Pada akhirnya Rafa datang. Fred yang berprofesi sebagai pengacara saat menenangkan kasus akan pergi bersenang-senang ke klub. Anehnya, pria itu selalu menuntut sahabatnya untuk bisa menemaninya. “Ada banyak wanita yang menemanimu, kenapa selalu memaksaku ikut?” heran Rafa dengan sahabatnya. “Aku hanya ingin mengajakmu keluar.” Fred meminum minumannya dari gelas kecil yang terisi dengan Wine. “Aku tahu kau jarang keluar. Mangkanya aku selalu mengajakmu keluar. Setidaknya kau bisa melihat dunia luar dan tidak bekerja terus.” “Aku lihat kau di berita.” Fred menatap Rafa. “Sepertinya kau harus berhenti bermain-main dengan wanita. Kau tidak lelah dimarahi orang tuamu? Aku yakin mereka akan selalu menasehatimu.” Rafa tertawa pelan. Yang dikatakan Fred memang benar. Ibunya selalu memarahinya. Katanya, berhenti menyakiti perempuan. Cari perempuan baik dan nikahi dia. Sedangkan kata ayahnya Andres, bersenang-senang dulu tidak masalah tapi jangan lupa cari wanita yang baik. “Aku menuruti p
Menarik pinggang Michelle hingga menabrak tubuhnya. Ia menunduk—mendekatkan bibirnya dengan telinga wanita itu. “Aku tidak tidur dua kali dengan wanita yang sama.” Kemudian melepaskan rangkulannya dan berjalan pergi begitu saja. “RAFAEL!” teriak Michelle yang tidak terima dengan penghinaan yang baru saja ia terima dari Rafa. “RAFAEL KAU AKAN MENYESAL MEMBUANGKU!” teriaknya semakin menjadi-jadi. Rafa tidak menggubris panggilan itu. Ia masih berjalan sampai pintu keluar klub. Hingga tidak sengaja ia menyenggol lengan seorang wanita. Bruk!Wanita itu menunduk. Rambut panjangnya terurai sampai menutupi wajah. Rafa mengernyit. Biasanya hal seperti ini dilakukan perempuan yang ingin mengenalnya. Namun wanita ini tidak berniat mengajaknya berkenalan apalagi mengoborol. “Sorry, Sir,” ucapnya kemudian pergi begitu saja. Rafa menoleh. Mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita aneh—tidak ada wanita yang menggunakan piyama masuk ke dalam klub. Ia menggeleng pelan. “Dia waras?” gumamnya.
Sampai di sebuah Apartemen kecil sederhana yang terletak di tengah kota. Sana dan Keita bersama-sama memapah Mina. Sudah satu bulan lamanya Mina berada di sini. Mina sering kali bepergian tidak menentu. Hal tersebut membuat keluarganya kawatir, sehingga kembarannya Sana, memutuskan untuk menjemput Mina. Apapun yang terjadi, Sana bertekad membawa pulang Mina. “Terima kasih sudah membantuku membawanya,” ucap Sana pada sang kekasih. Sana melepaskan sepatu Mina. Menyelimuti perempuan itu sampai sebatas leher.“Dia baik-baik saja?” tanya Keita. Sana menggandeng lengan Keita dan keluar dari kamar Mina. “Aku tidak tahu. Seperetinya dia memang terbiasa mabuk setiap malam.” Beberapa hari yang lalu, Sana datang ke sini dan memutuskan untuk tinggal bersama Mina. Meskipun kembarannya itu menolak mentah-mentah kehadirannya, Sana tetap bersikeras ingin tinggal dengan Mina. “Sampai kapan kamu akan tinggal di sini?” tanya Keita. Ia memeluk pinggang kekasihnya. “Aku tidak ingin jauh dari kamu.”
Aroma makanan yang begitu tercium di seluruh ruangan. Seorang wanita mulai bangun dari tidurnya. Ia mengerjap perlahan. Kepalanya terasa begitu berat. Ia bangkit perlahan dan keluar dari kamar. “Kau sudah bangun?”Mina berdecak melihat Sana yang masih berada di Apartemennya. “Kau masih di sini? Setelah semuanya yang terjadi kau tidak malu? Kalau aku jadi kau, aku sudah pergi dan kembali ke Jepang.” Sana berhenti. Ia baru saja membuat sup pengar untuk Mina. “Ehm.. itu kau bukan aku. Kalau aku, aku akan tetap di sini menemanimu.” Mina mengambil duduk di kursi. Mengangkat sebelah kakinya ke atas. “Aku beri waktu 24 jam segera pergi dari sini. Kalau tidak aku akan membuang kopermu.” Sana menghela nafas. “Sudah aku bilang tidak akan pergi.” Sembari duduk di depan Mina. “Aku akan mengadakan pameran di sini.” “Aku tidak peduli.” Mina mengangkat bahunya. “Yang penting kau harus segera pergi dari sini.” “Aku akan pergi. Tapi bersamamu.” Sana menatap Mina. “Orang tua kita mencemaskanmu.
“Saya pelukis Starlight, saya dari Jepang. Saya di sini ingin mengajukan Sponsor untuk pameran yang akan saya laksanakan.” Ia memberikan proposal itu pada seorang pria yang mempunyai jabatan kepala devisi pengembangan. “Saat Elen memberitahukan kepada saya, saya langsung mencari tahu tentang anda.” Pria itu tersenyum. “Nama asli anda Miyawaki Sana. Sebelumnya anda sudah banyak menyelenggarakan pemaran di beberapa negara asia. Namun dengan tujuan donasi untuk anak-anak. Namun untuk sekarang, anda ingin menyelenggarakan pameran tanpa tujuan hal itu lagi.” Sana mengangguk. “Saya pikir masih mempunyai tujuan hal tersebut. Namun saya berencana untuk mengambil sedikit keuntungan dari pameran tersebut. Seperti yang sudah anda tahu, selama ini saya menyelenggarakan pameran sepenuhnya untuk donasi.” “Apa anda berniat menjual lukisan anda? Selama ini anda tidak pernah menjualnya pada siapapun bukan?” tanya pria itu lagi. Sana menggeleng. Lebih dari dugaannya, Kepala Devisi yang berada di ha
Sana mengernyit. “Apa maksudmu?” Rafa tersenyum remeh. “Kau sengaja mendekatiku setelah aku sukses? Dulu kau membuangku begitu saja. Kau benar-benar wanita murahan.”Sana menatap Rafa dengan berani. “Bagaimana bisa kau mengataiku seperti itu jika tidak tahu aku seperti apa. Dari dulu aku tidak pernah membuangmu, kau sendiri yang—” “Hentikan.” Rafa menghela nafas. “Tidak ada gunanya aku berbicara denganmu lagi. Aku akan menolak proposalmu. Cari sponsor lain,” berbicara dengan sangat enteng. “Sekarang pergi dari kantorku.” Rafa berbalik. Ia berjalan begitu saja meninggalkan Sana. “RAFAEL SHALOM!” teriak Sana sudah tidak tahan dengan penghinaan pria itu. Ia kira Rafael adalah sosok pria dewasa yang menyenangka. Namun ia baru saja teringat, bos yang dimaksud Elen adalah Rafael. Rafael akhirnya berbalik dan menatap Sana yang sudah menahan amarah. “Aku tidak tahu maksudmu apa. Kau tiba-tiba mengataiku wanita murahan setelah bertahun-tahun tidak bertemu.” Sana melangkah mendekat. “Aku
“Apa hari ini berjalan dengan lancar?” tanya seorang pria pada sang kekasihnya melalui telepon. Sana menghela nafas. “Buruk. Aku tidak tahu pemimpin Elom Invest akan menyebalkan. Proposalku mungkin akan ditolak.” “Sudah aku bilang, jangan menyusahkan dirimu sayang. Aku bersedia menjadi sponsormu. Butuh dana berapa untuk menyelenggarakan pameran? Aku akan langsung memberikannya tanpa proposal dulu.” Sana memutar bola matanya malas. Bukan tentang uang. Sana juga bisa mendapatkan uang dengan mudah dari keluarganya. Namun, ia sudah berjanji akan memberikan uang pada sang adik kembarnya dari hasil jerih payahnya sendiri. “Tidak. Aku akan berusaha sendiri mencari sponsor,” balas Sana mutlak. “Aku akan bertanya pada temanku lagi. Mungkin saja ada perusahaan yang biasanya mensponsori acara pameran.” “Sayang..” keluh Keita di sebarang sana. “Aku tidak ingin melihatmu bersusah payah seperti itu. Saat sudah menjadi istriku, aku tidak ingin melihatmua seperti ini mengerti?” “Hm.” Sana terse
Rafa menghela nafas. “Aku rasa cukup sampai di sini.” Ia meletakkan putung rokoknya di atas meja. “Aku tahu seperti apa cara kerja perusahaanmu. Aplikasi perusahaanmu bukan investasi tapi judi.” Rafa tersenyum miring. “Itulah kenapa perusahaanmu mendapatkan banyak keuntungan. Aku juga tahu kau banyak menyuap polisi dan orang kejaksaan. Kau juga menggelapkan pajak.” “Bisa saja niatmu bukan ujntuk bekerja sama tapi untuk mencuci uangmu,” lanjut Rafa.“Come on, bro. Kau tahu dari mana? Buktinya aku sekarang masih aman-aman saja. Jangan percaya pada berita tidak masuk akal seperti itu.” Rafa berpegang pada meja. “Aku tidak mau ambil resiko besar hanya untuk uang yang tidak seberapa.” Ia merapikan kemejanya. Kemudian berbalik. “Aku belum selesai—” Jason ingin menarik Rafa. Namun bodyguard dengan sigap melindungi Rafa sebelum Jason berhasil menjalankan niatnya. Sampai di luar ruangan. Rafa berhenti—ia menatap seorang perempuan yang berjalan ke arahnya. Perempuan yang baru saja ia temui
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert