Share

Bagian 4

“Kamu baik-baik saja, Freya?” Suara serta tepukan di bahu Freya seketika membawa kesadaran Freya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.

Gadis itu membawa pandangannya pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang jumlahnya ribuan kubik.

“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.

“Ini khayalanku saja ‘kan?” lirihnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur.

“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Sean terkejut, Freya demam. Mungkin karena, terlalu lama dia berada di luar ruangan.

“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya.

“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis tangan Sean dengan kasar. Dia nekat menembus hujan.

Membiarkan tubuhnya basah oleh tangisan alam. Ia terus berlari menjauh dari Sean. Akan tetapi, pria itu tidak berdiam diri semata. Ia mengejar Freya.

“Tunggu, Freya. Tidak masalah jika kau membenciku. Setidaknya pikirkan bayimu.”

“Berhenti ikut campur urusan bayiku, Sean! Kamu bukan siapa-siapa baginya, jangan berbuat lebih jauh!” bentak, Freya. Ia masih saja keras kepala.

“Tidak bisa, Freya. Kamu boleh saja mengacuhkan aku, tapi kamu tidak berhak menjauhkanku darinya. Dia keponakanku. Jika, Sky tidak mau bertanggung jawab, aku siap menjadi ayahnya.”

“Hentikan! Kau sungguh tuli, Sean?! Aku katakan ratusan kali, jangan pernah bermimpi untuk menikahiku! Aku lebih baik menjadi wanita hina dengan hamil tanpa suami ketimbang harus menikah denganmu!” Kembali, ia menjauh dari pria itu.

Akan tetapi, tak gentar juga, Sean memaksa gadis kepala batu itu. “Aku tidak akan menyerah, Freya. Aku akan berjuang untukmu. Untuk anakmu dan buah hati adikku,” tutur Sean dengan sungguh-sungguh.

Freya menangis, wajahnya parau. Ia menatap wajah Sean dengan saksama kemudian memeluk tubuh jangkung di hadapannya.

“Apa salahku? Kenapa Sky tidak mau menikahiku, Sean? Apakah aku wanita yang buruk?”

“Bukan. Kamu tidak seburuk itu, Freya. Dia mencintaimu. Dia menyukaimu. Kamu tahu betul alasannya. Sky memiliki impian yang sejak dulu ingin dia raih. Impian ayah kita.”

“Tapi, Ayahmu dan ayahnya sudah tiada ‘kan? Kenapa dia harus melanjutkan apa yang tidak seharusnya dia lakukan, Sean?”

Pria itu mendekap kian erat tubuh Freya yang menggigil. Membiarkan hujan membalut tubuh mereka, Sean sudah kehilangan payung biru miliknya sejak mengejar gadis itu tadi.

“Kemarilah.” Sean membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan penghangat di bangku kemudi dan satu bangku di sebelahnya.

Sean juga meraih jas yang ada di bangku belakang. Ia tutup kedua bahu Freya agar lebih hangat. Bibir gadis itu pucat, badannya menggigil. Sean menggenggam tangan kurus Freya dengan sesekali meniupnya.

“Jangan pikirkan hal lain kecuali kesehatanmu dan janinnya, ya. Bolehkah aku minta kau untuk bedrest, Freya?”

Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia meggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”

“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”

“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.

Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.

“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”

“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky. Tidak terganti dan tidak juga tergeser,” ungkap Freya. Ia membalas tatapan mata Sean.

Menyelami bagaimana indah mata cokelat milik pria itu. Sama halnya Freya yang menghabiskan perasaannya dengan Sky. Begitulah perasaan Sean pada gadis itu. Mereka berada dalam cinta segitiga dengan hubungan darah antara Sean dan Sky.

“Kita bisa pikirkan ini lain waktu. Sekarang aku antar kamu pulang. Ini sudah terlalu larut untukmu.” Sean melepaskan genggaman tangannya dan beralih untuk mencengkeram kemudi.

Mobil putih itu melaju, menerjang sunyinya malam ibu kota. Freya tetap duduk dengan posisi yang sama. Menghadap pada Sean. Namun, ia menundukkan wajahnya. Memainkan ujung kukunya untuk mengikis tepian kuku atau bahkan kuku yang lain.

Sean meraih jemarinya. Itu hal yang dilakukan untuk menghentikan rasa cemas dan khawatir dalam diri Freya.

“Apa yang ingin kamu katakan?” Hanya dengan gerak-gerik Freya yang demikian saja, Sean bisa menebak ada satu atau dua hal yang ingin Freya ketahui.

Satu tahun mengenal Freya, pria itu cukup mampu memahami bagaimana sikap dan sifat gadis yang ia kehendaki.

“Apa dia mengatakan sesuatu? Apakah dia tahu hubungan kita, Sean?” suara Freya serak dan bergetar.

Sebenarnya Sean tidak ingin menceritakan apa pun tentang sikap dan juga tanggapan Sky di sana. Namun, Sean juga tidak bisa terus membohongi dirinya dan juga Freya. Gadis itu harus tahu apa yang sebenarnya dikatakan oleh adiknya.

“Apakah kamu akan memercayaiku, Freya?”

“Mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Aku tidak bisa mengatakan aku tidak percaya, tetapi kadang aku tidak sependapat dengan pemikiran atau penyampaianmu, Sean.”

“Sky mencintaimu. Aku sudah katakan tadi ‘kan? Ya, itu kenyataan yang harus kamu ketahui dan simpan rapat dalam hatimu, Freya.”

“Kamu tidak berdusta?”

Sean menoleh pada Freya dan mengangguk. Ia juga memberikan senyuman manis yang selalu dia tunjukkan ketika ia berkata dengan jujur.

“Tapi— ke—”

“Aku juga sudah katakan alasannya kenapa dia belum ingin menikah ‘kan? Ini bisa kalian jadikan pelajaran. Sungguh, aku tidak menyalahkan kamu, Freya. Aku tahu, terkadang cinta mampu membawa seseorang kejurang kehancuran paling dalam, atau bahkan ke lautan lepas lalu kita hilang kendali dan tergulung olehnya.”

“Aku tahu kamu adalah laki-laki yang bijak, Sean. Orangtuamu berhasil mendidikmu.”

“Aku tahu. Mereka memang yang terbaik. Aku akan mengenalkanmu pada anggota keluargaku lain kali. Kalau kamu tidak sibuk.”

“Sky tidak pernah membahas keluarganya. Dia hanya terus bilang, kalau keluarganya mendukung penuh hobi dan impiannya.”

“Ayah kita adalah orang yang paling mendukung kegiatan itu, Freya. Kau akan tahu kisahnya nanti. Setelah kau benar-benar siap.”

“Apa Sky mengatakan sesuatu tentang hubungan kita? Apa dia tahu, Sean?” Freya belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, hingga dia harus mengulang lagi. Dia sungguh ingin tahu.

“Ya— aku minta maaf. Aku mengatakannya.”

“Apa dia menyangkal anak ini?”

Sean kembali menatap wajah Freya. Kali ini lebih lama karena mobil yang mereka naiki telah tiba di rumah Freya. Tepat di depan gang yang biasa gadis itu lalui.

“Aku tahu dia pasti mengatakan itu. Terkadang aku lebih baik kehilangan bayi ini ketimbang Sky. Aku tidak butuh bayi, aku butuh dia, Sean.”

“Jangan pernah berpikir begitu, Freya. Bayangkan suatu saat dia kembali dan kalian bersatu karena bayi itu. Bukankah itu lebih baik?”

“Aku tidak tahu, apakah aku bisa bertahan selama itu, Sean? Aku tidak sekuat itu. Aku kehilangan arah sejak tahu kalau aku hamil. Aku belum siap dengan semua ini. Aku tidak pernah siap kehilangan Sky.” Lagi-lagi gadis itu menangis.

Sean tahu ini berat. Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun, bahkan Sky pernah sempat ingin membawa Freya ke London dan hidup bersama di sana. Namun, gadis itu menolak, dia punya keluarga, dia punya tangung jawab di sini.

Kemudian, semuanya hilang begitu saja hanya karena kecerobohan mereka. Semua ini tidak sepenuhnya salah Freya. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi tidak ada yang benar-benar bersalah.

“Kamu ingin tahu apa yang dikatakan Sky padaku?”

Freya tidak melontarkan sepatah kata pun, tetapi dia setia menelisik sorot mata Sean, kekasih keduanya.

“Aku meminta izin menikahimu, Freya. Kalau memang dia belum siap. Aku akan menjagamu. Aku tidak akan pernah melarangmu memberikan kabar atau bertukar pesan dengannya. Itu hakmu, tapi kumohon izinkan aku berdiri di sampingmu. Menuntun langkahmu, mendorongmu untuk lebih kuat lagi, dan menarikmu dalam kehidupan yang lebih berwarna.”

Seharusnya itu sudah cukup bagi seorang wanita memercayai sebesar apa cinta Sean pada kekasihnya bukan? Akan tetapi, tidak bagi Freya. Dia memang bodoh, dia tolol dan buta hati. Dia tidak pernah bisa menilai begitu tulusnya Sean menerima dirinya.

Dia hanya tahu kalau, Sky adalah yang pertama dan terakhir untuknya. Seperti apa yang dimimpikan Sky, jika menjadi juara dunia patut diperjuangkan, maka, begitulah perasaan Freya padanya. Sky patut untuk dipertahankan sampai akhir.

“Kamu tidak perlu menjawabnya hari ini. Aku punya banyak waktu untuk menunggumu. Aku punya setumpuk kesabaran untuk menanti jawabannya, Freya,” tambah Sean. Sekali lagi dia tersenyum.

“Aku pamit. Terima kasih sudah mengantarku.” Freya memutuskan untuk tidak menanggapi pernyataan, Sean. Ia turun dan mengabaikan tubuhnya yang kembali menggigil. Hujan masih setia turun. Jas Sean juga setia memeluk tubuhnya yang terlihat kurus.

Sean menatap kepergian Freya, hatinya lara melihat kekasihnya menderita dan ringkih. “Aku akan menjagamu, Freya. Aku akan tetap bersamamu. Entah siapa yang nanti akhirnya kau pilih,” gumam Sean. Kemudian melanjutkan kembali mobilnya kembali ke rumah.

**

“Baru pulang, Kak? Ke mana aja, sih? Dari kemarin kakak nggak bisa ditelpon. Oh— Tuhan, kenapa aku punya kakak dan adik yang setiap hari kerjanya keluar rumah?” celotehan, Zi sudah memberondong kehadiran Sean.

Bahkan pria itu tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat. Tidak peduli jika pakaian sang kakak basah, Zia tetap memeluk tubuh tinggi besar Sean.

“Dasar manja.” Sean mencubit hidung adik perempuan pertamanya.

“Akh! Sakit, kakak dari mana, sih?”

“Melamar seorang wanita.”

“What?!” Zia memekik tidak percaya. Selama ini dia tidak pernah tahu kakaknya menjalin hubungan dengan seorang wanita mana pun, lalu tiba-tiba dia mengatakan barusan melamar seorang gadis?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status