part satu
Pukul 06:30 WIB
Hari ini matahari tampak malu-malu untuk memancarkan sinarnya. Lumayan mendung. Semendung hatiku yang kemarin baru saja habis putus sama pacar. Eh ralat, maksudnya mantan pacar. Ketika kesetiaan telah terkhianati, ya jalan satu-satunya adalah putus. Putus dari orang yang udah dua tahun ini menjadi pacarku. Menghiasi hari-hariku yang yah ... itu-itu saja. Menemaniku kemana pun aku pergi.
Kupikir dia laki-laki yang setia, tapi nyatanya sama saja dengan yang lainnya. Suka mengatakan cinta pada pasangannya hampir di setiap harinya, namun gemar juga melirik wanita yang berbeda, menebarkan pesona seakan-akan dia adalah lelaki paling sempurna.
Cih! Harusnya dulu aku tak termakan bujuk rayunya. Padahal jelas-jelas dia adalah mahasiswa jurusan sastra yang sudah pasti pandai berkata-kata. Bodohnya diriku yang waktu itu dibutakan oleh cinta. Andai saja aku dulu tak tertarik akan pesonanya, tak akan aku menjatuhkan hatiku untuknya. Dengan begitu pasti tidak akan ada sejarah kalau aku pernah menjalin hubungan dengannya. Dan sudah pasti dari kemarin sampai hari ini aku tak harus melewati fase patah hati.
Sebenarnya aku tak begitu patah hati dengan keputusanku untuk mengakhiri hubungan dengannya setelah tahu bahwa ia berselingkuh. Tapi, yang namanya pernah bersama pasti ada lah sedikit saja rasa sedih di hati. Meski dari kemarin setelah putus, aku tak sedikit pun meneteskan air mata. Bingung? Ya ... aku juga. Bingung pada diriku sendiri, di satu sisi aku mengakui bahwa ada namanya di hati, tapi di sisi lain aku tak bisa menangisi. Ah sudahlah nggak perlu lagi diperinci lagi isi hati ini.
Dari pada terus-terusan memikirkan mantan yang sama sekali unfaedah, lebih baik baca novel yang kemarin kubeli di salah satu toko buku favoritku. Setelah tragedi putus hubungan, aku langsung pergi ke toko buku. Nggak ada drama air mata yang mengalir di pipi selama perjalanan dari TKP pemutusan mantan menuju toko buku. Jangan dikira aku ini cengeng yah. Big No untuk menangisi hal seremeh itu.
Sambil rebahan, aku mulai membuka novel, membaca dari halaman ke halaman. Kebetulan ini hari Minggu, jadi sangatlah tepat waktunya untuk bermalas-malasan. Apalagi cuaca yang mendung ini, sangatlah cocok untuk memanjakan kaum rebahan sepertiku.
Tok ... tok ... tok ...
"Key ...." Mama mengetuk pintu sambil menyenandungkan namaku.
Biasa sih, Mama memang hobinya membangunkanku pagi-pagi, bahkan bisa lebih pagi lagi dari hari ini kalau aku sedang tak menstruasi. Tapi karena Mama tahu aku lagi mens, maka beliau baru membangunkanku. Sebenarnya aku yang tadi malem pesen buat dibangunin agak siang. Hehehe ...
"Iya Ma ... Key udah bangun kok," teriakku yang masih tak mau mengalihkan pandangan mataku pada novel di tanganku.
"Ya terus kenapa nggak keluar-keluar?" Dih, mama kayak nggak tahu kebiasaan anak gadisnya aja.
"Males ah, hari ini kan libur," sahutku.
"Kamu itu ya, perawan-perawan bukannya bangun pagi bantuin mama di dapur, eh malah males-malesan." Nah ... setiap pagi pasti selalu deh keluar kata-kata andalan mama yang itu.
"Hmmm ...." Aku hanya bergumam tak jelas. Maafkan anakmu yang nggak tahu diri ini ya Ma.
"Key, buka pintunya ih." Mama masih mengetuk pintu kamarku. Kalau belum dibukain, ya gitu, pantang menyerah membuat anaknya turun dari ranjang.
"Iya, iya." Aku bangun dari posisi rebahan tadi, kemudian menaruh novel di bawah bantal. Jangan tanya kenapa, karena Mama pasti bakalan marah-marah kalau aku beli novel baru. Katanya pemborosan. Setelah itu pasti novelnya disita. Tersebab itu aku harus pintar-pintar menyembunyikan novel yang dengan susah payah aku beli dengan mengumpulkan sisa uang jajan dari Mama yang sebenarnya tak seberapa. Bahkan kadang aku rela tidak jajan untuk beberapa hari, saking kepinginnya beli novel. Maklum lah, orang tuaku bukan termasuk orang kaya.
Aku beranjak dari ranjang menuju pintu kamarku, dan kemudian membukanya. Terpampang jelas Mama yang sedang berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang, tak lupa juga wajah garang yang coba mama perlihatkan.
"Hehe ... Mama." Aku nyengir di hadapan Mama, tidak tahu kan ya harus berbuat apa.
"Hehe ... Mama." Mama menirukan ucapanku dengan bibir yang sengaja dibuat-buat. Setelah itu Mama mencebikkan bibirnya.
"Duh! Jadi gemes deh sama Mama," ucapku dengan cengiran khasku.
"Kamu itu ya, udah dibilangin kalau udah bangun tidur, udah sholat subuh, langsung bantuin mama di dapur," ucap Mama sambil menjewer telinga kiriku. Mungkin saking kesalnya.
"Aw ... sakit Ma," tuturku sambil mencoba melepaskan tangan Mama dari telingaku. Dan berhasil terlepas juga.
"Makanya kalau di-- emmmph ...." Aku menghentikan ucapan mama dengan tanganku untuk membekapnya. Biarin lah kalau dikatain kurang ajar. Lagian pagi-pagi udah ngomel aja, mana anaknya lagi patah hati juga.
Sekali lagi maafkan anakmu yang kurang ajar ini ya.
"Nggak baik Ma, pagi-pagi udah ceramah, ntar dikira tetangga, Mama mau nyaingin Mamah Dedeh, hehe ...." Aku melepaskan tanganku yang tadi membekap mulut Mama.
"Nggak lucu!" Mama menyedekapkan tangannya di dada. Alamat ngambek nih.
'Ayo Key, ambil hati Mama'
"Aduh ... Mamanya Kay yang paling cantik, jangan ngambek dong, nanti cantiknya ilang lagi," ucapku sambil menjawil dagu Mama dan mendekap Mama dari samping.
"Biarin!" Mama melengos. Pertanda mode ngambeknya belum selesai.
"Ih, kalau nggak cantik nanti papa berpaling lho," godaku.
Sebenarnya itu sama sekali tidak mungkin. Karena aku tahu banget kalau Papa adalah laki-laki yang paling setia, dan bucin banget sama Mama.
Mama masih bergeming.
"Eh, nggak ding, Mama kan cinta matinya Papa, wanita teristimewa-nya Papa, yang bisa bikin Papa klepek-klepek, apalagi kalau pas Mama lagi senyum, beh ... ! Tambah jatuh cinta banget Papa sama Mama."
Mendengar godaanku, Mama pun tersenyum. Yes! berhasil. Artinya Mama nggak ngambek lagi, dan aku terbebas dari hukuman didiemin Mama.
"Apaan sih kamu, bisa aja deh." Mama mencubit pelan lengan tanganku dengan senyum malu-malu, dan pipi yang merona.
Nah, kalau digoda gitu baru deh ngambeknya hilang. Mama kan paling suka digoda kalau mengenai tentang dirinya dan Papa.
"Nah, gitu dong senyum ... kan jadinya tambah cantik Ma, kalau Papa lihat pasti tambah-tambah jatuh cinta yang kesekian kalinya." Dan Mama pun semakin kesengsem aku godain.
"Wow, lagi ngomongin apa nih, kok bawa-bawa nama Papa." Tiba-tiba Papa datang. Sepertinya papa habis jogging, terlihat dari keringat di dahinya.
"Iya nih, anak kamu Pa, suka ghibahin kamu," ucap Mama.
"Hmmm ... dosa lho, ngomongin orang tua," tutur Papa.
"Oh jadi dosa ya, kalau Key tadi mencoba membuat Mama tambah jatuh cinta sama Papa?" kataku menggoda kedua orang tuaku yang sampai saat ini masih suka kelihatan uwuw kalau lagi berduaan.
"Emangnya tadi kamu ngomong gimana ke Mama, Key?" Papa menaik turunkan kedua alisnya.
"Ada deh ... rahasia," ucapku.
"Ooh ... jadi nggak mau ngasih tahu ke papa nih?" tanya Papa.
"Enggak." Aku menjulurkan lidah ke arah Papa. Sontak papa pun terkekeh melihat tingkahku yang masih seperti kanak-kanak, padahal usia sudah duapuluh satu tahun. Sementara Mama hanya geleng-geleng kepala.
"Udah, udah, kalian cepetan mandi, udah siang nih, nanti kan kita mau dateng ke acaranya rumah depan," ujar Mama.
"Oke istiku sayang, Papa mandi dulu ya." Papa berlalu setelah sebelumnya mencium pipi Mama.
Tuh kan, pagi-pagi udah lihat yang uwuw aja.
Sabar Key, nggak boleh iri sama keromantisan orang tua.
"Emangnya Tante Mariska mau ada acara apa, Ma?" tanyaku.
"Kamu lupa ya, kalau Rey itu mau nikah," jawab Mama.
Mama berjalan menuju dapur dan meneruskan acara memasaknya yang tadi sempat tertunda karena drama membangunkan anak gadisnya yang paling imut ini. Eh.
"Hah! Rey mau nikah? yang bener aja," ucapku sambil mengikuti Mama menuju dapur.
"Lah, emangnya kamu belum tau kalau Rey mau nikah?" Mama bertanya sambil memotong sayuran.
"Nggak tuh, Key nggak tau, lagian Key kan bukan tipe orang yang suka ngegosip kayak Mama kalau lagi kumpul sama para ibu-ibu tetangga," jawabku sambil duduk di kursi meja makan "lagian kok bisa sih, Rey mau nikah, emang ada yah yang mau sama dia?"
"Hish! Kamu ini, ya jelas ada lah yang mau sama Rey, secara Rey kan ganteng, pinter, sekarang udah punya pekerjaan tetap lagi. Perempuan mana coba yang nggak mau sama dia? Emangnya kamu nggak ada yang mau?" cerocos Mama.
"Dih! Apaan sih pake ngebandingin Key sama dia," ucapku kesal "lagian ya Ma, Key kan masih kuliah, ya wajarlah kalau belum punya pekerjaan kayak dia, terus bukannya nggak ada yang mau sama Key, tapi karena saking cantiknya Key, jadi banyak yang berebut hati Key, tapi sayangnya Key masih mau fokus sama kuliah, jadi banyak yang Key tolak."
"Ya kenapa harus ditolak semua, kalau ada yang diterima kan lumayan kamu bisa secepatnya menikah, biar nggak ketinggalan Rey menikah," tutur Mama.
"Yaelah kan Key masih muda Ma, masih dua satu, kalau Rey kan udah tua, jadi wajar kalau nikah duluan."
"Ngaku Rey lebih tua, kok kamu nggak pake embel-embel kalau nyebut dia, pake kak, mas, atau abang gitu, biar lebih sopan, Key," ujar Mama.
"Males," jawabku acuh.
"Udah sana mandi, udah siang ini, ntar keburu telat lho, ke acaranya Rey," perintah Mama.
"Kan tadi Key disuruh buat bantuin Mama masak."
"Nggak jadi!"
🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓
Sesungguhnya aku males banget kalau harus ikut Mama sama Papa ke acara nikahannya si Rey, tapi karena dari tadi terus dipaksa dan diseret sama Mama, jadi mau tidak mau akhirnya aku ikut juga. Nggak enak juga sih sama Tante Mariska, kalau aku nggak datang, soalnya dia itu tetangga yang baik banget sama aku, nggak kayak anaknya-- Si Rey, yang nyebelinnya minta ampun.
Dan di sinilah aku sekarang, di depan rumah tante Mariska. Acara akad pernikahan si Rey memang diselenggarakan di rumahnya. Nggak tahu kenapa, padahal setahuku kalau akad biasanya di tempatnya mempelai putri, eh ini malah sebaliknya.
"Ayo, Key, kita masuk temui tante Mariska," ajak Mama sambil menuntun tanganku masuk ke dalam rumah yang sedari tadi sudah banyak orang. Mulai dari para tetangga dan mungkin kerabatnya tante Mariska juga suaminya. Aku pun menurut saja, dan berjalan bersisian dengan Mama.
Setelah masuk ke dalam rumah, aku dan mama pun menghampiri tante Mariska yang terlihat sedang sibuk memberi intruksi pada petugas catering.
Melihat kedatangan kami, tante Mariska pun tersenyum, dan menyudahi instruksinya kemudian menyambut kami.
"Wah ... Bu Dela sama Keyla akhirnya datang juga." Tante Mariska bersalaman dengan Mama dan bercipika-cipiki, setelahnya ia juga menyalamiku, kemudian memelukku hangat. Tak lupa juga ia mencium kening dan pipiku, hal yang biasa ia lakukan kalau bertemu denganku sejak aku kecil. Diperlakukan demikian, membuatku merasa punya dua ibu.
"Ya jelas datang dong, Mbak, masa sih rumah hadap-hadapan kita nggak dateng," ucap Mama disertai senyuman manisnya.
"Saya seneng deh, kalau kalian datang, apalagi kamu Key, cantik banget hari ini, tante jadi berubah pikiran buat nggak jadi menikahkan Rey." Tante Mariska mengelus lembut rambutku.
"Ah tante bisa aja deh, kan Key emang cantik setiap hari," ucapku sambil memamerkan senyuman termanis yang ku punya "oh ya kenapa tante jadi berubah pikiran?"
"Iya, maksud tante, tante nggak jadi menikahkan Rey sama Eva, tapi jadinya sama kamu aja, habisnya kamu cantik banget sih, kan tante jadi pengen kalau kamu aja yang jadi mantunya tante hehe ...."
What? Mantunya tante Mariska? Jadi istrinya Rey dong? Dih! ogah banget, Big NO ya. Dari pada sama Rey, mending aku nikah sama kambing. Eh, nggak ding, masa sama kambing sih!
Seketika aku bergidik ngeri, dan menggelengkan kepala, mengenyakkan pikiran tentang menikah dengan Rey.
"Kamu kenapa geleng-geleng gitu?" tanya tante Mariska.
"Eh ... nggak papa kok tante," jawabku sambil memperlihatkan cengiran andalan.
"Biasa Mbak, Key emang suka mendadak konslet gitu," sahut Mama.
Eh, kok Mama bilang gitu sih? Tega banget anak sendiri dikatain konslet.
Obrolan demi obrolan antara Mama dan tante Mariska pun terus berlanjut, sesekali aku juga ikut menimpali, meski kebanyakan jadi pendengar sih.
Hingga akhirnya ada tamu lain yang datang, otomatis tante Mariska pun pamit pada kami untuk menemui tamunya itu.
Mama menawarkan diri untuk membantu kesibukan di acara ini. Masih pukul delapan pagi, acara akad katanya diadakan pukul sembilan nanti. Masih ada satu jam-an lah buat nunggu acara. Mama sama Papa memang sengaja datang lebih awal gini, katanya biar bisa bantu-bantu sedikit. Katakanlah solidaritas antar tetangga.
Oh iya, tadi aku sempat tanya ke tante Mariska, kenapa kok acara akadnya di sini bukan di tempat pengantin putri, jawabnya katanya ini memang kemauannya calon pengantin putri supaya akadnya dilaksanakan di sini, nggak tahu juga alasannya apa.
Sementara Mama bantu-bantu, aku menghampiri Difi, temanku sekaligus tetangga, yang kini sedang berada di meja kue. Hmm kayaknya dia mau nyomot itu kue.
"Oi, acara belum mulai, Lo udah main makan aja itu kue," ucapku dari balik punggung Difi. Dan berhasil membuatnya kaget.
"Eh, copot eh copot." Difi latah setelah aku kagetin. "Dasar Lo, Key, ngagetin aja, nggak tau apa gue lagi ngambil kue."
"Heh, belum mulai acaranya, udah main nyomot aja."
"Ye ... bilang aja Lo juga mau kan Key?" Aku memutar bola mata.
"Enggak." Bohong, padahal sebenarnya juga pengen. "Nggak nolak maksudnya."
"Udah gue duga, seorang Key, yang doyan makan, nggak akan mungkin menolak kue-kue ini, ni cobain." Difi menyuapkan potongan kue ke mulutku. Aku pun dengan senang hati menerimanya.
"Emmm ... enak ... gue mau ambil sendiri ah." Aku mengambil piring kemudian mengisinya dengan kue yang begitu menggoda ini.
"Huh dasar! Tadi ngomongin gue," umpat Difi.
Setelah selesai mengambil kue-kue yang aku mau, aku dan Difi beranjak mencari tempat duduk yang pas buat makan kue ini. Dan ketemu juga tempatnya, di pojok ruangan.
Di sela-sela aku memakan kue sama Difi, tiba-tiba terlihat Rey berjalan tergesa-gesa menuju tante Mariska. Sepertinya ada hal genting yang mau diutarakan. Rey kemudian mengajak tante Mariska masuk ke salah satu kamar, dan entah apa yang akan mereka bicarakan.
Selang beberapa menit kemudian, tante Mariska dan Rey keluar dari kamar itu. Raut wajah Tante Mariska terlihat gelisah, dan sesekali pandangannya menyisir seluruh ruangan. Sepertinya ia tengah mencari seseorang. Sementara itu wajah Rey terlihat frustasi, ia beberapa kali mengacak rambutnya.
Buset deh, calon pengantin bukannya keliatan seneng ini malah keliatan frustasi, boleh nggak sih aku tertawa jahat?
Tanpa sadar aku dan Rey bertemu pandang, buru-buru aku mengalihkan pandangan ke kue yang sedang aku makan. Rey masuk kembali ke dalam kamar itu. Sedangkan tante Mariska berjalan menghampiri mama.
Mama diajak tante Mariska ke salah satu sudut ruangan. Aku masih memperhatikan dari sini, sesekali menimpali ucapan Difi. Entah apa yang dibicarakan tante Mariska sama Mama, aku jadi penasaran deh, kaya penting banget gitu.
Mama sepertinya sedang menenangkan tante Mariska, dan mungkin memberi solusi. Maklum mereka telah bersahabat, semenjak kami jadi tetangga.
Tidak tahu kenapa, tiba-tiba tante Mariska tersenyum senang, seolah-olah telah menemukan jalan keluar dari persoalannya. Ia kembali menyisir pandang ke segala penjuru, dan tibalah saatnya ia melihatku di sini yang sedang menyantap kue. Duh, jadi ketahuan kan, kalau nyicipi kue yang bahkan acaranya pun belum dimulai. Malu euy ... ketahuan tuan rumah. Ada panci nggak sih, buat nutupin muka?
Tante Mariska berjalan menghampiriku dan Difi, tak lupa senyumnya masih terkembang. Jangan-jangan dia mau negur aku sama Difi gara-gara makan kue sebelum waktunya. Duh gawat nih.
"Key, ayo ikut tante." Aku yang sudah meletakkan piring berisi kue yang tadi kumakan pun heran dengan sikap tante Mariska yang tiba-tiba menyuruhku untuk mengikutinya. Apalagi sekarang tante Mariska udah memegang tanganku.
"Kemana tante?" tanyaku. Sungguh aku takut kalau-kalau tante Mariska memarahiku karena aku makan kue duluan.
"Sudah ikut tante saja ayo, Mama kamu udah setuju kok." Hah! setuju? Setuju apaan ya? Menghukumku? Oh No!
"Emmm ... setuju apa tante?" Aku coba bertanya. Bisa aku duga kalau Difi juga keheranan.
"Sudah ayo." Tangan tante Mariska sudah setengah menyeretku.
"Tap--."
"Nggak ada penolakan!" Dan tante Mariska pun akhirnya menyeretku. Nggak bisanya dia bersikap memaksa seperti ini. Ada apa sih sebenarnya? Terus aku mau diajak kemana?
Bersambung
Suasana seketika menjadi panas. Gerah lebih tepatnya. Pening juga kurasakan sekarang. Yang bisa kulakukan saat ini adalah mencoba mengelak dan berontak dari dua orang yang sejak tadi berusaha untuk mengubah diriku. Dua orang itu adalah perias yang disewa oleh Tante Mariska.Ya, saat ini aku berada di kamar yang dikhususkan untuk rias pengantin. Tadi saat aku diseret oleh Tante Mariska, dan dipaksa untuk mengikutinya, ternyata aku dibawa ke sini, dan berakhir lah aku dengan kedua perias ini.Sebelum Tante Mariska pergi meninggalkanku dengan dua perias lucknut ini, ia sempat memohon kepadaku agar aku mau menjadi pengantin perempuan dari anaknya--Rey.Jelas aku terkejut dengan permintaan Tante Mariska tersebut. Bagaimana mungkin aku menuruti itu, sedang diriku saja terlalu membenci Rey, seseorang yang sejak dulu kuanggap sebagai musuh bebuyutan. Mungkin jika Tante Mariska menyuruhku untuk membuang anaknya itu ke sungai Amazo
"Key, jangan pingsan lagi dong, ini hari bahagiamu," tutur Mama."Iya Key, jangan pingsan, sekarang kita keluar yuk, Rey sudah menunggu di depan."Aku tak memperdulikan ucapan mama maupun tante Mariska, karena tubuhku sekarang rasanya ingin limbung saja. Dan tak lama semuanya kembali terasa gelap.🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎"Key, ya ampun ... bangun dong sayang.""Key, sayang, ayo bangun, ini hari bahagia kamu."Sayup-sayup kudengar suara mama dan tante Mariska bersahut-sahutan menyebut namaku. Apa yang sebenarnya terjadi?Perlahan kubuka kedua mataku. Hal yang pertama kulihat adalah mama dan tante Mariska yang tengah berusaha untuk membuatku siuman, seperti pada waktu aku pingsan pertama tadi. Entah berapa lama aku hilang kesadaran hingga ada beberapa wanita paruh baya berada di kamar ini. Mungkin akan kutanyakan nanti pada mama.
Aku mendudukkan diri di salah satu kursi di dekat jamuan kue. Nah, kebetulan aku laper, jadi langsung aja kusikat kue-kue yang sudah bikin liurku hampir menetes.Hmmm ... yummy ... enak banget kuenya.Sebenarnya dari tadi ada beberapa pasang mata yang memandang heran ke arahku. Masa bodoh lah, yang penting perutku terisi dan nggak menjerit-jerit lagi. Perut kenyang, hati pun senang. Dalam hati aku menyorakkan jargon ala Ehsan di film Upin Ipin.Tiba-tiba. "Heh!""Dih!, apaan sih Lo." Aku melotot ke arah Difi. Bayangin aja, lagi enak-enak makan malah dikagetin. Eh, tapi mungkin itu karma buatku juga kali ya, karena tadi aku juga ngagetin Difi pas lagi makan kue kayak gini. Ini pasti Difi balas dendam nih. Dasar temen nggak ada akhlak.Difi hanya terkekeh mendengar gerutuanku, kemudian ia ikut duduk tepat di sampingku."Pengantin kok makannya di sini sih, sendi
Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?Terserahlah mau bagaimana sikap mereka padaku, aku tak peduli. Toh pernikahanku dan Rey juga bukan kemauanku, mungkin Rey juga terpaksa menerima aku sebagai pengantinnya menggantikan calon istrinya yang mencoba bunuh diri itu. Dan mungkin saja Rey menerimaku karena desakan dari tante Mariska juga kan?Ngomong-ngomong soal tante Mariska, aku jadi berpikir kenapa dia memilihku untuk menjadi pengantin penggantinya? Kenapa bukan perempuan muda dari pihak kerabatnya at
Cup.Satu kecupan mendarat lembut di pipi kananku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Ah, rasanya pipiku jadi panas, jantung juga tiba-tiba main bedug nggak beraturan. Saking syok-nya tiba-tiba aku teringat kata-kata mama tadi, supaya ... jangan pingsan.Ini Rey kesambet atau kenapa sih?Pingsan nggak ya, pingsan nggak ya?Pingsan aja deh."Key!"Apa sih, Bambang! Manggilnya biasa aja kali, gak usah pake nada panik segala, dan gak usah nampilin wajah khawatir gitu kali. Aku kan gak pingsan, tepatnya lebih memilih untuk tidak jadi pingsan. Eh, emang pingsan boleh dipilih ya?Teringat kata-kata ajaib mama tadi, gak boleh pingsan meskipun ada kejadian tak terduga. Ya, seperti tadi, tiba-tiba suami k*m*ret nyium pipi kananku. Tadi pagi nyium dahi, sekarang nyium pipi, menang. banyak dia, lah aku? Kapan bisa nyium dia coba? Eits ... bukan nyium
Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey."Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang."Kita tidur seranjang."🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓Sinar matahari menyusup masuk lewat kaca jendela, membuatku terpaksa harus membuka mata. Kuambil ponsel di atas meja depan sofa, untuk melihat sekarang udah pukul berapa. Ternyata baru pukul enam pagi. Siapa sih yang udah buka-buka jendela, bikin gak bisa lanjutin tidur aja. Pasti manusia batu itu deh.Ngomong-ngomong soal manusia batu, kok udah gak kelihatan, ke mana perginya ya? Ah, bodo amat, mau pergi ke kutub utara kek, ke segitiga bermuda kek, aku gak akan peduli. Atau sekalian pergi dari dunia ini juga bagus. Eh, artinya dia mati dong? Dan aku auto jadi janda dong? Gak papa, no problem for me. Justru aku seneng, karena kalau dia mati, aku gak akan bilang innalillah, tapi aku akan nengucap alhamdulillah. Hehe.
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki."Key ...," panggil orang di depanku.Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia."Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku."Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.Dia, Arga Mahendra."Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Ar
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
"Bang, ini dede nangis, tolongin dong ...," teriakku di sela-sela tangisan bayi yang baru saja kulahirkan lima hari yang lalu. Tadi popoknya sudah ku-cek, barangkali dia pipis atau pup, tapi ternyata tidak. Aku susui, tetap saja dia tidak mau, mungkin masih kenyang juga karena sepuluh menit yang lalu baru kususui. Meski sudah kutimang-timang penuh kasih, sudah coba kuhibur dengan berbagai macam cara, termasuk mengajaknya bicara, tetap saja dia asyik menangis. Anehnya, begitu dia diambil alih oleh ayahnya, maka spontan tangisannya mereda. Tapi sekarang ke mana bang Rey? Kok tidak muncul juga? Biasanya sekali panggil, dia langsung menghampiriku. "Baaang," panggilku dengan volume suara yang lebih keras dari yang tadi. Mana bayinya nangisnya tambah kenceng lagi. Sungguh aku jadi pusing. "Apa sih, Key, kok teriak-teriak?" Bukannya bang Rey yang datang, tapi mamaku. Mama memang setiap hari ke sini buat nengokin cucunya ini. "Ini dede nangis, Ma," ucapku sedikit khawatir karena dari tad
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰"Bang, aku pengen seblak, nih," pinta Key padaku dengan nada manjanya yang selalu sukses membuatku tak tega untuk menolaknya. Apalagi sekarang dia tengah mengandung buah cinta kami.Meski usia kandungan Key sudah memasuki bulan ke delapan, tetap saja dia minta yang aneh-aneh dengan alasan nyidam, terlebih saat tengah malam begini."Besok aku beliin ya, sekarang kamu tidur, udah malem ini, kasihan baby kalau diajak begadang," ujarku menolak secara halus permintaan Key sembari mengusap lembut perut yang di dalamnya bersemayam darah dagingku."Ih, nggak mau! Aku maunya sekarang, Bang. Baby pengennya sekarang nih," rajuknya.Aku menghela napas berat. Sebenarnya sudah aku pastikan dia akan memprotes seperti itu, pasalnya buk
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Tiga bulan setelah kepulangan dari bulan madu, aku belum juga dinyatakan positif hamil. Setiap bulan aku selalu rutin mengecek lewat test peck, berharap ada dua garis di sana, namun sepertinya memang belum rezekiku untuk memiliki momongan.Belum dikasih hamil, ada plus minusnya. Plusnya ya aku bisa fokus untuk mengerjakan skripsi, dan berharap tahun ini bisa lulus. Minusnya kadang aku merasa insecure, takutnya Rey akan berpaling ke lain hati.Beruntungnya aku punya suami seperti Rey. Dia tidak pernah menuntut agar aku cepat hamil. Rey juga selalu membesarkan hatiku jika test pecl yang kugunakan sehabis ngecek, masih bergaris satu.Oh, ya, sekarang aku dan Rey tidak lagi tinggal di apartemen, melainkan di pondok indah mertua, alias rumah o
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Bau obat-obatan menusuk di indra penciumanku. Tembok serba putih kini menjadi pemandangan.Ya, di sinilah aku sekarang. Di rumah sakit yang ada di Jakarta.Bukan aku atau Rey yang sakit, bukan juga orang tua atau mertuaku, melainkan oma.Oma kritis setelah mengalami kecelakaan saat ikut mobil yang dikendarai oleh Sahila. Menurut penuturan asisten rumah tangga di rumah oma, akhir-akhir ini oma memang sering berpergian dengan Sahila, dalam rangka kerjasama bisnis.Aku dan Rey serta beberapa anggota keluarga besar Rey, turut memenuhi ruang tunggu di depan ruangan tempat oma dirawat.Jika oma kritis, maka lain halnya dengan Sahila. Sahila dinyatakan meninggal dunia tepat setelah dibawa ke rumah sakit.Ada sedikit
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow ' biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕ Happy reading🔰 Setelah kemarin malam aku dan Rey sedikit berdebat tentang tempat di mana kami akan bulan madu, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Bromo di Malang Jawa Timur. Sebenarnya itu sih dapet rekomendasi dari bunda sama mama. Katanya di sana tempatnya indah dan nyaman, juga dingin, jadi pas bagi pasangan yang mau honeymoon. Di sinilah aku dan Rey sekarang, di balkon kamar hotel yang langsung menampakkan pemandangan indah gunung Bromo. Ternyata bener apa kata bunda sama mama, di sini bagus banget. Takjub sudah pasti, apalagi ini pertama kalinya aku ke sini, maklumlah, selama ini aku cuma muter-muter di ibu kota doang, kalau mudik ya paling ke bandung, karena mama sama papa asli orang sana. Destinasi wisata paling jauh yang pernah kukunjungi sebelum ini, ya cuma ke Bali ngikut Rey waktu itu. "Sayang, kamu lagi liatin apa sih? Kok seri
"Key, kamu betah tinggal di sini?" tanya mama sambil mengedarkan pandang, melihat setiap pojokan apartemen yang kuhuni sama Rey. Hari ini mama berkunjung ke sini."Eem, sebenarnya sih belum terlalu betah sih, Ma, tapi dibetah-betahin demi ketentraman hidup plus kelangsungan rumah tangga aku sama Rey, Ma," jawabku sambil membuat minuman untuk mama."Uluh-uluh ... anak mama udah bisa ngomong bijak ternyata." Mama mencubit gemas pipiku. "Ini pasti Rey yang ngajarin. Beruntung mama punya menantu kayak Rey, anak mama yang manja ini, bisa diubah jadi bijaksana."Aku mencebik mendengar ucapan mama. Tadinya aku kira mama beneran mau memuji aku, eh, ternyata malah mau muji menantunya itu."Iya deh, iya, puji terus tuh menantu mama yang baik hati itu," sinisku.Bukannya aku nggak suka kalau mama memuji Rey, tapi rasanya aku tuh cemburu. Sebagai anak kandungnya, bisa dikatakan jarang banget mama memujiku, tapi baru punya mantu be
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'aufa21' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Setelah tragedi oma yang memaksa Rey untuk menikahi Sahila dan menceraikanku, Rey memutuskan untuk membawaku pergi dari rumah. Maksudnya bukan kabur, karena tentu aja kami pamit sama orang tua kami masing-masing. Rey mengajakku untuk tinggal di apartemen yang dia sewa dari temannya.Awalnya aku menolak, sebab aku nggak mau jauh-jauh dari orang tua, tapi setelah Rey menjelaskan alasan kenapa kami harus tinggal sementara dulu di apartemen, aku pun menurut. Keputusan ini Rey ambil agar oma nggak lagi menyuruh hal-hal yang menjurus untuk memisahkan Rey denganku. Harapan tinggal di apartemen ini untuk menghindari oma, meski kemungkinan oma bisa menemui Rey di restorannya."Bang, kamu yakin kalau oma nggak bakal tau apartemen ini?" tanyaku sambil menyodorka
"Oma mau nyuruh apa lagi sama bang Rey, Bun?"Bunda menghela napas kasar, lalu beralih menatapku sendu. "Bunda sih nggak tahu pastinya, Key, tapi firasat bunda mengatakan kalau oma bakal nyuruh yang aneh-aneh dengan menghadirkan mantan pacar Rey."Duh, duh, duh, tiba-tiba alarm tanda bahaya berbunyi di kepalaku setelah mendengar ucapan bunda barusan.Kalau dipikir-pikir sih, iya, oma bakal nyuruh Rey yang aneh-aneh."Bunda tenang aja, Key yakin kalau bang Rey nggak akan nurutin kemauan oma." Aku menggenggam tangan bunda.Mertuaku ini tersenyum manis padaku, kemudian membalas genggaman tanganku. "Key, janji ya, apapun yang terjadi, kamu jangan tinggalin Rey. Bunda udah terlanjur sayang banget sama kamu, melebihi Rey yang anak kandung bunda sendiri."Hatiku menghangat dengan penuturan bunda. Ternyata mertua baik hati nan idaman kayak bunda ini, nggak cuma ada di film-film sama novel yang biasa aku tonton dan baca. Sosok
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'aufa21' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Tiba di pelataran rumah bunda, kulihat ada sebuah mobil warna merah yang cukup mewah. Kalau merk-nya sih aku nggak tau, maklumlah warga kismin, mana paham sama merk-merk mobil.Sama denganku, Rey juga kayak bingung liat ada mobil yang terparkir di halaman rumah orang tuanya ini."Mobil siapa, Bang? Ada tamu kah?" tanyaku sambil melirik ke Rey.Suamiku ini mengerutkan dahinya, tanpa dia jawab, aku udah tau kalau dia juga nggak tau siapa pemilik mobil itu."Nggak tau, Key, jarang ada yang bertamu ke sini pake mobil yang warnanya mencolok begitu." Nah, bener kan tebakanku kalau Rey juga nggak tau."Temen kamu mungkin, Bang," kataku menebak, meski sejak menjadi tetangganya, nggak pernah aku liat ada temen-temen Rey main ke ru