Share

Bagian 6

Bagian 3

“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call.

Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.

“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.

“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”

“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”

“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”

“Percayalah aku akan baik-baik saja.”

“Hm—”

“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya bersemangat.

Bagaimana tidak? Mereka sudah terpisah selama dua belas bulan. Bahkan baru sebulan mereka menjalin hubungan, Freya sudah harus berpisah jauh dari pria itu.

“Serius?” Matanya seketika berbinar. Bahkan senyum manis yang teramat dirindukan oleh Sky terukir jelas di bibir Freya yang indah.

“Tentu saja. Aku punya waktu satu bulan kalau pertandingan ini berhasil, Babe. Setelah itu F1 sudah menungguku.”

“Kalau kau menang bertanding kali ini, berarti sudah berakhir ‘kan permainannya? Kamu janji setelah menang juara dunia kamu akan berhenti.”

“Tidak. Bukan begitu. Juara dunia bukan hanya sekali, Babe.”

“Maksudmu kamu akan tetap bermain?” sela Freya.

“Ya—”

“Cukup! Aku benci sama kamu, Sky! Kamu terlalu berambisi untuk menjadi juara dunia. Kamu ngerti nggak sih gimana takutnya aku? Gimana aku terus berjanji sama diriku sendiri agar bisa buat kamu berhenti main bahaya? Sky, kamu masih muda, kamu bisa cari pekerjaan yang lebih aman ‘kan? Kenapa musti balapan,sih?”

“Karena ini impianku dan papaku, Babe. Aku sudah katakan ribuan kali ‘kan?”

“Tapi papamu udah nggak ada! Kamu nggak harus terus jalani itu kalau nggak mau kan?!”

“Kata siapa aku nggak mau, Freya?! Papa nggak ada demi ini. Aku cinta hobi dan pekerjaanku, sama seperti aku cinta kamu! Kenapa, sih kamu selalu egois?”

“Egois bagaimana?! Kamu yang egois! Aku yang terus-terusan harus turuti apa katamu. Aku yang harus sabar dengan caramu menjalani hidup penuh dengan bahaya. Pernah nggak, sih, kamu mikir gimana hancurnya aku kalau kamu kenapa-kenapa?! Pernah nggak kamu mikirin perasaanku setiap lihat kamu bertanding? Pernah nggak?!”

Melihat tangis dan air mata di wajah Freya membuat Sky serba salah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang. Ingin rasanya, ia menghapus air mata yang meleleh di pipi kekasihnya. Akan tetapi, jarak memisahkan mereka.

“Aku—” Panggilan itu diputus secara sepihak oleh Freya. Gadis itu meraung di bawah meja kasir.

“Permisi!” Sampai suara itu mengharuskan Freya untuk bangkit dan memasang wajah baik-baik saja yang selalu dia perlihatkan pada semua orang.

“Sudah? Ada membernya, Kak?” Suara Freya serak. Matanya sembam dan basah. Pelanggan yang berdiri dibalik meja kasir itu hanya menjawab dengan anggukan kepala dan mengulurkan sebuah member card.

“Terima kasih, selamat datang kembali.” Template yang selalu diserukan Freya setelah melakukan tugasnya.

[Aku minta maaf, Babe.] sebuah pesan yang hanya dibaca oleh Freya. Ia tidak berniat untuk membalas pesan tersebut.

Sampai jam pulang pun, Freya mengabaikan pesan dari Sky. Ia kembali memesan ojek online. Senyum dan keramahannya seolah memudar. Sepanjang perjalanan gadis itu hanya menutup rapat mulutnya. Membayar uang pas lalu merangsek dalam gang rumahnya.

“Ini baju siapa?” Belum juga Freya beristirahat, dia sudah harus ditodong dengan pertanyaan dari sang ayah.

“Baju orang, Pak. Tadi aku nggak sengaja tumpahin soto, jadi kudu aku cuci.”

“Buat Bapak, ya?” Freya mengangkat pandang.

“Jangan, Pak. Aku mau kembalikan itu besok. Lagian kenapa, sih bapak kurang kerjaan banget, sampe ngorek-ngorek baju di bak,” gerutu, Freya.

“Bapak lihat bajunya bagus, ya bapak ambillah.”

“Jangan, Pak. Kembalikan,” pinta Freya.

“Kamu beli yang baru saja lagi buat ganti baju ini.”

“Pak, itu baju mahal. Uang gaji aku nggak bakalan cukup buat gantiin itu.”

“Justru ini baju mahal, makanya buat bapak saja.”

“Pak! Aku capek, aku baru pulang! Mau istirahat, Bapak kaya bocah! Nggak bisakah hanya gangguin aku tanpa hal-hal yang lain? Aku capek, Pak! Aku pengen istirahat!” Freya sudah tidak bisa menahan dirinya.

Ia punya ayah tetapi ia kehilangan peran dari pria yang terus dia panggil ‘Bapak’ itu.

“Dasar pelit! Anak nggak tahu diuntung. Coba kalau bukan karena Bapak, kamu juga nggak bakalan hidup di dunia ini.” Laki-laki paruh baya itu melemparkan pakaian setengah basah itu ke muka Freya.

Ingin sekali Freya membantah ucapan itu. Dia bahkan tidak minta dilahirkan. Terlebih dalam kondisi seperti ini. Di mana letak keberuntungannya?

Namun, Freya lebih memilih diam. Dia tidak ada tenaga lagi untuk meladeni ucapan sang ayah. Freya masuk dan langsung ke kamar mandi. Mencuci kemeja dan jas itu. Dia harus lekas mengembalikannya sebelum ayahnya nekat memakai pakaian itu sebagai gaya-gayaan.

**

Setelah jam kerja di rumah makan modern itu berakhir, Freya kembali memesan ojek. Kali ini tujuannya bukan rumah, melainkan alamat kantor Sean yang ada di gagang payung itu.

“Gila! Ini jauh banget, aku bisa telat,” gumamnya. Seraya menantikan ojek itu datang. Butuh waktu setengah jam baginya ke tempat Sean. Artinya dia tidak bisa mampir ke rumah.

“Pak! Ngebut, ya!” Begitu ojol itu datang, tanpa menunggu Freya langsung memberinya intruksi. Ia menyahut helm dan memakainya dengan cepat.

Motor itu terus melaju dengan kecepatan sesuai keinginan Freya. Beruntung tidak ada drama kemacetan di kota ini.

Dua puluh menit kemudian, dia tiba di depan bangunan besar dan tinggi. Freya menatap takjub. Berandai-andai jika dia bisa bekerja dan menjadi bagian di dalamnya.

“Pak, tunggu di sini, ya.”

“Siap, Mbak.” Freya lekas merangsek memasuki bangunan maha megah itu.

Gaya Freya yang mencurigakan langsung menyita perhatian dari petugas jaga. Tentu saja mereka harus waspada dengan wanita-wanita yang bertampang polos layaknya Freya.

“Mau cari siapa, Mbak?”

“Ah— kebetulan. Saya mau cari, Om Sean,” ucapnya enteng. Jelas, satpam itu mengira bahwa Freya adalah keponakan dari atasannya.

“Oh— Mbak, keponakannya? Tapi, perasaan Tuan—”

“Iya, Pak. Ayo, buruan! Saya nggak ada waktu buat nunggu. Kalau, Om Sean tahu keponakannya menunggu lama, Anda bakalan kena masalah!” ancam, Freya menakuti pria di depannya.

“Eh— baik. Nona tunggu di sini saja, ya.”

“Tapi cepat, ya, Pak! Saya tidak ada waktu,” katanya. Freya duduk dengan rasa tidak sabar.

Sepuluh menit berikutnya dia bisa melihat Sean berjalan mendekatinya. Bahkan senyum tipis itu sudah terkembang jauh sebelum pria itu tiba di sisi Freya.

“Maaf, Om. Aku harus berbohong sama satpam. Aku tidak ada waktu buat nungguin Om.”

“Oke tidak apa-apa. Jadi— kenapa kamu datang?”

“Ini— terima kasih untuk payungnya dan maaf untuk kemeja serta jasnya,” balas Freya. Ia menyodorkan paper bag hitam.

Sean menerima paper bag itu dengan senyuman. “Tidak perlu buru-buru sebetulnya.”

“Tidak bisa begitu. Barang-barangmu tidak aman berada di rumahku.”

Alis Sean terangkat, aneh dengan pernyataan Freya. “Kenapa begitu?”

“Banyak maling baju branded,” kelakar Freya. Hal itu mampu memancing gelak tawa Sean.

“Ada-ada saja. Baiklah, mau mampir ngopi?”

“Tidak, aku harus ke  toko yang waktu itu. Aku sudah terlambat, Om.”

“Oh— aku antar.”

“Eh—”

“Ayo! Katamu sudah terlambat ‘kan?”

“I— iya. Tapi aku sudah—”

“Sudah, ayo!” Tangan besar Sean sudah menggenggam pergelangan tangan Freya. Mereka keluar dari lobi. Freya harus meminta izin membatalkan ojolnya dan membayar tagihan sebelumnya.

“Sekali lagi terima kasih, Om,” ucap Freya dalam perjalanan menuju lokasi kerja keduanya.

“Tidak masalah, jangan panggil, Om. Aku tidak setua itu.”

“Tetap saja lebih tua dariku ‘kan?”

“Tidak juga. Anggap saja lebih dewasa dari kamu,” tandas Sean.

“Dih— sama aja ‘kan?” Sean tersenyum. Mereka tidak terlihat berbeda jauh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status