Ele masuk ke dalam kamarnya dengan gusar bercampur jengkel yang tak dapat dijelaskan. Maritha menyusul masuk ke dalam kamarnya sembari membawa nampan berisi sepiring makanan beserta lauk pauknya dan segelas air."Nona, silakan makan."Ele tak menjawab apapun, dia membiarkan Maritha meletakkan nampan tersebut di atas meja yang berada dalam kamarnya. Napsu makannya lenyap entah mengapa."Saya tinggal Nona, nona bisa menghubungi saya jika membutuhkan sesuatu.""Terimakasih, Maritha." Ele masih menyempatkan diri mengucapkan terimakasih di tengah moodnya yang memburuk. Maritha pun meninggalkan kamarnya. Ele hanya melirik makanan itu sebentar. Dia naik di atas tempat tidur dan bermaksud mengalihkan diri dnegan menyusun premis untuk naskah terbarunya. Namun, tanpa di sadari, dia tertidur tanpa menyentuh makanan yang disiapkan Maritha.***Keesokan paginya Ele bangun lebih awal dan segera membersihkan diri. Dia harus ke Hadasa House hari ini karna ada pertemuan mendadak nanti jam tujuh pagi d
Eleanor pernah percaya pada keajaiban ketika di masih kecil. Bahwa suatu saat akan ada orang yang datang menjemputnya, membawanya pergi dari panti asuhan dan menawarkan keluarga yang utuh padanya. Semakin dia bertumbuh remaja, dia menyaksikan satu persatu teman bermainnya di bawa pergi oleh para orangtua yang memilih mereka. Dan dia, tertinggal disana hingga akhir. Itulah awal mula Eleanor merasa dirinya tidak pantas untuk siapapun dan kemudian perasaan itu membunuh dirinya secara perlahan dari dalam. Dia kesepian, satu persatu kawan sebaya dan sepermainannya pergi. Dan semakin lama, dia menjadi anak tertua yang masih bertahan di sana. Eleanor tak merasa kekurangan kasih sayang. Bunda berperan sebagai sosok ibu bagi mereka, dan wanita itu tidak gagal dalam perannya. Dia bersekolah di sekolah yayasan, mengejar beasiswa sampai akhirnya bisa lulus SMA tanpa meminta sepeser uang pun pada sang kepala panti yang telah membesarkannya.Dia kemudian bertemu Tristan ketika laki-laki itu berkunj
Dari tempat mereka duduk, Ele dan Salma dapat mendengar deru mesin mobil memasuki halaman kediaman. "Tuan sudah tiba," ungkap Ele pula, tak menyadari Salma yang langsung meliriknya kebingungan. "Kau memanggil Chislon dengan sebutan Tuan? Apakah Chislon tidak masalah dengan itu?'Airmuka Ele agak berubah sedikit ketika dia menyadari dirinya keceplosan. Gadis itu menggeleng dan mencoba tersenyum untuk menutupi kecanggungan nya."Saya sudah terbiasa sejak dulu, dan Tuan juga tidak terlalu mempermasalahkannya..." Jawab Ele sekenanya.Dari airmuka Salma,Ele tahu kalau gadis itu masih tidak paham. Namun kemudian, dia mengalihkan atensinya pada Effendy yang berdiri di teras samping dan memandangi mereka di kejauhan."Aku akan menemui Chislon. You come with me?" Tanya Salma.Eleanor menggeleng. "Tidak, aku disini saja. Kurasa aku juga tidak perlu mendengar pembicaraan kalian. Barangkali itu privasi." Tolak Ele dengan halus. Salma mengangguk. Wanita itu berjalan menghampiri Chislon.***"Aku
Eleanor tengah duduk di ruang depan, menunggu suaminya turun. Mereka akan berangkat ke bandara pukul empat sore itu. Itu masih pukul 2, tapi Ele sudah memohon pada Effendy agar mengijinkannya setidaknya berpamitan pada Bundanya di panti. Effendy kemudian mengijinkan dengan catatan setelah dari panti keduanya akan langsung ke bandara. Dan itu artinya, mereka akan semobil.“Kamu sudah siap?” Tanya Effendy tatkala dia telah sampai di ruang depan dan menyaksikan Ele yang sedang duduk setengah melamun.“Ya,” balas gadis itu dengan bahu yang sedikit terlonjak. Dia tampak cantik saat itu dengan balutan pakaian bepergian, polesan make up tipis dan rambut lurus sepunggungnya yang Ele kuncir. Ele diam-diam memperhatikan Chislon Abimanyu, menelan semua kekagumannya akan visual lelaki itu. Chislon menatap pada Ele, lalu mengerutkan kening. “Mengapa kau memandangiku begitu?”“Eh, memandang bagaimana?” Ele merasa panik, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan cepat, dan detik itu juga Ef
Pukul sepuluh, Effendy dan Eleanor keluar dari bangunan apartemen berlantai-lantai itu. Kali ini Theo sudah menanti mereka di dalam mobilnya. Sepupu Chislon itu tersenyum lebar pada mereka dengan manis. Sekarang Ele bisa melihatnya dengan cukup jelas. Laki-laki itu tidak begitu mirip dengan Chislon kendatipun mereka punya hubungan darah. Dia terlihat seperti pemuda Prancis pada umumnya, tetapi dengan satu kelebihan, tampan. Warna matanya pun biru. Ele tanpa sadar menoleh pada Effendy, membandingkan mereka secara naluriah. Dan dia mendapati kalau laki-laki yang berstatus suaminya itu bahkan tetap terlihat lebih bersinar. Ele menggelengkan kepalanya. Apa dia sudah menyukai Effendy? Kenapa jadi begini?“Apa yang kau pikirkan?” tanya Effendy dengan heran. “Eh, tidak.” Jawab Ele sembari masuk ke dalam mobil. Kendaraan itu pun melaju di atas jalan utama.Theo nampaknya menahan diri untuk tidak bertanya banyak hal, dan memfokuskan dirinya sebagai driver saat ini. Beberapa saat kemudian ken
“Apa yang hendak kau lakukan?”Eleanor berdiri dengan mata melotot, menyaksikan suaminya menatapnya kesal. Dia pasti terlihat sangat menjengkelkan dengan pose hendak menimpuk maling di depan suaminya sendiri. Gadis itu menurunkan kemoceng di tangannya dengan cepat. Wajahnya perlahan berubah lebih lunak. Dia bahkan mencoba tersenyum. “Aku kira tadi...”“Maling? Tenang, hanya aku yang memegang akses masuk kalau kau itu yang kau cemaskan.” Ujar Effendy setengah menggerutu. Dia mengenakan pakaian tebal dan syal yang melilit leher, membuat Ele bisa membayangkan betapa dinginnya udara di luar. Mendadak, perutnya terasa perih kembali. Rasa lapar rupanya belum hengkang dari lambungnya. Saat dia melirik, Effendy tidak membawa apapun. Laki-laki itu terlihat begitu santai, melepas pakaian tebalnya dan kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Ele, hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Effendy mungkin lupa pada janji kalau dia akan tidur di sofa. Laki-laki itu menghempaskan diri ke tempat tidur dan
Ele terbangun agak siang, sekitar pukul tujuh. Gadis itu melihat ke sofa di dalam kamar dan menyadari kalau Effendy sudah tidak ada. Rasa cemas kembali menghantui dirinya. Apakah dia tinggal sendirian? Bagaimana jika ada orang kurang ajar seperti semalam yang membobol masuk? Ele bergegas bangkit dari tempat tidur. Saat itulah dia mendengar suara shower dari kamar mandi. Dia langsung bernapas lega. Effendy belum pergi. Dia tidak sendirian. Gadis itu pergi ke dapur untuk mengambil air hangat. Saat dia iseng membuka kulkas, Ele melihat alat pendingin itu sudah diisi oleh beberapa bahan makanan dan minuman. Ele memeriksa salah satu rak penyimpanan dan melihat sudah ada beras di sana. Gadis itu tanpa sadar tersenyum lebar. Dia mulai memasak nasi dalam magic com, berencana hendak membuat nasi goreng. Baru dua malam di Prancis Ele sudah merindukan makanan Indonesia. Sambil menunggu nasinya matang gadis itu mendengar kalau Effendy sudah selesai mandi. Setelah menunggu dan memastikan kalau lak
Eleanor keluar dari kamar dengan gaun ungu yang dibelikan Effendy. Karna dirinya tahu itu adalah acara resmi, pertemuan dengan kolega bisnis lelaki itu, Ele berusaha tidak tampil memalukan dengan mengaplikasikan make up yang apik, menata rambutnya dengan rapi dan mengenakan sepatu flat yang semuanya dari Paris.Effendy sudah berpakaian rapi, menunggu di ruang TV. Ele yang keluar dari kamar menghampirinya pelan. “Apakah aku terlihat cukup baik? Aku tidak ingin mempermalukan Anda.” Ujar Ele pula dengan serius. Effendy menatap penampilan Eleanor dari kepala sampai kaki. Dia diam sebentar. “Ternyata kau tidak buruk juga.” Ujarnya sembari tersenyum sinis, Ele tidak dapat membedakan apakah itu pujian atau hinaan. “Ayo,” ajak Effendy sembari berjalan lebih dulu keluar dari apartemen tersebut.***Restoran yang dijadikan sebagai tempat pertemuan bisnis itu adalah Gourmet Bar Lyon Confluence, salah satu restoran terkemuka di kota Lyon. Ruang makannya luas bermandikan cahaya, dilengkapi dengan