“Dad sudah mendengar semuanya dari Andres. Kamu siap menghadapi semuanya?” Amel berhenti bernafas beberapa detik. Sesungguhnya ia tidak ingin orang tuanya mengetahui tentang Hardin. Ia ingin menghadapi semuanya tanpa membawa keluarganya, apalagi orang tuanya. “Amel tidak peduli apa kata orang lain, tapi—” Amel menatap orang tuanya. “Dad, Amel hanya takut jika mereka semua tahu tentang Rafa, mereka akan menyakiti Rafa. Amel takut, kehadiran Rafa dianggap aib dan mereka menyakiti Rafa.” “Bagi Dad ada satu cara, yaitu menunjukkan Rafa pada dunia.” “Maksud Dad?” “Tunjukkan Rafa ke dunia. Tunjukkan Rafa adalah anak kamu. Hak asuh Rafa akan jatuh pada ibu kandungnya yang sudah merawat selama bertahun-tahun. Dan saat itulah kamu bisa benar-benar melindungi Rafa dari apapun.” Steven meraih tangan Amel. Menggenggam tangan sang putri dengan hangat. “Dad dan Mom akan selalu ada di sisi kamu.” Amel yang tersentuh dengan ucapan Steven tidak bisa mencegah air matanya keluar. Ia juga beringsut
“Kau gila?!” teriak Ashley tidak tertahankan. Kalimat yang dilontarkan Hardin seketika membuatnya menggila. “Kau masih mengharapkan dia setelah semua yang terjadi? Kau tidak berpikir apa yang terjadi jika kau dan dia bersama?” “Perusahaanmu akan hancur!” Hardin meletakkan kedua tangannya ke dalam saku dengan santai. “Aku tidak peduli. Bukankah kau sendiri yang sangat peduli dengan perusahaan. Kau senang perusahaan semakin maju sehingga uang bulananmu semakin besar.” Hardin berdecih pelan. “Semua karena uang bukan? Kau menggila hanya memikirkan perusahaan dan uang.” Ashley yang kini berdecih. “Kau juga butuh uang. Dari dulu kau menikmati kekuasaan ayahmu itu. jika kau ingin bersamanya, kenapa tidak kau lakukan dari dulu? Kenapa kau memilih mempertahankan perusahaan dan menikahiku? Kenapa kau tidak menjadi miskin dan menikah dengan Amel?” “Pastinya karena kau juga takut miskin.” Ashley tersenyum remeh. “Tutup mulutmu, bitch!” Hardin yang sedang menahan amarahnya mati-matian. Jangan
Rafa menunjuk belakang pohon. “Itu.” Amel mengernyit. Ia menyipitkan mata. “Mata mom tidak bisa melihatnya.” Ia menancap gasnya. “Tapi kita harus segera pergi.” Amel yang berhati-hati mengemudi sambil menatap kaca spion. Memastikan apakah ada orang yang mengikuti mereka atau tidak. “Sungguh aneh? Tidak ada siapapun,” lirihnya. “Mom siapa ya yang mengikuti kita?” Amel mengusap puncak kepala Rafa. “Jangan dipikirkan. Itu hanya orang yang ingin jalan-jalan. Atau mungkin hanya orang yang ingin memfoto sekitar.” Untuk saat ini Amel harus membuat Rafa tenang dulu. Jangan sampai bocah itu takut dan malah membuatnya panik. “Tapi nanti Rafa, kamu jangan bermain sembarangan. Jangan berkeliaran sembarangan.” Rafa mengangguk. “Iya Mom.” Di sisi lain, seorang pria baru saja menyelesaikan tugasnya. ia telah mengirim foto seorang anak dan ibu. Bayarannya langsung masuk ke dalam rekeningnya. Dalam jumlah yang fantastis. “Bos kaya.” Sebutan seseorang dibalik layar yang menyuruhnya. Seorang wan
Steven mengangguk lagi. Kali ini mengangguk beberapa kali. “Untunglah aku tidak jadi pemimpin. Jika jadi pemimpin aku tidak bisa bermain catur, menanam bunga, sayur, ubi dan buah di halaman rumah. Oh—” Steven menatap sang kakak. “Aku juga tidak bisa memelihara burung. Karena memelihara burung itu juga asik.” “Memangnya pekerjaanmu sehari-hari hanya itu?” tanya Xavier. “Tidak. Aku juga bermain dengan cucuku. Cucuku sangat menggemaskan. Aku sering mengantarnya ke sekolah. Aku juga sering menjaga cucuku ketika anakku akan pergi,” balas Steven yang semakin memanas-manasi Xavier. “Orang pengangguran memang seperti itu. Mereka akan punya waktu banyak sehingga melakuan hal-hal yang tidak berguna seperti itu,” balasan Xavier tidak kalah sinis. “Bagaimana denganmu? Sepertinya kau juga cukup sibuk sama sepertiku.” Saka menggeleng dengan ragu. “Tidak sepenuhnya. Aku juga berkebun, bermain catur dan bermain dengan cucuku. Aku melakukannya saat sepulang bekerja dan hari libur. Itu cukup menye
Dokter dan perawat berdatangan ke dalam ruangan. ke tiga pria itu menyingkir, memberikan tempat pada dokter untuk menanagi ayahnya. Tak beberapa lama, Dokter keluar dari ruangan. “Tuan Hendrick meninggal,” ujar Dokter yang selama ini telah merawat Hendrick cukup lama. ~~Rumah yang besar itu didatangi banyak orang yang berpakaian hitam. Banyak Karangan bunga yang tergeletak di depan sebagai rasa belasungkawa atas meninggalnya pendiri Delux. Hendrick Willson tutup usia dengan usia yang sudah senja. Akhirnya Amel menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Ia memasang selendang hitamnya agar lebih rapi. Di sampingnya, ada sosok pria yang setia mendampinginya ke manapun. “Andres…” lirih Amel. Andres memeluk bahu Amel lembut. “Tidak masalah. Aku akan selalu ada di sampingmu. Ayo masuk ke dalam.” Kesedihannya memang tidak bisa dibendung atas kepergian sang kakek. Namun, di sisi lain Amel juga takut bertemu dengan keluarga besarnya yang lain. Dengan menggenggam tangan Andres, Amel berharap r
“Jaga bicaramu, kak.” Steven bangkit. “Kita masih berada di makam Dad. Tunggu sebentar, kita akan kembali ke rumah dan membahas surat warisan itu. Dan biarkan Mom tenang dulu.” Tidak bisa dibayangkan betapa sedihnya seorang Leona ditinggal oleh sang suami. Wanita tua itu bahkan tidak sanggup melihat jasad Hendrick dan lebih menyendiri di kamar. Leona bahkan tidak ikut ke pemakaman. Xavier berdecih. “Kau—” “Ayo kita pulang,” potong Saka dengan cepat. “Kita harus kembali sebelum hujan.” Ia tidak ingin ada pertengkaran di makam ayah mereka yang masih basah. ~~Ada dua keluarga lagi yang baru saja datang. Keluarga kakak Amel dan keluarga Daniel. Amel memandang Daniel yang sedang menggendong putri mereka. Sang istri sangat cantik, campuran keturunan chinees Amerika. “Apa kabar?” tanya Daniel. Amel tersenyum. “Baik.” Daniel beralih menatap pria yang berada di samping Amel. Pria tinggi berdarah latin. “Saya Andres, kekasih Amel.” Andres memperkenalkan dirinya dengan percaya diri. Am
Amel mengikuti arah pandang Andres. Semua orang masih berada di dalam rumah. Mereka menunggu orang kepercayaan Hendrick untuk menyerahkan surat wasiat dan pembagian Harta. Sedangkan Xavier yang sibuk berdiskusi dengan anak dan istrinya mengenai harta, berbeda dengan orang lainnya. Di sana, Steven sedang bermain catur dengan Saka. “Baiklah. Kau ke sana saja,” balas Amel.Sebelum pergi, Andres mengecup dahi Amel pelan. Amel menghela nafas, ia berjalan ke arah dapur. Ia butuh air dingin untuk menyegarkan tenggorokannya. Namun sampai di sana, tubuhnya ditarik begitu saja. Belum sempat berteriak, mulutnya dibekap oleh tangan. Ketika mendongak, Amel menatap sengit pria yang melakukan hal seperti ini padanya. “Apa maumu?” Amel hampir berteriak karena saking kesalnya pada Hardin yang menariknya dengan tiba-tiba. “Kita perlu bicara.” Amel menghela nafas. “Tinggal bicara. Jangan membuang waktuku.” “Kau akan menikah dengan pria itu?” Amel memutar bola matanya malas. “Itu urusanku. Kau tid
“Untuk pembagian Harta benda saya sudah menyiapkan rinciannya.” Liam mengambil sebuah kertas. Dibagikannya kepada seluruh anak Hendrick. “Itu adalah pembagian yang diinginkan oleh tuan Hendrick.” Untuk Xavier mendapatkan properti tanah. Untuk Saka mendapatkan tanah beserta bangunan. Dan Steven mendapatkan tanah dan gedung yang belum jadi.”“Tidak masuk akal.” Xavier yang tidak bisa menyembunyikan kemarahannya atas pembagian harta yang baginya tidak masuk akal. “Saka hanya anak pungut. Dia mendapatkan harta sama banyaknya dengan aku yang anak kandung. Untuk Steven? Dia tidak bisa mengelola bisnis tapi Dad memberikan bisnisnya padanya!” “Saya tidak mengada-ada. Semua yang sudah tercatat di dalam surat wasiat adalah keinginan tuan Hendrick sendiri. Kertas yang anda pegang dan surat-surat lainnya sudah berdasarkan hukum dan bisa dipertanggung jawabkan,” balas Liam tegas.Amel menghela nafas. ‘Semakin terlihat mana orang yang serakah,’ batinnya. “Jika tidak kuat, kita pergi saja,” bisikn
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert