Sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Karina. Saka terlalu sibuk mengurusi masalah perceraiannya. Biarlah—lagipula Karina pasti mengerti. Di suruh tinggal di rumahnya juga Karina tidak akan mau. Tok Tok “Tuan, nona Karina mencari anda.” Saka menoleh. Dari balik pintu itu adalah pembantunya. Pagi-pagi begini Karina datang ke rumahnya tanpa diminta. Saka beranjak dari duduknya—melangkah keluar dari ruang kerjanya. Ia berjalan pelan. Ia melihat Karina dari atas. Karina sangat cantik dengan balutan pakaian yang santai. Hanya menggunakan Kaos dan celana jeans longgar. “Lagi-lagi kamu berani datang ke kandang singa.” Karina menoleh. Ia tersenyum. “Aku kawatir kamu sakit. Kamu tidak ada kabar sama sekali. Aku memutuskan langsung ke sini untuk melihat keadaan kamu yang sebenarnya. Kamu baik-baik saja bukan?” karina menatap Saka dari bawah hingga atas. “Tidak ada yang hilang. Masih lengkap.” “Memangnya apa hm?” Saka menarik Karina ke dalam pelukannya. “Aku merindukanmu.” “Mer
Karina akhirnya bisa tersenyum. “Makasih.” “Lucu sekali.” Saka mengusap puncak kepala Karina. “Ayo ikut denganku.” Menggandeng Karina. Berjalan ke arah belakang rumah. Di sana ada kolam yang cukup besar. “Temani aku berenang.” Saka sudah melepaskan kaos dan celananya di depan Karina. “Aku akan menunggu kamu di pinggir.” Saka menarik Karina yang hendak pergi. “Aku meminta kamu menemaniku, bukan menungguku.” Saka mengangkat kaos yang digunakan Karina dengan muda. Hingga tubuh bagian atas Karina hanya tertutup dengan bra. “Saka!” Karina menyilangkan tangannya di depan dada. “Bagaimana jika ada yang melihat.” Seperti biasa. Saka mengedikkan bahu sambil berkata. “Biarkan saja.” Ia menunduk. Dengan gerakan cepat—menurunkan jeans yang digunakan Karina. “SAKA!” pekik Karina panik. Sekarang tubuhnya hanya terbalut dengan dalaman berwarna merah menyala yang sangat kontras dengan kulit tubuhnya. “Aku tidak mau! Nanti ada orang yang lihat!” “Siapa yang lihat?” heran Saka. “Semua pembantuk
Pagi ini Karina bangun lebih awal. Ia meninggalkan Saka yang masih tertidur—lantas turun ke bawah. Ada beberapa pelayan yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Karina mendekat—tercium harum masakan. “Hari ini masak apa?” tanya Karina. “Ada beberapa jenis roti yang kami buat pagi ini,” jawab Sri. “Apa aku boleh membuat kopi untuk Saka?” Sri mengangguk. “Tentu saja. Di sini.” Menunjuk sebuah mesin kopi yang ada di sana. Dengan bantan Sri, karina membuat Kopi sesuai selera Saka. Ia menatap puas pada kopi buatannya. Ia akan mengantarkannya ke atas. Mungkin Saka sudah bangun dan sedang membersihkan diri. “KARINA!” Suara mengintrupsinya agar berhenti. Karina berbalik—kakinya terasa lemas. Kejadian di mana Aruna memukulnya habis-habisan masih tercetak jelas di ingatannya. Karina sedikit gemetar memegang kopi di tangannya. “Wow kau masih berani ke sini.” Aruna berjalan mendekati Karina. Langkahnya begitu berani dengan sorot tajamnya yang siap membunuh Karina. “Apa pelajaran yang aku ber
Saka malah tertawa. Berdecih remeh. “Anakku kau bilang?! Kau tidur dengan banyak pria tapi meminta pertanggung jawaban anak itu padaku? Datanglah pada selingkuhanmu!” “Usianya 6 minggu. Dia ada setelah kita ‘melakukannya’ di malam pesta perusahaan.” Aruna tersenyum miring. “Tentunya kau masih ingat di malam itu kita menghabiskan malam yang panas sampai pagi. Kau memasukiku dan menanam benihmu di rahimku tanpa menggunakan pengaman!” “OMONG KOSONG!!” Saka mencengkram leher Aruna. “Kau berani mengatakan omong kosong padaku. Aku akan memberimu pelajaran!” “Sa-ka..” Aruna berusaha melepaskan tangan Saka yang mencengkram lehernya. “Le-pas-kan aku!” nafas Aruna mulai terputus. “HENTIKAN SAKA!” teriak Karina. “Hentikan….” Lirih Karina. Tes! Air mata Karina turun tanpa bisa dicegah. Saka melepaskan cengkramannya pada Aruna. Ia menoleh pada Karina yang telah menangis. Saka mendekat—namun Karina semakin menjauh. “Karina jangan percaya dengan perkatannya. Dia berbohong.” Karina menggeleng.
