Rafa menghela nafas. “Aku rasa cukup sampai di sini.” Ia meletakkan putung rokoknya di atas meja. “Aku tahu seperti apa cara kerja perusahaanmu. Aplikasi perusahaanmu bukan investasi tapi judi.” Rafa tersenyum miring. “Itulah kenapa perusahaanmu mendapatkan banyak keuntungan. Aku juga tahu kau banyak menyuap polisi dan orang kejaksaan. Kau juga menggelapkan pajak.” “Bisa saja niatmu bukan ujntuk bekerja sama tapi untuk mencuci uangmu,” lanjut Rafa.“Come on, bro. Kau tahu dari mana? Buktinya aku sekarang masih aman-aman saja. Jangan percaya pada berita tidak masuk akal seperti itu.” Rafa berpegang pada meja. “Aku tidak mau ambil resiko besar hanya untuk uang yang tidak seberapa.” Ia merapikan kemejanya. Kemudian berbalik. “Aku belum selesai—” Jason ingin menarik Rafa. Namun bodyguard dengan sigap melindungi Rafa sebelum Jason berhasil menjalankan niatnya. Sampai di luar ruangan. Rafa berhenti—ia menatap seorang perempuan yang berjalan ke arahnya. Perempuan yang baru saja ia temui
Mina tertawa pelan. “Kau baru sadar?” Rafa mengernyit. Masih menatap wanita yang saat ini mengambil nampan dan minuman itu. “Katakan padaku siapa kau?” mencekal lengan Mina. “Lepaskan aku.” Mina tersenyum miring. “Aku tidak berbicara dengan gratis.” Menyentak tangan Rafa hingga terlepas dari tangannya. Rafa terdiam. Ia membiarkan Mina pergi begitu saja. “Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Ia berjalan cepat keluar dari klub. Sesampainya di dalam mobil. Ia mengambil ponselnya. Menghubungi seseorang yang ia percaya bisa mencari informasi. “Aku ingin tahu detail tentang Miyawaki Sana. Aku butuh secepatnya.” “Jalan,” ujarnya pada sopirnya. Begitu mobil berjalan. Rafa menoleh ke samping. Menyugar rambutnya dengan kesal. “Apa yang sebenarnya terjadi….” Lirihnya. Pandangannya jatuh pada seorang perempuan yang tengah duduk di depan sebuah minimarket. Seorang perempuan yang menggunakan piyaman lucu dengan rambut yang terurai. “Ada yang salah.” Rafa menyandarkan tubuhnya d
“Pelukis Starlight?” tanya seorang wanita yang Sana yakini sebagai Sekretaris. “Iya, Saya.” “Silahkan masuk.” Sana mengangguk. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Kemudian menarik gagang pintu. Langkahnya pelan masuk ke dalam ruangan. Ketika sampai ia menatap Rafa yang sedang mengerjakan sesuatu di tablet. “Permisi, saya Starlight,” ucap Sana untuk mengalihkan perhatian Rafa. Rafa akhirnya mendongak. Ia menatap wanita yang kini tidak jauh dari tempatnya duduk. Menatap penampilan Sana yang terlihat begitu cantik. Ia bahkan terpaku untuk sejenak. Seperti semua yang ada di hadapannya menghilang dan hanya ada Sana. Rafa menggeleng pelan. Ia berusaha menyadarkan diri. “Silahkan duduk.” Sana duduk di sofa yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ia menatap sekitar sebentar—ruangan yang luas dan hanya dipenuhi oleh ornamen monokrom. Pria itu memang suka warna monokrom, batin Sana. Namun kenapa ia masih mengingatnya, jelas tidak penting sama sekali!“A—” Rafa berhenti. Di t
Sana tertawa pelan. Sungguh hanya tertawa begitu saja membuat Rafa semakin terpesona. Bagaimana poni wanita itu bergerak dan membuatnya semakin jatuh hati. “Sudah aku bilang aku tidak masalah. Aku baik-baik saja. Aku tidak marah denganmu.” Sana mendongak. “Lagipula wajar saja kau bersikap seperti itu. waktu itu kau tidak tahu apa-apa tentang saudara kembarku dan umur kita juga masih sangat muda.” Sana mengedikkan bahu. “Aku rasa kita harus menyudahi semuanya. Aku memaafkanmu, kau juga memaafkanku.” Mengulurkan tanganya. “Mari berteman lagi.”Rafa mengangguk. Ia ikut tersenyum dan mengulurkan tangannya membalas jabatan tangan Sana. “Hm. Mari berteman lagi.” “Terima kasih, Rafa.” Sana tersenyum lagi.Ia berbalik—hendak berjalan dan pergi. Namun ia tidak tahu heelsnya akan copot di saat yang tidak tepat seperti ini. Ia hampir saja terjatuh jika saja Rafa tidak dengan cepat menangkap tubuhnya. “Shitt,” umpatnya sambil memejamkan mata. Namun saat ini membuka mata, tubuhnya bukan terjat
Tobat dadakan. Mungkin itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan Rafael Shalom saat ini. Ia menjadi dingin pada wanita. Padahal biasanya ia selalu bersikap ramah dan sesekali sengaja menggoda. “Apa jadwalku selanjutnya.” Rafa berjalan di depan dengan di belakangnya adalah Sekretarisnya. Tidak ada wajah ramah dan penuh senyum yang selalu di dapatkan oleh pegawainya ketika berpapasan dengannya. “Ke acara live yang dilakukan BA, Sir. Hari ini aktris Michelle akan melakukan live dan berpromosi pada aplikasi yang akan segera launching,” jelas Lena. “Di mana?” “Di ruang rapat 3. Di sana sudah mulai persiapan.” Rafa melangkahkan kakinya menuju ruangn rapat 3. Sebelumnya ruangan itu hanyalah ruang kosong yang hanya terisi meja dan kursi. Namun saat ini sudah ramai dengan properti suting. Ia berdiri menatap Michelle yang saat ini di depan sebuah kamera. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku. “Berapa menit siarannya?” “Sekitar 50 menit, Sir.” Rafa menghela nafas. Ia mengambil duduk se
“Aku mencintaimu.” Michelle dengan wajah yang putus asa menyatakan cintanya. “Aku tidak bisa melupakanmu. Tetaplah bersamaku dan aku akan melakukan apapun yang kau minta.” Rafa menghela anfas lelah. “Maka jangan muncul di hadapanku. Mulai saat ini aku tidak ingin melihatmu.” Ia membalikkan badan. “Kau menyukai perempuan lain? Siapa dia? Sekretarismu sendiri?” Michelle tertawa. “Akhirnya aku mendapatkan kartumu. Aku akan memberitahukan pada dunia, kau menjalin hubungan dengan Sekretarismu sendiri. Bukankah akan menjadi berita yang paling heboh tahun ini?” “Tutup mulutmu sialan,” desis Rafa kesal. “Kau tidak tahu apapun tentangku.” “Aku akan diam jika kau bersedia menjalin hubungan denganku.” Michelle bersindekap. Ia tidak akan menyerah sampai Rafa menjadi miliknya. “Kau tidak waras.” Rafa hendak berjalan namun ia berhenti. “Jika tidak profesional, aku bisa saja memberhentikanmu menjadi BA. Apa yang akan dapat selain membayar kompensasi atas kerjamu yang asal-asalan.” “Kau tidak b
CHAPTER 349Membeli sebuah bunga yang bermacam jenis. Yang terpenting semuanya nampak cantik. Rafa membeli sebuah buket bunga yang cukup besar. Ia perjalanan menunju sebuah pameran lukisan. Senyum tipis tersirat di wajahnya yang tampan. Sampai di parkiran sebuah gedung. Ia keluar dengan perlahan sambil membawa bunga yang telah dibelinya. Namun hanya beberapa langkah saja ia berhenti. Menatap seorang wanita yang begitu ceria berlari ke pelukan seorang pria. “Dia benar-benar sudah menikah?” lirih Rafa dengan dahi yang mengernyit.“Thank you.” Sana memeluk sang kekasih. Ia begitu senang dengan kehadiran Keita ke Pameran lukisannya. Ia semakin tersenyum lebar ketika pria itu mengecup dahinya beberapa detik. “Bagaimana kabarmu?” Keita memberikan buket bunga berwarna maroon itu pada Sana. “Apa semuanya berjalan lancar?” Sana mengangguk. “Aku mendapatkan sponsor dari EI dan ternyata pemimpinnya—” Sana berhenti. Ia rasa tidak perlu memberitahukan hal tersebut pada Keita. Rafa hanyalah ma
Rafa menoleh ke belakang sebentar. Pandangannya masih tertuju pada sebuah lukisan wanita yang berdiris ambil membawa guci. Wajah perempuan itu yang dibuat dengan tidak jelas dan diberikan coretan asal. “Kau bisa memberitahuku,” balas Rafa. “Jika aku memberitahumu, kau tidak akan belajar mengartikannya.” Sana tersenyum. Rafa menoleh ke samping sebentar. “Aku akan belajar jika bersamamu.”Untuk sejenak Sana terdiam. Ia sedikit kesusahan mencerna apa yang dikatakan oleh Rafa. Bibirnya tidak bisa menahan senyuman. “Aku ingin memberimu satu lukisan. Nanti aku akan mengirimnya ke kantormu.” Rafa tersenyum tipis. “Mengirimnya?” Sana mengangguk. “Iya. Kalau tidak ke kantormu. Aku akan mengirimkannya ke rumahmu. Tapi kalau boleh.” “Jika kau bisa memberikannya padaku, kenapa harus mengirimkannya.” Rafa menatap Sana. Bola mata mereka saling bertemu. “Aku ingin menerima hadiahku dari orangnya langsung.” Setelah itu melangkah pergi dengan smirknya. Sana tercekat. Ada apa dengannya? Ia meng
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert