“Aku pergi.” Karina membuka pintu mobil dan keluar. Saka melanjutkan perjalanannya. Tidak membutuhkan waktu lama. Akhirnya sampai juga di kantor. Ia melangkah pelan memasuki perusahaan. Ada beberapa pegawai yang menyapanya. Saka tersenyum terkadang juga membalasnya. Seperti saat ini. “Selamat siang, Pak.” Saka tersenyum. “Selamat siang juga.” Para pegawai wanita itu takjub karena baru pertama kali bosnya membalas sapaannya. Saka juga tersenyum! kekaguman itu terus berlanjut. Saka tersenyum ramah dengan pegawai yang melewatinya. “Selamat siang pak.” “Selamat istirahat siang kalian,” balas Saka sebelum memasuki lift. “Waah, Pak Saka membalasku.” Wanita itu menggeleng takjub. “Hatiku berdebar hanya mendengar suara Pak Saka.” “Yaampun, pria misterius memang beda. Sekalinya ngomong bikin meleleh hati.” “Ingat woy. Udah punya istri! Mau jadi pelakor?!” “Iya-iya.” Ya begitulah kira-kira para pegawai yang sibuk membicarakan perubahan Saka. Sedangkan Saka hanya merasa moodnya bagus
Aruna tersenyum canggung. “Oh iya juga. Tapi aku akan berusaha tidak berisik. Aku akan berusaha tidak menganggumu.” “Bagaimana kalau kita makan malam?” tanya Aruna dengan mata yang berbinar. “Aku sudah memesan tempat di restoran kesukaanmu.” Sambil tersenyum. “Oke.” Saka menghela nafas. Ia mengambil ponselnya—mengetikkan sebuah pesan kepada Karina agar tidak menunggunya.~~Hanya untuk Saka, karina mau repot-repot datang ke kantor malam hari. Bibirnya masih mengembangkan senyum. Di tangan kirinya membawa sebuah bekal—rencananya ia akan memberikan makanan itu untuk di makan berdua. Namun Karina berhenti saat ponselnya berbunyi. [Tidak usah menungguku. Aku ada urusan.] “Baiklah.” Karina menghela nafas. Taksi yang ditumpanginya baru saja pergi. baru saja berbalik—Karina mendapati Saka sedang berjalan dengan Aruna. Mereka nampak beriringan dengan Aruna yang memeluk lengan Saka. “Kenapa mereka..” Karina segera bersembunyi saat Aruna menoleh. Baiklah—Karina harus merasakan sakit hati
“Kau juga. Jangan bermain api di belakangku jika tidak ingin melihatku marah.” Jemari Saka mengusap punggun tangan Aruna. “Kau tahu sendiri bagaimana aku ketika marah.” Aruna tersenyum canggung. “Te-tentu saja..” Aruna berbalik menggenggam tangan Saka. “Aku berjanji tidak akan bersama pria lain di belakangmu.” Saka menarik tangannya. “Selesaikan makanmu.” Aruna mengangguk. Sesekali ia mencuri pandang pada Saka. Lututnya lemas hanya berhadapan dengan Saka. Kapan hati Saka akan mencair untuknya? “Jika aku melihatmu bersama pria lain. Kupastikan hidup pria itu menderita seumur hidup. Bukan hanya pria itu—tentu saja kau juga. Kau yang berani menghancurkan kepercayaanku, akan kubuat hidupmu lebih menderita.” Aruna menelan salivanya susah payah. Suram sekali—mendadak suasana restoran ini dikerubungi oleh kabut gelap. Aruna mendadak menggigil. Ia terpaksa memasang senyum palsu. “Aku tidak akan menghianatimu, Saka.” Aruna masih tersenyum. “Aku berusaha mencintaimu.” Saka mengusap sudut
“Aku ingin memelukmu sepanjang malam.” Saka menarik Karina ke dalam pelukannya. Sebelum memejamkan mata—ia mengecup leher Karina beberapa kali. Aroma stroberry yang menyegarkan dan tidak pernah membuatnya bosan. “I love you Karina Leticia.” ~~ Sudah beberapa jam lalu seorang wanita terbangun. Karina pagi ini terkejut dengan Saka yang sudah berada di sampingnya. Juga memeluknya. Bukan pagi ini saja—tapi semalaman. Tangan Karina terangkat ingin menyentuh helaian rambut Saka, namun ia urungkan. Ia menghela nafas berkali-kali sebelum bangkit dari kasur. “Akh!” Karina melebarkan mata saat tubuhnya ditarik kembali hingga terjatuh. “Mau ke mana hm?” Saka membuka mata. Ia memeluk pinggang Karina erat. “Jangan ke mana-mana.” Karina menggeleng. “Aku harus membersihkan diri.” “Kau tidak bau.” Saka mengeratkan pelukannya. Ia mengecup dan mengggit kecil leher Karina yang semakin harum saja. “Aku suka aromamu.” Saka semakin gencar—ia bahkan melumat leher Karina. “Jangannh..” Karina berusah
Karina menggeleng. “Aku bahkan tidak mandi untuk rapat bulanan. Apa aku bau?” Karina lagi-lagi menggeleng. Saka mendekat. “Coba cium aku.” Karina menggeleng lagi. “Tidak.” “Kenapa?” Saka mengendus dirinya sendiri. “Apa aku bau?” Ternyata pikiran Karina salah. Ia pikir Saka ingin dirinya mencium bibir. Oh tentu saja tidak. Pikiran Karina saja yang kotor. Untung saja Saka tidak tahu. “Tidak. Kamu sama sekali tidak bau.” Karina mengambil jas dipasangkannya di tubuh Saka. “Setelah rapat, kamu bisa membersihkan diri di kantor.” “Aku butuh bantuanmu Karina.” “Apa?” beo Karina. Saka menarik pinggang Karina mendekat. “Sayang sekali kau tidak lagi di dekatku. Jika kau masih menjadi sekretarisku. Aku pasti butuh bantuanmu.” Sambil mengedipkan mata dengan nakal. Karina tersenyum malu. “Sudah sana berangkat.” Ia membalikkan badan. Memungut pakaian Saka yang kotor untuk dicucinya sendiri. “Karina kau jangan mencuci pakaianku dengan tanganmu.” Saka mengambil tangan Karina. “Aku tidak in
Saka mengembangkan senyum. “Tentu saja.” Ia membalas pelukan Aruna. Mengusap pelan punggun wanita itu. “Ini untukmu.” Aruna menerimanya. “Terima kasih.” Mengalukan kedua tangannya di leher Saka. “Apa kau ingin mampir?” “Aku sangat sibuk hari ini. Aku meluangkan waktu hanya untuk bertemu denganmu.” Saka mengusap helaian rambut Aruna yang sedikit berantakan. “Lusa kau akan berangkat ke London. Aku harap kau bisa sukses menjadi model di sana.” Aruna mengangguk antusias. “Tentu. Aku akan sering pulang. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian.” Saka mengangguk lagi. Ia menunduk—mengecup kedua pipi Aruna bergantian. “Aku pergi.” Aruna tersenyum lebar. Ia melambaikan tangan saat Saka sudah masuk ke dalam mobil. Ia memperhatikan mobil Saka sampai benar-benar pergi. Setelah itu bersorak kegirangan. “Aku akan ke London! Akhirnya aku bisa jadi model sungguhan!” jerit Aruna sangat senang. Ia kembali ke dalam butiknya. “Kau akan benar-benar pergi?” tanya Tika, sahabat Aruna. Ia menghirup batan
Karina memang kehilangan akal. Seluruh karyawan delux tahu jika dirinya mendadak mundur dari sekretaris Saka. Namun sore ini—ia malah datang ke kantor. Tapi untunglah hanya ada beberapa karyawan yang masih tersisa. “Untuk apa kau datang ke sini?” tanya Jihan. Seorang wanita yang amat membenci Karina tanpa alasan. “Kau terlihat seperti jal@ng.” Menilai penampilan Karina dari atas hingga bawah. “Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal.” Karina hendak masuk ke dalam lift. Namun ditahan oleh Jihan. “Sepertinya kau tidak paham-paham posisimu.” Jihan mulai mencekal kedua lengan Karina dengan keras. “Kau tidak pantas menginjakkan kaki di sini. Pergi!” “Aku harus mengambil barangku.” Karina berusaha melepaskan cengkraman Jihan. “Kubilang pergi! Aku tidak ingin melihatmu jal@ng sial@n!” EHEM! Keduanya menoleh. Ronald yang baru saja keluar dari lift. “Oh Karina!” Mendekati Karina. “Kenapa kau datang?” “A-aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal.” “Ambilah sendiri.
21++ “Kau suka?” Saka menatap wajah Karina. Cantik sekali—meskipun Karina menutup mata akibat ulahnya. “Katakan Karina.” “Hmmm ya aku suka..” Karina meremas bahu Saka. Dengan mudah Saka meloloskan dress yang digunakan oleh Karina. Karina sudah polos di depannya—hanya menggunakan dalaman berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. “I want you, babe.” Saka melucuti semua kain yang membalut tubuh Karina. Kembali menyatukan bibir mereka. Saka tidak bisa berhenti mencecap habis bibir Karina yang terasa semakin candu. “Sakaaa…” Karina tidak bisa menahan suaranya yang menjijikkan saat jemari Saka bermain kasar di pusat dirinya. “Jangannnn…” Karina memejamkan mata—jemari Saka kian bergerak cepat. Hingga puncaknya datang. Kedua dadanya membusung. Karina kembali mengerang ketika lidah Saka kini berganti bermain di buah dadanya. Dari pangkal pahanya—ia bisa merasakan jika milik Saka tengah mengeras. “Sakaa…” Saka memang pemain handal yang bisa membuat Karina menj
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert