Di ruang tengah, Aoi dan Makoto menonton televisi kisah romansa dua remaja SMA.
Aoi memakan camilannya dengan lahap, sushi kesukaannya.
"Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku ya? Kalau gak mau juga gak apa-apa kok," Makoto menoleh menatap Aoi yang serius melihat televisi.
"Kenapa sih cowok gak bisa pakai logika? Kenapa harus perasaan?" tanya Aoi gemas, Ryuji tak bisa memikirkan bagaimana perasannya yang sakit ketika Nakura berhasil mengajak Ryuji saat itu.
"Mungkin dia mau yang baru dan berbeda. Semua cowok itu gak sama Aoi. Ada yang memilih perasaan karena gak rela atau kasihan. Ada juga yang pakai logika karena dia pikir kembali atau pergi adalah pilihan terbaiknya," jelas Makoto bijak. Meskipun ia bukan ahli cinta, tapi ia faham bagaimana pemikiran seseorang.
Aoi terpaku. Apakah benar seperti itu?
"Terus kalau lo?"
"Apanya?" tanya Makoto bingung.
"Pakai apa? Perasaan atau logika?" karena Aoi tak mau kalau Makoto sama dengan
Makoto mengetuk pintu kamar Aoi, sudah jam delapan cewek itu tidur."Aoi? Bangun, ayo masak. Aoi?" Makoto membuka pintunya, Aoi tergeletak di lantai.Makoto panik. "Aoi! Aoi! Kamu gak mati kan? Aoi!" Makoto mengguncangkan tubuh Aoi.Aoi menggeliat. Dengan mata yang setengah terbuka, ia menatap Makoto."Apa sih? Ganggu orang tidur aja," Aoi kembali memejamkan matanya."Aoi. Anak perempuan jam segini udah nyapu, masak-masak, ngepel. Kamu malah tidur," omel Makoto gemas. "Gimana mau nikah nanti, masa aku makan di luar Aoi?"Aoi duduk. Kenapa Makoto tak bisa diam sih? Sangat mengganggu tidur nyenyaknya."Lo ngarep banget ya nikah sama gue? Gak usah percaya diri deh! Bisa aja gue kabur," ketus Aoi, usianya dengan Makoto terpaut jauh. Bagaimana reaksi teman-temannya nanti.Makoto menghela nafasnya. "Bukan ngarep, tapi ayahmu sendiri yang nyuruh aku nikahin kamu," ucap Makoto membenarkan. "Kenapa? Daripada pacarmu itu. Belum tentu dap
Dan Makoto pun tak tinggal diam. Ia..."Aoi!" serunya. Aoi menoleh dengan wajah terkejutnya.Makoto menarik tangan Aoi menjauhi Ryuji."Jadi ini yang kamu lakuin kalau aku lagi rapat? Mentang-mentang aku gak awasin kamu malah kencan sama dia. Mending pulang," hanya karena rapat selama beberapa menit saja, Aoi sudah tidak ada di kelasnya. Bahkan Haruka dan Fumie saja tidak tau keberadaan Aoi."Lepas gak?" Aoi meronta. Namun Makoto semakin mencengkram kuat."Sakiitt!" Aoi meringis. Apa ini sisi lain dari Makoto saat marah?Ryuji menarik tangan Makoto yang bebas. "Gak usah nyakitin Aoi juga!"Makoto menoleh. Menatap bengis Ryuji. Mengganggu saja."Kenapa emangnya? Salah?""Jelas salah. Apa pak Makoto gak liat Aoi kesakitan?"Makoto tersenyum miring. "Coba aja kalau nurut sama saya sekali pun. Saya gak bakal lakuin hal itu," pandangannya menatap Aoi yang kini menunduk."Tapi cara pak Makoto salah. Memangnya-"
Nakura hanya bisa memandangi Ryuji dari kejauhan."Dan aku bakalan buat kamu sama Aoi putus!"***Kelas 12 Ips 1 saat jamkos mungkin se-ramai pasar.Syougo dan Taiga membujuk Ryuji agar ikutan bermain Truth or Dare."Apa sih? Buang-buang waktu aja. Gue lagi belajar," Ryuji kembali membaca perbedaan kosa kata British dan USA."Belajar terus. Emang gak bosen apa?" tanya Taiga jengah. Apa-apa buku."Karena gue mau kuliah di luar negeri. Jadi gak semudah itu lolos seleksinya. Mulai sekarang belajar, biar waktu tes lancar ngerjainnya," jawab Ryuji bijak. Ia memang jarang ikut bermain dengan Syougo dan Taiga."Please ya? Sekali aja," Syougo menyatukan kedua tangannya. Matanya mengerjap imut. Semoga Ryuji mau."Emang lo gak kangen masa-masa terakhir gini?""Huhuhu, sedih gue ga. Masa iya secepat ini kita berpisah?" Syougo memeluk Taiga terharu."Iya-iya. Gue ikut. Mulai aja deh, gak usah nangis!""Yeay! Git
"Yang? Kenapa liatin dia sih?" tanya Nakura dengan nada tak sukanya."Balik aja ke kelas. Aku mau ke kantin," langkah Ryuji mengikuti Aoi dan Makoto diam-diam.Kedua alis Ryuji menyatu. Toilet? Tapi Makoto memilih ke kantin. Baguslah, Ryuji tak perlu khawatir dengan Aoi."Hei! Sini! Gue udah beres!" teriak Aoi memanggil Makoto.Ryuji menyembunyikan dirinya di balik tembok.Makoto tersenyum. "Jadi gak nunggu lama-lama deh," rasanya senang bisa berdua langsung dengan Aoi. Apalagi di sekolah."Ke UKS ya? Itu tangan kamu perlu di obatin," ucap Makoto khawatir. Tapi ekspresi Aoi biasa saja."Gak usah. Gak sakit. Cuman luka gores doang," tapi yang sakit adalah hatinya. 'Kenapa Ryuji sama Nakura? Buat ulah apalagi sih tuh cewek?' batin Aoi menggerutu kesal."Di rumah aja kalau gitu," sahut Makoto tenang. Aoi sakit hati, tapi diam.Ryuji yang mendengar itu semakin penasaran. Apa benar Makoto menginap di rumah Aoi?"Kayakn
Ryuji memejamkan matanya. Tangannya terasa berat untuk menghapus semua foto Aoi yang sudah ia simpan di file komputernya.Ryuji memandang lekat foto-foto Aoi, dari candid, sampai tersenyum ke arah kamera."Maaf Aoi kalau aku nanti buat hancur perasaan kamu. Ini demi kebaikan kita. Aku gak mau diantara kita ada yang merasa berjuang sendirian," Ryuji mulai menekan ceklis semua, terhapuslah 50 foto Aoi.Tanpa sadar, mata Ryuji berkaca-kaca. Cairan sebeing kristal itu meluncur bebas. Ryuji menangis. Rasanya tak rela melepaskan orang di sayang, sudah nyaman.Hanya menunggu hari esok, semuanya akan berakhir. Ryuji tak sanggup jatuh cinta dengan Aoi tapi saingannya Makoto.***Aoi berusaha menghubungi Ryuji, tapi panggilannya di tolak otomatis."Kok nomorku di blokir sih? Segitu marahnya kamu sama aku ya?" Aoi menatap wallpaper ponselnya, foto itu ia ambil saat Ryuji bermain basket.Aoi mengirimkan pesan WhatsApp tapi centang satu.
Ryuji melepaskan dekapannya."Anggap aja aku orang asing yang gak kamu kenal," Ryuji pergi dengan langkah terberatnya.Aoi menangis sesenggukan. Ia tak menyangka Ryuji akan meninggalkannya tanpa alasan yang jelas."Kenapa? Kenapa? Kalau aku ada salah, setidaknya kita bicara baik-baik. Bukan seperti ini, mengakhiri!" teriak Aoi emosi, suaranya menguap di langit dengan sia-sia tanpa ada yang mendengar kesedihannya.Sedangkan Makoto cemas mencari Aoi di kelas tapi tidak ada. Di kantin pun sama, Makoto mencari Haruka dan Fumie.Dua cewek semanis gula dan kamu itu fokus mukbang jajan."Aoi mana? Kenapa gak sama kalian?" tanya Makoto langsung pada intinya, biasanya ia menyapa Haruka dan Fumie."Gak tau pak. Tadi Aoi langsung pergi gitu aja gak ngomong apa-apa," jawab Haruka. Ia sempat heran mengapa Aoi pergi tiba-tiba.Makoto mencari Aoi di taman belakang sekolah. Nihil. Lalu menyuruh siswi yang ada di toilet mengeceknya juga sama, t
Pak Jiro menghela nafas lelah. Kenapa kelas 12 Ipa 1 sangat ramai?"Semuanya diam sebentar. Saya ingin menyampaikan informasi penting!" dengan sekali tarik nafas separuh kamu. Gombalnya.Sunyi. Sepi. Tanpa dirimu."Baik, seminggu lagi akan di adakan Try Out. Persiapkan diri kalian, belajar yang giat, semoga nilainya bagus sesuai harapan kalian. Jadwalnya akan di catat oleh sekeetaris. Maki, catat di papan ya," pak Jiro memberikan selembar kertas mata ujian Try Out."Oh iya, untuk Ujian Nasional juga semakin dekat. Karena ini pemberitahuan dari pemerintah Jepang, jadi selisih waktu ujian akan singkat," tambah pak Jiro lagi."Waduh? Tiba-tiba UN gitu aja. Gue kira masih lama!""Yah, siap-siap di marahin mama papa. Belajar yang bener!""Sabar, biar dapat nilai bagus!""Lama-lama aku pusing nih," keluh Fumie memijat pelipisnya.Haruka terkekeh. "Hahaha, deritamu Fumie. Lagian kalau gak belajar mana bisa kan masuk Universitas
Saat hari Try Out tiba, Aoi masih saja tidur. Ia kelelahan belajar semalaman, turuti saja apa yang di katakan Makoto.Flashback on"Kamu itu salah mengalikan bilangannya. Masa ini di kali ini. Ya jelas hasilnya salah Aoi. Coba kamu-""Udah?" sela Aoi datar. Ia sampai pusing di omeli terus-terusan."Aku lagi jelasin ini. Diam dulu dong. Jadi kalau di kalikan silang pasti-""Benar!" seru Aoi cepat.Sampai kedua mata Aoi terasa berat, ia mengantuk. Salah sendiri Makoto menjelaskan tanpa jeda dan titik koma."Kalau tidur aja imut, apalagi galak. Jadi gemesin," Makoto tersenyum sendiri. Bukan sama kamu.Flashback offMakoto menyibak gordennya."Aoi. Aoi, bangun ayo. Udah jam lima nih, kamu Try Out loh. Sana mandi," Makoto mengguncang tubuh Aoi, cewek itu hanya menggeliat."Satu jam lagi deh. Gue masih ngantuk tau," Aoi memeluk guling, tambah ngantuk juga."Mandi dulu. Sarapan, terus belajar lagi. Berangka
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun