Share

Bagian 3

Bagian 1

Hujan lebat malam ini membuat Frfeya merasa tenang. Dia ingat banyak hal tentang masa lalunya. Begitu manis dan bahkan seharusnya dia bersyukur bertemu dengan pria layaknya, Sean.

**

"Cukup! Freya cukup! Please, aku telpon kamu karena pengen denger suaramu. Bukan untuk bertengkar sama kamu! Stop bahas masalah yang sama," ucap Sky dengan tegas dalam sambungan teleponnya.

"Kamu selalu begitu, Sky. Aku begini karena khawatir sama kamu. Hobi dan impianmu itu bahaya. Kamu mempermainkan nyawamu." Freya tidak ingin kalah. Dia juga tengah memperjuangkan pendapatnya tentang keselamatan kekasihnya. Dia bermaksud perhatian pada laki-laki yang telah menjalin hubungan dengannya selama setahun itu.

Gadis itu terus mencari cara agar kekasihnya berhenti dari balapan. Siapa yang mau orang tercintanya mempertaruhkan nyawa hanya demi sebuah kemenangan?

Namun, ujungnya pasti selalu dengan perdebatan serta perbedaan pendapat yang membuat mereka terus bertengkar.

"Tahu apa kamu tentang bahaya, Freya? Sudah aku katakan, aku tidak akan mundur. Ayahku sudah berjuang mati-matian untukku. Lalu dengan mudahnya kamu mengatakan aku harus berhenti? Bahkan sudah sejauh ini. Jika kamu masih tetap ingin membahasnya lebih baik aku tutup."

"Tidak, jangan! Baiklah, tapi kumohon pertimbangkan lagi, S—" panggilan akhirnya benar-benar terputus. Sky tidak ingin melanjutkan obrolan yang hanya berputar pada pembahasan yang sama.

Freya mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tahu akan berakhir seperti ini. Demi Tuhan, dia tidak akan berhenti memikirkan cara agar Sky melakoni kegiatan yang aman tanpa membuat dirinya khawatir.

"Padahal bisa kan dia cari hobi lain? Melukis kek, menyanyi, konten kreator. Banyak banget hobi di dunia ini, kenapa musti balapan yang dipilih? Ini juga, kenapa hujan nggak berhenti-henti? Nggak bosan apa dari pagi sampai malam turun terus?" gerutunya.

Jarum sudah tepat diangka sepuluh dan hujan setia mengguyur kota seharian. Freya mencari taksi online. Gadis itu tidak bisa memesan ojek, dia bisa basah kuyup sebelum sampai di rumah.

Tangannya lincah mencari driver yang posisinya tidak jauh dari lokasi. Sampai notifikasi di jendela apungnya mengatakan jika driver taksi onlinenya akan tiba dalam lima menit.

Kakinya terus digoyang-goyangkan di bangku besi tepat di lobi. Freya menatap ke luar jendela kaca besar di depan.

"Kok malah berhenti di sana, sih? Kan jauh, ini hujan lho!" Ia masih saja menggerutu.

Melihat mobil putih yang berhenti di pinggir jalan. Gadis itu menyeret langkahnya menembus hujan dan mendekati posisi mobil. Menggunakan tas kecil miliknya sebagai perlindungan dari hujan, meskipun tidak maksimal.

Tangannya terangkat guna mengetuk jendela kaca mobil tersebut.

"Buka!" Mulutnya terbuka untuk memerintah.

Cukup lama, Freya menunggu agar sang sopir membuka kunci, tetapi Freya tidak bisa membuka pintu bagian belakangnya. Dia tidak menemukan handle di sana. Akhirnya solusi tercepat adalah menarik tuas pintu di bagian depan.

"Kenapa lama sekali? Kenapa juga berhenti di sini? Cukup jauh dari titik penjemputan kan?" Lagi-lagi dia terus menggerutu, kali ini seraya membetulkan pakaian yang basah dan rambut yang kian acak-acakan. Mukanya kesal. Namun, bahasa merajuknya masih dibatas wajar.

"Kamu siapa?" Seorang pria dengan kemeja hitam itu menatap gadis yang duduk di sisinya dengan segala kesibukan.

"Siapa bagaimana? Jelas-jelas di aplikasi sudah tertulis Freya Kayonna. Apa kurang jelas? Udah ayo jalan!" seru Freya. Ia memasang seat belt.

"Aplikasi? Tunggu, kamu salah paham," jelasnya.

"Dengar, aku lelah. Ini sudah malam, dengan kamu jalan sesegera mungkin bisa saja nanti setelah kamu berhasil mengantarku ke rumah, orderan selanjutnya datang ‘kan? Ayolah, aku mau tidur sebentar, oke," tukas Freya. Ia masih tidak mau mendengar penjelasan dari pria itu.

"Tapi aku bukan driver taksi online." Dari sana, Freya langsung membuka matanya dan menatap tajam pria itu.

“Om dengar! Selain aku capek, aku juga lapar. Kamu tahu, kalau aku lapar bisa makan orang! Jadi, ayo! Kita jalan nggak usah bercanda, ya.”

“Tapi—”

“Jalan, Om!” tegas Freya.

Tidak ada pilihan bagi pria itu kecuali melajukan kembali kendaraannya. Meniti jalanan yang sudah terlihat lenggang. Hujan benar-benar menghancurkan malam yang indah. Hingga sampai di persimpangan jalan.

“Di mana rumahmu?” Dengan kesal, Freya menoleh sempurna dan memicingkan mata menatapnya.

“Ck! Baru kali ini aku dapat driver yang cerewet. Apa petunjuk arah di ponselmu tidak akurat? Atau kamu tidak bisa baca maps kaya wanita?”

Pria itu mengemudi dengan satu tangan dan sebelah tangan lainnya ia gunakan untuk membuka ponsel dan menunjukkan tampilan menu ponselnya  pada Freya.

“Adakah di sana aplikasi yang kamu maksud?” Freya refleks menyahut ponsel dengan brand ternama dan memelototi satu demi satu aplikasi yang ada di sana.

Gawat! Jadi— benar? Dia bukan driver taksi online? Batinnya. Kemudian dia menoleh ke arah pria itu dan menampilkan deretan giginya. Tersenyum canggung bak tiada dosa.

"Se—serius?" tukas Freya. Laki-laki itu mengangguk sebagai balasan.

"Demi apa?"

"Demi apa pun, demi ibu dan bapakku," sambungnya.

"Terus— jadi— jadi maksudnya aku salah—" Freya memejamkan matanya. Merutuki diri yang ceroboh.

“Aku sudah bilang ‘kan? Tapi kamu ngotot. Apa mau kita mampir ke resto sekalian? Aku takut kamu benar-benar memakanku,” goda pria itu.

Freya merangkus wajah menyembunyikan rasa canggungnya. Dia sangat malu, sudah ngeyel tetapi salah duga. Ia hendak keluar dari mobil.

"Sudah jangan keluar. Hujannya kian lebat. Aku antar kamu pulang," papar pria itu lagi.

"Serius?" Sang pengemudi melayangkan senyum tipisnya. Terkekeh mendengar kata 'serius' yang terus terucap dari Freya.

"Tentu saja. Jadi tunjukkan arahnya."

"Hah?!” Freya masih linglung dengan kondisi sebenarnya.

“Jalannya,” ulang si sopir yang dipanggil Om oleh Freya.

“Oh— itu, di— masih jauh, sih. Tiga puluh menit lagi," tutur Freya.

"Baik, tapi arahnya ke mana? Kita di persimpangan, jadi aku tidak tahu harus pilih yang mana," tandas pria yang masih belum diketahui indentitasnya.

"Ah— benar! Duh, tolol. Kampung Sekar Tanjung. Rumahku di wilayah situ. Jadi ambil jalur kiri." Pria itu mengangguk sebagai petunjuk bahwa dia memahami ucapan Freya.

Mobil HRV putih itu kembali berjalan. Menembus tangisan semesta. Menerjang pekatnya malam yang mengaburkan pandangan.

Freya terdiam. Dia belum membuka suaranya lagi. Canggung, malu, dan merasa tidak enak. Ia sibuk dengan ponsel guna membatalkan pesanan taksi online yang sudah dia pesan tadi.

"Jadi— kenapa kamu berhenti di sana tadi?" Freya memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf tentang ini juga," imbuhnya. Setidaknya dia memang harus meminta maaf, karena mengira bahwa pria itu driver online. Mana ada taksi menggunakan HRV? Jikapun ada, Freya belum pernah berjumpa dengan yang demikian.

"Tadi ponselku jatuh, aku butuh waktu untuk menemukannya."

"Sekali lagi maaf," sesal Freya.

"Tidak masalah. Jadi kamu kerja di sana?"

"Ya, kebetulan ada job tambahan di sana jadi aku ambil."

"Tambahan? Kamu ambil banyak job?"

"Hm— begitulah."

"Hebat." Perbincangan berhenti, Freya hanya tersenyum tipis. Padahal dia masih ingin terus mengobrol agar hilang rasa canggungnya. Tangannya lagi-lagi terus ia sibukkan. Mengikis ujung kuku dengan gesekan kuku lainnya. Cara yang selalu dia lakukan saat dalam situasi seperti saat ini.

"Siapa namamu?" Pria itu justru tertawa kecil mendengar pertanyaannya.

"Aku tanya, malah ketawa. Memangnya lucu?" Mobil masih terus berjalan, mencari rumah tempat bagi Freya untuk pulang.

"Sean,” jawabnya singkat. Lagi-lagi tidak ada obrolan berlangsung. Hingga beberapa waktu berlalu.

"Stop di sini saja. Rumahku di ujung gang itu. Terima kasih untuk tumpangannya." Mobil putih itu berhenti tepat di depan gang kediaman Freya

"Sama-sama. Bawa ini." Sean mengulurkan sebuah payung pada Freya. Dia tahu gadis itu kebasahan tadi.

"Serius?" Sean kembali tersenyum tipis.

"Iya, bawa saja. Jangan lupa kembalikan padaku." Tangan mungil itu meraih payung biru dan berpamitan untuk kedua kalinya. Kemudian ia benar-benar turun dari mobil.

“Tunggu! Siapa namamu?” teriak Sean sebelum Freya menyatu dengan gang panjang di depannya.

“Freya. Bagaimana caraku bisa mengembalikan payungnya?” Jujur saja, tadi Freya ingin bertanya, tetapi udara dingin terlalu mendominasinya sehingga pikirannya ke-distract.

“Ada alamat tempat aku bekerja di gagangnya, kamu bisa datang ke sana.” Freya menatap tepat pada genggaman tangannya, kemudian mengangguk paham.

“Sampai jumpa lagi.” Suaranya terbang seiring dengan mobil yang sempat membawa Freya melaju. Gadis itu berjalan memasuki lorong yang di samping kanan dan kiri sebuah tembok tinggi. Tiang-tiang lampu menjadi saksi perjalanan Freya setiap harinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status