Aku mendudukkan diri di salah satu kursi di dekat jamuan kue. Nah, kebetulan aku laper, jadi langsung aja kusikat kue-kue yang sudah bikin liurku hampir menetes.
Hmmm ... yummy ... enak banget kuenya.
Sebenarnya dari tadi ada beberapa pasang mata yang memandang heran ke arahku. Masa bodoh lah, yang penting perutku terisi dan nggak menjerit-jerit lagi. Perut kenyang, hati pun senang. Dalam hati aku menyorakkan jargon ala Ehsan di film Upin Ipin.
Tiba-tiba. "Heh!"
"Dih!, apaan sih Lo." Aku melotot ke arah Difi. Bayangin aja, lagi enak-enak makan malah dikagetin. Eh, tapi mungkin itu karma buatku juga kali ya, karena tadi aku juga ngagetin Difi pas lagi makan kue kayak gini. Ini pasti Difi balas dendam nih. Dasar temen nggak ada akhlak.
Difi hanya terkekeh mendengar gerutuanku, kemudian ia ikut duduk tepat di sampingku.
"Pengantin kok makannya di sini sih, sendirian lagi, mbok ya diajak itu suaminya," ucap Difi dengan nada meledek.
"Emang kenapa kalau gue makan di sini? Sah-sah aja kan." Aku kembali mengunyah kue di mulutku. "Oh iya, jangan sebut dia suami gue, geli gue dengernya."
"Masih nanya kenapa, makanan-makanan yang ada di sini tuh khusus buat tamu, kalau lo itu kan pengantinnya, jadi nggak pantes kalo makan makanan khusus tamu, harusnya lo makan makanan yang khusus buat pengantin," ujar Difi berceramah "dan satu lagi, lo kan udah sah jadi istrinya bang Rey, jadi lo harus terima takdir dan harus terima gue katain lo istrinya bang Rey, alias Nyonya Reyhan Alatas."
"Apa lo bilang, takdir? hahaha ...." Aku tertawa mendengar ucapan Difi. Dia bilang takdir? Padahal kalau aku katain dia gemuk karena 'takdir', dia langsung marah-marah, eh sekarang malah menceramahiku dan bilang ini takdir. Lucu nggak sih?
"Napa lo ketawa." Difi mengerutkan keningnya, mungkin saking bingungnya dia kalau gue ketawa setelah dia ceramahi.
"Lagian lo tuh aneh, Fi, lo suka nggak terima kalo gue ngatain lo gemuk karena takdir, lo selalu bilang jangan pernah bawa-bawa takdir, eh sekarang lo malah ngatain gue nikah sama Rey itu karena takdir, aneh kan?" Aku memandang ke arah Difi, sembari terus menikmati kue-kue ini.
Tuk!
Difi menyentil keningku. "Itu beda dodol!"
"Aduh, sakit tau ...." Aku mengusap-usap kening yang disentil Difi tadi.
"Hehehe." Puas rupanya Si Difi udah nyentil keningku.
"Denger ya Key, gue gemuk itu karena gue doyan makan, lah lo, nikah sama bang Rey itu karena lo emang jodohnya bang Rey." Difi menarik nafas kemudian menghembuskannya. "Kalau gue nggak doyan makan, pasti bodi gue lebih bagus dari bodi lo. Terus nih ya, kalau semisal bang Rey nggak berjodoh sama lo, udah pasti tadi bang Rey, nikahnya sama calonnya itu. Tapi nyatanya apa coba, dia jadinya nikahnya sama lo kan? Ya meskipun pada awalnya lo nolak buat dinikahin sama bang Rey." Wih ... Difi beneran punya bakat jadi penceramah bo!
"Ternyata temen gue ini bisa ngomong bijak juga ya." Aku nyengir ke arah Difi.
"Lo bener-bener nggak ada akhlak ya, Key, gue ngomong panjang lebar juga, lo malah nanggepinnya ngledek gitu." Dari nada suaranya sih, Difi udah mulai merajuk nih.
"Ya deh, sorry, sorry, sini peluk dulu." Aku dan Difi pun kemudian berpelukan, eh tapi tunggu, kok perasaanku Difi jadi agak mellow semenjak kita berpelukan gini ya.
"Hiks."
"Lah, kenapa lo? Kok jadi mewek," ucapku seraya melepaskan pelukan diantara kami.
"Gue nggak nyangka aja kalo udah nikah, sama bang Rey lagi, padahal kan kita seumuran, eh malah lo duluan, mana gue ngefans sama bang Rey." Difi mengusap matanya, menghalau agar air matanya tak turun ke pipi.
"Yaelah kirain kenapa." Aku memutar bola mata malas. "Kan lo tau sendiri, ini semua terjadi tanpa pernah gue duga sebelumnya, bener-bener mendadak. Kalau gue tau kedatangan gue ke sini pada akhirnya dipaksa buat jadi pengantin pengganti, nggak bakalan gue mau ikut nyokap gue ke sini. Oh ya, kenapa nggak lo aja ya, yang nikah sama Rey."
"Gue ngefans doang sama Bang Rey, bukan berarti cinta sama dia, gue udah punya gebetan kali, jadi sangat tepat banget kalo pada akhirnya lo nikah sama bang Rey, biar lo jadi bener."
Aku melotot ke arah Difi. "Jadi selama ini gue nggak bener gitu?"
"Iya nggak bener semenjak lo pacaran sama Doddy, untungnya lo kemarin putus sama dia dan sekarang lo bisa nikah sama bang Rey, hoki banget kan lo."
"Gue pacaran sama Doddy nggak pernah macem-macem ya, ketemuan aja kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, pegangan tangan juga nggak pernah tau, paling mentok ya bonceng motor," ucapku membela diri. Kesal juga dikatain nggak bener hanya gara-gara pacaran sama Doddy. Padahal kan Difi tahu sendiri gaya pacaranku, apalagi selama ini aku selalu curhat tentang semua cowok yang dekat denganku.
"Iya, iya, gue becanda kali." Difi terkekeh.
"Nggak lucu."
"Eh, Key, lihat deh." Difi menunjuk ke arah Rey dengan dagunya. "Bang Rey liatin lo terus dari tadi, mungkin masih terpesona sama lo, atau mungkin juga dia takut kalo lo ilang."
"Terpesona pala lo! Jelas-jelas dia natap dengan tatapan malaikat maut, yang auranya kayak pengen ngebunuh gue. Dan dengan itu semua justru dia yang bikin gue ilang."
"Eh, dia ke sini, Key," bisik Difi.
Sebenarnya aku deg-degan juga mengetahui kalau Rey lagi jalan ke sini, mana matanya dari tadi natap tajam terus ke aku. Berasa lagi dijemput sama malaikat Izroil kan.
Ampun Ya Alloh ... jangan cabut dulu nyawa Key ....
Tap, tap.
Rey udah berada tepat di depanku, masih dengan tatapan tajamnya. Beneran membuatku jadi merinding disko nih.
"Eh, bang Rey, mau jemput Key ya? Maaf ya, tadi aku pinjem Key-nya sebentar." Ngomong sama Rey aja Difi bisa manis begini, lah giliran ngomong sama aku nggak ada manis-manisnya.
"Oh nggak masalah kok, mau kamu pinjam dia selamanya juga nggak papa, atau kalau kamu mau buang dia ke lubang buaya juga saya sama sekali nggak masalah."
Apah!
Jadi aku punya suami yang sama sekali nggak punya hati ini?
Serius?
Hmmm ... kayaknya sebentar lagi bakalan aku mutilasi ni laki.
"Dasar suami nggak berperikemanusiaan!" gerutuku.
"Eh, aku ke sana dulu ya." Difi melangkah pergi meninggalkanku dengan manusia berhati batu ini.
Merasa takut karena ditinggalin Difi, maka aku pun memutuskan untuk ikut pergi. Namun baru saja satu langkah, tanganku udah dicekal sama laki batu ini.
"Ih! Apaan sih, lepasin nggak," sentakku seraya menepis tangannya. Tapi sayangnya cekalan tangannya terlalu kuat, hingga aku tak bisa melepaskan diri.
"Siapa yang menyuruh kamu pergi?" tanya Rey. Alisnya dia angkat sebelah. Cih! Tipe-tipe antagonis banget.
"Ya terus ngapain?" tanyaku ketus.
"Ambilkan saya kue, saya lapar," perintahnya. Dia pikir aku babunya? Seenaknya aja nyuruh orang.
Aku hendak membuka mulutku untuk melayangkan protes, tapi udah dia cegah dengan ucapannya "kamu sekarang sudah jadi istri saya, jadi sudah selayaknya kamu melayani saya, dan tidak boleh protes."
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
"Ma, Key ikut pulang ya," rengekku pada mama yang hendak pulang ke rumah.
"Kamu di sini aja lah, Key, sekarang kan kamu udah jadi istrinya Rey, kamu nanti pulangnya sama Rey ya," jawab mama sembari mengusap kepalaku yang masih disanggul.
"Iya, Key, bener apa kata mamamu, kalau kamu mau pulang, ya barengan sama Rey nanti, lagian rumah kita nggak pindah kok, masih di depan sana." Papa menimpali.
"Rumah orang tuamu sama rumah mertuamu ini berhadap-hadapan, Key, jadi jangan bikin drama seolah-olah kamu mau mama sama papa pergi jauh." Kan, mama emang nggak ngerti perasaan aku sekarang ya.
"Tapi, Ma---"
"Ssst ... no tapi-tapian!"
"Ish! Mama kejam banget sih!" rajukku sambil melipat tangan di dada.
"Udah ... nggak usah seperti anak kecil lagi, Key, ingat kamu ini sudah jadi istri orang, jangan manja-manja lagi, inget pesan-pesan yang mama sama papa sampein tadi." Kalau papa udah ngomong serius gini, mau nggak mau aku harus nurut, meski beraaat banget.
Ini semua gara-gara mantan calon pengantinnya Rey. Kalau aja dia di sana nggak pake acara percobaan bunuh diri, udah pasti dia yang nikah sama Rey, dan aku masih berstatus lajang.
Eh, tapi kenapa tadi aku nggak nyoba ngancem bunuh diri aja yah, waktu tante Mariska maksain aku buat jadi pengantin pengganti. Huh, dasar! Kenapa nggak kepikiran? Tapi kalau pun kepikiran, pasti mama bakal biarin aku buat melancarkan drama bunuh diri itu, ya karena mama pasti tahu kalau itu cuma pura-pura aja. Dan aku nggak mungkin dong beneran bunuh diri, aku kan masih kepengen hidup, nggak pengen mati dulu, apalagi matinya secara nggak wajar gitu. Auto dijemput malaikat penjaga neraka kan.
"Key." Mama mengguncang lenganku, yang seketika membuatku tersadar dari lamunan.
Aku mengerjap dan kembali menatap mama. "Iya, Ma."
"Malah ngelamun lagi, dengerin nggak tadi mama sama papa ngomong?"
"Iya denger kok," jawabku pelan.
"Ya udah, mama papa pulang dulu, kamu baik-baik di sini, nanti kita ketemu di gedung." Papa mengusap kepalaku kemudian diikuti mama.
Papa dan mama berjalan meninggalkanku yang masih berdiri mematung di sini memperhatikan mereka yang perlahan menjauh.
Aku bingung mau ngapain setelah ini. Pasalnya di sini sudah tak ada lagi yang kukenali. Difi udah pamit pulang sebelum mama sama papa pulang, para tetangga seperti juga telah pulang semua. Kini hanya menyisakan para keluarga dan kerabat dari tante Mariska dan om Danu yang sama sekali tak kukenal.
Merasa bingung, akhirnya aku memilih menyingkir dari keramaian, berjalan ke salah satu sudut ruangan yang terdapat satu kursi di sini.
Setelah berhasil mendaratkan pantat di kursi, aku mengeluarkan ponselku dari saku rok setelan kebaya yang kupakai. Meski awalnya kesulitan, namun akhirnya ponsel berhasil kugapai.
Hal pertama yang ku-cek setelah ponselku menyala, aku langsung membuka aplikasi warna hijau. Beberapa pesan mulai berduyun-duyun masuk memenuhi beranda whatsapp, baik pesan pribadi maupun pesan yang dikirim di grup.
Terlihat banyak pesan dari para bude, pakde dan keluarga serta kerabat yang lain dari pihak papa maupun mama. Mereka semua kompak memberikan kata selamat untukku, baik secara pribadi, maupun ucapan di grup keluarga. Meskipun banyak dari mereka yang heran kenapa pernikahanku begitu mendadak, dan tak ada satu pun dari mereka yang diundang.
Aku mengabaikan pesan-pesan mereka, dan membiarkan mama dan papa yang membalas satu persatu pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan.
Sebenarnya aku juga heran, dari mana mereka mengetahui tentang pernikahan tanpa rencana ini. Tapi setelah aku membuka bagian fitur status di whatsapp, maka terjawablah sudah. Ternyata mama sama papa meng-up status tentang pernikahanku. Mama membuat status berupa foto di mana aku sedang mencium tangan Rey, disertai caption 'selamat menempuh hidup baru anakku😓'. Sedangkan papa meng-upload foto ketika beliau menjabat tangan Rey saat akad.
Sedang fokus bermain ponsel, tiba-tiba tante Mariska datang menghampiri. "Lho sayang kok kamu di sini sendirian?"
"Iya, Tan, mama sama papa udah pulang tadi. Key, mau ikut pulang malah nggak dibolehin," aduku pada tante Mariska.
"Iya dong, Key, kamu kan udah menikah sama Rey, otomatis kamu juga tinggal di sini dong. Dan kamu harus panggil tante dengan sebutan bunda, karena sekarang kan udah jadi anaknya bunda," papar tante Mariska.
"Gitu ya, Tan?"
"B-u-n-d-a, bukan tante."
"Hehe, iya deh, Tan, eh. Bunda ...." Aku nyengir dan menuruti permintaan Tante Mariska eh ralat, maksudku bunda Mariska. Ah rasanya kaku jika harus mengubah panggilan, ibarat sudah biasa masak pakai Rayca, sekarang harus pake Misika. Auto penyesuaian lidah dong.
"Nah, gitu dong." Tante Mariska tersenyum senang mendengarku menyebut dirinya bunda. Mungkin karena efek dia nggak punya anak perempuan kali ya.
"Oh iya, Key, sebaiknya kamu sekarang istirahat dulu ya, kayaknya kamu udah lelah deh." Tante Mariska eh bunda Mariska menelisik tubuhku. "Kamu bisa bobo siang dulu di kamarnya Rey ya sayang."
"Tapi, Tan, eh, Bun--."
"Nggak ada tapi-tapian, udah sana istirahat, bunda mau nge-cek yang lain dulu." Tante Mariska eh bunda Mariska pergi meninggalkanku.
Kalau boleh jujur, memang rasanya aku lelah, lelah hati lelah jiwa memikirkan ini semua. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi beristirahat, karena nggak tahu di mana kamar Rey, dan nggak pengen juga ke sana, aku memutuskan untuk pergi ke kamar di mana aku di rias tadi. Entah itu kamar siapa, aku tak tahu.
Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?
Bersambung
Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?Terserahlah mau bagaimana sikap mereka padaku, aku tak peduli. Toh pernikahanku dan Rey juga bukan kemauanku, mungkin Rey juga terpaksa menerima aku sebagai pengantinnya menggantikan calon istrinya yang mencoba bunuh diri itu. Dan mungkin saja Rey menerimaku karena desakan dari tante Mariska juga kan?Ngomong-ngomong soal tante Mariska, aku jadi berpikir kenapa dia memilihku untuk menjadi pengantin penggantinya? Kenapa bukan perempuan muda dari pihak kerabatnya at
Cup.Satu kecupan mendarat lembut di pipi kananku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Ah, rasanya pipiku jadi panas, jantung juga tiba-tiba main bedug nggak beraturan. Saking syok-nya tiba-tiba aku teringat kata-kata mama tadi, supaya ... jangan pingsan.Ini Rey kesambet atau kenapa sih?Pingsan nggak ya, pingsan nggak ya?Pingsan aja deh."Key!"Apa sih, Bambang! Manggilnya biasa aja kali, gak usah pake nada panik segala, dan gak usah nampilin wajah khawatir gitu kali. Aku kan gak pingsan, tepatnya lebih memilih untuk tidak jadi pingsan. Eh, emang pingsan boleh dipilih ya?Teringat kata-kata ajaib mama tadi, gak boleh pingsan meskipun ada kejadian tak terduga. Ya, seperti tadi, tiba-tiba suami k*m*ret nyium pipi kananku. Tadi pagi nyium dahi, sekarang nyium pipi, menang. banyak dia, lah aku? Kapan bisa nyium dia coba? Eits ... bukan nyium
Siapa bilang saya mengalah," ucap Rey."Ya terus maksudnya gimana?" Lama-kelamaan bikin tambah kesel juga ni orang."Kita tidur seranjang."🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓Sinar matahari menyusup masuk lewat kaca jendela, membuatku terpaksa harus membuka mata. Kuambil ponsel di atas meja depan sofa, untuk melihat sekarang udah pukul berapa. Ternyata baru pukul enam pagi. Siapa sih yang udah buka-buka jendela, bikin gak bisa lanjutin tidur aja. Pasti manusia batu itu deh.Ngomong-ngomong soal manusia batu, kok udah gak kelihatan, ke mana perginya ya? Ah, bodo amat, mau pergi ke kutub utara kek, ke segitiga bermuda kek, aku gak akan peduli. Atau sekalian pergi dari dunia ini juga bagus. Eh, artinya dia mati dong? Dan aku auto jadi janda dong? Gak papa, no problem for me. Justru aku seneng, karena kalau dia mati, aku gak akan bilang innalillah, tapi aku akan nengucap alhamdulillah. Hehe.
Lagi asyik-asyiknya berbalas pesan dengan para saudara, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri di depan sofa yang tengah kududuki."Key ...," panggil orang di depanku.Spontan aku pun mendongak. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Sama sekali tak pernah terlintas di benakku untuk bertemu lagi dengan dia."Kak Arga." Aku masih menatapnya, kaget sekaligus tak percaya.Laki-laki yang kini berdiri di hadapanku, dengan memakai kaos putih dibalut dengan jaket kulit warna cokelat, dan celana jeans warna biru, tampak tersenyum ke arahku."Kamu masih inget aku kan?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.Aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sosoknya. Sosok yang dulu selalu bisa membuatku tertawa, tempat aku mencurahkan unek-unek, dan sosok yang mampu membuat hidupku penuh warna.Dia, Arga Mahendra."Syukurlah kalau kamu masih inget." Kak Ar
Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa."Key," panggil Rey."Hem.""Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya."Emangnya kenapa?" Aku balik tanya."Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang."Kepo," jawabku singkat."Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot."Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan."Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini."Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa d
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku."Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey."Ehem." Aku berdehem.Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku."Siapa lo?" tanya wanita itu."Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya
Part 11"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya."Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini."Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun.""Iya, Key." Tesa tersenyum."Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?""Ooh, yang lagi godain Pak Rey ya?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tesa."Dia itu ... Nona Sindi, Key.""Sindi?" beoku."Iya, dulu dia pacarnya Pak Rey. Saya udah lama kerja di sini, Key, jadi lumayan tau kalau dulu mereka pacaran. Tapi tenang aja, sekarang mereka udah nggak ada hubungan apa-apa kok, ya meskipun Nona Sindi sering ke sini sih, tapi Pak Rey kayak nggak suka gitu," jawab Tesa panjang tanpa aku minta.Aku menganggu
Part 12Ciiit ....Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?Aku terlonjak kaget. Untung saja sabuk pengaman tak lupa kupakai."Astaghfirulloh. Ampuni hamba Ya Alloh, hamba belum mau mati. Mama ... tolongin Key ...." Kedua tanganku kuletakkan di depan mata. Tak sanggup melihat kenyataan yang mungkin saja terjadi.Jantung kian keras berdetak, takut kalau seandainya nyawa ini ...."Berisik! Jangan lebay bisa? Saya cuma ngerem mendadak, nggak kecelakaan." Nah, biang onar dengan rasa tak bersalahnya ngomong gitu. Dosa nggak sih, membantai suami modelan si manusia batu."Heh, kenapa jadi lo yang marah-marah, harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jantung gue hampir mau copot," omelku."Saya kan cuma ngerem, kenapa kamu se
"Bang, ini dede nangis, tolongin dong ...," teriakku di sela-sela tangisan bayi yang baru saja kulahirkan lima hari yang lalu. Tadi popoknya sudah ku-cek, barangkali dia pipis atau pup, tapi ternyata tidak. Aku susui, tetap saja dia tidak mau, mungkin masih kenyang juga karena sepuluh menit yang lalu baru kususui. Meski sudah kutimang-timang penuh kasih, sudah coba kuhibur dengan berbagai macam cara, termasuk mengajaknya bicara, tetap saja dia asyik menangis. Anehnya, begitu dia diambil alih oleh ayahnya, maka spontan tangisannya mereda. Tapi sekarang ke mana bang Rey? Kok tidak muncul juga? Biasanya sekali panggil, dia langsung menghampiriku. "Baaang," panggilku dengan volume suara yang lebih keras dari yang tadi. Mana bayinya nangisnya tambah kenceng lagi. Sungguh aku jadi pusing. "Apa sih, Key, kok teriak-teriak?" Bukannya bang Rey yang datang, tapi mamaku. Mama memang setiap hari ke sini buat nengokin cucunya ini. "Ini dede nangis, Ma," ucapku sedikit khawatir karena dari tad
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰"Bang, aku pengen seblak, nih," pinta Key padaku dengan nada manjanya yang selalu sukses membuatku tak tega untuk menolaknya. Apalagi sekarang dia tengah mengandung buah cinta kami.Meski usia kandungan Key sudah memasuki bulan ke delapan, tetap saja dia minta yang aneh-aneh dengan alasan nyidam, terlebih saat tengah malam begini."Besok aku beliin ya, sekarang kamu tidur, udah malem ini, kasihan baby kalau diajak begadang," ujarku menolak secara halus permintaan Key sembari mengusap lembut perut yang di dalamnya bersemayam darah dagingku."Ih, nggak mau! Aku maunya sekarang, Bang. Baby pengennya sekarang nih," rajuknya.Aku menghela napas berat. Sebenarnya sudah aku pastikan dia akan memprotes seperti itu, pasalnya buk
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Tiga bulan setelah kepulangan dari bulan madu, aku belum juga dinyatakan positif hamil. Setiap bulan aku selalu rutin mengecek lewat test peck, berharap ada dua garis di sana, namun sepertinya memang belum rezekiku untuk memiliki momongan.Belum dikasih hamil, ada plus minusnya. Plusnya ya aku bisa fokus untuk mengerjakan skripsi, dan berharap tahun ini bisa lulus. Minusnya kadang aku merasa insecure, takutnya Rey akan berpaling ke lain hati.Beruntungnya aku punya suami seperti Rey. Dia tidak pernah menuntut agar aku cepat hamil. Rey juga selalu membesarkan hatiku jika test pecl yang kugunakan sehabis ngecek, masih bergaris satu.Oh, ya, sekarang aku dan Rey tidak lagi tinggal di apartemen, melainkan di pondok indah mertua, alias rumah o
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'Achla El Aufa' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Bau obat-obatan menusuk di indra penciumanku. Tembok serba putih kini menjadi pemandangan.Ya, di sinilah aku sekarang. Di rumah sakit yang ada di Jakarta.Bukan aku atau Rey yang sakit, bukan juga orang tua atau mertuaku, melainkan oma.Oma kritis setelah mengalami kecelakaan saat ikut mobil yang dikendarai oleh Sahila. Menurut penuturan asisten rumah tangga di rumah oma, akhir-akhir ini oma memang sering berpergian dengan Sahila, dalam rangka kerjasama bisnis.Aku dan Rey serta beberapa anggota keluarga besar Rey, turut memenuhi ruang tunggu di depan ruangan tempat oma dirawat.Jika oma kritis, maka lain halnya dengan Sahila. Sahila dinyatakan meninggal dunia tepat setelah dibawa ke rumah sakit.Ada sedikit
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow ' biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕ Happy reading🔰 Setelah kemarin malam aku dan Rey sedikit berdebat tentang tempat di mana kami akan bulan madu, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Bromo di Malang Jawa Timur. Sebenarnya itu sih dapet rekomendasi dari bunda sama mama. Katanya di sana tempatnya indah dan nyaman, juga dingin, jadi pas bagi pasangan yang mau honeymoon. Di sinilah aku dan Rey sekarang, di balkon kamar hotel yang langsung menampakkan pemandangan indah gunung Bromo. Ternyata bener apa kata bunda sama mama, di sini bagus banget. Takjub sudah pasti, apalagi ini pertama kalinya aku ke sini, maklumlah, selama ini aku cuma muter-muter di ibu kota doang, kalau mudik ya paling ke bandung, karena mama sama papa asli orang sana. Destinasi wisata paling jauh yang pernah kukunjungi sebelum ini, ya cuma ke Bali ngikut Rey waktu itu. "Sayang, kamu lagi liatin apa sih? Kok seri
"Key, kamu betah tinggal di sini?" tanya mama sambil mengedarkan pandang, melihat setiap pojokan apartemen yang kuhuni sama Rey. Hari ini mama berkunjung ke sini."Eem, sebenarnya sih belum terlalu betah sih, Ma, tapi dibetah-betahin demi ketentraman hidup plus kelangsungan rumah tangga aku sama Rey, Ma," jawabku sambil membuat minuman untuk mama."Uluh-uluh ... anak mama udah bisa ngomong bijak ternyata." Mama mencubit gemas pipiku. "Ini pasti Rey yang ngajarin. Beruntung mama punya menantu kayak Rey, anak mama yang manja ini, bisa diubah jadi bijaksana."Aku mencebik mendengar ucapan mama. Tadinya aku kira mama beneran mau memuji aku, eh, ternyata malah mau muji menantunya itu."Iya deh, iya, puji terus tuh menantu mama yang baik hati itu," sinisku.Bukannya aku nggak suka kalau mama memuji Rey, tapi rasanya aku tuh cemburu. Sebagai anak kandungnya, bisa dikatakan jarang banget mama memujiku, tapi baru punya mantu be
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'aufa21' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Setelah tragedi oma yang memaksa Rey untuk menikahi Sahila dan menceraikanku, Rey memutuskan untuk membawaku pergi dari rumah. Maksudnya bukan kabur, karena tentu aja kami pamit sama orang tua kami masing-masing. Rey mengajakku untuk tinggal di apartemen yang dia sewa dari temannya.Awalnya aku menolak, sebab aku nggak mau jauh-jauh dari orang tua, tapi setelah Rey menjelaskan alasan kenapa kami harus tinggal sementara dulu di apartemen, aku pun menurut. Keputusan ini Rey ambil agar oma nggak lagi menyuruh hal-hal yang menjurus untuk memisahkan Rey denganku. Harapan tinggal di apartemen ini untuk menghindari oma, meski kemungkinan oma bisa menemui Rey di restorannya."Bang, kamu yakin kalau oma nggak bakal tau apartemen ini?" tanyaku sambil menyodorka
"Oma mau nyuruh apa lagi sama bang Rey, Bun?"Bunda menghela napas kasar, lalu beralih menatapku sendu. "Bunda sih nggak tahu pastinya, Key, tapi firasat bunda mengatakan kalau oma bakal nyuruh yang aneh-aneh dengan menghadirkan mantan pacar Rey."Duh, duh, duh, tiba-tiba alarm tanda bahaya berbunyi di kepalaku setelah mendengar ucapan bunda barusan.Kalau dipikir-pikir sih, iya, oma bakal nyuruh Rey yang aneh-aneh."Bunda tenang aja, Key yakin kalau bang Rey nggak akan nurutin kemauan oma." Aku menggenggam tangan bunda.Mertuaku ini tersenyum manis padaku, kemudian membalas genggaman tanganku. "Key, janji ya, apapun yang terjadi, kamu jangan tinggalin Rey. Bunda udah terlanjur sayang banget sama kamu, melebihi Rey yang anak kandung bunda sendiri."Hatiku menghangat dengan penuturan bunda. Ternyata mertua baik hati nan idaman kayak bunda ini, nggak cuma ada di film-film sama novel yang biasa aku tonton dan baca. Sosok
☕sebelum baca, aku ingetin kalian buat follow akun aku 'aufa21' dan follow juga cerita ini, biar aku tambah semangat. Kalau semangat, kan jadi cepet update part selanjutnya☕Happy reading🔰Tiba di pelataran rumah bunda, kulihat ada sebuah mobil warna merah yang cukup mewah. Kalau merk-nya sih aku nggak tau, maklumlah warga kismin, mana paham sama merk-merk mobil.Sama denganku, Rey juga kayak bingung liat ada mobil yang terparkir di halaman rumah orang tuanya ini."Mobil siapa, Bang? Ada tamu kah?" tanyaku sambil melirik ke Rey.Suamiku ini mengerutkan dahinya, tanpa dia jawab, aku udah tau kalau dia juga nggak tau siapa pemilik mobil itu."Nggak tau, Key, jarang ada yang bertamu ke sini pake mobil yang warnanya mencolok begitu." Nah, bener kan tebakanku kalau Rey juga nggak tau."Temen kamu mungkin, Bang," kataku menebak, meski sejak menjadi tetangganya, nggak pernah aku liat ada temen-temen Rey main ke ru