21++Seorang wanita tengah bergerak gelisah. Amel yang benar-benar terusik dari tidurnya. Merasakan ada jemari yang bergerak nakal di tubuhnya. Perlahan ia membuka mata. Tubuhnya sudah berada di dalam kungkungan seorang pria. “Andres,” lirih Amel. Ia meremas rambut pria itu. “Di mana Rafa?” Amel yang kebingungan dengan keberadaan anaknya. Diam-diam Andres telah memindahkan Rafa ke kamarnya. Andres mendongak. “Aku memindahkannya ke kamarku.” “Yasudah ayo tidur lagi.” Amel yang merubah posisinya menjadi miring. Memeluk lengan Andres dan kembali memejamkan mata. Andres mengerjap pelan. “Dia tidak sadar juga.” Ia membuka kaosnya. Kemudian kembali menindih Amel. Mencium bibir wanita itu dengan intens. “Bangun, sayaaang.” Amel bergerak gelisah saat jemari pria itu menjalar masuk ke dalam piyama yang digunakannya. Belum lagi ciuman pria itu di bibirnya. Pada akhirnya, Amel menyerah dan membuka mata. “Andres…” lirihnya. Amel mencengkram erat seprai. Pria itu menaikkan atasan piayam yang
Amel hanya mampu berpegang pada meja sementara Andres terus bergerak. “Adres…” lirih Amel. “Sebentar babe.” Andre semakin mempercepat gerakannya hingga mereka sampai. Bukannya berhenti. Andres kembali bergerak dengan memegang kedua tangan Amel dari belakang. “I love you,” ucapnya sambil mengecup punggung Amel. “Jangan menyuruhku berhenti.” Ia kembali menggerakkan pinggulnya. Suara-suara tertahan Amel terdengar begitu keras dari dalam ruangan. “Aku suka suaramu, babe.” Andres mengangkat tubuh Amel ke atas meja. “Berteriaklah jika kau ingin.” Ia kembali menyatukan miliknya dengan milik Amel. “Jangan menahannya,” ucap Andres lagi. “Pelan-pelan Andres…” Amel meremas rambut Andres. Hentakan-hentakan Andres membuatnya terbentur dengan tembok. Suara yang mereka timbulkan begitu gaduh. Entahlah, Andres tidak peduli. Jika mereka memang benar-benar mengganggu tamu hotel lain, nanti ia akan memberi kompensasi. “Tidak bisa, babe.”Energi Andres yang seakan tidak pernah habis tidak pernah g
“Kalian hati-hati.” Jenifer memeluk Andres dan bergantian memeluk Amel. “Jaga diri kalian. Kalau ada apa-apa kabari kami.” Steven berjongkok. “Kakek sama nenek pergi dulu.” “Hati-hati nenek kakek!” Rafa melambaikan tangannya. Orang tua Amel memutuskan untuk kembali ke London. Mereka akan melihat restoran dan tempat golf yang ditinggalkan oleh Hendrick. Sedangkan Amel dan Andres akan langsung kembali ke Paris. “Saat sudah sampai jangan lupa mengabari Amel,” ucap Amel saat orang tuanya berjalan sambil menyeret koper. Steven memberikan jempolnya. Amel tertawa pelan. Ia menatap jam tangannya. Keberangkatan pesawatnya 20 menit. Sebelum itu mereka harus mengisi perut yang keroncongan terlebih dahulu. “Rafa mau makan apa?” tanya Amel. “Makan ayam goreng sama sambal.” Amel tertawa. “Di sini tidak ada, Rafa. Nanti Mom akan membuatkan kamu sendiri. Sekarang makan burger mau?” Rafa mengangguk. “Mau.” “Lets go!” Andres menggandeng tangan Rafa. Hanya perlu berjalan untuk sampai di sebua
“Andres akan membawa Rafa ke kamar dulu.” Andres sudah pergi membawa Rafa. Sedangkan Amel mendekati Isabel. “Mommy apa kabar?” memeluk Isabel sebentar. “Wajah Mom terlihat lebih bersinar. Mom melakukan perawatan rutin?” Isabel mengangguk. “Kamu harus mencobanya. Mom sudah ke sana rutin ke sana 2 minggu ini.” Isabel menyentuh wajahnya sendiri. “Kulit Mom terasa kencang dan lebih halus. Kamu harus ikut Mom ke sana.” Amel ikut menyentuh pipi Isabel. “Iya, Mom. Kulit Mom juga semakin cerah.” “Maka dari itu, kamu harus ikut.” Isabel mendekat. “Ambil kartu Andres. Ayo kita habiskan. Setelah perawatan kita harus berbelanja. Habiskan uang Andres tidak masalah. Supaya anak itu bekerja dengan semangat.” Amel tertawa pelan. “Baiklah, Mom. Nanti aku akan mengambil black Card milik Andres saat dia tidur.” “Bicara apa kalian membawa namaku?” Andres kembali. Pria itu hanya mendengar namanya yang disebut berulang kali. “Tidak.” Amel menggeleng pelan. Andres yang terlanjur curiga tidak memperc
“Aku berkeringat banyak. Aromaku pasti tidak sedap.” Amel yang mencoba menghindar dari Andres. Tapi Andres tidak mengijinkannya bergerak sedikitpun. “Aku suka.” Tangan pria tidak tinggal diam. Menelusup masuk ke dalam dres yang digunakan Amel. “Babe…” bisiknya. “Jangan Andres.” Amel melotot dan segera berusaha menyingkirkan tangan pria itu. Namun, lagi-lagi usahanya tidak berhasil. Bahkan sekarang, Andres dengan mudah mengangkat tubuhnya ke atas pantry. “Andres…” lirih yang masih berusaha menghentikan aksi gila calon suaminya ini. Ia hanya takut jika ada yang melihat mereka denga posisi seperti ini. “Jangan sekarang.” Andres mendongak. Jemarinya mengusap pinggang Amel. Sentuhan yang tidak biasa itu membuat Amel sulit mengendalikan diri. “Kamu juga menginginkannya.” Andres tersenyum. Salah satu tangannya meremas buah dada Amel. “Babe kamu terlihat sangat seksi.” Amel menunjukkan wajahnya yang memelas. “Jangan sekarang.” Sambil menyatukan tangannya. “Cepat turunkan aku!” Amel yang
Upacara pemberkatan dilaksanakan di sebuah gereja. Terdapat karpet panjang yang berada di tengah. Seorang wanita yang menggunakan gaun berwarna putih tengah berjalan. Di tengah perjalanannya. Ia berhenti. Menatap sang ayah yang tengah menyodorkan lengan. “Hatiku berdebar sangat kencang,” ujar Steven pelan. Ia menatap sang putri yang begitu cantik dengan gaun pernikahan. “Melihat putri bungsuku yang sebentar lagi resmi menjadi istri orang membuatku senang sekaligus sedih.” Amel mengerjap. “Jangan menangis, Dad. Aku akan ikut menangis jika Dad menangis. Aku bisa lebih parah menangis.” Steven tersenyum. “Kalau begitu ayo jalan. Calon suamimu sudah menunggu.” Amel menggandeng tangan Steven. Mereka berjalan pelan. Di sisi kanan dan kiri terdapat bangku-bangku yang terisi dengan orang-orang kesayangannya. Andres menggunakan sebuah setelan tuxedo. Pria itu terlihat begitu tampan. Seperti karakter film yang sedang melakukan syuting.Ketika sudah berhadapan. Andres mengulurkan tangannya—i
Pesta pernikahan Amel dan Andres berlanjut di sebuah pinggir pantai. Merereka sama-sama menggunakan pakaian berwarna putih. Mereka hanya mengundang orang-orang yang benar-benar dikenal. “Mom,” panggil Rafa. “Mom itu Sana bersama orang tuanya.” tunjuk bocah itu pada keluarga kecil. Akhirnya Amel bisa bertemu dengan teman anaknya. “Hallo Mrs. Gabrio.” Wanita yang Amel yakini sebagai ibu dan Ayah Sana. Wajah mereka khas orang asia. Dengan kulit seputih susu dengan mata yang cenderung sipit. “Selamat atas pernikahan kalian. Maaf kami datang sedikit terlambat.” “Terima kasih. Tidak masalah. Yang terpenting kalian bisa datang.” Amel mengangguk. “Rafa bercerita dia berteman dengan anak perempuan di kelasnya. Namanya Sana. Kamu Sana?” Anak perempuan itu mengangguk. Bola matanya melirik Rafa sebentar kemudian memeluk ibunya. Seperti kebanyakan anak introvert pada umumnya. Sana sulit bergaul dengan orang baru. “Hai Sana. Saya ibu Rafa. Kamu bisa memanggilku aunty Amel.” Amel tersenyum. “K
“Selamat atas pernikahanmu,” ujar seorang pria. Pria tinggi dengan setelan jas berwarna biru dongker. Pria yang baru saja datang jauh-jauh hanya untuk menemui temannya yang menikah. “Kau datang ke sini, aku kira tidak datang.” Andres berpelukan dengan pria itu. “Waah kau terlihat semakin keren.” Di sisi lain, ada perempuan yang tengah melotot lebar dengan kedatangan pria itu. “Kenapa dia ada di sini?” Amel mengernyit. Ia mengikuti arah pandang Caitlin. Di sana seorang pria asing yang nampak akrab dengan Andres. “Dia siapa?”Caitlin menutupi wajahnya dengan tangannya. “Dia bosku. Aku malas sekali bertemu dengannya. Tidak di kantor, tidak di luar kantor, dia sama-sama menyebalkannya,” keluh Caitlin. “Aku akan memperkenalkanmu dengan istriku.” Andres mengajak temannya mendekati istrinya. “Ini istriku, Amel.” “Johny,” ucap pria itu sambil berjabat tangan dengan Amel. “Amel.” Andres mengernyit melihat tingkah Caitlin yang aneh. Akhirnya pria itu secara paksa menarik bahu Caitlin aga
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert