“Aku sudah beberapa hari ini aku mual. Sudah baikan saat meminum obat dari rumah sakit. Tapi entah kenapa aku kembali seperti ini.” Sana mengusap dahinya yang berkeringat. Ia memejamkan mata sebentar. “Kau baru saja masuk rumah sakit?” Mina mendekat. Menyentuh dahi Sana. Memeriksa suhu saudaranya itu. “Tidak panas. Kau hanya mual?” “Ya.” “Aneh sekali,” lirih Mina. Ia mengernyit—seperti pernah mengingat sesuatu tentang gejala ini. Namun ia lupa. “Sana hanya alergi. Dia menjadi lebih sensitif terhadap sesuatu setelah kembali,” ucap Mayumi yang baru saja pulang. “Sana baik-baik saja, hanya perlu meminum obat sampai sembuh.” Akiho menatap Mina. “Akhirnya kamu pulang.” Mina hanya mengangguk sekilas. “Sudah makan?” tanya Mayumi. “Ayo makan bersama.” Dengan ragu menggandeng tangan Mina. “Mom senang kamu akhirnya pulang. Temani Sana sampai acara pernikahannya. Dia membutuhkan teman.” Mina memutar bola matanya malas. Jadi kedatangannya diharapkan hanya untuk menemani Sana sampai menika
Mina mengernyit. “Kau bersedia menjadi boneka agar aku hidup bebas?” Itu yang ada di pikiran Mina. Karena jika dipikir lagi sebenarnya Sana bisa saja memberontak. Namun hal itu akan menyulitkan mereka berdua pada akhirnya. Mereka akan sama-sama lebih ditekan dalam urusan kehidupan. “Mungkin iya.” Sana menoleh ke samping. “Jika aku tidak menjadi anak yang membanggakan bagi mereka, maka mereka bisa lebih menekan kita berdua.” Mina mengusap wajahnya kasar. “Kenapa kau melakukan itu? Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan.” Sana menghadap Mina. “Aku sudah mengatakan padamu. Sekarang aku mohon beritahu aku bagaimana orang tua kita meninggalkanmu dengan kakek nenek. Kenapa mereka tidak membawamu?” Mina berpikir sebentar. “Yang aku dengar dari bibi dan paman. Keluarga Dad tidak ada yang suka dengan Mom karena dianggap selalu menghasut Dad. Keluarga Dad berantakan, hubungan Dad dan Paman berakhir buruk karena memperebutkan jabatan di perusahaan.” “Sampai, katanya. Dad marah karena t
“Kau sungguh?” Mina yang tidak yakin dengan pria di hadapannya ini. Jujur saja dari penampilannya tidak meyakinkan menjadi seorang pemilik club termahal di kota ini. “Aku rasa kau terlalu santai untuk ukuran Pemilik. Dan terlalu sombong..” Dari segi penampilan kurang meyakinkan karena Ren saat ini hanya menggunakan kemeja dengan celana bahan. Tanpa jas atau apapun. Dengan lengan kemeja yang digulung sampai sebatas siku. Terkesan seperti oarng kantoran biasa.Ren tertawa. “Aku menyukaimu. Siapa namamu?” mengulurkan tangannya. Mina berdiri dari duduknya. “Akan aku memeritahu tentangku asal kau beritahu tentang dia!” tunjuk Mina pada Keita yang berada di bawah menggunakan dagunya. “Kau menyukainya?” tanya Ren. Mina tertawa pelan. “Bukan urusanmu.” Ren mendekat. “Baiklah.” “Aku Mina.” Mina mengulurkan tangannya. Dengan senang hati Ren menyambut uluran tangan Sana. “Dia Keita, dia terkenal sebagai menteri yang masih muda dan pintar. Dia sering datang ke klub ini.” Ren mengedikkan ba
Bukannya menjawab, Mina mengalunkan kedua tangannya dan mencium pria itu lebih dulu. Katakanlah dia gila. Selain untuk mendapatkan informasi, ia juga tidak bisa menolak permainan yang ditawarkan oleh pria arogan ini. Ren mendorong tubuh Mina sampai terbentur dengan dinding. “Aku akan memberitahumu—” Ren menunduk mencium leher jenjang wanita itu. “Jadi kau harus mendengarkannya dengan seksama.” Mina mendongak. “Dasar pria gila!” Mina mengusap rambut Ren. “Bagaimana bisa aku mendengarmu dalam keadaan—” Mina hampir menjerit saat pria itu menyobek dressnya. Mina tidak dapat menggerutu lagi. Bibirnya sudah dibungkam oleh Ren. Punggung dressnya sobek akibat perbuatan pria itu.“Keita adalah pria bajingan.” Ren mengangkat tubuh Mina. Mengangkat tubuh Mina dan keluar dari ruangan. Kemudian masuk ke dalam ruangan yang berbeda. Ruangan yang terisi dengan ranjang besar. Ruang yang mirip dengan kamar hotel. “Lalu?” Mina masih menjaga kewarasannya agar bisa mendengarkan penjelasan pria ini. Ia
Tidak pria yang membuat Mina sangat frustasi seperti ini. Ren yang memaksa ingin mengantarnya pulang. Mina bersindekap sambil menatap ke depan. Ia memikirkan bagaimana caranya memberitahukan tentang Keita yang sebenarnya pada Sana. Namun jika dipikir lagi, untuk apa ia melakukannya. Menikah dengan Keita adalah pilhan Sana sendiri. Tidak ada gunanya ia memberitahu Sana. CiiiitMobil yang berhenti dengan begitu mendadak. “Kenapa? Ada kucing?” Mina mengusap dadanya pelan. “Kau pasti menabrak sesuatu?” Mina hendak keluar untuk melihat apa yang ditabrak oleh pria itu. “Yang aku tabrak adalah pintu hatimu.” Ren menoleh sambil tersenyum. “Tidak lucu!” sewot Mina. “Lalu kenapa kau tiba-tiba menginjak rem mendadak?” tanyanya. “Aku hanya ingin membuatmu sadar.” Ren mengusap belakang kepala Mina. “Jangan memikirkan banyak hal. Beritahu saja orang tuamu tentang apa yang aku beritahukan. Biar mereka yang mencari tahu sendiri bagaimana Keita.” Mina tersenyum miris. “Mereka tidak akan percaya.
Berada di dalam mobil bersama orang tuanya. Tidak lama lagi akan sampai di sebuah rumah sakit. Pernikahannya tinggal 1 minggu lagi. Ia tidak berharap apa-apa lagi selain semoga semuanya lancar. Sana turun bersama ibunya. Memasuki rumah sakit kemudian sampai di sebuah ruangan yang tertutup. Di sanalah ia menjalani rangkaian pemeriksaan. Lengannya disuntik obat bius hingga sepenuhnya tidak sadar. Sedangkan Mayumi menatap tubuh putrinya yang sudah tidak sadarkan diri. “Lakukan sekarang aborsinya.” Itu perintahnya pada seorang dokter. Dokter itu mengangguk. “Kita akan mengaborsinya saat selesai melakukan pemeriksaan. Jika tubuh nona Sana kuat, kita bisa langsung melakukannya.” “Namun jika tubuh nona rentan. Kita harus merawatnya lebih dahulu. Tindakan aborsi sangatlah penting. Jika tidak memperhatikan kesehatan tubuh, maka akan menimbulkan efek jangka panjang.” Itu penjelasan dokter. Mayumi menunggu di luar. Setelah pemeriksaan ia dipanggil oleh dokter untuk ke ruangan. Sedangkan San
Mina menutup mulutnya rapat-rapat. Ia berharap ayahnya tidak membuka lemari yang ia gunakan untuk bersembunyi. Dengan jantung yang berdegup dengan kencang seakan lari maraton, Mina berusaha tetap tenang dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding lemari. Sampai pintu kembali tertutup. Mina menghela nafas lega. Ia keluar dengan perlahan dari kamar orang tuanya. “Mereka benar-benar monster.” Mina menggeleng pelan. “Apa yang harus kulakukan? Aku harus menemui Sana di rumah sakit.” Baru saja ingin melangkah ia sudah mendapatkan pesan dari ibunya. “Sana di rawat di rumah sakit. Kamu tetap di rumah. Jangan ke mana-mana dan handle jika ada masalah.” ~~Malam harinya. Mina menatap penampilan dirinya di depan sebuah cermin. Dress merah maroon yang sangat pas di tubuhnya. Mina menggunakan heels sebagai akhir dari riasannya. Kemudian keluar. Menggunakan taksi untuk sampai di sebuah restoran yang ditentukan oleh Ren. Ini pertama kalinya Mina menginjakkan kaki di sebuah Restoran yang benar-bena
“Apa?” Mina yang terbelalak. Kecelakaan yang menewaskan nenek dan kakeknya terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Sampai hari ini yang diketahui Mina adalah mereka mobil yang mereka tumpangi oleng sehingga menabrak pembatas. “Jangan main-main dengan ucapanmu.” Mina mendekat. “Katakan padaku lebih jelas.” Ren berjalan menuju sebuah ruang, tentu saja Mina mengikutinya dari belakang. Masuk ke dalam kamar, kemudian membuka pintu yang menghubungkan dengan wardrobe dan kamar mandi. “Cepat katakan padaku.” Ren membuka kemejanya. “Kau akan tetap berada di sini?” Ia mengedikkan masalah. “Aku sih tidak masalah.” Mina mengepalkan tangannya kesal. “Kau selalu mengulur waktu.” Kemudian mendekat. Awalnya Ren sudah menduga Mina akan memakinya kemudian keluar dari ruangan. Namun dugaannya salah besar. Mina mendekat—membantu Ren membuka kancing kemeja. “Cepat katakan padaku. Jangan menunda-nunda waktu. Aku sudah tidak punya banyak waktu. Jangan membuatku semakin pusing.” Jemari Mina dengan cepat
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert