Keringat membasahi kemeja yang Amisha pakai. Dari apartemen Anggara hingga kampus dia harus berjalan kaki. Padahal jaraknya lumayan jauh. Amisha sampai terlambat masuk jam kuliah pertama.
Wanita itu kini tengah duduk di taman kampus sendirian. Matanya terpejam dengan menyelonjorkan kakinya. Napasnya masih terdengar tidak beraturan. Dia tengah merasakan lelahnya berjalan jauh."Hai, Sha! Tumben gak masuk?" Lastri menghampiri sahabatnya. Dia menatap Amisha dengan tatapan heran."Kamu habis ngapain, Sha? Keringetan gini?" Lastri mengeluarkan tisu dari dalam tas dan memberikannya pada Amisha."Aku habis nyari kerjaan, Las," jawab Amisha."Lah, kok, kerja? Emang Kak Dito gak ngasih uang? Suami ka–?" Amisha membekap mulut Lastri. Matanya celingukan takut ada yang mendengar obrolan mereka."Jangan sebut kata suami di sini, Las. Aku takut Salman denger." Amisha bicara dengan berbisik."Maaf," ucap Lastri tidak enak."Kamu tahu sendiri semua fasilitas dari Kak Dito sudah kukembalikan dan masalah pria itu, dia tidak mungkin mau memberiku uang. Kulkas saja dipakai tulisan supaya aku gak menggunakan apa pun yang ada di dalam kulkas." Lastri merasa iba dengan nasib sahabatnya. Semua berubah drastis. Amisha yang biasanya hidup bak putri di istana, kini berubah menjadi Upik Abu."Dapat gak kerjaannya?" tanya Lastri. Amisha menggelengkan kepalanya dengan lemas."Tidak jauh dari sini ada yang lagi nyari pegawai untuk laundry. Kerjaannya enteng, cuma ngirim barang yang sudah dicuci saja. Motor sudah termasuk fasilitas yang diberikan. Kalau kamu tertarik, nanti aku antar ke sana." Tanpa menunggu lama, Amisha langsung menjawab mau. Dia bersedia bekerja di sana.Lastri akan mengantar Amisha selesai kuliah. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kampus mereka. Cukup dengan berjalan sepuluh menit saja, mereka sudah sampai."Memangnya kamu gak capek kuliah sambil kerja?" tanya pemilik laundry."Tidak, Bu. Saya bisa atur waktunya," jawab Amisha dengan semangat.Pemilik laundry menerima Amisha sebagai karyawan. Dia akan bekerja pagi-pagi untuk mengantarkan pakaian bersih ke konsumen. Setelah selesai, dia baru akan kuliah. Beruntung pemilik laundry mau mempekerjakan dirinya sebagai pekerja paruh waktu."Makasih, ya, Las. Berkat kamu, aku dapat kerjaan." Amisha merasa beruntung memiliki sahabat seperti Lastri yang selalu peduli padanya. Persahabatan mereka tidak diragukan lagi. Saling mengenal sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas."Jangan segan jika kamu butuh bantuan. Sebisa mungkin aku akan bantu kamu." Amisha memeluk Lastri.Keluarga Lastri memang tidak sekaya keluarga Amisha, tetapi jika berurusan membantu orang apalagi dia adalah Amisha, Lastri akan berdiri di garda terdepan.Setelah urusan mereka selesai, Amisha dan Lastri langsung pulang. Mereka berpisah di pertigaan jalan. Jalan yang mereka tempuh berbeda. Sebelum pulang, Amisha membeli makanan untuknya. Dia juga membeli beberapa makanan ringan sebagai pengganjal perutnya di malam hari. Dia sudah menyakinkan dirinya untuk tidak makan makanan yang ada di apartemen Anggara."Tumben sudah pulang? Sudah tobat, ya?" sindir Anggara.Di mata Anggara, apa pun yang Amisha lakukan selalu salah. Wanita itu mengabaikan perkataannya. Dia berlalu begitu saja."Wah, kayaknya dapat mangsa besar. Banyak bener belanjaannya." Kembali Anggara mencibir Amisha."Bisa diam tidak?" Amisha membungkam mulut Anggara dengan bentakan. Dia tidak menyangka kalau wanita itu bisa marah padanya."Lebih baik kamu urus saja pekerjaanmu dari pada mengurus urusanku!" Amisha mendorong dada Anggara hingga kaki pria itu mundur beberapa langkah."Waw, menarik juga. Dia cantik kalau sedang marah." Anggara tersenyum. Untuk pertama kalinya dia memuji kecantikan seorang wanita.Di kamarnya yang sangat kecil, Amisha duduk termenung. Hinaan Anggara sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dia tidak masalah dipanggil seperti itu jika memang Amisha seorang wanita hina. Dia marah karena memang tuduhan Anggara tidak sesuai faktanya.Rasa kesal membuat dia lupa akan perutnya yang lapar. Dia memilih untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.Dari ruang televisi, Anggara memperhatikan gerak-gerik Amisha. Tubuh kecilnya terlihat seringan kapas. Bergerak dengan leluasa."Bodinya memang tidak seindah Raisya, tapi dia jauh lebih menarik," puji Anggara. Pikiran liarnya mulai beraksi.Anggara membayangkan bagaimana jika dia menghabiskan malam bersama Amisha. Bibirnya tersungging senyum penuh kelicikan. Dia tidak mau membuat kehadiran wanita itu di apartemennya sia-sia, apalagi status Amisha adalah istri sah.Mengingat Amisha yang berstatus sebagai istrinya, Anggara merasa berhak atas wanita itu. Dia akan meminta haknya sebagai seorang suami. Mau tidak mau, Amisha harus memberikannya.Selesai membersihkan tubuhnya, Amisha menikmati makanan yang tadi dibelinya. Dia mengabaikan makanan yang sudah dingin. Yang penting baginya makanan itu bisa meredakan rasa laparnya.Tanpa Amisha ketahui, Anggara melihat ritual makannya. Entah apa yang membuat Anggara tersenyum saat melihat Amisha yang terlihat begitu menikmati makanannya.Amisha tersedak. Dia lupa belum membawa air minum. Anggara masuk dan membawakan wanita itu air minum. Amisha menolaknya, tetapi Anggara memaksa dan menyodorkan gelas hingga menempel di mulutnya. Dengan terpaksa dia meminumnya."Lain kali kalau mau makan, bawa air sekalian. Jadi kamu gak harus merepotkan orang lain." Amisha merasa geli dengan apa yang Anggara ucapkan. Dia sama sekali tidak meminta pria itu membawakan air minum. Anggara sendiri yang berinisiatif."Oh gitu. Emang kapan aku minta kamu bawain air?" Amisha mengangkat alisnya untuk meledek Anggara. Dia tersenyum sinis.Anggara merasa gemas dengan sikap Amisha, apalagi melihat bibir wanita itu yang ranum dengan warna bibir merah muda. Pikiran liarnya mulai bekerja. Dia sampai membayangkan bagaimana rasanya jika dia mencium wanita itu."Jaga otakmu! Jangan biarkan kepalamu membayangkan hal-hal yang jorok." Apa yang Amisha katakan sama dengan yang pria itu pikirkan."Jangan mimpi! Aku tidak sudi menyentuh Wanita Jalang seperti kamu!" Apa yang Anggara katakan tidak sama dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dia kini malah tengah memikirkan bagaimana caranya supaya bisa menikmati malam bersama Amisha."Bibir bisa berbohong, tapi tatapan mata tidak. Jangan harap kamu bisa menyentuhku walau seujung rambut." Amisha bicara sambil mendorong Anggara keluar.Dia bisa menebak isi kepala pria itu. Amisha merasa perlu hati-hati, apalagi mengingat ruangan yang dipakainya untuk tidur tidak memiliki pintu. Sesuatu bisa saja terjadi padanya di saat dia tertidur."Percaya diri sekali kamu. Perlu kamu tahu, seleraku bukan wanita seperti …." Anggara meledek bentuk tubuh Amisha. Dia menatap wanita itu dari atas sampai bawah tanpa minat.Amisha meninggalkan Anggara yang masih berdiri mematung di ambang pintu. Dia kembali menikmati makanan yang sempat tertunda karena tersedak. Jika bukan karena perutnya yang masih lapar, dia enggan menghabiskan makanan itu.Anggara berlalu. Dia masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Pikiran kotornya mulai beraksi. Dia membayangkan Amisha berada di atas kasur bersamanya. Menikmati malam dengan beradu peluh dan rintihan.Anggara merutuki dirinya. Tidak biasanya dia membayangkan hal seperti itu. Jika dia menginginkan hal itu, Anggara tidak harus membayangkannya. Dia tinggal memanggil Raisya, dengan senang hati wanita itu selalu datang padanya."Maafkan aku, Raisya. Kamu tidak membuatku tertarik lagi," gumam Anggara."Haruskah aku menghampirinya dan …." Senyum tipis penuh muslihat itu mampir di wajahnya.Amisha tidak bisa tidur. Dia takut Anggara tiba-tiba datang dan melakukan hal yang tidak diinginkan padanya. Tatapan mata Anggara padanya tadi membuat Amisha ketakutan. Sebisa mungkin dia terlihat biasa saja. Jangan sampai Anggara tahu kalau dia ketakutan.Sementara pria yang Amisha takuti sudah terlelap. Tidak biasanya Anggara tidur sebelum larut malam. Bahkan kini dia tengah bermimpi indah. Pikiran buruk tentang sesuatu yang ingin dia lakukan pada wanita itu, di tekannya dalam-dalam.Pagi-pagi sekali sebelum Anggara bangun, Amisha sudah keluar dari apartemen. Dia semangat sekali untuk bekerja. Di hari pertamanya, Amisha ingin memberi kesan yang baik dengan tidak membuat si pemilik laundry kecewa.Amisha disambut hangat pemilik laundry. Bu Sari namanya. Dia langsung diberi seragam bertuliskan laundry Jaya Amanah. Hari pertamanya bekerja, dia akan mengantarkan pakaian yang sudah dicuci bersih kepada para pelanggan."Selamat bekerja dan hati-hati," ucap Bu Sari. Amisha pun pamit. Dia
Plaak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Anggara. Tangan Amisha bergetar hebat. Dia bergegas pergi sebelum Anggara membalas perbuatannya. Amisha lari sekencang mungkin tanpa arah dan tujuan. Yang ada dalam pikiran wanita itu, dia harus pergi sejauh mungkin. Memang tidak baik berada dalam satu ruangan dengan Anggara di saat dia tengah marah.Amisha hanya bisa menangis sendirian di bangku taman. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika tidak bisa lepas dari pria itu. Dia bergidik ngeri membayangkannya.Sentuhan tangan di pundaknya membuat Amisha kaget bukan main. Dia langsung menepis tangan itu dan beranjak. Matanya membulat sempurna saat melihat siapa yang ada di hadapannya. Salman berdiri dengan tatapan penuh rasa khawatir."Kamu ngapain menangis sendirian di sini, Sha? Apa ada yang menyakitimu? Katakan padaku!" Salman terlihat sangat khawatir. Masih terlihat di matanya cinta yang begitu besar untuk wanita itu.Amisha menepis tangan Salman saat hendak memegang pundaknya. Dia
Terlalu fokus dengan foto Amisha, Anggara sampai tidak memperhatikan foto lain. Di mana ada foto Dito dan Raisya saat melangsungkan pernikahan mereka. Anggara menyimpan ponselnya kembali saat melihat Amisha melajukan motornya. Dia bergegas mengikuti wanita itu hingga motor yang Amisha pakai berhenti di kampus. Amisha terlihat menuju toilet dan tidak berselang lama, wanita itu sudah berganti pakaian."Jadi kamu bekerja sebelum kuliah? Kenapa harus jadi pengantar pakaian? Bukankah kakakmu punya kafe?" Anggara bicara sendiri. Dia merasa ada yang salah.Ponsel Anggara berdering. Terlihat sebuah pesan masuk ke aplikasi hijaunya. Tertulis nama Raisya di sana."Sayang, kamu di mana?" tulis Raisya."Kemarin kita gagal melakukannya. Apa kamu mau mencobanya lagi?" Kembali Raisya mengirimkan pesan."Aku tunggu di tempat biasa." Pesan terakhir yang Raisya kirimkan.Anggara hanya membacanya saja, enggan untuk membalasnya. Dia ingin sedikit menjauh dari wanita itu. Entah mengapa, Raisya tidak lagi
Cukup lama Amisha duduk sendirian di taman depan apartemen. Hati juga pikirannya sedikit rileks, setidaknya untuk beberapa saat. Dia berharap ini hanya mimpi buruk saja yang suatu saat nanti dia bisa terbangun. Dengan langkah malas, Amisha kembali ke apartemen Anggara. Sebelum masuk ke area apartemen, Amisha membeli roti untuk mengganjal perutnya di minimarket. Wanita itu sudah jarang sekali makan nasi karena terlalu sibuk. Sebisa mungkin dia juga hidup hemat, apalagi mengingat waktu gajian masih sangat jauh."Sha, ngapain kamu di sekitar sini?" Jantung Amisha seakan berhenti berdegup saat mendengar suara yang sangat tidak asing di telinganya."Beli ro–roti," jawab Amisha gugup. Salman menatap Amisha penuh tanya."Beli roti sejauh ini?" Salman memicingkan matanya.Meskipun hatinya merindukan pria itu, Amisha berusaha mengabaikannya. Dia tidak mau melibatkan Salman dalam masalahnya. Cintanya pada pria itu masih tersimpan dengan baik. Berh
Anggara terbangun saat matahari sudah berada di atas kepala. Dia merasakan sakit di dahi sebelah kanan, bekas terkena pukulan dari gelas yang Amisha layangkan. Belum lagi efek dari minuman yang sudah membuatnya mabuk semalam."Apa yang sudah kamu lakukan pada wanita itu?"Anggara terlonjak kaget saat mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Dia juga merasa asing dengan ruangan tempatnya tertidur."Shiit!" Anggara hanya bisa mengumpat saat dia ingat dengan kejadian semalam. Matanya celingukan mencari wanita yang tinggal bersamanya. Penasaran dengan kondisi wanita itu."Siapa yang kamu cari? Istrimu?" tanya orang itu."Di mana dia, Pa?" Orang yang kini menatap Anggara penuh amarah adalah Subagio, papanya Anggara. Subagio dan Marini sengaja datang ke apartemen Anggara pagi-pagi sekali karena laporan orang suruhan mereka. Dari laporan yang mereka dapat, terdengar suara Amisha berteriak. Kebetulan pintu apartemen tidak tertutup rapat."Apa pedulimu? Dia sudah pergi jauh!" ucap Sub
Raisya baru saja kembali dari perjalanan bisnis. Dia disambut hangat oleh suaminya. Seperti pasangan suami istri lainnya, wanita itu memperlihatkan kerinduannya pada sang suami.Raisya pandai sekali menyembunyikan perselingkuhannya dari sang suami. Semua terlihat baik-baik saja, Dito pun tidak menaruh curiga apa pun."Di mana Misha? Tumben dia tidak menyambutku? Padahal aku udah bawa oleh-oleh untuknya," ucap Raisya. Dia kini tengah dalam balutan selimut bersama Dito."Misha sudah tidak tinggal di sini lagi," jawab Dito. Raisya menatap suaminya dengan rasa penasaran."Maksud kamu apa, Mas? Apa Misha ngekost?" Dito menggelengkan kepalanya, membuat wanita itu semakin penasaran."Saat kamu pergi ke luar kota, aku mendapati Misha berduaan dengan seorang pria di kamar hotel. Hari itu juga aku menikahkan mereka." Penjelasan Dito adalah kabar yang mengagetkan. Raisya tidak percaya kalau Amisha melakukan itu.Raisya sangat mengenal Amisha seperti apa. Dia tidak yakin kalau adik iparnya itu me
Kerah baju Anggara ditarik dengan kasar hingga keluar dari mobil. Sebelum kembali memukul Anggara, orang itu melemparkan jaket yang dipakainya pada Amisha.Setelah yakin Amisha memakai jaket itu, dia kembali fokus dengan Anggara. Memukul juga menendang pria itu hingga tersungkur ke aspal."Mas Salman! Hentikan!" teriak Amisha. Anggara jatuh tersungkur dengan wajah lebam. Darah segar juga keluar dari sudut bibirnya. Di saat Salman hendak melayangkan pukulan lagi, Amisha menghalanginya. Pukulan yang diarahkan pada Anggara kini diterima Amisha."Misha!" Salman bergegas menghampiri. Terlihat raut penyesalan di wajahnya. Anggara menatap pria itu dan balas memukul.Akibat pukulan itu, pipi Amisha memerah. "Brengsek!" Anggara terlihat marah. Dia membalas setiap pukulan yang tadi diterimanya."Berhenti kalian!" Amisha mencoba melerai mereka, tetapi teriakannya terus diabaikan.Amisha kini menghalangi Anggara saat Salman hendak melayangkan pukulan. Hampir saja pukulan pria itu mendarat di pip
Beberapa hari tidak bertemu, tidak membuat Amisha merindukan sosok Raisya. Terutama setelah dia tahu perselingkuhan kakak iparnya. Wanita itu sampai menolak saat Raisya hendak memeluknya. Bahkan tangan Raisya ditepis saat melihat memar di pipi adik iparnya."Pipi kamu kenapa, Sha? Kok, memar gini?" Amisha mengabaikan pertanyaan Raisya. Dia enggan menjawabnya.Tangannya terkepal kuat saat mendengar cerita wanita itu selama melakukan perjalanan bisnis. Rindu, satu kata yang selalu wanita itu katakan dan Amisha jijik mendengarnya."Kalau tahu bakal ketemu kamu, pasti Kakak bawa oleh-oleh buat kamu sekalian," ucap Raisya. Wanita itu masih belum sadar kalau Amisha tengah marah besar padanya."Gak usah repot-repot. Berikan saja pada orang lain," ucap Amisha sambil berlalu. Dia bergegas pergi karena takut tidak bisa mengontrol emosinya."Sha! Kok, gitu? Kamu marah sama Kakak?" Raisya mencoba mengejar adik iparnya."Masih bertanya?" Amisha tertawa sinis. Wanita di hadapannya sungguh tidak tah
Setelah mendesak Marsel, Anggara tidak mendapatkan jawaban pasti. Dia diminta mencari tahu sendiri siapa Arjuna sebenarnya. Orang yang Jon kirim untuk mencari tahu belum juga membawakan kabar terbaru."Menurutmu, mereka ada hubungan apa, Jon?" Terlihat wajah Anggara yang kebingungan. Sejak tadi dia mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri."Ibu dan anak." Tetap jawaban itu yang Jon berikan. Dia bahkan merasa yakin kalau mereka punya hubungan darah.Sementara di rumahnya, Arjuna tengah duduk melamun. Dia memikirkan kejadian yang terjadi di taman. Awalnya dia ingin mempersatukan kedua orang tuanya, tetapi tiba-tiba ada rasa marah saat anak itu melihat ibunya merintih kesakitan. Takut pria itu kembali melukai batin ibunya. Arjuna sebenarnya sudah memberi celah untuk ayahnya masuk. Dia ingin memulai dari awal. Saat main bola, Arjuna bukan tidak tahu kalau itu Anggara. Dia tahu, sangat tahu, hanya saja Arjuna ingin membiarkannya saja. Seandainya Anggara tahu, Arjuna ingin sekali memeluk
Anggara mencari keberadaan Amisha. Tiba-tiba wanita itu menghilang. Di dalam kerumunan itu, Anggara tidak menemukan keberadaan wanita yang dicintainya ataupun anak yang bersama wanita itu."Cari dia, Jon! Temukan sampai dapat!" titah Anggara. Mereka berpencar mencari keberadaan Amisha. Seluruh tempat tidak lepas dari pencarian mereka, hingga toilet pun mereka telusuri."Bagaimana, Jon?" tanya Anggara. Terlihat raut cemas di wajah pria itu."Maaf. Saya tidak menemukannya." Hanya dalam sekejap mata, Amisha dan Arjuna menghilang dari pandangan mereka. Semua area permainan salju sudah ditelusuri, tetapi hasilnya nihil. Amisha ataupun anak itu tidak ditemukan."Pokoknya Juna gak mau nonton film horor." "Tapi Bubun maunya nonton itu." Anggara dan Jon melirik ke arah suara. Orang yang mereka cari ada di belakang. Bergegas Anggara berbalik, belum saatnya Amisha melihat dirinya.Arah datangnya Amisha dari sebuah tempat makan siap saji. Anggara menduga mereka baru saja makan. Pantas saja di
Anggara mengerutkan keningnya, tidak paham dengan yang dikatakan Jon. Tidak mungkin anak itu anaknya Amisha jika anak yang dimaksud sudah duduk di bangku SMA. Amisha pergi dua belas tahun lalu, sementara anak SMA berkisar antara usia enam belas tahun sampai delapan belas tahun. Dia meminta Jon mencari info yang lebih akurat.Perjalanan berjalan dengan lancar. Anggara kini sudah sampai di rumah yang akan ditempatinya. Sebuah rumah minimalis yang tidak jauh dari rumah yang Amisha dan Arjuna tempati. Dia kini butuh waktu untuk istirahat sejenak. Perjalanan dari desa sungguh melelahkan, bukan karena jauhnya, melainkan karena jalan yang belum diaspal.Arjuna terbangun saat terdengar suara teriakan anak-anak dari arah tanah lapang. Dia mengintip lewat jendela. Banyak anak-anak yang tengah bermain bola. Sekilas bibirnya tersenyum, terkenang dengan masa-masa di saat dia seumuran mereka.Setelah menunaikan salat Ashar, Arjuna tertarik untuk menghampiri anak-anak yang bermain di lapang. Duduk d
Arjuna tertunduk. Dia ketahuan menguping obrolan mereka. Beruntung Amisha belum menceritakan semuanya, kalau tidak, Arjuna akan mendengar cerita yang belum pantas didengar anak seusianya."Maaf, Bun. Juna mengaku salah. Itu tidak akan terulang lagi," ucap Arjuna penuh penyesalan."Bubun gak suka dengan sikap kamu ini, Jun. Ada hal yang tidak bisa Bubun ceritakan. Suatu hari nanti, pasti Bubun cerita setelah usiamu dewasa," terang Amisha. Arjuna mengangguk paham."Sha, jangan marahi Juna. Dia pasti ingin tahu kisah kamu. Apalagi ada sosok Anggara yang belum dikenalnya. Dia pasti penasaran." Salman bersuara.Di saat perbincangan masih berjalan, Marsel menghubungi nomor Arjuna. Bergegas anak itu pamit untuk menjawabnya. "Arjuna mirip sekali dengan Anggara, Sha. Jika suatu hari nanti dia melihat Arjuna bersamamu, aku yakin Anggara pasti tahu siapa Arjuna baginya." Apa yang Lastri katakan memang benar. Itu juga yang membuatnya takut. Meskipun
Amisha duduk di teras bersama tamunya. Dia tidak berani membawa seorang pria masuk ke rumah sementara tidak ada orang lain di sana. Laksmi sedang membeli beberapa kebutuhan di supermarket terdekat."Maaf jika kedatanganku mengganggumu, Sha. Aku juga gak sengaja ke sini. Tadi kulihat kamu lagi nyapu, makanya aku samperin untuk memastikan itu kamu," ucap Salman. "Gak papa. Lastri gak ikut?" tanya Amisha."Dia gak ikut. Aku lagi ada tugas kantor, mengontrol proyek baru. Saat mau pulang, atasanku meminta untuk mengecek proyek di dekat sini." Amisha terdiam. Dia merasa canggung berduaan dengan pria itu, apalagi sekarang Salman adalah suami sahabatnya. Dia takut kebersamaan mereka menjadi fitnah."Apa ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?" Amisha sudah mulai tidak nyaman. "Tidak ada. Aku hanya mampir saja dan memastikan kalau yang kulihat itu beneran kamu, Sha." Untuk sesaat keduanya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Amisha takut putranya segera kembali dan bertanya-t
Arjuna sampai rumah dengan napas terengah-engah dan keringat bercucuran di dahi. Anak itu sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ibunya. Untuk pertama kalinya dia terpisah meskipun hanya dua hari saja."Bubun belum sampai, Den. Mungkin satu jam lagi," ucap Laksmi. Dia bisa menebak alasan anak itu pulang dengan berlari."Kamar Bubun sudah dirapikan, Bi?" Laksmi mengangguk."Makanan sudah siap?" Kembali Laksmi mengangguk."Bunga. Aku mau beli buket bunga buat Bubun." Arjuna berbalik dan hendak pergi lagi."Kenapa gak buat saja, Den? Banyak bunga di taman," saran Laksmi. Arjuna menepuk jidatnya."Bibi bantu aku, ya!" pinta Arjuna. Laksmi mengangguk setuju.Setelah mengganti pakaiannya, Arjuna menghampiri Laksmi yang sudah lebih dulu ke taman. Ada bunga lili putih, bunga kesukaan Amisha. Arjuna tertarik untuk merangkai bunga itu dan diberikan pada ibunya."Apa Bubun akan suka bunga ini, Bi?" Arjuna terlihat ragu. Dia takut kembali mendapat penolakan."Bubun pasti suka, Den. Setahu Bibi, b
Anggara sudah bisa mengambil kesimpulan alasan Amisha pergi karena apa. Rupanya ada kesalahpahaman yang harus segera diselesaikan, dia ingin wanita itu kembali padanya.Anggara belum sempat mengatakan semuanya karena Amisha tiba-tiba pergi. Di saat dia hendak mengejarnya, Dito menghalangi langkah pria itu. Dito menolak mendengar penjelasan Anggara, hingga akhirnya pria itu diusir."Baiklah. Sekarang aku tahu apa penyebab kamu pergi. Kupastikan kamu kembali padaku," gumam Anggara dengan penuh keyakinan.Pria itu kini sudah kembali ke rumah yang disewanya. Dia akan memperpanjang waktu tinggalnya sampai wanita itu benar-benar kembali padanya.Sementara di kamarnya, Amisha hanya bisa terguguk. Lagi-lagi dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Kebencian di hatinya selalu kalah dengan rasa rindu yang dirasakan."Jelas-jelas dia sudah mengkhianatiku, kenapa aku terus saja merasakan perasaan itu?" rutuk Amisha. Kamarnya kembali seperti kapal pecah. Berantakan.Dito dan Marsel hanya bisa meliha
Anggara sudah bisa mengambil kesimpulan alasan Amisha pergi karena apa. Rupanya ada kesalahpahaman yang harus segera diselesaikan, dia ingin wanita itu kembali padanya.Anggara belum sempat mengatakan semuanya karena Amisha tiba-tiba pergi. Di saat dia hendak mengejarnya, Dito menghalangi langkah pria itu. Dito menolak mendengar penjelasan Anggara, hingga akhirnya pria itu diusir."Baiklah. Sekarang aku tahu apa penyebab kamu pergi. Kupastikan kamu kembali padaku," gumam Anggara dengan penuh keyakinan.Pria itu kini sudah kembali ke rumah yang disewanya. Dia akan memperpanjang waktu tinggalnya sampai wanita itu benar-benar kembali padanya.Sementara di kamarnya, Amisha hanya bisa terguguk. Lagi-lagi dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Kebencian di hatinya selalu kalah dengan rasa rindu yang dirasakan."Jelas-jelas dia sudah mengkhianatiku, kenapa aku terus saja merasakan perasaan itu?" rutuk Amisha. Kamarnya kembali seperti kapal pecah. Berantakan.Dito dan Marsel hanya bisa meliha
Amisha berjalan dengan anggun menghampiri pria masa lalunya. Untuk pertama kalinya, wanita itu kembali berpenampilan cantik setelah sekian tahun berlalu. Dia berusaha bersikap setenang mungkin, menyembunyikan isi hatinya yang tengah berperang, antara kebencian dan kerinduan.Belum sempat Amisha sampai, Dito menarik tangan adiknya hingga terhalang pohon besar. Kepalanya menggeleng dan meminta adiknya masuk. Dia tidak mau mereka bertemu, takut Amisha kembali mengingat luka yang pernah Anggara torehkan. Dia masih ingat bagaimana adiknya terluka saat itu."Aku gak papa, Kak. Dia hanya masa lalu yang ingin aku lupakan," imbuh Amisha dengan suara lirih."Lepaskan dia, Mas! Biarkan Amisha menyelesaikan masa lalunya yang tertunda." Marsel menarik tangan suaminya. "Apa maksud kamu, Sayang? Kamu ingin Amisha kembali terluka? Selama ini dia selalu mengingat kejadian itu jika melihat Arjuna, apalagi sekarang dia harus melihat pelaku utamanya." Dito tidak habis pikir dengan istrinya. Seakan dia t