Bagian 1
Hujan lebat malam ini membuat Frfeya merasa tenang. Dia ingat banyak hal tentang masa lalunya. Begitu manis dan bahkan seharusnya dia bersyukur bertemu dengan pria layaknya, Sean.
**
"Cukup! Freya cukup! Please, aku telpon kamu karena pengen denger suaramu. Bukan untuk bertengkar sama kamu! Stop bahas masalah yang sama," ucap Sky dengan tegas dalam sambungan teleponnya.
"Kamu selalu begitu, Sky. Aku begini karena khawatir sama kamu. Hobi dan impianmu itu bahaya. Kamu mempermainkan nyawamu." Freya tidak ingin kalah. Dia juga tengah memperjuangkan pendapatnya tentang keselamatan kekasihnya. Dia bermaksud perhatian pada laki-laki yang telah menjalin hubungan dengannya selama setahun itu.
Gadis itu terus mencari cara agar kekasihnya berhenti dari balapan. Siapa yang mau orang tercintanya mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah kemenangan?
Namun, ujungnya pasti selalu dengan perdebatan serta perbedaan pendapat yang membuat mereka terus bertengkar.
"Tahu apa kamu tentang bahaya, Freya? Sudah aku katakan, aku tidak akan mundur. Ayahku sudah berjuang mati-matian untukku. Lalu dengan mudahnya kamu mengatakan aku harus berhenti? Bahkan sudah sejauh ini. Jika kamu masih tetap ingin membahasnya lebih baik aku tutup."
"Tidak, jangan! Baiklah, tapi kumohon pertimbangkan lagi, S—" panggilan akhirnya benar-benar terputus. Sky tidak ingin melanjutkan obrolan yang hanya berputar pada pembahasan yang sama.
Freya mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tahu akan berakhir seperti ini. Demi Tuhan, dia tidak akan berhenti memikirkan cara agar Sky melakoni kegiatan yang aman tanpa membuat dirinya khawatir.
"Padahal bisa kan dia cari hobi lain? Melukis kek, menyanyi, konten kreator. Banyak banget hobi di dunia ini, kenapa musti balapan yang dipilih? Ini juga, kenapa hujan nggak berhenti-henti? Nggak bosan apa dari pagi sampai malam turun terus?" gerutunya.
Jarum sudah tepat diangka sepuluh dan hujan setia mengguyur kota seharian. Freya mencari taksi online. Gadis itu tidak bisa memesan ojek, dia bisa basah kuyup sebelum sampai di rumah.
Tangannya lincah mencari driver yang posisinya tidak jauh dari lokasi. Sampai notifikasi di jendela apungnya mengatakan jika driver taksi onlinenya akan tiba dalam lima menit.
Kakinya terus digoyang-goyangkan di bangku besi tepat di lobi. Freya menatap ke luar jendela kaca besar di depan.
"Kok malah berhenti di sana, sih? Kan jauh, ini hujan lho!" Ia masih saja menggerutu.
Melihat mobil putih yang berhenti di pinggir jalan. Gadis itu menyeret langkahnya menembus hujan dan mendekati posisi mobil. Menggunakan tas kecil miliknya sebagai perlindungan dari hujan, meskipun tidak maksimal.
Tangannya terangkat guna mengetuk jendela kaca mobil tersebut.
"Buka!" Mulutnya terbuka untuk memerintah.
Cukup lama, Freya menunggu agar sang sopir membuka kunci, tetapi Freya tidak bisa membuka pintu bagian belakangnya. Dia tidak menemukan handle di sana. Akhirnya solusi tercepat adalah menarik tuas pintu di bagian depan.
"Kenapa lama sekali? Kenapa juga berhenti di sini? Cukup jauh dari titik penjemputan kan?" Lagi-lagi dia terus menggerutu, kali ini seraya membetulkan pakaian yang basah dan rambut yang kian acak-acakan. Mukanya kesal. Namun, bahasa merajuknya masih dibatas wajar.
"Kamu siapa?" Seorang pria dengan kemeja hitam itu menatap gadis yang duduk di sisinya dengan segala kesibukan.
"Siapa bagaimana? Jelas-jelas di aplikasi sudah tertulis Freya Kayonna. Apa kurang jelas? Udah ayo jalan!" seru Freya. Ia memasang seat belt.
"Aplikasi? Tunggu, kamu salah paham," jelasnya.
"Dengar, aku lelah. Ini sudah malam, dengan kamu jalan sesegera mungkin bisa saja nanti setelah kamu berhasil mengantarku ke rumah, orderan selanjutnya datang ‘kan? Ayolah, aku mau tidur sebentar, oke," tukas Freya. Ia masih tidak mau mendengar penjelasan dari pria itu.
"Tapi aku bukan driver taksi online." Dari sana, Freya langsung membuka matanya dan menatap tajam pria itu.
“Om dengar! Selain aku capek, aku juga lapar. Kamu tahu, kalau aku lapar bisa makan orang! Jadi, ayo! Kita jalan nggak usah bercanda, ya.”
“Tapi—”
“Jalan, Om!” tegas Freya.
Tidak ada pilihan bagi pria itu kecuali melajukan kembali kendaraannya. Meniti jalanan yang sudah terlihat lenggang. Hujan benar-benar menghancurkan malam yang indah. Hingga sampai di persimpangan jalan.
“Di mana rumahmu?” Dengan kesal, Freya menoleh sempurna dan memicingkan mata menatapnya.
“Ck! Baru kali ini aku dapat driver yang cerewet. Apa petunjuk arah di ponselmu tidak akurat? Atau kamu tidak bisa baca maps kaya wanita?”
Pria itu mengemudi dengan satu tangan dan sebelah tangan lainnya ia gunakan untuk membuka ponsel dan menunjukkan tampilan menu ponselnya pada Freya.
“Adakah di sana aplikasi yang kamu maksud?” Freya refleks menyahut ponsel dengan brand ternama dan memelototi satu demi satu aplikasi yang ada di sana.
Gawat! Jadi— benar? Dia bukan driver taksi online? Batinnya. Kemudian dia menoleh ke arah pria itu dan menampilkan deretan giginya. Tersenyum canggung bak tiada dosa.
"Se—serius?" tukas Freya. Laki-laki itu mengangguk sebagai balasan.
"Demi apa?"
"Demi apa pun, demi ibu dan bapakku," sambungnya.
"Terus— jadi— jadi maksudnya aku salah—" Freya memejamkan matanya. Merutuki diri yang ceroboh.
“Aku sudah bilang ‘kan? Tapi kamu ngotot. Apa mau kita mampir ke resto sekalian? Aku takut kamu benar-benar memakanku,” goda pria itu.
Freya merangkus wajah menyembunyikan rasa canggungnya. Dia sangat malu, sudah ngeyel tetapi salah duga. Ia hendak keluar dari mobil.
"Sudah jangan keluar. Hujannya kian lebat. Aku antar kamu pulang," papar pria itu lagi.
"Serius?" Sang pengemudi melayangkan senyum tipisnya. Terkekeh mendengar kata 'serius' yang terus terucap dari Freya.
"Tentu saja. Jadi tunjukkan arahnya."
"Hah?!” Freya masih linglung dengan kondisi sebenarnya.
“Jalannya,” ulang si sopir yang dipanggil Om oleh Freya.
“Oh— itu, di— masih jauh, sih. Tiga puluh menit lagi," tutur Freya.
"Baik, tapi arahnya ke mana? Kita di persimpangan, jadi aku tidak tahu harus pilih yang mana," tandas pria yang masih belum diketahui indentitasnya.
"Ah— benar! Duh, tolol. Kampung Sekar Tanjung. Rumahku di wilayah situ. Jadi ambil jalur kiri." Pria itu mengangguk sebagai petunjuk bahwa dia memahami ucapan Freya.
Mobil HRV putih itu kembali berjalan. Menembus tangisan semesta. Menerjang pekatnya malam yang mengaburkan pandangan.
Freya terdiam. Dia belum membuka suaranya lagi. Canggung, malu, dan merasa tidak enak. Ia sibuk dengan ponsel guna membatalkan pesanan taksi online yang sudah dia pesan tadi.
"Jadi— kenapa kamu berhenti di sana tadi?" Freya memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf tentang ini juga," imbuhnya. Setidaknya dia memang harus meminta maaf, karena mengira bahwa pria itu driver online. Mana ada taksi menggunakan HRV? Jikapun ada, Freya belum pernah berjumpa dengan yang demikian.
