Ponsel Freya berdering di atas nakas. Gadis itu menoleh dan melirik siapa yang mengirim pesan.
“Lihat saja, siapa tahu penting,” bujuk sang ibu. Merasa bahwa anaknya hanya melihat dan enggan memegang benda itu karena dirinya.
Freya pun menjulurkan tangannya dan meraih benda itu. Ia buka pesannya dan senyumnya mulai terbit dengan lebar.
[Kalau kamu mau, kita bisa berangkat besok] tulis Sean di bawah gambar yang dia kirimkan.
Paspor Freya sudah jadi, pun dengan visanya. Dia kira ini membutuhkan tambahan waktu yang cukup lama. Namun, Sean benar-benar menepati janjinya bahwa akan selesai dalam empat hari.
Tanpa bertanya Kinasih tahu anaknya tengah bahagia. Dia pun ikut tersenyum meskipun tidak tahu penyebabnya.
[Tentu saja, lebih cepat lebih baik ‘kan?]
“Bu—” panggil Freya terputus, karena fokusnya masih pada ketikannya. Dia menyetujui ajakan Sean untuk pergi ke London besok.
“Hm—&rdq
Pagi-pagi, Freya sudah terjaga. Dia membantu Tyas untuk menyiapkan barang bawaannya. Kinasih dan Adam sudah sangat memenuhi kamar gadis itu dengan semua kebutuhan anaknya. Dengan harapan saat nanti, Freya yang mereka ketahui tengah terbaring di rumah sakit sembuh, ia tidak perlu merasa bahwa orang tuanya tidak memberikan apa pun untuknya.Sekarang, Freya yang mendapatkan semuanya. Dia telah memiliki semua hal.Ponselnya berdering lagi setelah semalam. Ia melihat nama Dinda di sana.Wajah Freya tersenyum tipis dan menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan sang adik."Kakak benar-benar tidak pulang, ya? Hari ini, Dinda tidak masuk sekolah. Dinda demam, Kak," keluhnya di seberang.Freya terenyuh, biasanya dia yang selalu merawat adiknya ketika hendak ke sekolah, bahkan juga saat tengah demam. Gadis cilik itu memang sangat sering sakit ringan seperti sekarang."Mas Raja ada? Maafin kakak, ya, Dinda," sesal Freya. Dia tidak seharusnya memutus
Sean termangu di depan cermin. Sungguhkah tidak ada yang sepaham dengannya? Berulangkali dia mengatur napas, menarik dan mengembuskannya perlahan agar dia lebih tenang.Sampai saat ini semua tidak berjalan dengan mudah. Setelah ini semuanya akan semakin sulit. Sean tidak bisa bayangkan bagaimana perasaannya setelah Freya bertemu dengan kekasihnya— kekasih yang sesungguhnya."Zia—" rintih Sean. Air matanya mengembun. Pandangannya kabur. Sean berusaha untuk membendung tangisnya."Tuan? Apakah semuanya baik?" panggil seseorang dari balik pintu.Siapa yang kira bahwa pria itu pergi dan berada di salam sana sudah terlalu lama.Pria itu lekas membasuh wajahnya. Menyingkirkan sisa-sisa air mata yang membuat wajahnya terlihat mengenaskan."Maaf," jawab Sean setelah berhasil membuka pintu.Seorang pramugari tersenyum tipis seraya mengangguk."Jika butuh sesuatu Anda bisa katakan pada kami," tambahnya.Akan tetapi, Sea
Pukul sembilan waktu London, Sky sudah sadarkan diri. Gea menyuapinya, sementara Zia duduk dengan tenang di sisi ranjang memainkan ponsel di tangan.“Kenapa muka lo tegang gitu, sih?” seloroh Gea. Dalam diam ia memerhatikan raut wajah sang kaka yang tidak seceria biasanya.“Ada job dadakan? Enggak ‘kan?” tambah Gea. Tahu betul bagaimana jadwal syuting gadis centil itu.Zia menggeleng. “Enggak. Aku udah batalin semuanya. Lagian, kita udah bahas masalah ini ‘kan kemarin?”“Ya terus kenapa? Dari kemarin kamu pantengin hp terus!” dengus, Gea. Ia melanjutkan tugasnya memberikan suap demi suap kepada kakak tersayangnya.Saat itu juga pintu ruangan Sky terbuka. Freya berdiri di ambang pintu dengan senyum yang berbinar. Matanya langsung menyorot ke tempat di mana Sky terbaring dengan kaki terangkat. Dibebat oleh sesuatu yang terlihat sangat keras.Freya mendekat dan senyum Sky melebar. Ia bahkan terlihat sangat antusias dan hendak menegakkan tubuhnya. Gea mencoba melarang, tetapi tidak dihira
“Lo nggak mau ngomong?” sergah Sky pada Freya.”“Aku sudah katakan yang harus aku katakan, Sky. Tapi kamu selalu menyangkalnya. Kita bisa lakukan tes DNA kalau anaknya sudah lahir nanti,” kata Freya dengan menahan air matanya.Dia tidak ingin terlihat membela Sean, karena tidak ada sedikitpun cinta untuk lelaki itu. Hanya ada rasa kemanusiaan, hanya ada rasa kasihan untuk pria yang sangat baik itu.“Tidak perlu. Aku akan rawat anak itu. Jangan sakiti bayinya , lakukan apa pun yang kalian mau. Tugasku hanya menjaganya sampai anak itu lahir ‘kan?” tukas Sean.“Ya emang kudu lo yang jaga ‘kan? Dia anak lo, setan!”“Sky, cukup! Jaga ucapanmu. Bagaimanapun aku— tetap lebih tua darimu. Kau boleh tidak anggap aku sebagai kakakmu, tapi— tolong ucapkan kata yang sedikit sopan,” papar Sean.“Bullshit,” gumamnya. Pria itu memalingkan wajah tidak ingin menatap sang kakak.“Sky, aku minta maaf untuk kesalahanku. Asal kamu tahu, dia sangat mencintaimu. Dia selalu memujimu, dia selalu menginginkanmu
"Abang jauh lebih baik dari Kak Sky. Kapan Abang akan menyadari hal itu?" Zia menyentuh punggung tangan Sean. "Kenapa Abang suka sama dia? Kenapa Abang mau sama wanita yang udah punya pacar?" Zia sungguh tidak mampu menahan keingintahuannya. "Abang tidak tahu. Dia datang begitu saja dalam hidup abang. Dulu— Freya adalah wanita humoris, Zie. Dia adalah wanita yang ceria sama sepertimu. Kukira dia akan menjadi penerusmu. Gadis terbaik yang Abang miliki."Zia menggeleng. "Tidak akan ada wanita sebaik Zie. Tidak ada wanita yang bersyukur memiliki Abang. Cuma Zie, tapi— aku pastikan sebentar lagi, Abang akan temukan wanita ke duanya," kata Zia menyemangati. "Ya, kamu benar. Ternyata memang tidak ada yang sebaik little pony abang. Mungkin jodoh abang bukan wanita. Tapi, kematian."Lagi-lagi Zia menggeleng. "Tidak boleh! Abang tidak boleh mati. Abang harus tetap hidup sampai Zie menikah dan beranak pinak! Zie ingin anak-anak Zie kenal sama paman terbaiknya. Zie pengen mereka seperti Abang
Gea mendekati sang kakak dan mencekal tangannya. "Kita pergi dari sini. Abang nggak perlu lakukan apa pun buat mereka! Perempuan seperti itu tidak layak buat Abang!" pekik Gea. Sean yang semula menekuk mukanya sangat dalam seketika kebingungan dan melangkah bersama tarikan Gea. Setelah keluar dari ruangan itu, dokter yang menangani Sky berpapasan dengan mereka. "Sean? Benar?"Sean menoleh dan menatap wajah pria berambut blonde tersebut. "Mas Rayyan?" Pria itu mengangguk. Keduanya berpelukan setelah Sean melepaskan jeratan tangan Gea.Gadis itu mendengus kesal melihat dua pria yang saling berpelukan itu, ia geli dan jijik. "Kamu apa kabar? Aku kira kamu nggak akan datang." Tentu masih ingat Rayyan bukan? Dia adalah anak dari Ivy, sahabat terbaik Divya. "Datanglah, Sky adikku. Bagaimana aku tidak datang. Apakah semuanya baik-baik saja, Mas?""Baru saja aku mau mengajakmu ngobrol masalah ini. Ayo!" ajak Rayyan. Sean mengangguk dan Gea membuntuti keduanya. Setibanya di ruangan Ra
Satu1"Aku hamil," lirih Freya. Tangannya bergetar hebat memegang hasil tes kehamilan. Bahkan air mata tidak bisa dibendung olehnya."Hamil? Bagaimana bisa?" Sean mencoba untuk tetap tenang. Dia menarik dagu Freya. Ingin melihat wajah yang biasanya ceria dengan ribuan tawa, tetapi kini terlihat muram."Katakan padaku, Freya. Bagaimana bisa?Siapa yang melakukannya?"Hanya suara isak tangis dari Freya yang terdengar jelas. Gadis itu bungkam tidak ingin menjawab."Maafkan aku, Sean. Maaf," sesal Freya. Dia sudah mengkhianati hubungannya. Namun, pengkhianatan ini jauh lebih baik ketimbang hubungannya dengan sang kekasih sebenarnya.Pria yang begitu sabar menghadapi segala perilaku Freya selama ini, harus dikejutkan dengan berita kehamilan kekasihnya. Bahkan selama ini, dia tidak pernah merusak gadis itu. Dia begitu menjaga dan menghormati Freya."Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Dia yang melakukan?" Sean mencekal erat kedua bahu Freya.Gadis itu kian menunduk lebih dalam. Awalnya
[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?][Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?][Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. M