. “Aku harus menemuinya secepatnya.” “Karina menginap di rumah Adel.” “Bagaimana kau tahu?” “Adel memberitahuku.” Saka mengernyit. “Untuk apa dia tidur di sana? Apa penthouse pemberianku kurang nyaman ditinggali?” “Mungkin bos,” balas Ronald memanasi Saka. “Mungkin kurang mewah. Anda bisa membeli rumah untuk Karina. Yang lebih besar, lebih mahal, yang ada kolam renangnya juga. Waaah pasti Karina akan sangat senang.” “Benarkah?” Saka mengernyit. “Apa mungkin dia
Ronald menunjuk mobil berwarna hitam. “Bersama Tuan Saka.” Adel menghela nafas. Ia bersindekap menatap sinis pada mobil seharga milyaran itu. Di dalam mobil, Saka sibuk mengintrogasi Karina. Tentang alasan kenapa Karina tidak menjawab panggilannya sama sekali. “Jawab aku Karina. Kenapa kau tidak mematikan ponselmu? Kenapa kau menghindariku dan menginap di rumah wanita itu?” “Namanya Adel, bukan wanita itu.” Karina mengoreksi. “Aku sengaja mematikan ponselku. Aku hanya ingin menenangkan diri.” “Setidaknya beritahu aku. Tidakkah kau tahu aku menghawatirkanmu?” Saka memegang bahu Karina. Karina meremas roknya sebelum mengajukan pertanyaan. “Kapan kamu akan menceraikan Aruna?” “Kenapa kau selalu membahasnya? Kau tidak percaya padaku?” Saka menangkup wajah Karina. “Aku menyuruhmu menunggu dan bukan menekanku, Karina.” “Tapi aku butuh kepastian. Aku ingin kamu menceraikan Aruna.” “Karina jangan menekanku.” Saka beralih mencengkram dagu Karina. “Aku paling benci ditekan oleh orang.
Pagi harinya—karina berdandan seperti biasa. Riasan tipis di make up. Menggunakan dress berwarna pink membuat penampilannya begitu menyegarkan. Anggap saja sebagai Karina yang mencoba bangkit. “Aku akan memasak nasi goreng.” Karina masih bergulat dengan masakannya hingga tidak sadar ada orang yang masuk. Saka mendekati Karina sambil tersenyum. Perlahan dari belakang, melingkarkan tangannya di perut Karina. “Kau masak apa?” bisik Saka. Ia juga mengecup pelan pipi Karina dari samping. “Sangat wangi,” pujinya. Karina terdiam sebentar. Saka yang kemarin dengan Saka yang sekarang sangat berbeda. Saka sekarang ceria—sorot matanya memancarkan kehangatan. Berbeda dengan kemarin. Apakah seburuk itu akibat membuat Saka marah? “Kenapa melamun?” tanya Saka lembut. “Kau sedang memikirkan apa?” Karina menggeleng. “Tunggu sebentar. Aku akan mengangkat nasi goreng ini dulu.” Saka mengangguk. Memilih menyingkir dan duduk di kursi. Menangkat cangkir yang berisi kopi. Ia meminumnya perlahan. Cair
“Sakaa…” Karina ingin menangis. Pandangannya teralih ketika seorang wanita datang. Ketukan sepatunya terdengar sekali di telinganya. Aruna berjalan mendekatinya. Begitu sampai di dekat, Saka berdiri. Memeluk pinggang Aruna dari samping. “Bagaimana kau ingin alasan lagi?” tanya Saka. “Berhentilah menggoda suami orang.” Aruna menatap nyalang Karina. “Kau itu perusak rumah tangga orang. Dasar jal@ng sialan!” umpatnya menggebu-gebu. Karina menggeleng. “Saka jangan tinggalkan aku.” “KAU TIDAK PUNYA MALU?!” teriak Aruna begitu menggelagar di ruangan. Bahkan orang di luar pun akan mendengar perkataannya. “TINGGALKAN SUAMIKU SEBELUM AKU MELAPORKANMU KE POLISI!” Karina masih berharap Saka membelanya. Namun Saka hanya terdiam. Tidak ada pembelaan untuk Karina sama sekali. Pria itu masih merangkul istrinya dengan mesra. “Saka…” lirih Karina. “Aku bisa melakukan apapun tapi jangan tinggalkan aku. Kau membuat aku bergantung padamu. Lalu kau bersikap seperti ini.” Aruna melotot. Semakin mara
Karina duduk di samping Adel. Di ruang makan yang luas ini—hanya terisi oleh empat orang saja. Pak Bagas, Bu Ara, Adel dan Karina sendiri. “Hm.” Pak Bagas mengangguk. “Papa takut nanti Karina ngelakuin hal yang enggak-enggak.” Bu Ara menatap Karina. “Tinggal di sini aja dulu, Nemenin Adel supaya betah di rumah dan enggak keluyuran terus.” Karina hanya tersenyum. “Bukan keluyuran, Ma. Adel itu pergi menjelajah dunia.” Ia menoleh menatap Karina. “Makan yang banyak Karina,” ucapnya. Karina mengangguk. “Sama aja keluyuran. Disuruh kerja di perusahaan gak mau. Maunya ke sana ke sini, gonta-ganti kantor. Adel kamu harus fokus sama perusahaan,” ujar Bu Ara. Adel menghela nafas. “Siapa suruh dulu mau kerja di perusahaan sendiri gak boleh, malah disuruh coba kerja dulu di perusahaan lain. Kan keterusan sampai sekarang.” Pak Bagas menunjuk Adel dengan garpunya. “Kamu pinter ngeles.” Karina sedikit tersenyum. Melihat bagaimana kehangatan keluarga Adel. Karina merasa sedikit iri. Mungkin
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert