“Apa lagi Rafa…” Sana yang terlanjur frustasi. “Aku harus pulang.” Rafa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Kau tidak bisa pulang dalam keadaan seperti itu. Bersihkan diri dahulu, ganti pakaianmu dan setelah itu makan bersamaku.” “Rafa—” “Tidak ada bantahan. Kau akan terus seperti itu dan aku tidak akan membuka pintuku.” Rafa pergi ke dalam kamarnya sendiri. Mengambil dua potong pakaiannya. “Kau bisa menggunakan ini dulu.” Sana menerimanya. Untuk saat ini ia tidak punya pilihan lain selain menerima yang dilakukan Rafa untuknya. “Kau pakai kamar mandi di kamarku. Aku di kamar mandi tamu.” Rafa sudah pergi meninggalkan Sana. Sana berdecak pelan. “Pria itu tidak ada rasa bersalah sama sakali.” Melangkah masuk ke dalam kamar itu. Lama kelamaan ia jadi terbiasa. Ia bahkan hapal letak handuk kecil yang berada di dekat lemari wardrobe. “Kenapa aku melakukan semua ini.” Sana menghentakkan kakinya kesal ke lantai. Maka, jika terus dibiarkan terus seperti ini bukan hanya suasana y
Sana berpikir sebentar. “Hanya kecewa. Setelah itu aku mulai terbiasa dan menjalani hari-hariku seperti biasanya.” Sana tersenyum. “Sudah cukup, Rafa. Aku tidak ingin ada yang salah paham tentang hari ini.” Ia bangkit dari duduknya. Mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu. “Kau tidak menguncinya bukan?” Rafa tersenyum miring. “Kau berharap aku masih menguncinya?” Sana memutar bola matanya malas. Ia langsung membuka pintu yang sudah tidak terkunci. Ia berjalan pelan dari lorong ke lift. Ia berbohong. Tentang bagaimana perasaannya ketika Rafa memutus kontak begitu saja. Tentu saja ia bingung, kesal, sedih dan kecewa bercampur menjadi satu. Bahkan ia tidak bisa makan minum dan tidur dengan benar. Namun, perlahan tapi pasti Sana mulai membuka diri setelah bertahun-tahun melupakan sosok Rafa. “Dia cinta pertamaku, bagaimana bisa aku melupakannya,” lirih Sana. Kemudian menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. “Tapi aku sudah mempunyai kekasih dan sebentar lagi akan menikah.
Sana tersenyum. “Hanya anda yang berani menawar setinggi itu.” “Aku tidak menyerah sampai mendapatkan lukisanmu.” Jason tersenyum. “Beri saya waktu untuk berpikir.” Sana menatap pria itu. Pria yang tampan namun arogan. Lebih arogan pria ini daripada Rafa, batin Sana. “Oke.” Jason berdiri. “Senang bertemu dengan nona Sana.” Sana mengangguk. “Saya juga.” “Apa kamu pulang sendiri?” tanya Jason. Sana memegang tali tasnya, tepat di atas dadanya. “Iya saya pulang sendiri.” Meskipun jawabannya tidak langsugn menolak niat pria ini. Sana yakin pria ini pasti melihat jari manisnya yang terdapat cincin. Seperti yang diharapkan oleh Sana, Jason memang melihat cincin di jari manis Sana. “Kalau begitu hati-hati.” Ia berniat mengantarkan Sana. Tapi—Jason memilih mundur daripada berhubungan dengan wanita yang sudah beristri. “Terima kasih. Kalau begitu saya pergi dulu.” ~~Ada seorang wanita yang bernjaji tidak akan ke klub lagi, namun wanita itu justru menyulap rumahnya menjadi seperti klub
“Tidak masalah.” Jason menatap sekitar. Pria itu nampak bergidik sebentar. seumur-umur ia tidak pernah datang ke rumah yang lebarnya hanya sebatas kamarnya. Di sini juga panas, AC yang dipastikan rusak itu tidak akan membuat udara dingin. “Anda bisa melihatnya di sini.” Sana memasuki sebuah ruang kecil yang digunakan untuk menyimpan lukisannya. Jumlahnya sekitar 50 lukisan. Jason memandang lukisan yang terpajang di dinding-dinding. Dengan gerakan jari telunjuknya ia memilih lukisan yang ia ingin. “Anda ingin membawanya sekarang?” tanya Sana. Jason menggeleng. “Biarkan di sini dulu.” Ia mengeluarkan sebuah cek. Kemudian menuliskannya dengan angka. “Ini.” Sana menerima cek itu. “Oh ya.” Sana mengambil sebuah kertas yang berada di dalam laci. “Ini Sertifikat kepemilikan lukisan saya. Anda bisa menjual lukisan ini jika hanya ada sertifikatnya.” Jason menerimanya. Sudut bibirnya mengembangkan senyum. “Senang bekerja sama denganmu.” Sana mengangguk. “Saya juga.” ~~Sesuai perjanjian
“Aku tidak sangkut pautnya dengan masalah ini.” Mina menggeleng. “Kalian bisa membawa Sana.” “Tidak bisa, nona. Kami harus memeriksa ulang identitas kalian berdua.” Polisi tersebut memegang pergelangan Mina yang ingin kabur. “Apa yang kau lakukan?!” Mina setengah berteriak. Ia menatap Sana dengan tatapan marahnya. “Dengan cara kotor kau mendapatkan uang itu?”Mina menggeleng. “Waaah Sana, seumur hidupku meskipun aku berandalan. Aku tidak pernah menggunakan cara kotor untuk mendapatkan uang. Jika aku mau, aku sudah menjual diriku pada orang kaya. Tapi aku juga tidak akan melakukannya.” Menatap jijik pada kembarannya. “Tapi kau sekarang melakukannya.” Berdecih pelan. “Aku tidak melakukannya.” Sana menggeleng. Inilah kenapa Sana tidak pernah menjual lukisannya. Benda yang memiliki seni sangatlah mudah digunakan sebagai pencucian uang. Karena cara mendapatkan dan menjualnya kembali sangat mudah. Inilah kesalahan fatalnya, ia tidak memeriksa dengan teliti backround dari Jason. Dengan
Sana sudah memasuki kamarnya. Ia menghela napas dalam sebelum duduk di tepi ranjangnya. Ia mengambil ponselnya kemudian menghidupkannya. Ada banyak sekali pesan yang masuk. Semua itu dari kekasihnya.“Hallo,” ucap Sana ketika menerima telepon dari kekasihnya. “Bagaimana keadaan di sana? Aku sedang berada di London dan melihat sebuah berita yang melibatkan kamu. Apa itu benar?” tanya Keita. “Hm.” Sana mengangguk. “Aku memang menjual lukisanku pada pria itu. Aku tidak bisa berpikir jernih karena dia menawari harga yang sangat fantastis. Tapi ternyata, semua itu adalah bentuk pencucian uang. Perusahaannya menggelapkan pajak dan menjalankan aplikasi judi yang merugikan banyak orang.” “Aku berencana pulang setelah mendapatkan uang. Tapi aku harus tertahan lagi di sini karena kasus itu.” Sana berbaring di atas kasurnya. Mengusap sudut air matanya yang mulai berair. “Tidak bisakah kamu ke sini?” Helaan nafas dari Keita terdengar. “Kamu lupa aku Menteri? Aku tidak akan bisa menemui kamu s
Uang itu tidak akan cukup digunakan untuk kebutuhannya selama persidangan kasus ini. Sana memejamkan mata sebentar. Ia mengambil uang yang berada di dalam dompet itu dengan kasar. “Kau marah?” tanya Mina. “Aku tadi malam hampir dilecehkan dan aku memukul orang itu. Kau lebih memilih saudaramu dilecehkan?” “Itulah kenapa aku melarangmu datang ke klub. Di sana hanya ada sumber masalah.” Sana menatap Mina. “Lalu kau tidak kasihan padaku? Aku tidak punya uang sepeserpun. Uang yang berada di atmku disita polisi dan dijadikan barang bukti. Lantas kau masih berpikir aku tidak pantas marah?” Mina berdecih pelan. “Kau memang marah. Pergilah.” Dengan mudahnya mengusir Sana. BRAAAK!Menutup pintu dengan kasar. Lagi-lagi Sana harus meluaskan sabarnya. Ia berbalik dan melangkah pergi. Dengan uang yang begitu minim ia akan berusaha mencari pengacara untuk mendampinginya. Ia sempat bertanya dengan temannya yang bekerja di Elom Invest. Tapi untuk biaya pengacara yang bagus minimal 3.000 dollar.
“Aku dengar kau dipanggil polisi hanya karena pernah bertemu di klub ini?” tanya Fred pada sahabatnya. Ia ingin tertawa tapi menahannya.“Tertawa saja jika ingin,” decak malas Rafa. Fred tertawa. “Lagipula kenapa kau menemuinya? Kau sudah tahu dia seperti apa tapi kau masih menemuinya.” Rafa memutar bola matanya malas. “Dia selalu menggangguku. Dia bahkan sering ke kantorku untuk membuat janji temu denganku. Aku menemuinya agar dia tidak menggangguku lagi.” Rafa menghembuskan asap rokoknya ke atas. “Aku ingin meminta saran darimu.” Fred duduk dengan tegap. “Katakan. Tentang percintaan bukan? Aku selalu bersemangat tentang kisah cintamu. Ayo ceritakan padaku.” Rafa mendegus kesal. “Sana—” Ia menatap Fred yang tidak jadi antusias. Pria itu duduk kembali dengan santai dan menyandarkan tubuhnya di sofa. “Dengarkan aku dulu sialan.” “Oke-oke. Aku dengarkan.” Fred mengambil minumnya. “Dia terlibat dengan Jason.” “Apa?” Fred mengernyit. “Bagaimana bisa?” “Jason membeli lukisannya de
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert