Plaak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Anggara. Tangan Amisha bergetar hebat. Dia bergegas pergi sebelum Anggara membalas perbuatannya. Amisha lari sekencang mungkin tanpa arah dan tujuan. Yang ada dalam pikiran wanita itu, dia harus pergi sejauh mungkin. Memang tidak baik berada dalam satu ruangan dengan Anggara di saat dia tengah marah.Amisha hanya bisa menangis sendirian di bangku taman. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika tidak bisa lepas dari pria itu. Dia bergidik ngeri membayangkannya.Sentuhan tangan di pundaknya membuat Amisha kaget bukan main. Dia langsung menepis tangan itu dan beranjak. Matanya membulat sempurna saat melihat siapa yang ada di hadapannya. Salman berdiri dengan tatapan penuh rasa khawatir."Kamu ngapain menangis sendirian di sini, Sha? Apa ada yang menyakitimu? Katakan padaku!" Salman terlihat sangat khawatir. Masih terlihat di matanya cinta yang begitu besar untuk wanita itu.Amisha menepis tangan Salman saat hendak memegang pundaknya. Dia mundur beberapa langkah."Tolong, tinggalkan aku sendiri!" pinta Amisha."Aku gak bisa, Sha. Kamu sedang tidak baik-baik saja. Katakan padaku, ada apa? Kenapa kamu di sini sendirian? Bukannya kamu ada kelas hari ini?"Salman memberondong Amisha dengan banyak pertanyaan, tetapi tidak satupun yang dijawab wanita itu. Amisha memilih untuk pergi dari sana, meninggalkan Salman dengan banyak pertanyaan.Menjelang malam, Amisha baru kembali. Dia masuk dengan mengendap-endap, takut pemilik apartemen terganggu dan kembali menyerangnya atau menghinanya.Ruang apartemen sudah gelap. Amisha yakin Anggara pasti sudah terlelap. Dia langsung berjalan menuju kamarnya. Tiba-tiba terdengar suara yang setengah berteriak. Amisha menghentikan langkahnya. Dadanya tiba-tiba bergemuruh dengan sangat hebat."Dari mana kamu? Lihat! Sudah jam berapa sekarang? Pria mana yang sudah kamu temui?" Amisha tidak habis pikir dengan Anggara. Dia yang sudah melakukan perbuatan hina, tetapi malah menuduh dirinya yang jelas-jelas tidak melakukan apa-apa."Apa pedulimu? Aku mau menemui siapapun, itu urusanku. Urus saja hubungan terlarangmu, jangan sampai ketahuan orang lain!" Anggara mundur beberapa langkah. Dia kaget dengan perkataan Amisha."Apa kamu cemburu?" Anggara mengerlingkan matanya menggoda Amisha."Jangan bermimpi untuk hal yang tidak mungkin. Aku tidak sudi cemburu dengan yang sudah kamu lakukan bersama wanita itu. Aku jijik denganmu dan semua yang kamu lakukan diluar sana. Seharusnya kamu sadar, yang jalang itu bukan aku tapi kamu!"Amisha meninggalkan Anggara yang tengah berdiri mematung. Hatinya merasa takut karena sudah berani melawan perkataan pria itu. Sikap Anggara sudah sangat kelewatan, dia tidak bisa diam saja.Malam ini akan menjadi malam terberat bagi Amisha. Dia enggan terpejam walau sebentar saja. Takut Anggara masuk dan berbuat sesuatu padanya. Dia masih merasa takut jika teringat kejadian tadi siang saat Anggara hendak memaksa menciumnya."Aku gak akan membiarkan dia menyentuhku. Dia akan menyesal jika sampai berani melakukannya." Amisha bicara sendiri.Seperti hari kemarin, Amisha sudah siap pergi bekerja. Dia sudah rapi dengan setelan kemeja dan celana panjangnya. Satu buah roti dimasukkannya ke dalam tas selempang yang selalu menemani wanita itu ke manapun pergi.Langkahnya terhenti saat Anggara berdiri di depan kamarnya. Tiba-tiba Amisha merasa ketakutan. Takut Anggara masih menyimpan amarahnya."Mau ke mana pagi-pagi begini? Bukankah jam kuliahmu dimulai jam sepuluh?" Amisha tersenyum sinis mendengar perkataan Anggara."Apa kamu mulai peduli padaku? Hingga jam kuliahku saja sampai tahu. Untuk pertanyaan pertama, kamu gak perlu tahu. Itu urusanku. Ok? U-ru-san-ku!" Amisha enggan berdebat lebih lama dengan pria itu. Dia melewati Anggara begitu saja.Langkahnya terhenti saat Anggara menarik tangan Amisha. Dia melarang wanita itu untuk pergi."Siapa kamu berani menyuruhku untuk tidak pergi? Apa hak yang kamu miliki atas diriku?" Amisha menatap Anggara tanpa rasa takut."Aku suamimu. Aku punya atas dirimu, tubuhmu, dan semua yang berurusan denganmu. Aku punya hak!" Keberanian yang tadi Amisha memiliki kini menciut, tetapi sebisa mungkin Anggara tidak melihatnya."Suami? Kita menikah hanya sebatas di atas kertas saja. Jika kamu mau mengakui aku sebagai istri, akui saja di atas kertas." Amisha hendak keluar, tetapi Anggara kembali menarik tangannya.Kini Anggara tidak membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia akan membuat perhitungan dengannya."Bibirmu sudah mulai lancang. Aku harus membungkamnya agar kamu diam." Amisha berontak. Dia tidak akan membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya."Lepaskan aku, Brengsek! Aku jijik denganmu. Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Amisha terus memukul tangan Anggara, berharap dia bisa lepas dari cengkraman pria itu."Jangan sok suci. Kamu cuma Wanita Jalang. Wanita hina di mata masyarakat." Anggara tertawa meledek Amisha."Jika aku hina, kamu jauh lebih hina. Mana ada pria baik-baik yang menjalin hubungan terlarang dengan wanita bersuami? Apalagi sampai bermain di kamar hotel." Cengkaraman tangan Anggara mulai longgar, itu dimanfaatkan oleh Amisha untuk melepaskan diri.Sayangnya, saat Amisha sudah membuka pintu apartemen, Anggara kembali menarik Amisha. Dia merangkul wanita itu dan hendak memaksakan kehendaknya.Amisha memukul tangan Anggara sekeras mungkin. Dia bahkan mengigit tangan pria itu. Anggara mengabaikan rasa sakit di tangannya. Dia terus memaksa hendak mencium wanita itu.Amisha didorong hingga punggungnya menempel di dinding. Dia sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi berontak. Melihat Amisha yang sudah terlihat lelah karena terus berontak, Anggara langsung mendaratkan bibirnya tepat di bibir ranum Amisha. Sekejap dia menikmati manisnya bibir wanita itu hingga akhirnya Anggara berteriak. Amisha menggigit bibir pria itu hingga berdarah."Beraninya kamu mencuri ciuman pertamaku, Brengsek!" maki Amisha. Wajahnya terlihat memerah karena marah.Amisha bergegas pergi sebelum Anggara kembali menangkapnya. Sepanjang jalan dia mengusap bibirnya hingga membuat bibirnya sedikit lecet. Dia merasa jijik dengan bibirnya yang sudah ternoda.Bu Sari menatap aneh dengan bibir Amisha yang kemerahan. Dia yakin itu bukan dari lipstik, melainkan luka lecet. Wajahnya tampak khawatir, takut pegawainya mengalami pelecehan seksual."Saya tidak apa-apa, Bu. Tadi saya terlalu kasar menggaruknya. Jadi lecet, deh." Amisha berbohong. Dia tidak mau sampai Bu Sari sampai tahu kejadian yang sebenarnya.Setelah meyakinkan Bu Sari kalau semuanya baik-baik saja. Amisha langsung menuju motornya berada. Di sana sudah penuh dengan bungkusan berisi pakaian bersih yang sudah siap diantar ke pemiliknya.Amisha mengucap bismillah sebelum dia menyalakan mesin motornya. Sebait doa dipanjatkan supaya hari ini dia diberi kelancaran dalam segala urusannya."Hati-hati, Sha. Kamu langsung saja ke kampus pakai motor itu. Jangan kayak kemarin." Amisha tidak mengerti dengan yang dikatakan Bu Sari. Dia bertanya dan Bu Sari menjelaskannya.Rupanya kemarin Lastri datang ke laundry. Dia mencari Amisha karena tidak masuk kuliah. Ada tugas yang harus dikerjakannya. Bu Sari kaget saat tahu Amisha tidak ke kampus. Dia berpikir kalau pegawainya mungkin saja kecapekan karena harus berjalan kaki dari laundry ke kampus."Iya, Bu. Terima kasih sebelumnya." Amisha sangat beruntung memiliki majikan sebaik Bu Sari. Padahal dia baru bekerja dua hari saja. Amisha tidak akan mengecewakan wanita baik itu.Tanpa Amisha tahu, Anggara mengikuti ke mana pun dia pergi. Pria itu penasaran dengan apa yang dilakukan Amisha diluaran sana. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Dia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.Apa yang Amisha katakan sebelum pergi membuat Anggara bertanya-tanya. Mungkinkah wanita yang selalu Anggara panggil dengan sebutan Wanita Jalang itu baru pertama kali dicium? Apa dia sudah salah menduga?Anggara baru tahu kalau Amisha bekerja sebelum kuliah. Dia tidak mengenal siapa wanita itu sebenarnya. Anggara tidak pernah berniat untuk mencari tahu, tetapi sekarang dia penasaran dan ingin tahu.Sosok pria yang mengaku sebagai kakaknya Amisha membuat Anggara semakin penasaran. Mengingat apa yang dipakai Dito, Anggara yakin pria itu bukan orang sembarangan. Jas yang dipakainya saat itu adalah jas mahal. Dia juga melihat mobil mewah terparkir di depan kantor KUA. Dia yakin mobil itu milik kakaknya Amisha.Saat menunggu Amisha memberikan pakaian pakaian bersih kepada si pemiliknya. Anggara mencari tahu siapa mereka lewat internet.Anggara menggerutu saat dia tidak tahu siapa nama lengkap Dito. Dia beralih pada Amisha, mencoba mengingat nama lengkap wanita itu."Amisha Afifah. Bukan, bukan itu. Amisha Latifah Shanum." Anggara merasa yakin sudah mengetik nama yang benar, tetapi dia tidak menemukan apa pun."Amisha Latifah Hanum. Ya, aku yakin itu namanya." Kembali Anggara mengetikkan nama lengkap wanita itu. Kini dia bisa melihat foto Amisha yang berdiri di samping Dito."Dito Darmanto Subrata? Jadi dia pemilik kafe DDS yang lagi viral itu?" Anggara baru tahu siapa pria yang menjadi kakak iparnya itu. Rupanya wanita yang dinikahi secara terpaksa itu bukan dari keluarga biasa. Kini dia semakin yakin kalau penilaiannya pada wanita itu sudah salah.Anggara membaca profil Amisha. Begitu banyak prestasi yang diraihnya semenjak dia masih di sekolah dasar. Beberapa piala berhasil diraihnya dalam ajang bergengsi. Dari mulai cerdas cermat hingga mewakili sekolahnya dalam lomba matematika.Tanpa sadar, Anggara tersenyum saat melihat deretan foto Amisha saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Lucu dan menggemaskan. Rambutnya yang ikal ternyata sudah dari dulu seperti itu. Bibirnya yang ranum sudah terlihat dimilikinya dari sejak dia masih kecil."Semakin dewasa, kamu semakin cantik dan memukau. Beruntung bagi pria yang sudah memilikimu," gumamnya tanpa sadar."Ah, bukannya dia milikku? Akan kupastikan dia menjadi milikku seutuhnya." Kembali Anggara bergumam.Terlalu fokus dengan foto Amisha, Anggara sampai tidak memperhatikan foto lain. Di mana ada foto Dito dan Raisya saat melangsungkan pernikahan mereka. Anggara menyimpan ponselnya kembali saat melihat Amisha melajukan motornya. Dia bergegas mengikuti wanita itu hingga motor yang Amisha pakai berhenti di kampus. Amisha terlihat menuju toilet dan tidak berselang lama, wanita itu sudah berganti pakaian."Jadi kamu bekerja sebelum kuliah? Kenapa harus jadi pengantar pakaian? Bukankah kakakmu punya kafe?" Anggara bicara sendiri. Dia merasa ada yang salah.Ponsel Anggara berdering. Terlihat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Tertulis nama Raisya di sana."Sayang, kamu di mana?" tulis Raisya."Kemarin kita gagal melakukannya. Apa kamu mau mencobanya lagi?" Kembali Raisya mengirimkan pesan."Aku tunggu di tempat biasa." Pesan terakhir yang Raisya kirimkan.Anggara hanya membacanya saja, enggan untuk membalasnya. Dia ingin sedikit menjauh dari wanita itu. Entah mengapa, Raisya tidak lagi
Cukup lama Amisha duduk sendirian di taman depan apartemen. Hati juga pikirannya sedikit rileks, setidaknya untuk beberapa saat. Dia berharap ini hanya mimpi buruk saja yang suatu saat nanti dia bisa terbangun. Dengan langkah malas, Amisha kembali ke apartemen Anggara. Sebelum masuk ke area apartemen, Amisha membeli roti untuk mengganjal perutnya di minimarket. Wanita itu sudah jarang sekali makan nasi karena terlalu sibuk. Sebisa mungkin dia juga hidup hemat, apalagi mengingat waktu gajian masih sangat jauh."Sha, ngapain kamu di sekitar sini?" Jantung Amisha seakan berhenti berdegup saat mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya."Beli ro–roti," jawab Amisha gugup. Salman menatap Amisha penuh tanya."Beli roti sejauh ini?" Salman memicingkan matanya.Meskipun hatinya merindukan pria itu, Amisha berusaha mengabaikannya. Dia tidak mau melibatkan Salman dalam masalahnya. Cintanya pada pria itu masih tersimpan dengan baik. Berh
Anggara terbangun saat matahari sudah berada di atas kepala. Dia merasakan sakit di dahi sebelah kanan, bekas terkena pukulan dari gelas yang Amisha layangkan. Belum lagi efek dari minuman yang sudah membuatnya mabuk semalam."Apa yang sudah kamu lakukan pada wanita itu?"Anggara terlonjak kaget saat mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Dia juga merasa asing dengan ruangan tempatnya tertidur."Shiit!" Anggara hanya bisa mengumpat saat dia ingat dengan kejadian semalam. Matanya celingukan mencari wanita yang tinggal bersamanya. Penasaran dengan kondisi wanita itu."Siapa yang kamu cari? Istrimu?" tanya orang itu."Di mana dia, Pa?" Orang yang kini menatap Anggara penuh amarah adalah Subagio, papanya Anggara. Subagio dan Marini sengaja datang ke apartemen Anggara pagi-pagi sekali karena laporan orang suruhan mereka. Dari laporan yang mereka dapat, terdengar suara Amisha berteriak. Kebetulan pintu apartemen tidak tertutup rapat."Apa pedulimu? Dia sudah pergi jauh!" ucap Sub
Raisya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Dia disambut hangat oleh suaminya. Seperti pasangan suami istri lainnya, wanita itu memperlihatkan kerinduannya pada sang suami.Raisya pandai sekali menyembunyikan perselingkuhannya dari sang suami. Semua terlihat baik-baik saja, Dito pun tidak menaruh curiga apa pun."Di mana Misha? Tumben dia tidak menyambutku? Padahal aku udah bawa oleh-oleh untuknya," ucap Raisya. Dia kini tengah dalam balutan selimut bersama Dito."Misha sudah tidak tinggal di sini lagi," jawab Dito. Raisya menatap suaminya dengan rasa penasaran."Maksud kamu apa, Mas? Apa Misha ngekost?" Dito menggelengkan kepalanya, membuat wanita itu semakin penasaran."Saat kamu pergi ke luar kota, aku mendapati Misha berduaan dengan seorang pria di kamar hotel. Hari itu juga aku menikahkan mereka." Penjelasan Dito adalah kabar yang mengagetkan. Raisya tidak percaya kalau Amisha melakukan itu.Raisya sangat mengenal Amisha seperti apa. Dia tidak yakin kalau adik iparnya itu me
Kerah baju Anggara ditarik dengan kasar hingga keluar dari mobil. Sebelum kembali memukul Anggara, orang itu melemparkan jaket yang dipakainya pada Amisha.Setelah yakin Amisha memakai jaket itu, dia kembali fokus dengan Anggara. Memukul juga menendang pria itu hingga tersungkur ke aspal."Mas Salman! Hentikan!" teriak Amisha. Anggara jatuh tersungkur dengan wajah lebam. Darah segar juga keluar dari sudut bibirnya. Di saat Salman hendak melayangkan pukulan lagi, Amisha menghalanginya. Pukulan yang diarahkan pada Anggara kini diterima Amisha."Misha!" Salman bergegas menghampiri. Terlihat raut penyesalan di wajahnya. Anggara menatap pria itu dan balas memukul.Akibat pukulan itu, pipi Amisha memerah. "Brengsek!" Anggara terlihat marah. Dia membalas setiap pukulan yang tadi diterimanya."Berhenti kalian!" Amisha mencoba melerai mereka, tetapi teriakannya terus diabaikan.Amisha kini menghalangi Anggara saat Salman hendak melayangkan pukulan. Hampir saja pukulan pria itu mendarat di pip
Beberapa hari tidak bertemu, tidak membuat Amisha merindukan sosok Raisya. Terutama setelah dia tahu perselingkuhan kakak iparnya. Wanita itu sampai menolak saat Raisya hendak memeluknya. Bahkan tangan Raisya ditepis saat melihat memar di pipi adik iparnya."Pipi kamu kenapa, Sha? Kok, memar gini?" Amisha mengabaikan pertanyaan Raisya. Dia enggan menjawabnya.Tangannya terkepal kuat saat mendengar cerita wanita itu selama melakukan perjalanan bisnis. Rindu, satu kata yang selalu wanita itu katakan dan Amisha jijik mendengarnya."Kalau tahu bakal ketemu kamu, pasti Kakak bawa oleh-oleh buat kamu sekalian," ucap Raisya. Wanita itu masih belum sadar kalau Amisha tengah marah besar padanya."Gak usah repot-repot. Berikan saja pada orang lain," ucap Amisha sambil berlalu. Dia bergegas pergi karena takut tidak bisa mengontrol emosinya."Sha! Kok, gitu? Kamu marah sama Kakak?" Raisya mencoba mengejar adik iparnya."Masih bertanya?" Amisha tertawa sinis. Wanita di hadapannya sungguh tidak tah
Amisha hanya duduk dengan terdiam. Dia terpaksa ikut dengan Anggara karena permintaan Bu Sari. Setelah menyadari keberadaan pria itu, Amisha hendak pergi, tetapi Bu Sari mencegahnya. Wanita itu keluar saat mendengar suara motor berhenti. Dengan terpaksa Amisha mengikuti permintaan majikannya."Lukamu masih terlihat. Apa kamu tidak mengobatinya?" tanya Anggara tanpa melirik."Apa pedulimu?" Amisha menatap Anggara tanpa rasa takut.Anggara menghentikan mobilnya tiba-tiba. Dia menatap Amisha dengan penuh amarah."Aku tidak peduli sama sekali. Aku cuma gak mau orang tuaku berpikir luka itu aku yang berikan!" ucap Anggara tegas. Amisha kembali diam. Dia lelah terus berdebat. "Mama memintaku membawamu makan di luar," ucap Anggara beberapa saat setelah mereka terdiam. Perkataan Anggara diabaikan Amisha. Matanya fokus menatap ke depan."Aku bicara denganmu, Wanita Ja …!" "Tapi aku gak mau bicara denganmu, Brengsek! Aku membencimu seumur hidupku! Semoga di kehidupan mana pun kita tidak pernah
Anggara memutuskan untuk menghampiri mereka. Dia langsung memeluk Amisha dari belakang dan memberikan bunga pada wanita itu. Amisha kaget, tiba-tiba sikap Anggara berubah manis padanya. Kehadiran Dito di sana mungkin menjadi alasannya, pikir Amisha."Senang bertemu denganmu, Kak." Anggara menyapa Dito ramah dengan tangan kanannya yang terulur."Aku juga senang bertemu denganmu." Dito menjabat tangan yang Anggara ulurkan.Sementara Lastri masih dalam mode kaget. Entah apa yang sudah terjadi, dia harus menanyakannya pada Amisha nanti.Selama Anggara dan Dito berbincang, Amisha hanya diam. Raut wajahnya tidak terbaca. Sementara Lastri hanya bisa diam dan menunggu sampai kedua pria itu pergi jika ingin bertanya. Dia melirik sahabatnya. Ada yang berbeda dengan penampilan Amisha hari ini. Syal yang melingkar di leher sahabatnya terasa aneh, padahal cuaca cukup panas saat ini.Sekilas Lastri bisa melihat ada tanda merah di leher Amisha. Dia hany
Setelah mendesak Marsel, Anggara tidak mendapatkan jawaban pasti. Dia diminta mencari tahu sendiri siapa Arjuna sebenarnya. Orang yang Jon kirim untuk mencari tahu belum juga membawakan kabar terbaru."Menurutmu, mereka ada hubungan apa, Jon?" Terlihat wajah Anggara yang kebingungan. Sejak tadi dia mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri."Ibu dan anak." Tetap jawaban itu yang Jon berikan. Dia bahkan merasa yakin kalau mereka punya hubungan darah.Sementara di rumahnya, Arjuna tengah duduk melamun. Dia memikirkan kejadian yang terjadi di taman. Awalnya dia ingin mempersatukan kedua orang tuanya, tetapi tiba-tiba ada rasa marah saat anak itu melihat ibunya merintih kesakitan. Takut pria itu kembali melukai batin ibunya. Arjuna sebenarnya sudah memberi celah untuk ayahnya masuk. Dia ingin memulai dari awal. Saat main bola, Arjuna bukan tidak tahu kalau itu Anggara. Dia tahu, sangat tahu, hanya saja Arjuna ingin membiarkannya saja. Seandainya Anggara tahu, Arjuna ingin sekali memeluk
Anggara mencari keberadaan Amisha. Tiba-tiba wanita itu menghilang. Di dalam kerumunan itu, Anggara tidak menemukan keberadaan wanita yang dicintainya ataupun anak yang bersama wanita itu."Cari dia, Jon! Temukan sampai dapat!" titah Anggara. Mereka berpencar mencari keberadaan Amisha. Seluruh tempat tidak lepas dari pencarian mereka, hingga toilet pun mereka telusuri."Bagaimana, Jon?" tanya Anggara. Terlihat raut cemas di wajah pria itu."Maaf. Saya tidak menemukannya." Hanya dalam sekejap mata, Amisha dan Arjuna menghilang dari pandangan mereka. Semua area permainan salju sudah ditelusuri, tetapi hasilnya nihil. Amisha ataupun anak itu tidak ditemukan."Pokoknya Juna gak mau nonton film horor." "Tapi Bubun maunya nonton itu." Anggara dan Jon melirik ke arah suara. Orang yang mereka cari ada di belakang. Bergegas Anggara berbalik, belum saatnya Amisha melihat dirinya.Arah datangnya Amisha dari sebuah tempat makan siap saji. Anggara menduga mereka baru saja makan. Pantas saja di
Anggara mengerutkan keningnya, tidak paham dengan yang dikatakan Jon. Tidak mungkin anak itu anaknya Amisha jika anak yang dimaksud sudah duduk di bangku SMA. Amisha pergi dua belas tahun lalu, sementara anak SMA berkisar antara usia enam belas tahun sampai delapan belas tahun. Dia meminta Jon mencari info yang lebih akurat.Perjalanan berjalan dengan lancar. Anggara kini sudah sampai di rumah yang akan ditempatinya. Sebuah rumah minimalis yang tidak jauh dari rumah yang Amisha dan Arjuna tempati. Dia kini butuh waktu untuk istirahat sejenak. Perjalanan dari desa sungguh melelahkan, bukan karena jauhnya, melainkan karena jalan yang belum diaspal.Arjuna terbangun saat terdengar suara teriakan anak-anak dari arah tanah lapang. Dia mengintip lewat jendela. Banyak anak-anak yang tengah bermain bola. Sekilas bibirnya tersenyum, terkenang dengan masa-masa di saat dia seumuran mereka.Setelah menunaikan salat Ashar, Arjuna tertarik untuk menghampiri anak-anak yang bermain di lapang. Duduk d
Arjuna tertunduk. Dia ketahuan menguping obrolan mereka. Beruntung Amisha belum menceritakan semuanya, kalau tidak, Arjuna akan mendengar cerita yang belum pantas didengar anak seusianya."Maaf, Bun. Juna mengaku salah. Itu tidak akan terulang lagi," ucap Arjuna penuh penyesalan."Bubun gak suka dengan sikap kamu ini, Jun. Ada hal yang tidak bisa Bubun ceritakan. Suatu hari nanti, pasti Bubun cerita setelah usiamu dewasa," terang Amisha. Arjuna mengangguk paham."Sha, jangan marahi Juna. Dia pasti ingin tahu kisah kamu. Apalagi ada sosok Anggara yang belum dikenalnya. Dia pasti penasaran." Salman bersuara.Di saat perbincangan masih berjalan, Marsel menghubungi nomor Arjuna. Bergegas anak itu pamit untuk menjawabnya. "Arjuna mirip sekali dengan Anggara, Sha. Jika suatu hari nanti dia melihat Arjuna bersamamu, aku yakin Anggara pasti tahu siapa Arjuna baginya." Apa yang Lastri katakan memang benar. Itu juga yang membuatnya takut. Meskipun
Amisha duduk di teras bersama tamunya. Dia tidak berani membawa seorang pria masuk ke rumah sementara tidak ada orang lain di sana. Laksmi sedang membeli beberapa kebutuhan di supermarket terdekat."Maaf jika kedatanganku mengganggumu, Sha. Aku juga gak sengaja ke sini. Tadi kulihat kamu lagi nyapu, makanya aku samperin untuk memastikan itu kamu," ucap Salman. "Gak papa. Lastri gak ikut?" tanya Amisha."Dia gak ikut. Aku lagi ada tugas kantor, mengontrol proyek baru. Saat mau pulang, atasanku meminta untuk mengecek proyek di dekat sini." Amisha terdiam. Dia merasa canggung berduaan dengan pria itu, apalagi sekarang Salman adalah suami sahabatnya. Dia takut kebersamaan mereka menjadi fitnah."Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Amisha sudah mulai tidak nyaman. "Tidak ada. Aku hanya mampir saja dan memastikan kalau yang kulihat itu beneran kamu, Sha." Untuk sesaat keduanya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Amisha takut putranya segera kembali dan bertanya-t
Arjuna sampai rumah dengan napas terengah-engah dan keringat bercucuran di dahi. Anak itu sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ibunya. Untuk pertama kalinya dia terpisah meskipun hanya dua hari saja."Bubun belum sampai, Den. Mungkin satu jam lagi," ucap Laksmi. Dia bisa menebak alasan anak itu pulang dengan berlari."Kamar Bubun sudah dirapikan, Bi?" Laksmi mengangguk."Makanan sudah siap?" Kembali Laksmi mengangguk."Bunga. Aku mau beli buket bunga buat Bubun." Arjuna berbalik dan hendak pergi lagi."Kenapa gak buat saja, Den? Banyak bunga di taman," saran Laksmi. Arjuna menepuk jidatnya."Bibi bantu aku, ya!" pinta Arjuna. Laksmi mengangguk setuju.Setelah mengganti pakaiannya, Arjuna menghampiri Laksmi yang sudah lebih dulu ke taman. Ada bunga lili putih, bunga kesukaan Amisha. Arjuna tertarik untuk merangkai bunga itu dan diberikan pada ibunya."Apa Bubun akan suka bunga ini, Bi?" Arjuna terlihat ragu. Dia takut kembali mendapat penolakan."Bubun pasti suka, Den. Setahu Bibi, b
Anggara sudah bisa mengambil kesimpulan alasan Amisha pergi karena apa. Rupanya ada kesalahpahaman yang harus segera diselesaikan, dia ingin wanita itu kembali padanya.Anggara belum sempat mengatakan semuanya karena Amisha tiba-tiba pergi. Di saat dia hendak mengejarnya, Dito menghalangi langkah pria itu. Dito menolak mendengar penjelasan Anggara, hingga akhirnya pria itu diusir."Baiklah. Sekarang aku tahu apa penyebab kamu pergi. Kupastikan kamu kembali padaku," gumam Anggara dengan penuh keyakinan.Pria itu kini sudah kembali ke rumah yang disewanya. Dia akan memperpanjang waktu tinggalnya sampai wanita itu benar-benar kembali padanya.Sementara di kamarnya, Amisha hanya bisa terguguk. Lagi-lagi dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Kebencian di hatinya selalu kalah dengan rasa rindu yang dirasakan."Jelas-jelas dia sudah mengkhianatiku, kenapa aku terus saja merasakan perasaan itu?" rutuk Amisha. Kamarnya kembali seperti kapal pecah. Berantakan.Dito dan Marsel hanya bisa meliha
Anggara sudah bisa mengambil kesimpulan alasan Amisha pergi karena apa. Rupanya ada kesalahpahaman yang harus segera diselesaikan, dia ingin wanita itu kembali padanya.Anggara belum sempat mengatakan semuanya karena Amisha tiba-tiba pergi. Di saat dia hendak mengejarnya, Dito menghalangi langkah pria itu. Dito menolak mendengar penjelasan Anggara, hingga akhirnya pria itu diusir."Baiklah. Sekarang aku tahu apa penyebab kamu pergi. Kupastikan kamu kembali padaku," gumam Anggara dengan penuh keyakinan.Pria itu kini sudah kembali ke rumah yang disewanya. Dia akan memperpanjang waktu tinggalnya sampai wanita itu benar-benar kembali padanya.Sementara di kamarnya, Amisha hanya bisa terguguk. Lagi-lagi dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Kebencian di hatinya selalu kalah dengan rasa rindu yang dirasakan."Jelas-jelas dia sudah mengkhianatiku, kenapa aku terus saja merasakan perasaan itu?" rutuk Amisha. Kamarnya kembali seperti kapal pecah. Berantakan.Dito dan Marsel hanya bisa meliha
Amisha berjalan dengan anggun menghampiri pria masa lalunya. Untuk pertama kalinya, wanita itu kembali berpenampilan cantik setelah sekian tahun berlalu. Dia berusaha bersikap setenang mungkin, menyembunyikan isi hatinya yang tengah berperang, antara kebencian dan kerinduan.Belum sempat Amisha sampai, Dito menarik tangan adiknya hingga terhalang pohon besar. Kepalanya menggeleng dan meminta adiknya masuk. Dia tidak mau mereka bertemu, takut Amisha kembali mengingat luka yang pernah Anggara torehkan. Dia masih ingat bagaimana adiknya terluka saat itu."Aku gak papa, Kak. Dia hanya masa lalu yang ingin aku lupakan," imbuh Amisha dengan suara lirih."Lepaskan dia, Mas! Biarkan Amisha menyelesaikan masa lalunya yang tertunda." Marsel menarik tangan suaminya. "Apa maksud kamu, Sayang? Kamu ingin Amisha kembali terluka? Selama ini dia selalu mengingat kejadian itu jika melihat Arjuna, apalagi sekarang dia harus melihat pelaku utamanya." Dito tidak habis pikir dengan istrinya. Seakan dia t