"Tadi ponselku jatuh, aku butuh waktu untuk menemukannya."
"Sekali lagi maaf," sesal Freya.
"Tidak masalah. Jadi kamu kerja di sana?"
"Ya, kebetulan ada job tambahan di sana jadi aku ambil."
"Tambahan? Kamu ambil banyak job?"
"Hm— begitulah."
"Hebat." Perbincangan berhenti, Freya hanya tersenyum tipis. Padahal dia masih ingin terus mengobrol agar hilang rasa canggungnya. Tangannya lagi-lagi terus ia sibukkan. Mengikis ujung kuku dengan gesekan kuku lainnya. Cara yang selalu dia lakukan saat dalam situasi seperti saat ini.
"Siapa namamu?" Pria itu justru tertawa kecil mendengar pertanyaannya.
"Aku tanya, malah ketawa. Memangnya lucu?" Mobil masih terus berjalan, mencari rumah tempat bagi Freya untuk pulang.
"Sean,” jawabnya singkat. Lagi-lagi tidak ada obrolan berlangsung. Hingga beberapa waktu berlalu.
"Stop di sini saja. Rumahku di ujung gang itu. Terima kasih untuk tumpangannya." Mobil putih itu berhenti tepat di depan gang kediaman Freya
"Sama-sama. Bawa ini." Sean mengulurkan sebuah payung pada Freya. Dia tahu gadis itu kebasahan tadi.
"Serius?" Sean kembali tersenyum tipis.
"Iya, bawa saja. Jangan lupa kembalikan padaku." Tangan mungil itu meraih payung biru dan berpamitan untuk kedua kalinya. Kemudian ia benar-benar turun dari mobil.
“Tunggu! Siapa namamu?” teriak Sean sebelum Freya menyatu dengan gang panjang di depannya.
“Freya. Bagaimana caraku bisa mengembalikan payungnya?” Jujur saja, tadi Freya ingin bertanya, tetapi udara dingin terlalu mendominasinya sehingga pikirannya ke-distract.
“Ada alamat tempat aku bekerja di gagangnya, kamu bisa datang ke sana.” Freya menatap tepat pada genggaman tangannya, kemudian mengangguk paham.
“Sampai jumpa lagi.” Suaranya terbang seiring dengan mobil yang sempat membawa Freya melaju. Gadis itu berjalan memasuki lorong yang di samping kanan dan kiri sebuah tembok tinggi. Tiang-tiang lampu menjadi saksi perjalanan Freya setiap harinya.
“Kamu baik-baik saja, Freya?” Suara serta tepukan di bahu Freya seketika membawa kesadaran Freya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.Gadis itu membawa pandangannya pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang jumlahnya ribuan kubik.“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.“Ini khayalanku saja ‘kan?” lirihnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur.“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Sean terkejut, Freya demam. Mungkin karena, terlalu lama dia berada di luar ruangan.“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya.“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis
"Selamat datang, silakan." Gadis dengan rambut sebahu itu mengulurkan daftar menu pada pelanggannya.Seperti hari-hari biasanya, Freya giat sekali bekerja. Sebagai generasi sandwich, gadis itu bahkan memiliki pekerjaan lain selain sebagai pelayan di rumah makan ini. Nanti, setelah jarum jam berada di angka empat sore, dia akan menjadi kasir di sebuah toko buku hingga malam tiba. "Saya pesan makanan yang paling rekomended saja, Mbak," ucap pelanggan tanpa membuka buku menu. "Baik, mohon ditunggu sebentar, ya." Freya balas dengan senyum lebar khas dirinya.Disela-sela pekerjaan yang dilakoni, sembari menunggu pesanan disiapkan untuk diantar ke meja pelanggan, ponsel yang berada disaku celemeknya bergetar. [Babe, nanti sore aku latihan. Aku akan minta timku untuk mengirim link live streaming padamu, jangan lupa tonton, ya]Freya menghela napas kasar membaca rentetan pesan yang Sky kirim. Namun dia bisa apa selain berpura-pura mendukungnya. Freya tahu pendapatnya hanya akan berakhir de
Bagian 3“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tid
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungk
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet se