Beberapa hari sebelumnya...Husam duduk di sisi tempat tidurnya. Pikirannya kelayapan. Begitu banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Tangannya perlahan bergerak mencari kokain yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat di tempat yang hanya ia sendiri yang tahu.Baru saja ia hendak membuka bungkusan kokain itu, ia melihat sosok seorang wanita mengintip dari pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia tahu betul siapa itu, wanita itu memang punya kebiasaan buruk suka mengintip dan mencampuri urusan orang lain, itu benar-benar membuatnya kesal. Ia merasa sudah saatnya memberinya pelajaran.Setelah ia selesai dengan sebungkus kokainnya, bergegas ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dengan penuh amarah. Ia turun ke lantai dua dan langsung menuju kamar Sadia.Terlihat gadis itu sedang terlelap, dengan rambut hitam panjangnya yang menjuntai indah dan sebagian menutupi wajahnya. Rambut yang biasanya selalu tertutup rapat, kini bisa ia lihat lekat-lekat.Perlahan Husam melangkah mendeka
Masih beberapa hari sebelumnya...Husam berada di markas persembunyiannya sejak pagi hari. Ia tidak ingin kembali ke rumah, setidaknya belum untuk saat ini."Apa yang dia katakan?" Husam bertanya sambil menandatangani surat-surat yang diletakkan Ken di hadapannya.Ia menandatanganinya dengan pena hitam yang dulu diberikan oleh Clara ketika mereka masih bersama. Dengan pena itu, kenangannya bersama Clara masih terasa hidup. Kenangan itu seringkali terlintas di kepalanya, namun ia bisa mengabaikannya."Dia bilang kalau dia tahu tentang kesepakatanmu dengan Daniel. Mereka juga tahu tentang Sadia sejak kau menikahinya, mereka berpikir bahwa dia mungkin adalah kelemahanmu."Husam mendengus geli mendengar seseorang berpikir bahwa gadis itu adalah kelemahannya. Mereka benar-benar bodoh, pikirnya. Namun jika mereka benar-benar mencelakai siapapun yang ada di rumahnya, ia pun tak akan segan-segan untuk membalas mencelakai keluarga mereka, bahkan jika memungkinkan ia bisa membalas dendam dengan
Sadia menatap langit-langit kamarnya. Setetes air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya. Ia meratapi hidupnya yang menyedihkan. Tak hanya itu, ia juga menyebabkan orang lain ikut merasakan akibatnya. Malik. Entah bagaimana keadaannya sekarang. "Kau harus segera bersiap. Para tamu akan segera datang." Pikiran Sadia perlahan kabur ketika ia melihat Mala datang sambil membawa pakaian yang terlipat rapi di tangannya."Aku tak ingin pergi." Sadia membalas dengan cepat, kata-katanya terdengar tajam tak lembut seperti biasanya. Sudah hampir satu Minggu setelah ia melihat Malik tertembak oleh Husam, dan hingga sekarang ia belum mendengar kabar apapun tentang pria itu.Satu-satunya yang ia tahu, setelah kejadian menyebalkan kali itu, Husam meninggalkan rumah dan keluar kota untuk mengurus bisnis. Begitu yang ia dengar dari Bi Sum. Setelah itu ia tak lagi melihat sosok Husam di rumah itu. Ia pun mulai berpikir bahwa kebohongannya berhasil mempengaruhinya, Husam percaya bahwa ia bukanlah ciu
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Sadia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dari pintu kamarnya samar-samar ia bisa mendengar dua orang sedang berbincang-bincang, suara itu terdengar familiar di telinganya. Ia menghentikan langkahnya lalu bersandar di daun pintu hingga ia bisa menguping pembicaraan mereka."Awasi dia, aku ingin kau menjaganya dengan nyawamu." Ucap Husam. Ken mengangguk mengerti.Sadia dapat mendengar dengan jelas, suara itu adalah milik Husam. Mendengar suara itu setelah sekian lama tak mendengarnya, membuat Sadia merasakan sesuatu. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, ia sendiri tak tahu kenapa. Dalam benaknya Sadia bertanya-tanya, siapa yang Husam inginkan untuk dilindungi?"Kau juga harus hati-hati..." Suara laki-laki lain berbicara, namun Sadia tak dapat mengenali suara itu. Ia bertanya-tanya, apa yang mereka bicarakan?Sadia ingin mendengar lebih banyak, namun tiba-tiba kakinya terpelintir hingga membuat tubuhnya terdorong keluar. Ia mengaduh dalam hati sebelu
"Husam." Darka mengangguk singkat ketika Husam dan Kiara bergerak mendekat ke sisinya. Darka dan anak buahnya sudah berdiri dengan minuman di tangan mereka tapi itu bukan alkohol. Ia tidak pernah minum alkohol untuk beberapa alasan rahasia yang Husam tidak mengetahuinya. Husam membalasnya dengan anggukan kecil.“Siapa wanita muda cantik di sampingmu ini?” Darka menatap Kiara dengan tatapan menggoda dan Kiara tersenyum gembira.“Dia istriku, Darka.” Jawab Husam acuh tak acuh. Pikirannya masih kacau, ia ingin kembali dan melihat Sadia. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apa yang sedang Sadia lakukan dan dengan siapa dia."Hei, Husam!" Seseorang menarik lengan Husam dari posisinya."Maaf, ada apa?" Tanya Husam sembari melihat bergantian pada Darka dan Dani."Pestanya sangat bagus!" Darka menatap Husam dengan tatapan yang tak bisa diartikan."Terimakasih," jawab Husam datar. “Siapa gadis yang bersama Ken?” Husam bertanya, matanya berbinar nakal sambil mengamati gadis itu dari belakang.
"Terimakasih. Tapi kenapa kau malu mengakuiku sebagai istrimu?" tanya Sadia, matanya terlihat mulai berkaca-kaca. Entah kenapa ia begitu terbawa suasana hati, dengan pria yang seharusnya ia benci sepanjang hidupnya."Kenapa aku harus malu?" Suara serak Husam terdengar seperti melodi di telinga Sadia, begitu lembut. Untuk sesaat, Sadia lupa bahwa pria itulah yang telah menyisakan bekas luka di lehernya beberapa minggu yang lalu."Aku ingin ponselku kembali." Seru Sadia tiba-tiba.Tatapan Husam langsung berubah dari tatapan mesra menjadi tatapan tak suka."Agar kau bisa berbicara dengan Malik kesayanganmu? Atau tunggu, apakah kau ingin berbicara dengan saudara perempuanmu yang tidak berhenti mengutukmu sejak hari aku menembak pria bangsat itu?" ucap Husam dengan geram, cengkramannya di pinggang Sadia mengeras selama beberapa detik."Malik adalah pria yang baik!" Sadia tak terima dengan perkataan Husam."Apakah kau memang senang membuatku marah?" ucap Husam geram, cengkramannya di pingga
Pagi itu Alya terbangun dari tidurnya. Ia melirik tirai jendela kamarnya yang ditembus cahaya redup mentari di luar sana. Ia merasa sudah lapar. Dengan langkah gontai ia menuju dapur lalu membuka tudung nasi. Kosong! Tak ada apa-apa di sana. Tak seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi makanan selalu sudah tersaji karena Sadia yang memasaknya."Anak tidak tahu diuntung!" Ia menggerutu sambil melirik pintu kamar Naya yang masih tertutup rapat.Duak! Duak! Alya menendang-nendang pintu kamar itu, membuat gadis yang sedang tertidur di dalamnya terjingkat kaget."Ada apa, Bi?" Sahut Naya dari dalam kamar sambil bergegas membukakan pintu. Ia terbelalak melihat mata bibinya yang tengah memelototinya seolah matanya akan terlepas dari tulang tengkoraknya.Bukannya jawaban yang Naya dapatkan, namun sebuah jambakan keras di kepalanya yang membuat tubuhnya terhuyung ke luar kamarnya."Aaaaw!" Gadis itu memekik kesakitan sambil menatap bibinya dengan terkejut seolah tak percaya. Bibi yang selama i
"Jika kau mati, maka kita akan mati bersama," kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepala Sadia sebelum akhirnya mata cantiknya tertutup sempurna. Terlihat senyuman di sudut bibirnya ketika kepalanya tergulai lemas di dada Husam, pria itu juga perlahan menutup matanya. "Tuhan, jangan lakukan ini padaku. Aku tak bisa hidup tanpanya." Air mata merembes membasahi pipinya. Ia masih bisa mendengar orang-orang meneriakkan nama mereka, sebelum akhirnya, semuanya menjadi gelap gulita, kegaduhan di sekitarnya tak terdengar lagi. Entah berapa lama semuanya menjadi gelap.Hingga setengah entah berapa lamanya, ia melihat seberkas cahaya menyilaukan memasuki matanya dengan paksa kemudian mendengar detakkan jantung yang tak beraturan. Sakit! Itu yang ia rasakan saat ini, matanya belum puas terpejam untuk meninggalkan dunianya yang kejam."Sepertinya dia sudah sadar!" Lamat-lamat Sadia mendengar suara seorang wanita."Ya Allah. Terimakasih!" Terdengar suara wanita lainnya. 'Kenapa mereka tak mem
Flashback On"Yang itu! Akan kucoba." Husam meneguk cairan cokelat keemasan itu dan merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya.“Kak, ayo pulang. Kita sudah mencoba selama beberapa jam. Ini hanya membuktikan bahwa kau sudah tua sekarang," ucap Ken. Husam menatap tajam ke arah Ken yang membuang muka dengan seringai dan meminum vodkanya sekaligus dalam satu tegukan. "Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak percaya kita melakukan ini. Kita bahkan tidak terlihat seperti Mafia." Ken mengeluh, di saat Husam mengamati kerumunan untuk mencari gadis yang cocok."Diam saja dan biarkan aku berpikir," ucap Husam geram. "Beri aku satu kesempatan lagi," pintanya.Ken berbicara kepada bar tender lalu kemudian kembali pada Ken. "Kau tahu, ini ide bodoh! Betapa tidak masuk akalnya kau? Ayo lompat ke rencana B." "Dia akan mulai membenciku. Itu saja yang aku inginkan. Aku tidak ingin dia ..." Husam menggantung kata-katanya ketika seorang gadis pirang datang menyapanya."Halo tampan. Keberatan jika a
Sadia berdiam diri di kamar hingga berjam-jam, memikirkan bagaimana cara untuk menghadapi Husam, terutama untuk memikatnya. Sikap Husam akhir-akhir ini benar-benar mengacaukan pikiran Sadia. Ia bersikap seolah ingin Sadia menjauhinya, namun matanya memohonnya untuk tetap bersamanya.Sadia tak mengerti mana yang benar. Namun yang ia tahu, Husam tak pernah lagi selingkuh, ia tak pernah lagi tidur bersama wanita lain. Dan itu sudah cukup sebagai bukti bagi Sadia bahwa Husam mencintainya.Setelah Sadia selesai melaksanakan shalat Isya, ia kembali menunggu Husam. Sadia merasa ia harus melakukan sesuatu untuk membuatnya menyatakan cintanya padanya, atau setidaknya menunjukkan padanya bahwa ia tertarik padanya. Sadia memikirkan cara untuk memikatnya dan muncullah sebuah ide konyol. Ia memutuskan untuk merayu Husam.Tak ada salahnya, bukan? Seorang istri boleh merayu suaminya, bukan? Sadia menarik napas dalam-dalam sambil menatap bayangannya sendiri di cermin. Sadia tidak tahu bagaimana cara
FLASHBACK ON“Ada apa Bu?” tanya Husam begitu memasuki kamar tamu.Husam melihat ibunya berdiri menatap keluar jendela. Wanita itu dengan cepat membalikkan badannya begitu menyadari kehadiran Husam. Terlihat bulir-bulir keringat menetes dari pelipisnya."Husam, aku ingin kau tahu sesuatu," ucapnya. Suaranya terdengar gelisah, ia tampak gugup. Husam mengernyitkan dahinya.Risa beranjak duduk di tempat tidur. Husam mendekatinya, lalu berlutut di depannya. Tak peduli apapun yang telah wanita itu lakukan, bagi Husam ia tetap ibunya dan ia masih mencintainya."Ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja, Bu? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Husam.Risa terlihat kaget saat mendengar Husam kembali memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Husam memanggilnya ibu.Husam sadar, biar bagaimanapun, ia harus tetap memperbaiki hubungannya dengan ibunya. Ia ingin semuanya kembali seperti semula. Dengan begitu, Sadia akan ikut senang melihat suaminya kembali dekat dengan
"Perlakukan dia dan ambilkan aku semua foto dari pesta itu. Aku ingin pengkhianat sialan itu di bawah kakiku,"Ancam Husam sambil menangkup wajah Zauq yang hampir tidak sadarkan diri dengan kedua tangannya. Ia menekan jari-jemarinya dengan kuat agar pria itu tetap sadar. “Dan sebaiknya kau jangan berbohong atau aku akan membunuh keluargamu dulu, dan selanjutnya kau. Aku akan menyiksa mereka tepat di depan matamu sampai kau tidak bisa lagi menerimanya dan memohon padaku untuk mempercepat kematianmu," ucap Husam sambil mendorong wajah kasar tawanannya itu sebelum akhirnya ia melangkah pergi menjauh dari sel.Husam ingin semua anak buahnya mengerti betapa kejamnya dirinya yang sebenarnya. Mereka harus melihat betapa berbahayanya dirinya terhadap orang-orang yang mengkhianatinya. Ia ingin hal ini akan menjadi pelajaran untuk mereka semua. Ia menyebut dirinya sebagai monster dan ia bangga dengan sebutan itu. Ia tak akan pernah membiarkan satu orang pun menghalangi apa yang ingin ia lakukan.
"Kak Husam .. Kami mendapat masalah. Kau harus segera datang ke markas ruang bawah tanah." Terdengar suara Dian, salah satu sahabat Husam melalui sambungan telepon yang ia genggam di telinganya."Oke, aku akan ke sana," jawabku Husam.Dian adalah komandan kedua Husam. Mendengar nada suaranya yang begitu panik, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat buruk. Husam menjadi ikut panik. Udara di sekitarnya terasa menjadi panas.Matanya kembali menatap sosok cantik yang tertidur lelap di tempat tidurnya. Bulu matanya yang lentik terlihat begitu indah tersemat di bawah kelopak matanya. Dadanya turun naik seiring nafasnya yang ringan. Selimut putih menutupi separuh tubuhnya, menyembunyikan lekuk tubuhnya.Ia merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Ia ingin segera merengkuh wanita itu dalam pelukannya lalu tidur bersamanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan hendak mengecup lembut dahinya, namun ia tak bisa merasakan kulit lembutnya karena yang ada di depannya kali ini hanyalah sebuah la
"Jangan berani menyentuh barang-barangku lagi!" ucap Husam ketus, mengabaikan pertanyaan terakhir Sadia.Pria itu berjalan ke samping lemari untuk mencari sesuatu, membuat Sadia menjadi kesal. Ia bergegas berjalan menghampirinya lalu membalikkan bahunya sehingga ia bisa menghadapnya."Jangan ganti topik. Aku ingin jawaban. Aku telah menanyakan sesuatu dan kau harus menjawabnya!" ucap Sadia setengah berteriak, mencoba membuat Husam takut. Namun, pria itu justru bersikap seolah sama sekali tak mendengarnya."Jangan terlalu percaya diri. Aku punya kamera di seluruh ruangan di rumah itu. Bukan hanya di kamarmu! Aku mencoba mencari pengkhianat itu, dan dia bisa jadi siapapun yang tinggal di rumah itu," ujar Husam. Suaranya mengandung kebencian. Rasa sakit terpancar dari mata Sadia, ia mengedipkan matanya dengan cepat agar air matanya tak jadi tumpah."Aku sama sekali tak ingin memperhatikanmu!" Husam membuang muka, mengabaikan air mata di mata Sadia."Aku sudah memberitahumu. Aku hanya be
Keesokan harinya Sadia terbangun dengan kepala terasa pusing. Ia tidak benar-benar tidur semalam. Ia tidur hanya sekitar satu setengah jam saja. Sakit yang ia rasakan dalam hatinya membuatnya gelisah sepanjang waktu. Naya tidur di kamar lain, dan Sadia menangis sendirian sepanjang malam, bahkan ketika matanya sudah terlelap, tangisnya belum berhenti mengalir "Aku harus bertanya pada ibu mertua, apa yang sebenarnya terjadi? Jika Husam tak mau memberitahuku, maka aku harus mencari tahu sendiri," ucap Sadia memutuskan.Dalam sujudnya pagi ini, ia masih menangis, meminta pada Tuhannya agar hari ini ia menerima sesuatu yang baik. Kata-kata Husam kemarin benar-benar membuatnya hancur.Setelah ia selesai menunaikan ibadahnya, Sadia bergegas ke kamar Naya, ternyata ia masih tidur. Sadia pun bergegas ke dapur untuk meminum segelas susu. Ia merasa begitu lemah dan lelah, ia membutuhkan energi untuk mengembalikan tenaganya. Sepagi itu, biasanya dapur masih kosong dan terkunci karena belum ada y
Sadia merasa begitu bersemangat membawa nampan berisi semangkuk mie ayam itu ke kamar Husam."Dia pasti akan menyukainya," gumamnya. Ia mengetuk pintu kamar Husam beberapa kali hingga akhirnya ia mendengar suara dari dalam."Masuk." Suara Husam terdengar serak.Sadia menghela napas dalam-dalam sebelum ia mendorong pintu itu yang tak lagi terkunci. Perlahan pintu itu terbuka dan pemandangan yang Sadia lihat di depannya membuatnya benar-benar terkejut. Semua barang berserakan di lantai. Husam memang sering melakukan itu ketika ia sangat marah. Tapi, setahu Sadia, Husam sangat menyukai kamar ini karena kamar ini merupakan hadiah dari ayahnya untuk ibunya. Kali ini sepertinya Husam benar-benar marah hingga ia sampai menghancurkan kamar kesayangannya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi hari ini.Sadia menatap punggung Husam yang membelakanginya. Terlihat sebatang rokok terjimpit di jemarinya. Perlahan Sadia melangkahkan kakinya dengan hati-hati karena tak ingin kakinya terluka karena pe
Sadia tak lagi bersemangat untuk bermain bulutangkis setelah Husam pergi. Ia sedari tadi hanya berdiri di sudut. Pandangan matanya seolah memperhatikan Naya dan Ken, namun pikirannya entah di mana. Ia menunggu Husam kembali hanya agar ia bisa mengagumi ketangkasan dan ketampanannya sekali lagi."Sadia, kenapa diam saja?" tanya Ken melihat wanita itu tak merespon bulutangkis yang baru saja ia arahkan padanya. Sadia terdiam, membuat Ken terpaksa berkata lagi. "Ayo, bermain lagi!" ucapnya, namun Sadia tak menghiraukannya.Sadia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah, sambil sesekali menatap ke arah pintu rumah, berharap pria itu muncul dari sana. Tapi tak ada. Sekitar dua puluh menit sudah berlalu, dan sama sekali tak ada tanda-tanda Husam akan datang. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi dan kembali ke kamarnya."Naya, ayo kembali ke rumah sekarang. Kau harus istirahat. Kau belum boleh terlalu kelelahan." Sadia meminta adiknya untuk ikut. Naya terlihat menghela napas kesal namun mau tak mau