"Halo, Arthur." Hening sesat, sebelum akhirnya terdengar suara rendah Arthur. "Aileen, maaf mengganggumu." "Iya. Ada apa?" "Kau sedang di mana? Aku tadi mencarimu, Bibi Nian bilang kau dan Christian belum kembali." Aileen mengangkat kepala dan menatap Christian yang sejak tadi fokus mendengarkan percakapan mereka. "Aku sedang di luar bersama Christian." "Oh, jadi seperti itu. Kapan kau kembali? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." "Apa?" "Tidak bisa bicara di telpon, harus bertemu." "Aku belum tau kapan akan kembali." Aileen mendadak menarik napas pelan saat melihat raut wajah Christian mulai berubah menjadi suram. "Baiklah, kita bicara setelah kau kembali." "Ya." Saat Aileen akan mematikan telponnya, Arthur tiba-tiba berbicara, "Aileen, kau baik-baik saja, kan?" Aileen menarik senyuman paksa di bibirnya, meskipun Arthur tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja. Kenapa?" "Tidak apa-apa. Aku hanya mencemaskanmu. Jangan kesehatanmu, makan yang bergizi dan teratur. Janga
"Apa kau mengantuk?" tanya Christian sembari menunduk pada Aileen yang sedang memeluk tubuhnya di dalam selimut."Sedikit." Aileen semakin merapatkan tubuhnya pada Christian, mencari kehangatan karena suhu di kamar itu tiba-tiba terasa sangat dingin. Dia baru merasakan kehangatan setelah kulit keduanya menempel tanpa penghalang."Kalau begitu, tidurlah. Kau pasti lelah." Christian membenahi posisi kepala Aileen yang berada di lengan kirinya agar dia merasa nyaman."Nanti dulu." Aileen mendongak dan sedikit menjauhkan tubuhnya agar bisa melihat wajah suaminya dengan jelas. "Aku ingin menjelaskan padamu soal Arthur.""Besok saja, sekarang lebih baik kau tidur." Christian kembali menarik kepala Aileen dengan lembut. "Maafkan aku tadi. Aku tidak bisa mengontrol diriku."Aileen mengangguk, kemudian memeluk tubuh Christian dari samping seraya menempelkan wajahnya di dada suaminya. "Aku tidak mau menunda sampai besok. Aku ingin menjelaskan sekarang."Dia tidak mau menunda lebih lama lagi aga
Aileen menggeliat ketika merasakan sekujur tubuhnya sakit dan pegal. Dia baru tertidur selama beberapa jam. Namun, tiba-tiba terbangun pukul 4 pagi ketika merasa haus. Dengan gerakan pelan, Aileen mencoba untuk bangun dan meraih gelas yang ada di sebelah kanannya.Sambil meringis, dia meneguk minumannya hingga tersisa setengah, kemudian kembali meletakkan gelas di atas nakas. Ketika dia berbalik, Christian tampak masih tertidur dengan wajah lelah.Bagaimana tidak lelah, semalam setelah mengobrol, mereka kembali melakukannya lagi. Beruntung, kehamilannya sudah memasuki tri mester kedua, jadi Aileen tidak terlalu khawatir saat suaminya kembali menyentuhnya.Aileen tidak berani menolak keinginan suaminya karena takut sang suami curiga. Aileen belum memberitahukan pada Christian mengenai kehamilannya. Semalam, ketika Christian bertanya mengenai hadiah apa yang akan diberikan padanya, Aileen hanya menjawab kalau Christian akan tahu nanti di hari ulang tahunnya.Aileen meminta suaminya untu
"Minta orang dalam untuk selalu mengawasi pergerakannya. Jika ada yang janggal, meskipun hanya sedikit, minta dia langsung melaporkan pada kita.""Baik, Tuan Muda," jawab Ken sembari mengangguk. "Lalu, apa yang akan kita lakukan pada Tuan Vano?""Biarkan saja, tapi tetap awasi dia. Aku ingin tahu, apa yang akan dia lakukan setelah bertemu dengan Bibiku.""Tuan Muda, apa tidak sebaiknya kita menekan Tuan Vano agar dia mau bicara?""Tidak perlu. Bibiku pasti sudah menutupmu mulutnya dengan rapat. Yang perlu kau urusi adalah temukan segera orang kepercayaan Bibiku. Aku belum bisa tenang jika dia belum di temukan.""Saya rasa, dia sudah keluar kota atau keluar negeri dengan cara memalsukan identitasnya. Itu sebabnya, orang kita belum juga menemukannya.""Mungkin saja. Tapi, aku tidak mau tahu, lakukan segala cara untuk menemukannya. Jika perlu, temui Tuan Baron dan minta dia cari orang itu. Selama dia bisa menangkap orang itu, aku akan memberikan berapa pun yang dia minta.""Baik, Tuan Mu
"Kenapa sudah pulang?" Aileen menatap heran pada Christian yang baru saja memasuki ruangan keluarga ketika dirinya sedang menikmati makanan yang tadi dia beli melalui layanan antar. "Kau bilang akan pulang sore tadi." Bukannya menjawab pertanyaan Aileen, Christian justru menanyakan hal lain. "Kenapa tiba-tiba menelponku?" Saat sedang mengobrol dengan Arthur, tiba-tiba saja Aileen menelponnya dan menanyakan sedang di mana dan pulang jam berapa. Setelah Christian menjawab, Aileen tidak bertanya apa-apa lagi. Christian akhirnya bertanya, kenapa Aileen menelponnya dan Aileen hanya menjawab kalau dirinya berencana keluar. Jadi, dia ingin meminta izin pergi sebentar. Namun, langsung dilarang oleh Christian. Aileen pun tidak jadi menemui Ayah Tiffany karena tidak berani melanggar larangan Christian. "Aku hanya merasa bosan." Sebenarnya, alasan Aileen menolak untuk bertemu dengan Ayah Tiffany adalah karena dia tidak diizinkan datang bersama Christian. Hal itu, tentu saja menimbulkan kec
"Dari mana saja kau, kenapa lama sekali?" tanya Christian pada Daniel yang baru saja memasuki bar dan sedang berjalan ke arahnya. "Kakak Li, aku ini bukan pengangguran yang setiap waktu bisa datang ketika kau panggil. Aku baru saja melakukan operasi ketika kau menelponku. Aku langsung ke sini setelah itu." "Itu masalahmu, bukan masalahku." Daniel berdecak kesal, ingin marah pada Christian Li. Namun, tidak berani meluapkan rasa kesalnya. Jadi, dia hanya bisa menggerutu dalam hati. “Lagi pula, kenapa tidak datang ke rumah sakit saja? Kita bisa bicara di ruanganku. Kau juga bisa menjenguk Tiffany sekaligus.” “Aku akan bertemu dengan seseorang setelah ini.” Usai duduk di samping Christian Li, Daniel memesan minum, kemudian meneguk air itu dengan cepat, baru setelah itu mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Ada apa mencariku?" tanya Daniel setelah menyandarkan punggungnya di sofa. Dia kembali menenggak minuman di depannya karena merasa sangat haus. "Aku ingin memiliki anak.” Da
"Tuan Li, maaf sudah membuatmu menunggu."Pria yang sedang menyapa Christian adalah mantan kekasih Aileen, Filbert.“Kita bicara di sana,” tunjuk Christian pada meja yang berada di sudut ruangan yang pencahayaannya sedikit redup.Keduanya pun pindah ke meja tersebut dan duduk saling berhadapan. Christian tampak menyandarkan punggungnya dengan kaki menyilang, sementara Filbert duduk dengan tegak.“Tuan Li, ada hal penting apa sampai kau mengajakku bertemu di sini?” tanya Filbert akhirnya setelah terdiam selama beberapa detik.“Ini mengenai Aileen."Raut wajah Filbert yang semula tenang, tampak berubah usai mendengar nama itu. "Ada apa dengan Aileen?"Sedikit ada kecemasan dalam nada bicara Filbert yang ditangkap Christian ketika pria di depannya bertanya mengenai istrinya. Meskipun begitu, Christian masih tetap terlihat tenang."Aku dengar dari istriku, kau mengajaknya bertemu beberapa hari yang lalu.”Beberapa hari yang lalu, Filbert memang menghubungi Aileen dengan nomor baru dan men
"Christian, ada apa?" Aileen menatap heran pada suaminya setelah tautan keduanya terlepas. Christian hanya diam. Dia mengatur napasnya yang tidak beraturan seraya menunduk menatap mata teduh Aileen. "Christian, ada apa denganmu?" tanya Aileen lagi karena tidak mendapatkan jawaban juga dari suaminya setelah beberapa detik berlalu. Bukannya menjawab, Christian justru menanyakan hal lain. "Kenapa kau memakai baju seperti ini?" Christian menatap Aileen yang sedang mengenakan tank top tali belakang leher beserta celana pendek yang nyaris sebatas pangkal paha. Rambut panjangnya digelung ke atas dan diikat tinggi memperlihatkan leher jenjangnya, membuat penampilannya terlihat seksi. "Aku merasa gerah. Memangnya kenapa?" Belakangan ini, saat berada di dalam rumah, Aileen sering mengenakan pakaian yang lebih terbuka dari itu, malam pun selalu mengenakan pakaian tidur tipis yang nyaris transparan dan Christian tidak pernah berkomentar. Jadi, merasa heran, kenapa tiba-tiba Christian m
“Arthur, mari bercerai.” Arthur seketika membeku ketika mendengar itu. “Cerai?” Calina mengangguk. “Tiffany sudah kembali, kau juga sudah sembuh, sudah saatnya aku mundur.” Meski hatinya saat ini sangat hancur, tapi Calina berusaha keras untuk tetap bersikap tenang di depan pria yang kini sudah sepenuhnya mengisi hatinya. Ya, Calina sudah jatuh cinta pada pria yang dia nikahi berapa tahun lalu. Meski, di awal dia tidak memiliki perasaan apa pun, tapi nyatanya cinta perlahan tumbuh seiring kebersamaan mereka selama bertahun-tahun. “Apa Tiffany mendatangimu?” “Tidak," jawab Calina. “Lalu, kenapa tiba-tiba ingin bercerai?” Calina mengepalkan tangan dengan kuat demi menahan agar air matanya tidak keluar. “Aku tahu kau masih mencintai Tiffany. Aku tidak ingin menjadi penghalang cinta kalian.” Arthur tampak terdiam. Namun, tatapan masih tertuju pada iris Calina. “Selain Tiffany, apa ada alasan lain yang melatarbelakangi kau ingin bercerai denganku?” "Maksudmu?" "Apa kau sudah menem
Belum sempat mobil terparkir dengan benar, Jayden sudah keluar dengan langkah terburu-buru dengan ekspresi suram. “Bu, di mana Ayah?” tanya Jayden pada Aileen yang sedang duduk di ruangan keluarga dengan Alicia dan Steven “Ada di ruangan kerjanya, ada ...” Belum selesai Aileen bicara, Jayden sudah berjalan menuju ruangan kerja sang ayah yang berada di lantai bawah. Tanpa mengetuk, dia langsung membuka pintu dengan kasar, membuat Christian dan Ken yang berada di dalam ruangan itu terkejut dan menoleh bersamaan. “Jayden, apa kau sudah lupa cara mengetuk pintu? Di mana sopan santunmu?” tegur Christian. Jayden yang sudah terlanjur emosi, mengabaikan teguran sang ayah dan bertanya dengan marah, “Kenapa ayah menggusur pekampungan itu?' Christian mengerutkan kening sebentar, kemudian bertanya, "Perkampungan apa?" "Jangan pura-pura tidak tahu," jawab Jayden, "Perkampungan yang berada di selatan kota, itu tanah milik Li's Corp, kan?" Sebelum menjawab pertanyaan sang putra, Chris
“Kakak, kau datang lagi?” Gadis kecil penjual kue itu langsung berlari ketika melihat Jayden sedang berjalan ke arah minimarket. “Hhmm,” gumam Jayden Li seraya mengangguk ringan. Seperti biasa, dia hanya menampilkan ekspresi biasa ketika berbicara dengan siapa pun. Berbeda sekali dengan gadis kecil yang berada di hadapannya itu, matanya tampak berbinar dan senyuman sangat lebar ketika menyambut kedatangannya. “Kak, maaf, kueku hari ini sudah habis. Tadi ada Paman baik hati yang membeli semua kueku,” ujarnya dengan wajah riang. Senyuman begitu polos, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas. “Lihatlah. Sudah tidak tersisa.” Dengan antuasias gadis kecil itu menunjukkan wajah kue yang biasa gunakan untuk meletakkan kue kukusnya. Jayden melirik sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap gadis di depannya. “Aku ke sini untuk membeli sesuatu di dalam,” jawabnya datar. Gadis itu mengangguk tanda mengerti. “Oh, seperti itu.” Dia pikir Jayden datang untuk membeli kuenya, karena b
"Sudahlah. Untuk apa juga aku perhitungan dengan anak kecil sepertimu."Daniel berlalu dari sana dan mendekati gadis kecil yang tampak sedang menunduk. Sebelum memeriksa gadis kecil itu, Daniel memanggil salah satu perawat yang ada di sana untuk mendekat.Jayden Li yang semula duduk dengan acuh tak acuh, akhirnya mendekat ketika melihat Daniel mulai mengobati gadis kecil itu.Ketika Daniel sedang membersihkan luka di bibir gadis itu, tampak dia mengigit bibir bawahnya seraya mengerutkan wajah.“Sakit?” Jayden Li yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bertanya pada gadis kecil itu.“Tidak, Kak.”Melihat senyuman gadis itu yang begitu lebar, entah mengapa justru membuat sudut hati Jayden terasa sakit.Kenapa gadis di depannya tidak menangis dan justru tersenyum? Sudah jelas itu sakit, tapi gadis di depannya tidak mengeluh sedikit pun.Jika itu terjadi pada adiknya, bisa dipastikan akan terjadi kehebohan di rumah sakit itu. Adiknya pernah tidak sengaja terjatuh dan itu membuat kehebohan di
“Bangunlah.”Gadis kecil yang semula masih meringkuk, perlahan bangkit dibantu oleh Jayden Li usai ketiga preman itu dibuat tumbang dan babak belur.“Apa kau tidak apa-apa?”Gadis itu mengangkat kepala setelah membersihkan bajunya yang kotor. “Aku tidak apa-apa, Kakak. Terima kasih sudah menolongku.”Melihat gadis itu tersenyum lebar dengan wajah polosnya, Jayden seketika tertegun. Dia menatap gadis di depan dengan alis yang hampir menyatu.Dia tersenyum?Setelah diinjak-injak dan dibuat terluka, dia masih bisa tersenyum selebar itu.Bagaimana bisa? Padahal, di wajahnya terdapat beberapa luka memar dan di bagian bibir bawahnya tampak mengeluarkan cairan merah. Sepertinya ada luka robek di bagian bibirnya. Tidak hanya itu, di bagian pelipis gadis kecil itu pun terdapat luka berupa garis memanjang yang juga mengeluarkan sedikit darah.Dengan umur seusainya, sangat wajar jika dia menangis histeris, tapi gadis kecil di depannya itu justru tersenyum. Jangankan menangis, mengeluh sakit pun
“Tuan Muda, silahkan.” Pengawal pribadi Jayden Li membuka pintu belakang setelah melihat anak bosnya keluar dari tempat latihan bela diri.Jayden mengangguk dengan wajah datar, kemudian memasuki mobil dan duduk di kursi belakang.“Paman Rai, berhenti di depan. Aku ingin membeli sesuatu.”Rai, asisten pribadi Jayden yang sedang mengemudi mengangguk, kemudian menepikan mobil mereka di minimarket yang berada di sebelah kanan jalan. Mobil yang hitam yang sejak tadi mengikuti mobil Jayden Li ikut berhenti di belakangnya. Mobil sedan hitam itu berisi 4 orang pengawal berbadan tegap yang secara khusus ditugaskan untuk mengikuti Jayden Li ke mana pun dia pergi.“Paman Rai, kau di sini saja, aku hanya sebentar," ucap Jayden setelah tiba di depan pintu minimarket.“Tapi, ....” Rai ingin menolak, tapi Jayden kembali angkat bicara, “Tidak sampai 5 menit, aku sudah keluar. Jadi, Paman tunggu di sini saja.”Jayden membalik tubuh, kemudian meraih pintu dan masuk ke dalam. Tidak jauh dari minimarket
“Kalau begitu, bagaimana kami bisa masuk ke perut Ibu?" Qarina menahan tawanya, semetara Christian dan Aileen saling melirik dengan ekspresi bingung. “Kalau untuk itu, silahkan tanyakan pada Ayah." Karena dia sendiri bingung, bagaimana harus menjelaskan pada Steven agar dia bisa mengerti. “Ayah, katakan padaku, bagaimana bisa kami masuk ke perut Ibu?” Christian yang ditanya seperti tampak berpikir keras. Cukup lama dia terdiam sampai akhirnya dia membuka suara, “Karena Ayah rajin menyuntikkan vitamin pada Ibu.” Steven menggaruk kepalanya karena tidak mengerti dengan penjelasan sang ayah. “Jadi, Ayah seperti Paman Daniel yang suka menyuntik orang sakit?” Karena merasa terjebak dengan jawabannya sendiri, Christian menjadi bingung sendiri harus bagaimana menjelaskan pada sang putra agar dia mengerti dan tidak bertanya lagi. “Tidak sama. Kau masih kecil, Ayah jelaskan pun kau tidak akan mengeti. Tunggu kau besar, nanti kau juga akan tahu,” Itu adalah jawaban yang paling aman agar St
"Kenapa baru pulang?" Aileen menghampiri Christian yang baru saja memasuki kamar. "Alicia sejak tadi menangis mencarimu." Sejak dua hari yang lalu, Christian berada di luar untuk meninjau anak perusahaan mereka yang berada di kota sebelah. "Maaf, Sayang. Pesawatku delay." Seharian ini, dia memang tidak sempat menghubungi Aileen. Biasanya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan panggilan vidio agar bisa berbicara dengan sang putri yang memang sejak dulu sangat dekat dengannya. Alicia memang lebih dekat dengan Christian dibandingkan dengan Aileen. Itu karena Christian sangat menyayangi Alicia dan selalu memanjakannya, hingga terkadang membuat Steven menjadi iri. "Dia sudah tidur?" tanya Christian seraya membuka kancing kemejanya. "Sudah. Dia menangis selama 1 jam dan tidak mau berhenti meski aku sudah membujuknya berkali-kali. Dia marah karena tidak bisa bicara denganmu." "Kalau begitu, aku akan melihatnya setelah mandi." "Apa kau ingin berendam?" Karena Christian baru saja melak
“Sayang, aku lapar." Aileen berucap seraya mengalungkan tangannya di leher Christian. Keduanya saat ini sedang berada di kolam di dalam kolam renang. Semenjak hamil, setiap pagi atau sore hari, Christian akan menemani Aileen untuk berenang selama kurang lebih 15 menit.“Kau ingin makan apa, Sayang,” tanya Christian seraya merapihkan rambut Aileen di bagian depan.“Aku ingin makan nasi goreng.”“Baiklah. Ayo, kita naik.” Setelah Christian meraih tubuh Aileen dan menggedongnya, dia berjalan menuju anak tangga yang berada di tepi kolam.“Tapi, aku ingin kau yang membuatnya.”Baru saja akan menapakkan kaki di anak tangga bawah, Christian tiba-tiba menarik kembali kakinya. “Aku tidak bisa masak, Sayang. Bagaimana kalau rasanya tidak enak?”“Tidak apa-apa. Aku akan mengajarimu.”“Baiklah.”Setibanya di atas kolam, Christian menurukan Aileen dengan hati-hati, lalu memakaikan bathrobe. Baru setelah itu, keduanya berjalan menuju ruangan bilas yang berada tidak jauh dari kolam renang. Usai me