“Apa yang kau inginkan?” Saka menghela nafas dalam. Baru kali ia mau mengalah dan merendahkan diri pada seorang wanita. “Apa? Aku tidak dengar Saka!” Aruna berpura-pura bermain ponsel. “Sepertinya aku akan sibuk menghadiri sidang perceraian kita berdua.” “Jangan menguji kesabaranku Aruna!” sentak Saka tidak lagi menahan kemarahannya. “Apa maumu? Aku tidak ingin bercerai.” “Apa? Kau tidak ingin bercerai? Bukannya kau yang selalu ngotot ingin bercerai. Kau takut hartamu berkurang?” Aruna sangat kurang ajar. Jelas sekali jika nada bicaranya memang ingin merendahkan Saka. “Tutup mulutmu!” Saka mencengkram bahu Aruna. “Aku tidak akan menceraikanmu!” “Aku hanya ingin kau meninggalkan Karina!” teriak Aruna. “Aku ingin kau hidup denganku saja! Aku tidak ingin melihat kalian berdua!” “Aku memang bodoh. Aku bisa saja menceraikanmu dan mendapatkan harta. Tapi aku tidak bisa karena aku menyukaimu, Saka!” Aruna memejamkan mata. Bulir-bulir air matanya mulai turun. Dadanya bergumuruh begitu s
“Aruna?” Saka mengulang ucapan Leona. Pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh ibunya saat pertama kali bertemu dengannya. Maka yang di depannya memang ibunya, Leona. “Mom!” Saka membuka mata lebar. “Jadi kamu baru sadar jika ini Mom?” Leona mendekat. Memeluk Saka—mengusap pelan punggung Saka. “Mom langsung ke sini saat mendengar berita membahagiakan.” “Di mana Aruna?” tanya Leona lagi. Celingukan mencari keberadaan Aruna. “Dia masih tidur?” “Oh—” Saka harus mencari alasan ke mana perginya Aruna. “Dia di rumah orang tuanya. Dia menginap di sana.” “Kenapa kamu di sini?!” Leona memukul bahu Saka. “Kamu membiarkan istri kamu sendirian ke rumah orang tuanya?” Saka mengangguk. “Hm. Lagipula pekerjaanku menumpuk, Mom. Aku tidak bisa menemaninya.” “Yaampun Saka!” Leona menggeleng. “Mom sudah bilang pada kamu. Kamu harus sering menemani istri kamu. Apalagi saat seperti ini. Kamu harus siaga berada di sampingnya. Istri kamu hamil. Takut kenapa-kenapa.” “Tenang, Mom. Dia ke rumah orang tu
Setelah itu barulah menghubungi Aruna. “Mom ada di rumahku. Dia menanyakan keberadaanmu. Aku memberitahunya jika kau pergi ke rumah orang tuamu.” “Baguslah kau bisa mencari alasan.” Saka mengernyit. Dari nada bicara Aruna. Wanita itu tidak sedang mengantuk. Tapi—bukankah seharusnya jam segini Aruna sudah tidur? “Kau belum tidur?” “Kenapa? Kau kawatir denganku?” Aruna berdecih pelan. “Saat jauh saja kau menghawatirkanku. Saat dekat kau selalu ingin membunuhku. Kau memang menyebalkan.” “Aruna pergilah tidur.” Saka berkacak pinggang. “Besok datanglah ke sini. Mulai besok kau akan tinggal di rumahku.” “Benarkah?” “Hm.” Sebelum menutup teleponnya. Saka mengucapkan sebuah kalimat yang menurut Aruna sangatlah manis. “Jaga kesehatanmu.” Ya, hanya seperti itu. Namun mampu membuat hati Aruna berdebar. ~~ “Cabut gugatan ceraiku!” perintah Saka pada pengacaranya. Setelah itu menutup ponselnya. Pagi ini ia harus membatalkan seluruh rencananya. Entahlah—Saka sendiri dilanda kebingungan ya
[Dari 087388xx: Karina] Karina yang tadinya menonton tv. Kini menoleh akibat suara ponselnya yang berbunyi. [Siapa?] [Aku Adel] Karina mengernyit. “Adel? Dari mana dia mendapat nomorku. Kukira tidak ada yang tahu nomor ponselku.” [Dari mana kau mendapat nomorku?] [Dari Ronald.] Karina mengangguk mengerti. Belum sempat membalas, sebuah pesan kembali datang. [Ayo keluar. Aku sangat bosan di rumah. Aku ingin menonton film di bioskop.] Karina menimbang sebentar ajakan Adel. Ia juga bosan di rumah sendiri—menonton drama korea yang menurutnya juga membosankan. Untuk itu ia mengiyakan ajakan Adel. Memutuskan bertemu langsung di mall. Adel sudah membeli tiket dan popcorn ukuran yang paling besar. Pilihan Adel memang sangat luar biasa. Bangku yang dipilih sangat nyaman untuk menonton. Namun sayang—pilihan Adel adalah film horor. “Kau takut?” tanya Adel. Karina duduk dengan tidak yakin. Ia memakan popcornya perlahan. “Tidak terlalu.” “Wajahmu sangat takut bahkan sebelum film dimul
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert