Mencoba melepaskan segalanya. Membuka lembaran baru. Setelah menempuh perjalanan panjang. Akhirnya Amel bisa menghirup udara di kota Paris. Ia menyeret kopernya, mengeratkan jaket yang membungkus tubuhnya. Sekarang adalah musim dingin. Butiran salju mulai turun. Amel menghela nafas. Mengambil duduk di sebuah bangku. Menunggu taksi yang sebentar lagi akan datang. “Haaatchi!” Suara daris ampingnya. Amel menoleh—di sana ada seorang pria yang menggunakan pakaian rapi, bermasker namun sepertinya sedang terkena flu. “Haaatchiih!” kali ini lebih buruk dari tadi. Laki-laki tersebut membuka masker dan mengusap hidungnya yang lebih memerah. Amel segera merogoh tasnya. Merogoh tisunya yang tinggal beberapa lembar. Ia menyerahkannya pada pria itu. “Maksudnya?” pria itu menoleh. Dengan alis yang terangkat sebelah. “Kau menyukaiku?” Amel mengerjapkan mata. Ia menggeleng dengan cepat. “Tidak. Tentu tidak. Saya hanya ingin membantu anda.” Menyerahkan tisu itu segara. “Ambil saja. Saya harus pe
Melihat bagiaman satpam di depan sangat hormat. Bahkan sampai membukakan pintu untuk pria tersebut. Amel langsung menutup mulutnya. “Jangan-jangan di bos di sini?” Kemudian mengedikkan bahu acuh. “Aku tidak melakukan kesalahan untuk apa takut? Aku hanya memberinya tisu. Tapi yasudahlah jika dia bosku.” Amel berjalan masuk. Ia langsung menuju resepsionis berada. “Permisi, saya pegawai baru. Bisa tolong pertemukan saya dengan HRD di sini?” “Baik tunggu.” Tak menunggu lama. Seorang wanita muncul. Wanita yang mempunyai rambut kecokelatan. “Hai aku Sofia. Aku HRD di sini dan selamat bergabung.” Sofia mengulurkan tangan. Dengan senang hati Amel menjabatnya. “Amel.” “Ayo ikut aku.” Sofia berjalan lebih dulu. Diikuti Amel di belakangnya. Mereka menaiki lift sampai di lantai dua. Di sini tempatnya admnistrasi dan keuangan. Berjajar kursi dan meja beserta sekatnya. Di sana hampir penuh dengan pegawai. Lantai dua. “Di sini IT.” Ruangan tempatnya para pengembang teknologi. Terdapat beb
Berjalan pulang setelah bekerja selama berjam-jam di kantor. Amel melewati beberapa area pertokoan. Langkahny perlahan berhenti saat melihat papan nama sebuah apotek. “Apa sekarang waktunya?” gumamnya. Ia menata perutnya sebentar. Pada akhirnya kakinya melangkah ke sebuah apotek. Ia membeli sebuah tespeck dan obat pereda mual untuk ibu hamil. Setelah itu kembali pulang ke rumah Annie. Begitu sampai—semuanya masih gelap. Kemungkinan Annie masih berada di kantor atau lembur. Ia melihat ponselnya yang berdering sekali. [Sebentar lagi aku akan pulang. Aku akan membeli makanan enak] Itulah pesannya. Amel menuju kamarnya. Merebahkan diri sebentar kemudian mengambil kantung kresek yang berisi tespeck yang telah ia beli. 1 jam berlalu. Amel masih terduduk lemas di samping toilet. Sebanyak 20 tespeck bertebaran di mana-mana. Semuanya menunjukkan dua garis merah yang artinya ia memang sedang hamil. Terduduk lesu dengan pikiran kosong. Pilihannya hanya ada dua. Menggugurkan janin ini atau
Amel mengangguk. “Jangan beritahu siapapun.” Mengambil tangan Andres. “Janji sebagai teman. Tidak boleh diingkari. Oke, aku pergi bekerja dulu.” Amel meninggalkan Andres di depan perusahaan. “Tapi—” Andres masih ingin berbicara. “Dia bercerita setengah-setengah. Apa dia sudah menikah? Tapi dia sangat muda. Aku salah memilih teman lagi? Temanku sebentar lagi mempunyai bayi? Lalu aku akan menjadi paman?” Andres menggeleng. “Ah membingungkan.” “Tapi dia terlihat sangat bahagia.” Andres mengusap tengkuknya yang tidak gatal. “Dia aneh.” ~~ Amel menjalani kehidupannya seperti biasa meskipun ada janin yang tumbuh di perutnya. Sudah dua bulan berlalu. Ia masih belum membertahukan kehamilannya pada orang tuanya. Bukan takut dimarahi atau dipukul, takut sekali mengecewakan mereka. “Halo, Mom.” Amel berjalan sambil memegang teleponnya. “Bagaimana kabar kamu? Pekerjaan kamu lancar?” tanya Jenifer melalui sambungan telepon. “Lancar.” Amel menghela nafas. “Bagaimana kabar Mom dan Dad?” “Kam
“Amel tolong ke sini.” Suara yang Amel tahu siapa. Ia membuka mata—merentangkan otot-ototnya. Melihat jam dinding yang sudah sampai di angka 11 siang. “Kenapa? hoaam!” membuka mulutnya lebar. Tidur yang lumayan nyenyak akibat meminum obat tidur tadi malam. “Ke sini ke mana?” “Temanmu itu, membuat keributan di tempat potoshot. Dia marah-marah karena ada yang menumpahkan kopi di bajunya. Dan sekarang dia mengurung diri di mobil, tidak mau pemotretan.” Amel mengacak rambutnya frustasi. “Kenapa dia selalu merepotkanku….” Keluhnya. Ini menjadi kedua kalinya Amel mendapat panggilan dari Jacob atas masalah yang sama. Yang pertama, dengan alasan malas Andres tidak ingin berangkat syuting. Alhasil, Amel membujuk pria itu agar mau berangkat syuting. Memangnya bekerja bisa sesuai mood? Amel marah-marah dan mengancam tidak akan berteman lagi dengan pria itu. Untunglah ancaman itu berhasil. Yang ke-dua, sekarang! Amel menghela nafas berkali-kali. “Jika kau lelah istirahat saja di rumah. Aku
Amel menoleh. Di sana! Tidak jauh dari tempatnya berdiri. kedua temannya menatapnya sambil bersindekap dengan kepala yang mengangguk. “Kau harus menjelaskannya pada kita.” Annie menyipitkan mata. “Kenapa kau cepat sekali mendapat pria?” “Dia hanya temanku.” Amel menggandeng kedua tangan temannya. “Seperti kalian. Kehadirannya membuatku tidak kesepian. Salah sendiri kalian selalu sibuk—aku mencari teman baru.” “Benar hanya teman saja?” tanya Caitlin. Amel mengangguk. “Sikapnya bahkan lebih cocok menjadi adikku.” “Aku penasaran dengan wajahnya. Apakah dia tampan?” tanya Caitlin. Akibat lampu yang tidak terlalu terang dan pria itu yang memakai masker hitam. “Kalian mungkin tahu.” Amel berpikir sebentar. “Tapi aku mohon supaya kalian diam saja. Karena dia sangat menjaga privasinya.” “Kau membuatku penasaran.” Annie menggoyangkan lengan Amel. “Apa dia anak presiden?” Amel menggeleng. “Tidak. Dia selebriti.” Caitlin terdiam sebentar. “Jangan bilang dia artis yang sedang naik daun.
Amel menunduk. Bersimpuh di kedua kaki orang tuanya. “Maaf Amel mengecewakan kalian. Amel akan bertahan, Amel tidak akan menyusahkan kalian. Maafkan Amel, Mom Dad…” “Siapa?” tanya Steven. Pertama kali Steven angkat bicara. Ketika pertama kali datang ke Apartemen putrinya, mereka berdua memeriksa semuanya. Sampai menemukan satu ruangan yang penuh dengan perlengkapan bayi. Kecurigaan mereka semakin menjad-jadi saat menemukan buku panduan hamil di nakas. Hingga Jenifer menggeledah lemari Amel dan menemukan sebuah foto USG. Amel memejamkan mata. “Hardin.” “Dia sudah menikah dengan Ashley,” ujar Jenifer. “Dia pria bajingan, Mom harus menghajar pria itu!” Jenifer berdiri. “Mom!” Amel memegang tangan Jenifer. “Amel tidak butuh pertanggung jawabannya. Amel bisa mengurus bayi ini sendirian. Amel akan berusaha menjadi ibu yang baik.” Jenifer menghempaskan tangan putrinya. “Kamu kira jadi ibu gampang? Kamu kira merawat anak sendirian itu mudah?” Jenifer memijit dahinya lelah. “Kamu benar
Happy Reading guys“AKKKH!” Amel yang sudah berbaring di atas ranjang, di dorong oleh beberapa perawat menuju ruang operasi. Tangannya senantiasa memegang lengan Andres.“Akkh!” ringis Amel yang semakin menjadi-jadi. Tidak bisa dideskripsikan bagaimana rasa sakitnya ketika akan melahirkan. Amel mendongak—menutup matanya. Dalam hati ia bertanya. ‘Inikah rasanya diambang kematika?’“Amel buka matamu.” Andres menepuk pelan pipi Amel. “Bertahanlah.”Amel masuk ke dalam ruang persalinan.“Anda ayah dari bayinya?” tanya perawat sebelum menutup pintu ruang persalinan.“Aku tidak—” Andres celingukan menatap Amel dari kejauhan. Wanita itu terlihat kesakitan. “Iya aku ayah bayinya.”“Temani beliau.” Perawat mempersilahkan Andres masuk.Akhirnya Amel didampingi Andres.“Sebentar lagi, bertahanlah.” Andres mengusap dahi Amel yang berkeringat banyak.Tak lama suara tangisan bayi terdengar. “Kau berhasil.”Sayup-sayup Amel mendengar suara tangisan bayi. Namun tidak lama setelahnya ia pingsan. Ia sa
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert