“Kau egois ternyata.” Gerald menepuk pelan bahu Hardin. “Jika ingin mempunyai istri virgin, kau juga harus perjaka.” “Mitos.” Hardin memutar bola matanya malas. “Lalu kau akan mencari wanita yang masih virgin? Kau tidak akan menemukannya di sini. Kalaupun kau dapat, belum tentu kau bisa menikahi dan bisa bersamanya.” Hardin tersenyum sinis. Perkataan Gerald seakan menyindirnya. Tanpa menjawab perkataan Gerald, Hardin kembali meminum dari gelasnya yang ke-tiga kalinya. “Ternyata kau ada di sini.” Perkataan seorang wanita yang membuat Hardin maupun Gerald menoleh. Ashley berdiri di hadapan mereka. Dress mini yang digunakannya sangat terbuka. Menampilkan sebagian besar tubuh wanita itu. Hardin memutar bola matanya malas. Ia kembali bersandar ke belakang. “Katakan, kau butuh uang?” “Aku tidak pernah membutuhkan uangmu.” Ashley melotot tidak terima. “Aku hanya menerima uang yang kau berikan setiap bulannya.” “Cepat katakan,” desak Hardin. “Pernikahan kita sudah ditentukan. 3 bulan
Meskipun ragu, Amel mengambil langkah yang lebih berani. Memasukkan milik pria itu ke dalam mulutnya. “Yaaah seperti itu. Kamu benar-benar—” Daniel meraih kepala belakang Amel. Mengendalikan kecepatan sesuai keinginannya. Hingga—Daniel mempercepat temponya. Membuatnya sampai kualahan. Dan—tak lama Daniel mengakhirinya. Amel terkulai lemas di bawah sana. Dengan pakaian yang compang-camping. Ia memejamkan mata. Tidak percaya ia akan melakukannya dengan Daniel. “Amel,” panggil Daniel. Pria itu sudah merapikan pakaian. “Terima kasih.” Ia menarik amel ke dalam pelukannya. Daniel mencoba mengancingkan kembali piyama Amel. “Akan lebih baik jika kamu yang merapikan pakaian kamu sendiri.” TING TING Amel menoleh. “Pergilah kak.” Daniel melihat dulu siapa yang ada di luar. Ia hanya merasa aneh karena tidak memesan apapun. Dilihatnya seorang wanita yang berdiri di luar pintu. Membawa sebuah paper bag yang berisi entah apa. “Amel kamu cepat rapikan diri kamu.” Daniel mendekat. “Di luar ad
Dengan bantuan salah satu perempuan ang ada di sana. Akhirnya Amel, keluarganya dan Daniel bisa berfoto bersama. Lengkap sudah. Sebagai anak bungsu. Amel tidak pernah kekurangan apapun. Uang? Perhatian? Semua ia dapatkan dari orang tuanya. Meskipun terkadang ia merasa orang tuanya terlalu mengekangnya. Tapi ia sadar, orang tuanya melakukan hal tersebut karena tidak ingin dirinya salah langkah. Begitu selesai. Semuanya menghambur. Lagi-lagi karena fokus pada Vero yang terjatuh akibat berjalan. “Aduh cucuku…” Jenifer yang seakan ingin menangis melihat cucunya terjatuh. Amel berdecak pelan. Sebuah tarikan di pinggangnya membuatnya menoleh. “I love you.” tiga kalimat yang dilontarkan Daniel. Pria itu dengan berani berbisik sangat dekat di telinga kirinya. ~~ Di sebuah rumah mewah. Namun tidak ada kehangatan di dalamnya. Jackson, selaku kepala keluarga duduk di ujung meja. Dengan di samping kirinya adalah sang istri. “Bagaimana pakaian untuk pernikahan kamu?” Jackson membuak percak
“Just hug, no kiss.” Amel mendekat. Memeluk tubuh Daniel yang katanya memiliki 8 pack itu. “Siapa yang bilang aku setuju hm?” Daniel mengusap rambut Amel. Begitu pelukannya terlepas. Ia langsung menarik tengkuk Amel dan menciumnya. Melumat bibir yang sudah bebera hari ini tidak ia sentuh. “Hmmmh!” Amel yang kehabisan nafas memukul pelan dada Daniel. “Aku tidak bisa bernafas.” Daniel tertawa. Jemarinya mengusap bibir bawah Amel yang basah akibat perbuatannya. “Yakin tidak ingin melihat 8 pack secara langsung?” Amel menyipitkan mata. “Sepertinya yakin.” Daniel tersenyum miring. “Benarkah?” pandangannya turun pada baju atas Amel yang terbuka. Amel yang menggunakan Top V-neck yang menampilkan sedikit belahan dadanya. Dipadukan dengan riped jeans yang sobek di bagian paha. Sudah beberapa kali Daniel mengatakan pada perempuan itu untuk berpakaian yang lebih tertutup. Karena ia tidak ingin tubuh kekasihnya dilihat oleh laki-laki lain. “Kamu lupa ucapanku?” Daniel mengusap dahi Amel. “
“Bukan urusanmu,” balas Hardin cuek. Ia kembali ke balkon. Kali ini duduk menikmati pemandangan sore ditemani oleh Wishki. Pernikahan ini tidak akan mengubah hidupnya. Ia masih Hardin yang bisa melakukan apapun tanpa terkekang dengan adanya status pernikahan. Di sisi lain. Ashley yang melihat perbuatan Hardin yang mengacuhkannya hanya bisa menahan tangisnya. Cintanya hanya sebelah. Hardin tidak pernah memandangnya, yang ada di kepala pria itu adalah sepupunya, Amel. “Aku tidak akan membiarkanmu bersamanya.” Amel berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Hardin dan Amel tidak akan pernah bersama. ~~ Acara pesta yang diadakan setelah upacara pernikahan dilaksanakan di sebuah gedung hotel. Ada begitu banyak orang, mereka semua adalah rekan bisnis dua perusahaan. “Tidak bisakah kalian melepaskanku?” Amel yang pasrah digandeng kedua orang tuanya seperti anak kecil. “Nanti saat sudah di sana,” balas Jenifer. Ketika masuk, ada meja panjang yang berisi makanan dan minuman. Lalu ada s
Amel menggeleng pelan. “Terdengar bagus, tapi untuk sekarang tidak dulu. Aku hanya ingin pulang dan istirahat. Aku akan kembali ke dalam dan minta kunci mobil.” “Aku bisa mengantar kamu.” “Jangan. Sepertinya mendesak, Kak Daniel harus cepat-cepat ke kantor.” “Baiklah. Hati-hati.” Daniel yang sudah kembali berjalan berhenti. Ia mendekati kekasihnya kembali. Kemudian mencium singkat bibir kekasihnya. “Hubungi aku saat sudah sampai di rumah.” Amel mengangguk. “Kak Daniel juga harus hati-hati.” Amel menghela nafas lelah. Seharusnya ia bisa pulang. Ia ingin segera memeluk bantal dan gulingnya di rumah. Amel berjalan dengan gontai menuju ruang pesta kembali. Namun ditengah perjalanannya—ada suara seseorang yang mengehentikannya. “Kekasihmu pergi?” tanya seseorang. Amel berhenti. Ia membalikkan badan. Hardin—pria yang terlihat berantakan. Entah ke mana jas yang semula di gunakan pria itu. Dengan dasi yang begitu longgar. Melalui cahaya yang tidak seberapa ini—ia bisa menatap wajah Har
Keputusan Amel sudah bulat. Tadi pagi sekitar jam 3 ia kabur. Ia kembali ke Apartemen untuk mengganti pakaiannya. Setelah itu barulah mengendap-endap pulang ke rumah orang tuanya. Pikirannya yang benar-benar kacau untuk saat ini. Ia ingin segera mengakhiri semuanya. Pukul 10 pagi, ia sudah bersiap-siap akan berangkat ke kantor Daniel untuk berbicara. “Mau ke mana?” tanya Jenifer. “Mau pergi ketemu teman-teman sebentar.” Amel tanpa sarapan lebih dulu. Ia langsung pergi begitu saja. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sebuah perusahaan Teknologi. Sedari tadi ia berusaha menghubungi Daniel namun tidak satupun panggilannya yang diangkat. Walaupun sibuk, Amel akan terus berusaha agar bisa bertemu dengan pria itu. “Aku ingin bertemu dengan Daniel,” ujarnya pada seorang resepsionis di lobi depan. “Apa sudah membuat janji?” “Belum.” Amel menggeleng. “Tapi aku—” “Kalau anda belum membuat janji, anda tidak bisa bertemu dengan beliau.” Resepsionis itu memotong perkataan Amel.
Di sisi lain. Amel sedang berjalan di trotoar dengan lemah. Kakinya membawanya kembali pulang. ketika ia melihat sebuah mobil sport yang berada di depan gedung, ia langsung berbalik. Ia segera cepat-cepat berjalan menjauh. “Tunggu, Amel!” Hardin dengan segera keluar dari mobil. Ia berlari mengejar Amel yang berjalan menjauh. “Amel!” dengan tubuhnya yang jauh lebih besar dari perempuan itu. Ia berhasil menangkap tubuh Amel dengan mudah. “Jangan menjauh.” Amel mengepalkan tangannya. Hardin yang memeluknya dari belakang. Pria itu tidak mengerti kondisi dan lingkungan sekitar. Bagaimana jika ada yang melihat mereka. bagaimana jika ada yang menyebarkan foto mereka. “Lepaskan aku.” Amel melepaskan diri dari Hardin dengan kasar. “Kenapa kau selalu mengganguku?” “Aku—” Hardin hendak meraih tangan Amel namun perempuan keburu menjauh lagi. “Tidak bisakah kita tetap bersama?” “Bagaimana tetap bersama jika kau sudah punya istri? Kau sudah menikah dan seharusnya kembali pada istrimu! Jangan
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert