“Saya calon suaminya.” Saka meraih tangan Karina kemudian menggenggamnya. “Seperti yang sudah tersebar di berita. Saya memang menjalin hubungan dengan Karina. Namun saya sudah bercerai dengan istri saya. Sebentar lagi kami akan menikah.” “Baiklah. Jika kalian berencana menikah maka secepatnya dilaksanakan.” Pak Robi menatap Karina dan Saka bergantian. “Sesuai dengan peraturan desa, jika dalam satu bulan kalian masih tinggal bersama tanpa ikatan resmi. Kalian harus keluar dari desa ini.” “Baik saya menerima,” balas Saka. “Semuanya bubar!” ujar Pak Robi. Semua warga berbondong-bondong pergi. “Saya pergi dulu. Maaf membuat kalian kaget.” “Iya, Pak. Tidak masalah.” Karina tersenyum sambil mengangguk. Karina berjalan gontai masuk ke dalam rumah. “Karina,” panggil Saka. “Menikahlah denganku.” Karina mendongak. “Tunggu sebentar.” Saka kembali ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. “Menikahlah denganku.” Ia membuka sebuah kotak yang berisi cincin. “Saka aku tidak yakin denganmu. Aku t
“Kamu anggap aku apa?! Aku ini tante Karina!” Suara Endang meninggi. “Siapa yang menjaga Karina saat hamil kalau bukan aku? Aku juga yang menjaga Karina saat keluarga Iqbal membatalkan pernikahan.” Saka tersenyum tipis. Tentu saja ia tidak percaya. Jika orang ini menjaga Karina dengan benar. Karina tidak akan berupaya untuk bunuh diri. “Keputusan kami sudah bulat. Anda tidak bisa ikut.” “Kalian benar-benar durhaka!” hardik Endang. “Pergi saja dari sini! Tinggalkan Budhe sendiri sampai mati sendirian!” “Apa yang anda inginkan?” tanya Saka. “Uang bulanan? Atau langsung saja uang dalam jumlah banyak?” Endang mengerjapkan mata. Kemarahannya surut begitu saja namun ia nampak masih kesal. “Bukan itu maksud budhe.” “Bilang saja ingin apa. Aku akan mengabulkannya.” Saka malah santai menatap Endang yang berubah dalam sekejap. “Uang bulanan 5 juta dan aku akan merenovasi rumah ini. Apa itu cukup?” Karina menoleh. “Saka, kamu keterlaluan. Budhe tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya—” “S
“Sudah-sudah. Jangan berpikir buruk lagi.” Saka memeluk pinggang Karina dari samping. Mereka berjalan dengan serasi memasuki restoran. Karina semakin gugup saat melihat kedua orang tua Saka yang sudah duduk di bangku. Ketika sudah berada di depan kedua orang tua—Karina menundukkan kepalanya sebentar. “Kalian sudah datang.” Hendrick tersenyum. Leona hanya diam. Ia hanya menatap Karina dengan raut datar. “Kamu Karina? Pernah jadi sekretaris Saka juga kan?” tanya Hendrick. “Iya Saya Karina. Saya juga pernah menjadi sekretaris Saka,” jawab Karina. Saka menatap kedua orang tuanya bergantian. “Bagaimana kabar kalian?” Leona mendongak. “Sebenarnya kurang sehat. Tapi demi kamu Mom sampai rela datang ke sini.” “Terima kasih, Mom.” Saka berdehem sebentar. “Sebenarnya Saka ingin memberitahukan sesuatu pada Kalian.” “Saka akan menikah dengan Karina. Kami tidak ingin menyembunyikan apapun dari kalian dan sekarang Karina hamil anak Saka.” Hening beberapa saat. Hendrick tertawa pelan. “Cu
“Namanya nasi uduk. Aku sengaja memasak makanan Indonesia buat kamu. Kemarin saat di kampung kamu ternyata suka. Aku juga bikin sambel, tapi yang lebih bisa di terima sama perut kamu.” Karina ingin tertawa saja mengingat Saka langsung diare setelah memakan sambal pedas buatannya. “Kamu yakin?” Saka menatap Karina. Ia tidak pernah memakan nasi sepagi ini. karena menurutnya terlalu berat. Juga—ia belum terbiasa dengan banyak makanan Indonesia. “Cobalah.” Karina mengambil piring. Ditaruhnya nasi dan lauk juga sambal ke piring tersebut. Saka tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat tidak yakin. “Cobalah.” Karina mengerucutkan bibirnya. “Aku bisa menangis jika kamu tidak mencobanya.” “Oke-oke.” Saka mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Rasanya gurih dan tidak seperti nasi biasa. Kemudian menggigit tempe yang dicocol dengan sambal. Rasanya enak sekali. Saka yang awalnya tidak yakin kini justru ketagihan. Sampai menambah nasi dan sambal lagi. “Enak?” tanya Karina. “
“Kenapa?” tanya Leona dengan kecewa. Karina menyenggol pelan lengan Saka. “Kami akan menginap di sini,” ujar Karina sambil tersenyum meskipun di balas raut ketus oleh Leona. “Karina…” geram Saka. “Menginap di sini saja,” imbuh Hendrick. Atas keputusan Karina sendiri. Akhirnya mereka menginap di kediaman orang tua Saka. Meskipun Karina sedikit tidak nyaman karena Leona yang terus-terusan bersikap ketus padanya. “Kenapa tidak menolak saja?” Saka menatap Karina yang terlihat murung. Karina mengangkat kepalanya. Ia mengerjap beberapa kali. Saka yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk. Rambut pria itu masih basah dengan air yang masih mengucur ke bawah. “Karina jawab aku. Aku sudah bilang, jangan memaksa jika tidak ingin. Aku tidak mau melihatmu sedih.” Saka pergi ke dalam ruang wardrobe. “Aku hanya ingin mendekatkan diri pada ibu kamu,” balas Karina. “Tidak mungkin aku bisa akrab jika terus menjauh.” “Tapi Mom akan terus membuat kamu sedih.” Saka kembali d
“Mereka di bawah.” Adel memegang bahu Karina. “Setelah ini—jangan sembunyikan apapun dariku. Jika Saka menyakitimu. Cepat beritahu aku. Aku yang akan memberinya pelajaran.” Karina tertawa pelan. “Dia sudah berubah, Adel. Jangan kawatir.” “Tetap saja.” Adel mendengus. “Bilang padaku jika dia menyakitimu lagi!” “Baiklah-baiklah.” Karina mengangguk. Adel lebih mendekat. Ia ingin memberitahu Karina sesuatu yang menurutnya sangat penting. “Nanti kan ada acara melempar bunga. Katanya, yang dapat bunga akan cepat nyusul—” “Oh kau ingin aku melemparkannya padamu? Atau kau ingin aku memberikannya langsung padamu?” potong Karina. Adel menggeleng. “Bukan seperti itu Karina! pokoknya jangan lempar ke arahku. Kalau bisa lempar jauh-jauh dariku. Aku tidak ingin menikah dulu pokoknya!” menunjuk Karina dengan jari telunjuknya. “Ingat pokoknya!” Karina diam-diam tersenyum. “Oke.” Tiba waktunya acara janji suci. Karina ditemani oleh Adel turun ke bawah. Karina sudah menurunkan sebuah tudung hin
Pantas saja—mic itu tepat di bibir MC. “Acara selanjutnya adalah dansa. Untuk pasangan baru kita, dipersilahkan untuk dansa lebih dulu.” Karina yang terlanjur kesal dan badmood, ia sama sekali tidak bersemangat melakukannya dengan Saka. Sedangkan Saka yang melihat Karina tengah kesal dengannya merasa bersalah. “Maaf,” Saka menarik pinggang Karina. Mengalunkan kedua tangannya di pinggang ramping Karina. “Maaf, Karina sayangku. Aku membuat kamu kesal.” Karina mengalunkan kedua tangannya di leher Saka. Ia mendongak. Kemarahannya harus awet—tidak boleh cepat luntur. Ia harus mempertahankan ekspresi marahnya. “Karina my babe, maafkan aku.” Saka mengusap helaian rambut Karina ke belakang. “Aku memang bersalah…” Saka menghela nafas. Karina melakukan gerakan berputar. Setelah berputar—Saka menarik pinggangnya hingga tidak ada jarak di antara mereka. “Jangan lama-lama marahnya. Kamu semakin lucu,” bisik Saka. Karina akhirnya tidak bisa menahan senyumnya. Selain tersenyum rupanya—ada ha
“Wow.” Saka tidak bisa melepaskan pandangan pada Karina. “You look so hot,” bisiknya. “Aku sedikit malu?” Karina mendongak. Saka menarik pinggang Karina dengan mudah. “Tidak perlu malu babe. Youre so pretty.” Mendaratkan ciuman di bibir Karina. Bergerak lembut saling memangut. Karina memejamkan mata—kedua tangannya terulur mengalun di leher Saka. Meremas rambut Saka yang masih basah. Entah ke mana perginya pakaian mereka. Saat ini tubuh mereka sama-sama polos. Karina menatap Saka yang berada di atasnya. Saka tidak sepenuhnya menindih—ia masih waras untuk tidak membahayakan anaknya sendiri. “Aku tidak yakin,” ucap Karina begitu tiba-tiba. Saka yang tadinya ingin kembali mencium Karina mendadak berhenti. “Why? Kamu meragukan keahlianku?” “Bukan seperti itu.” Karina menggeleng. “Bagaimana kita melakukannya jika di dalam perutku ada nyawa.” Saka menyatukan dahi mereka. “Aku sudah berkonsultasi dengan dokter. Bisa melakukannya asal dengan posisi yang tepat. Aku juga sudah menonton
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud
“Mom kita akan ke mana?” tanya Yoshi yang kebingungan dengan pakaian yang diguanakannya. Tubuhnya yang kecil menggunakan setelan jas. Bocah itu terlihat begitu tampan. “Hari ini adalah hari pernikahan aunty Mina dan paman Ren. Kamu lupa? Padahal kamu yang membaca undangannya.” Sana merapikan jas putranya. Merapikan rambut Yoshi yang sudah rapi agar semakin rapi. “Oh iya. Aku lupa Mom.” Yoshi menepuk dahinya sendiri dengan lucu. “Jadi hari ini aunty akan menikah…,” gumam bocah itu. Sana tertawa pelan. “Ayo berangkat.” Menggandeng tangan mungil putranya. Sana berjalan keluar dari area Apartemen. Ia sudah memesan taksi namun tidak kunjung datang. Namun ia melihat satu mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan mereka. Anton keluar dari mobil, menatap Sana dan Yoshi yang begitu rapi dengan kebingungan. “Kalian akan ke mana?” ia mengangkat sebuah kantong yang berisikan pizza dan ayam goreng. “Aku lupa memberitahumu.” Sana merasa bersalah. “Aku hari ini harus pergi ke acara pern
“Melihat lukisanmu secara langsung.” Anton tersenyum dengan lebar. “Sepertinya kau memasak. Kebetulan aku juga lapar.” Anton langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Sana. “Paman Anton!” Yoshi berlari keluar dan memeluk Anton. Anton tertawa pelan. “Yoshi sudah besar rupanya.” “Tunggu sebentar. Aku akan menyelesaikannya.” Sana kembali ke dapur. Setelah beberapa lama, ia membawa makanan keluar ke ruang tamu. Menatanya dengan rapi di sebuah meja kayu. “Waah.” Anton menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Masakan Sana memang tidak pernah gagal. “Berdoa mulai,” aba-aba Sana. Yoshi mengepalkan tangan dan menutup mata. begitupun dengan Anton yang langsung mengikuti mereka. Padahal dirumah ia tidak pernah berdoa dan langsung makan saja. “Makan pelan-pelan.” Sana mengusap kepala Yoshi pelan. Mereka makan bersama dalam hening. Sana melarang Anton berbicara di hadapan Yoshi. Karena anaknya itu bisa menangkap dan mengerti dengan percakapan mereka. Sana hanya menghindari pembahasan ya
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah berlari keluar dari rumah. Ia berusaha mempercepat langkahnya untuk menyusul anaknya. Waktu yang semakin petang membuatnya begitu kawatir karena anaknya yang tidak kunjung pulang. “Yoshi!” teriaknya di pinggir pantai. “YOSHI CEPAT PULANG! JANGAN BERMAIN TERUS!” teriak Sana pada sang putra yang ikut memancing bersama kakek nelayan. Bocah yang berusia hampir lima tahun itu melambaikan tangan. Di atas perahu yang ditumpanginya, ia berjinjit kecil sembari melambaikan tangan pada sang ibu yang menunggunya di bibir pantai. Bocah yang mempunyai nama Watane Yoshinori tersebut nampak tersenyum dengan senang. “KAKEK TOLONG BAWA YOSHI KEMBALI!!” teriak Sana meminta tolong pada pria tua yang membawa perahu. Sana berlari ke sebuah dermaga kecil. Di sanalah ia menjemput sang putra yang baru saja selesai memancing. “Aku sudah bilang jangan menjemputku Mom!” ucap bocah itu ketika turun dari peruahu. Sana mencebikkan bibirnya. Ia menunduk sebentar dan bert